Anda di halaman 1dari 16

TUGAS POLITIK PERTANAHAN

SINKRONISASI UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR


POKOK-POKOK AGRARIA DENGAN UU NO. 7 TAHUN 2004TENTANG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

KELOMPOK III
KELAS A

1. DEDY SETYO IRAWAN


2. DEWI FATMAWATI
3. DIAH RETNO WULAN

NIM : 15242878
NIM : 15242879
NIM : 15242880

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN


SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2015/2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 24 September 1960 terbit Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) setelah melalui proses
panjang sejak tahun 1948. UUPA berlaku sebagai lex generalis (undang-undang
pokok) bagi pengaturan lebih lanjut obyek materiilnya, yakni bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUPA dibuat sebagai payung bagi pengaturan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, isinya merupakan
pokok-pokok aturan yang mengandung asas-asas, tujuan pokok dan aturan-aturan
umum tentang penguasaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam. Namun
masih ada yang belum diatur lebih lanjut dalam UUPA mengenai hal pokok-pokok,
secara umum, atau garis besar ketentuan terkait dengan sumber daya alam (SDA)
selain tanah.
UUPA hanya menggariskan dasar dan ketentuan pokok yang berlaku untuk
semua bidang SDA dalam 10 (sepuluh) pasalnya. Namun demikian, hanya ada 1
(satu) pasal dalam UUPA yang secara mengatur tentang SDA selain tanah, yakni
Pasal 8 UUPA yang dalam penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa
ketentuan ini merupakan pangkal bagi peraturan perundang-undangan terkait
pertambangan dan lain-lainnya.
Itulah yang menjadi salah satu alasan dibuatnya Undang-Undang mengenai
perairan dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang
kemudian diganti dengan UU No. 7 Tahun 2004tentang Pengelolaan Sumber Daya
Air. Namun ternyata ditemukan beberapa hal yang tidak sinkron dengan UUPA
yang dianggap payung hukum yang mendasari pengaturan lebih lanjut mengenai
Sumber Daya Alam, termasuk air.
B. Tinjauan Pustaka
Sumber Daya Air

Sumberdaya air adalah bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai


(DAS) yang antara lain terdiri dari sub sistem sumberdaya lahan,
sumberdaya hutan, sumberdaya sosekbud, dan sumberdaya air itu sendiri.
Pengelolaan sumberdaya air tidak terlepas dari pengelolaan DAS, dengan
demikian strategi pengelolaan DAS yang baik akan menghasilkan
sumberdaya air yang baik pula (Yuwono et al., 2011).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang
terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas,
ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air
permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
Sedangkan Pengelolaan sumber daya air 8 adalah upaya merencanakan,
melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi
sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya
rusak air
Sinkronisasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan
Nasional, 2012 : 1314), kata sinkron berarti terjadi atau berlaku pada waktu
yang sama ; serentak ; sejalan ; sejajar ; sesuai ; selaras. Sehubungan
dengan

judul

penelitian

ini,

kata

sinkronisasi

berarti

perihal

menyinkronkan, penyerentakan. Menurut Endang Sumiarni (2013 : 5),


sinkronisasi yang dimaksud adalah dengan melihat kesesuaian atau
keselarasan peraturan perundang-undangan secara vertikal berdasarkan
sistematisasi hukum positif yaitu antara peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Sinkronisasi

peraturan

perundang-undangan

sering

menimbulkan

pertentangan mengenai peraturan perundang-undangan yang mana yang


lebih tepat untuk digunakan untuk kasus tertentu. Oleh karena itu, para
penegak hukum perlu memperhatikan asas-asas berlakunya peraturan
perundang-undangan. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2011 : 99), terkait
sinkronisasi peraturan perundang-undangan terdapat asas lex superiori
derogat legi inferiori yang menjelaskan bahwa apabila terjadi 23
pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis
lebih rendah dengan yang lebih tinggi, maka peraturan perundang-undangan
yang hirarkinya lebih rendah itu harus disisihkan.
Pengelolaan Sumber Daya Air
Pengolahan sumber daya air sangat

penting,

agar

dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan.


Salah satu langkah pengelolaan yang dilakukan adalah pemantauan dan
interpretasi data kualitas air, mencakup kualitas fisika, kimia dan biologi.
Namun,

sebelum

melangkah

pada

tahap

pengelolaan,

diperlukan

pemahaman yang baik tentang terminology, karateristik, dan interkoneksi


parameter kualitas-kualitas air. (Hefni Effendi, 2003)
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun masalah yang muncul adalah
sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan UU No. 5 Tahun 1960?
2. Apakah yang dimaksud dengan UU No. 7 Tahun 2004?
3. Bagaimana sinkronisasi UU No. 5 Tahun 1960 dengan UU No. 7 Tahun 2004?
4. Bagaimana koordinasi pengelolaan sumber daya air?
5. Bagaimana Implementasi Keberpihakan Yang Diatur dalam UU No.7 Tahun

2004?

BAB II
PEMBAHASAN
SINKRONISASI UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR
POKOK-POKOK AGRARIA DENGAN UU NO. 7 TAHUN 2004TENTANG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
A. UU NO. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
UUPA terdiri dari 67 (enam puluh tujuh) pasal yang terdiri dari 58 (lima
puluh delapan) pasal dan 9 (sembilan) pasal khusus terkait ketentuan konversi. Di

samping 10 (sepuluh) pasal yang mengatur tentang dasar dan ketentuan pokok,
maka pengaturan tentang tanah terdapat dalam 53 (lima puluh tiga) pasal, sisanya,
4 (empat) Pasal mengatur hal-hal di luar ketentuan pokok dan pertanahan.
Dari 58 pasal yang ada dalam batang tubuh UUPA hanya 2 pasal saja yang
mengatur bukan tanah yaitu Pasal 47 tentang hak guna air, pemeliharaan dan
penangkapan ikan, dan Pasal 48 tentang hak guna ruang angkasa. Hanya ada satu
pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal
14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber
daya alam menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam
dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan
kesejahteraan

masyarakat,

pengembangan

produksi

pertanian,

peternakan,

perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan.


Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA
hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa memelihara tanah, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang,
badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu,
dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.
Oleh karena dominasi pengaturan tentang pertanahan dalam UUPA, maka
dalam proses penerbitannya pernah diwacanakan tentang nama undang-undang ini.
Iman Soetiknjo dari Seksi Agraria UGM menyarankan namanya UU Pertanahan,
dan karena reaksi tersebut maka dalam perkembangannya ditambahkan pasal-pasal
yang tidak hanya berkaitan dengan tanah (Soetikjno, 1987).
Untuk mengatur mengenai Sumber Daya Alam maka dibuatlah UndangUndang Sektoral yang seharusnya tetap berpedoman pada UUPA. Undang-Undang
sektoral tersebut diantaranya adalah :
1) Undang-undang yang mengatur sumberdaya agraria, antara lain:
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan;
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
hayati dan Ekosistemnya;

5) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup;
6) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
7) Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
8) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang Panas Bumi;
9) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
10) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan;
11) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
12) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Terkecil;
13) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah;
Kedudukan Undang-Undang sektoral ini didasarkan pada Pasal 8 UUPA
yang menyatakan, bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang
dimaksud dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung
dalam bumi, airdan ruang angkasa. Dengan demikian Undang-Undang sektoral
tersebut merupakan pengaturan khusus (lex specialis) dari UUPA yang bersifat
umum (lex generalis).

B. UU No. 7 Tahun 2004Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air


Pasal 1 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di
atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.
Pasal 8 UUPA menyatakan bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan amanat dari pasal-pasal tersebut maka dibuatlah UU No. 7
Tahun 2004tentang Pengelolaan Sumberdaya Air. UU No. 7 Tahun 2004merupakan

Undang-Undang sektoral yang tidak mengatur tanah secara luas, tetapi tetap
sebagai turunan dari Pasal 8 UUPA yang terfokus mengatur sumberdaya air.
Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya
(Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2004).
UU No. 7 Tahun 2004mengatur semua air yang terdapat pada, di atas,
ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan,
air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat; sumber air adalah tempat atau
wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah; dan daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau
pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan
dan penghidupan manusia serta lingkungannya.
Hak guna pakai air meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke
tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya. Hak guna
pakai air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan
pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi dijamin oleh pemerintah atau
pemerintah daerah. Hak guna pakai air tersebut termasuk hak untuk mengalirkan
air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan
tanahnya. Yang dimaksud dengan penguasaan sumber daya air diselenggarakan
oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah adalah kewenangan yang diberikan
oleh negara kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber
daya air.
Dalam Pasal 6 UU No. 7 Tahun 2004 menyebutkan bahwa sumber daya air
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah
daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak
yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan peraturan perundang-undangan. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas
sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah
dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Atas dasar penguasaan negara
ditentukan hak guna air (Andriani SJ Kusni dan JJ. Kusni, 2012).

C. Sinkronisasi UU NO. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria Dengan UU No. 7 Tahun 2004Tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air
UU No. 7 Tahun 2004 merupakan turunan dari Pasal 8 UUPA. UU No. 7
Tahun 2004juga merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 16 ayat (2) Huruf a dan
Pasal 47 UUPA karena juga mengatur hak guna air maka. Pasal 16 (2) UUPA
menyatakan, bahwa hak-hak atas air dan ruang angkasa ialah: (a) hak guna air, (b)
hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, (c) hak guna ruang angkasa. Kemudian
guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan
air itu diatas tanah orang lain. Hak guna-air ini termasuk hak pemeliharaan dan
penangkapan ikan diatur dengan peraturan pemerintah.
Dengan mencermati isinya, tampaknya UU No. 7 Tahun 2004tidak sinkron
atau tidak merujuk kepada UUPA. Hal ini terbukti dari pengertian hak guna air.
Menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 7 Tahun 2004, hak guna air adalah hak untuk
memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.
Pengertian ini tidak sama dengan pengertian hak guna air menurut Pasal 47 ayat (1)
UUPA bahwa hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu
dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain. Di samping itu, UU No. 7
Tahun 2004juga menambahkan istilah hak terkait sumberdaya air, yaitu hak guna
pakai air dan hak guna usaha air. Hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh
dan memakai air (Pasal 1 angka 14), dan hak guna usaha air adalah hak untuk
memperoleh dan mengusahakan air (Pasal 1 angka 15). Hal ini menunjukkan
bahwa pembuatan UU No. 7 Tahun 2004tidak dimaksudkan sebagai pelaksana dari
UUPA. Akibatnya terjadi ketidaksinkronan di antara sesama UU yang mengatur
agraria dan sumberdaya alam.
Walaupun demikian, UU No. 7 Tahun 2004 tetap memperhitungkan hak
atas tanah orang lain dalam pelaksanaan hak guna usaha air. Ketentuan ini dapat
dilihat dalam Pasal 9, bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada

perseorangan atau badan usaha dengan izin dari pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya. Kemudian, pemegang hak guna usaha air dapat
mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan dimaksud dapat berupa kesepakatan
ganti kerugian atau kompensasi. Ketentuan yang sama juga berlaku dalam
pelaksanaan kontruksi prasarana dan sarana sumber daya air. Pasal 63 ayat (4) UU
No. 7 Tahun 2004menegaskan, pelaksanaan konstruksi prasarana dan sarana
sumber daya air di atas tanah pihak lain dilaksanakan setelah proses ganti kerugian
dan/atau kompensasi kepada pihak yang berhak diselesaikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sepanjang terkait dengan
perolehan tanah yang dalam kegiatan usaha pengelolaan sumberdaya air, harus
mengacu kepada UUPA.
Faktor yang menyebabkan disinkronisasi UUPA dengan UU No. 7 Tahun
2004adalah :
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun
waktu yang berbeda;
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian;
c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih
kuat dibanding pendekatan sistem;
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin hukum;
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan masih terbatas;
f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat
semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
a.
b.
c.
d.

Akibat disinkronisasi UUPA dengan UU No. 7 Tahun 2004adalah :


Terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya;
Timbulnya ketidakpastian hukum;
Peraturan perundang-undangan tidak ter-laksana secara efektif dan efisien;
Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman
berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan

D. Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air

Semangat desentralisasi tampak pada UU NO. 7 TAHUN 2004ini


karena pemberian kewenangan otonom juga sampai ke pemerintahan desa.
Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari hak penguasaan
negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah pusat, namun dengan
menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemda dan Pemerintah Daerah
juga diberi kewenangan melaksanakannya. Hal ini terlihat dari Pasal 6 ayat (2)
UU NO. 7 TAHUN 2004menentukan bahwa penguasaan (negara atas) sumber
daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau Pemda.
Ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah (Pasal 14
UU No. 7 Tahun 2004) dan Pemda (Pasal 15 dan 16 UU No. 7 Tahun 2004),
menafsirkan bahwa sifat pemberian kewenangan tersebut bukan bersifat
desentralistis mutlak, melainkan lebih mengarah kepada prinsip pembagian
kewenangan. Kewenangan Pemerintah dan Pemda mengandung substansi yang
sama yaitu menetapkan kebijakan, pola pengelolaan, rencana pengelolaan,
menetapkan dan mengelola kawasan lindung, melaksanakan pengelolaan,
memberikan perijinan, memfasilitasi penyelesaian sengketa, pembentukan
dewan sumber daya air. Perbedaannya bahwa ruang lingkup kewenangan
pemerintah nasional, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota adalah
wilayah administratifnya.
Di samping itu, pelaksanaan kewenangan hak penguasaan negara juga
diserahkan kepada:
a. Pemerintah Desa
b. Dewan Sumber Daya Air
c. Dewan Tertentu
d. Perkumpulan Petani Pemakai Air
E. Implementasi Keberpihakan Yang Diatur dalam UU No.7 Tahun 2004
Ada dua aspek yang berkaitan dengan keberpihakan pada kelompok
yang ditentukan dalam UU No. 7 Tahun 2004 ini, yaitu:
a. Akses untuk Memanfaatkan Sumber Daya Air
Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2004 menentuan bahwa negara menjamin hak
setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya
sehari-hari. Dalam hal ini, negara mempunyai kewajiban agar kebutuhan
yang minimal sehari-hari akan air dari perseorangan dan badan hukum dapat

terpenuhi. Jaminan ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan akan air harus


diberikan untuk semua jenis / macam kegiatan manusia sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2004.
Meskipun semua kegiatan manusia sebagai perseorangan dan
kelompok seperti dalam lembaga sosial apapun memerlukan dan harus
disediakan kebutuhan akan air, namun UU No. 7 Tahun 2004 memberikan
prioritas utama pada kebutuhan tertentu. Dalam Pasal 29 ayat (3) UU No. 7
Tahun 2004 ada dua kegiatan yang ditempatkan sebagai penerima prioritas
utama dalam perolehan dan pemanfaatan air, yaitu kebutuhan pokok
masyarakat sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat. Penempatan kedua
kelompok tersebut sebagai prioritas utama bermakna bahwa dalam kondisi
tertentu dimana ketersediaan air terbatas, maka pemenuhan kedua kebutuhan
tersebut harus didahulukan.
b. Akses untuk Mengusahakan Sumber Daya Air
Akses untuk melakukan kegiatan usaha baik air ataupun sumber daya
airnya diberikan kepada semua kelompok usaha. Pasal 9 UU No. 7 Tahun
2004 menentukan bahwa kegiatan usaha berkaitan dengan sumber daya air
dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan. Badan usaha yang
dimaksud meliputi BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta.
Meskipun secara tekstual, akses melakukan usaha sumber daya air
tidak menunjukkan keberpihakannya pada kelompok usaha tertentu, namun
ada beberapa pasal yang dapat membuka peluang terjadinya keperpihakan
UU No. 7 Tahun 2004 pada kelompok tertentu terutama pada usaha skala
besar. Peluang tersebut dapat dicermati dari ketentuan:
1. Ketentuan-ketentuan yang mengatur pemanfaatan sumber daya air bagi
pengembangan usaha tertentu yang menuntut ketersediaan modal yang
tidak kecil dan teknologi yang relatif tinggi, dan manajemen usaha yang
ahli.

Kesemua persyaratan yang dituntut tersebut, meskipun tidak

secara eksplisit dicantumkan, terbuka pada pelaksanaan kegiatan usaha


berskala besar.
2. Ketentuan Pasal 47 ayat (5) yang menentukan bahwa penguasaan
sumber daya air diselenggarakan dengan mendorong keikutsertaan
usaha kecil dan menengah.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara keseluruhan UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat dijabarkan dengan tolak ukur sebagai berikut:

Orientasi
(Eksploitasi/Konservasi)

Keberpihakan (Prorakyat atau prokapital)

Konservasi dan
eksploitasi
("Menimbang" Huruf b,
Ps 1 Angka 7, 8, 18, 19,
dan 24, Ps 2, 20-25, Pjs
Umum Angka 9 dan 10)

1. Pro-rakyat
("Menimbang" Huruf
a dan d, Ps 3, 5, 26
[2], 29 [3], Pjs
Umum Angka
1,3,4,12 dan 15) 2.
Ada fungsi sosial (Ps
4). 3. Ada peluang
bagi badan usaha
swasta dalam
penyediaan air
minum (Ps 40 [4]
dan [8], 62 [6]. 4.
Kecenderungan pro
kapital (HGU Air)

Pengelolaan
(sentralistik/desentralistik) dan
Implementasinya (Sektoral,
koordinasi, orientasi produksi)

1. Desentralistik ('Menimbang"
Huruf d, Ps 15-19, Pjs Umum
Angka [1], [6] dan [12]. 2.
Pluralisme Hukum (tidak
diatur) 3.Koordinasi
("Menimbang" Huruf c, Ps 3, 6
[2], 26 [4], 85-87, Pjs Umum
Angka 5,6,7,13 dan 15) 4.
Orientasi produksi; spesifik.

Perlindungan
HAM (gender,
pengakuan
MHA,penyelesaia
n sengketa)

Hubungan
Orang
dengan SDA
(hak/izin)

1. Persamaan
gender (tidak
diatur) 2.
Pengakuan Hak
Ulayat MHA (Ps 6
[2] dan [3], Pjs
Umum Angka 1) 3.
Penyelesaian
sengketa (Ps 88,
89, Pjs Umum
Angka 14)

1. Hak: hak
guna air, hak
guna pakai
air, hak guna
usaha air (Ps
1 Angka 13,
14 dan 15, Ps
6 [4], 7-10,
Pjs Umum
Angka 1, 2,
dan 3) 2.
"Izin" (Ps 8,
Pjs Umum
Angka 2)

Hubungan
negara
dengan
SDA

Kelompok
SDA

Dikuasai
oleh negara
(Ps 6 [1] Pjs
Umum
Angka 1)

1. Air (air
permukaan,
air tanah,
air hujan,
air laut
yang
berada di
darat) 2.
Sumber Air
3. Daya Air

DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi, 1973, Hukum agraria Indonesia-himpunan peraturan-peraturan
hukum tanah, Djambatan, Jakarta.
Kusni, Andriani SJ dan Kusni, JJ, 2012, Draft Rencana UU Pertanahan,
https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2012/06/24/draft-rencana-uupertanahan/. Diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pukul 19.33 WIB.
Soetiknjo, Iman, 1987, Proses terjadinya UUPA, peranserta seksi agraria
universitas gadjah mada, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sumardjono, Maria S.W, 2014, Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia
Antara Yang Tersurat dan Tersirat, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air.

Anda mungkin juga menyukai