Anda di halaman 1dari 39

Presentasi Kasus

KASUS KEGAWATDARURATAN PASIEN


DENGAN CEDERA OTAK

Oleh:

Siska Dewi Agustina, S. Ked.

G99141013

Pembimbing:

dr. Ardana Tri Arianto, M.Si., Med., Sp. An.

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas dokter yang utama adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan pasiennya. Anestesi sebagai salah satu cabang ilmu kedkteran sangat
berperandalam mewujudkan tugas profesi dokter tersebut karena dapat mengurangi

nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasari berbeagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan
keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri
menyeluruh.
Time saving is life saving merupakan dasar dari tindakan pada menit-menit
pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support
merupakan tindakan-tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses menuju
kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen, pada korban yg pernah mengalamai hipoksemia waktunya menjadi lebih
sempit sehingga butuh penanganan segera.
Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala
sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita hindari pada
kejadian trauma kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani dengan segera
maka dapat muncul manifestasi dari cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu
dilakukan primary survey berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary
survey, dan secondary survey.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trauma Kepala

Trauma pada kepala sering menyebabkan trauma pada sistem saraf


pusat.Trauma pada sistem saraf pusat merupakan penyebab terbanyak kematian
pada trauma (Pascual et al, 2008).
1. Anatomi Pelindung Sistem Saraf Pusat
Otak dilindungi oleh beberapa lapisan, dari luar ke dalam: kulit, lemak
subkutan, otot dan cranium. Di bawah cranium terdapat meninges termasuk
duramater,

arachnoid

dan

piamater.Cairan

serebrospinal

(liquor

cerebrospinale/LCS) mengalir di antara piamater dan arachnoid.


Neurocranium terbagi ke dalam tiga bagian: bagian anterior terdiri atas
os. frontale, bagian parietal terdiri atas os. parietale dan os. temporale,
sementara bagian posterior terdiri atas os. occipitale.Tulang-tulang tebal di
bagian oksipital, tetapi lebih tipis di bagian temporal. (Pascual et al, 2008)
2. Fisiologi
Terdapat dua aspek fisiologi yang harus dimengerti untuk memahami
akibat trauma pada kepala yaitu Doktrin Monroe-Kelly dan autoregulasi
serebral. Doktrin Monroe-Kelly menyatakan bahwa volume total intrakranial
adalah konstan di dalam cranium yang kaku. Konsekuensinya, jika ada massa
yang meluas seperti perdarahan atau edema, bagian lain seperti darah dan LCS
akan keluar. Jika tekanan telah melebihi 20 mmHg, maka jaringan otak akan
mengalami herniasi(Pascual et al, 2008).
Autoregulasi

serebral

merupakan

kemampuan

otak

untuk

mempertahankan aliran darah yang tetap walaupun terdapat perubahan


tekanan perfusi serebral(Pascual et al, 2008).
3. Patologi Trauma Kepala
Trauma kepala dapat dibedakan menjadi trauma fokal dan difus. Trauma fokal
diasosiasikan dengan hantaman gaya langsung mengenai kepala. Biasanya
menyebabkan fraktur, hematoma, atau kontusio.Derajat morbiditas dan mortalitasnya

bergantung kepada bagian mana dari otak yang terkena trauma. Autoregulasi serebral
merupakan kemampuan otak untuk mempertahankan aliran darah yang tetap walupun
terdapat perubahan tekanan perfusi serebral (Setyono, 2011).
Berdasarkan derajat kesadarannya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi :
1. Cedera kepala ringan
a. GCS 13-15
b. Pingsan 10 menit
c. Tidak ada deficit neurology
d. Gambaran scanning otak normal
2. Cedera kepala sedang
a. GCS 9-12
b. Pingsan 10 menit sampai dengan 6 jam
c. Terdapat deficit neurology
d. Gambaran scanning otak abnormal
3. Cedera kepala berat
a. GCS 3-8
b. Pingsan 6 jam
c. Terjadi deficit neurology
d. Gambaran scanning otak abnormal (Setyono, 2011).
Trauma difus pada otak (disebut juga diffuse axonal injury) disebabkan
karena gaya lembam akibat akselerasi atau deselerasi yang terjadi pada
kepala. Terdapat beberapa jenis akibat dari trauma kepala, yaitu:
a. Hematoma Epidural
Frekuensinya adalah 1% dari trauma pada kepala, dan 10% dari pasien
yang mengalami koma akibat trauma.Sering terjadi pada bagian temporal,
disebabkan oleh perdarahan arteri meningea media. Sering terjadi talk and
die phenomene, dimana pasien sadar kemudian diikuti oleh koma yang
dalam.
b. Hematoma Subdural

Frekuensinya adalah 30% dari trauma pada kepala.Disebabkan oleh


putusnya vena-vena jembatan pada lapisan subdural.Sering terjadi bersama
hematoma intraserebral dan kontusio.
c. Hematoma Intraserebral dan Kontusio
Merupakan perdarahan di dalam jaringan otak, dapat terjadi dalam jangka
waktu 24 jam sejak trauma awal.
d. Hematoma Intraventrikular
Terjadi akibat perdarahan di dalam ventrikel otak.Dapat menyebabkan
hidrosefalus akut post-trauma.
e. Diffuse Axonal Injury
Merupakan akibat trauma otak yang paling sering terjadi. Disebabkan oleh
gaya yang bekerja pada akson, sehingga menyebabkan disfungsi
sitoskeletal yang diikuti pembengkakan akson dan diskoneksi setelah lewat
beberapa jam. Daerah yang terkena dapat mencakup corpus callosum,
substansia alba, batang otak dan ganglia basalis (Pascual et al, 2008).
B. Trauma Muka
1. Definisi
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan
jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mengenai
jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak
wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan
yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang wajah yang terdiri
dari tulang hidung, tulang arkus zigomatikus, tulang mandibula, tulang
maksila, tulang rongga mata, gigi dan tulang alveolus.
2. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu
lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang

dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum
dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan
batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal
menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat
permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi
yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan kecelakaan lalu lintas.
3. Epidemiologi
Penyebab
DEWASA
Kecelakaan lalu lintas
Penganiyaan/berkelahi
Olahraga
Jatuh
Lain-lain
Anak-anak
Kecelakaan lalu lintas
Penganiyaan/berkelahi
Olahraga
Jatuh

Presentase (%)
40-45
10-15
5-10
5
5-10
10-15
5-10
50-65
5-10

4. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
1. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh
karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat

diklasifikasikan berdasarkan jenis luka dan penyebab seperti ekskoriasi,


luka sayat, luka robek,luka bacok,luka bakar dan luka tembak Ia juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
serta dikaitkan juga dengan estetik.
2. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif.
Secara umum dilihat dari terminologinya yaitu tipe fraktur, perluasan
tulang yang terlibat, konfigurasi (garis fraktur) dan hubungan antara
fragmen. Berdasarkan tipe fraktur, ia kemudian dibagi kepada empat yaitu
fraktur sederhana, fraktur compound, fraktur comminuted dan fraktur
patologis. Fraktur sederhana, linear yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur ini juga
tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Greenstick
termasuk dalam fraktur ini yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak
dan jarang terjadi.
Fraktur compound adalah fraktur yang lebih luas dan terbuka atau
berhubungan dengan jaringan lunak dan lingkungan. Biasanya pada
fraktur korpus mandibula yang menyokong gigi, dan hampir selalu tipe
fraktur compound meluas dari membran periodontal ke rongga mulut,
bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada
kulit. Fraktur comminuted adalah fraktur akibat benturan langsung yang
sangat keras seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi berkeping
yang kecil atau remuk. Fraktur ini bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya
juga seperti fraktur compound dengan kerusakan tulang dan jaringan
lunak. Fraktur patologis disebabkan oleh keadaan tulang yang lemah oleh
karena adanya penyakit-penyakit tulang, seperti osteomielitis, tumor

ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
Jika berdasarkan perluasan tulang yang terlibat, fraktur ini dibagi
menjadi lengkap dan tidak lengkap. Fraktur ini disebut lengkap apabila
fraktur mencakup seluruh tulang. Fraktur ini juga dibagi menjadi tidak
lengkap,

seperti

pada

greenstick.

Jika

diklasifikasi

berdasarkan

konfigurasi garis fraktur dibagi menjadi tranversal, bisa horizontal atau


vertikal, oblique (miring), spiral (berputar) dan comminuted (remuk). Jika
berdasarkan hubungan antar fragmen dibagi menjadi perpindahan tempat
dan tidak ada perpindahan tempat, bisa terjadi berupa angulasi /
bersudut ,distraksi, kontraksi, rotasi atau berputar dan impaksi atau
mendesak. Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat
mengenai daerah dento alveolar, prosesus kondiloideus, prosesus
koronoideus, angulus mandibula, ramus mandibula, korpus mandibula,
garis tengah mental dan lateral ke garis tengah dalam regio incisivus.
Fraktur khusus pada maksila dapat dibedakan menjadi fraktur blow out
(fraktur tulang dasar orbita) , fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III
dan fraktur segmental mandibula.
3. Manifestasi klinis
Pada penderita trauma muka dapat timbul beberapa kelainan seperti
kerusakan jaringan lunak (edema, kontusio, ekskoriasi, laserasi dan
avulsi), emfisema subkutis, rasa nyeri, terdapat deformitas yang dapat
dilihat atau diperiksa dengan cara perabaan, epistaksis, obstruksi hidung
yang disebabkan timbulnya hematom pada

septum

nasi,

fraktur

septum atau dislokasi septum, gangguan pada mata, misalnya gangguan


penglihatan, diplopia, ekimosis pada konjungtiva, abrasi kornea,
gangguan saraf sensoris berupa anestesia atau hipestesia dari ketiga
cabang nervus cranialis kelima, gangguan saraf motorik, trismus,

maloklusi, kebocoran cairan cerebrospinalis, krepitasi tulang hidung,


maksila dan mandibula.
4. Fraktur tulang hidung
Pada trauma muka paling sering terjadi fraktur hidung. Diagnosis
fraktur hidung dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pemeriksaan
hidung bagian dalam dilakukan dengan rinoskopi anterior, biasanya
ditandai oleh adanya pembengkakan mukosa hidung, terdapatnya bekuan
dan kemungkinan ada robekan pada mukosa septum, hematoma septum,
dislokasi atau deviasi septum. Jika hanya fraktur tulang hidung sederhana
dapat dilakukan reposisi fraktur tersebut dalam analgesia lokal. Fraktur
tulang hidung terbuka menyebabkan perubahan tempat dari tulang hidung
tersebut yang juga disertai laserasi pada kulit atau mukoperiosteum
rongga hidung. Kerusakan atau kelainan pada kulit dari hidung
diusahakan untuk diperbaiki atau direkonstruksi.
5. Fraktur tulang maksila
Jika terjadi fraktur maksila maka harus segera dilakukan tindakan
untuk mendapatkan fungsi normal dan efek kosmetik yang baik. Tujuan
tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal
pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka
yang baik. Harus diperhatikan

juga jalan napas serta profilaksis

kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan


gangguan pada jalan napas sehingga mungkin dilakukan tindakan
trakeostomi. Perdarahan hebat yang berasal dari arteri maksilaris interna
atau arteri ethmoidalis anterior sering terdapat fraktur maksila dan harus
segera diatasi. Jika tidak berhasil dilakukan pengikatan arteri maksilaris
interna atau arteri karotis eksterna atau arteri etmoidalis anterior. Jika
kondisi pasien cukup baik sesudah

trauma tersebut, reduksi fraktur

maksila biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang


sangat hebat atau terdapatnya infeksi. Reduksi fraktur maksila mengalami

kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang
disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala
yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan
dilakukan fiksasi.
Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulangtulang wajah yang adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada
wajah.

Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :


- Le Fort I
Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai
dengan bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur guerin.
Kerusakan yang mungkin terjadi yaitu pada prosesus arteroralis, bagian
dari sinus maksilaris, palatum durum, dan bagian bawah lamina pterigoid
- Le Fort II
Garis fraktur melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang
lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian
atas dari sinus maksilaris juga ke arah lamina pterogoid sampai ke fossa

pterigo palatine. Disebut juga fraktur pyramid. Fraktur ini dapat


merusak system lakrimalis, karena sangat mudah digerakkan maka disebut
juga fraktur ini sebagai floating maxilla (maksila yang melayang)
- Le Fort III
Garis Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang
ethmoid junction melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah
dinding lateral ke orbita, sutura zigomatikum frontal dan sutura temporozigomatikum. Disebut juga sebaga cranio-facial disjunction. Merupakan
fraktur yang memisahkan secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada fraktur ini : keluarnya
cairan otak melalui atap ethmoid dan lamina cribiformis.
6.

Fraktur tulang orbita


Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur
orbita terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Fraktur
ini memberikan gejala-gejala seperti enoftalmus, exoftalmus, diplopia,
asimetri pada muka dan gangguan saraf sensoris.

7. Fraktur tulang mandibula


Fraktur tulang mandibula adalah kedua terbanyak dari fraktur wajah.
Penderita mengeluh maloklusi dan nyeri pada pergerakkan rahang. Selain
itu terdapat juga gejala pembengkakan atau pun laserasi pada kulit yang
meliputi mandibula anestesiadapat terjadi pada satu sisi bibir bawah, pada
gusi atau pada gigi dimana nervus alveolaris inferior menjadi rusak serta
gangguan jalan napas disebabkan kerusakan hebat pada mandibula seperti
terjadinya perubahan posisi, trismus, hematoma dan edema jaringan lunak
(Prasetiyono, 2005; Beaty dan Le, 2009; Webster, et al., 2005; Zide,
2006).

C. Penanganan Trauma
Penanganan korban trauma sedikit berbeda dengan dengan penanganan
korban medis. Pemberian pertolongan pada korban trauma memerlukan
pemeriksaan seluruh bagian tubuh. pemberian pertolongan juga harus ekstra hatihati apabila ada indikasi korban mengalami cidera tulang spinal, yaitu cidera
tulang belakang mulai dari tulang leher hingga tulang ekor. Cidera pada tulang
spinal merupakan cidera yang paling sensitif. Jika penanganannya salah, korban
bisa meninggal dunia.
Pada dasarnya penanganan korban trauma mengikut langkah-langkah berikut ini:
1. Penilaian keadaan
Penilaian keadaan merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan jika
menemui korban yang memerlukan bantuan. Hal yang harus dinilai pertama
kali adalah masalah lingkungan, apakah lingkungan aman untuk memberikan
pertolongan atau tidak. Jika tidak, korban bisa dipindahkan ke tempat yang
aman, tentu saja dengan syarat pemindahan tersebut memungkinkan dan tidak
membahayakan korban. Jika korban terindikasi mengalami cidera spinal,
sebaiknya pemindahan dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman dan
dengan peralatan yang sesuai karena cidera spinal membutuhkan penanganan
yang sangat hati-hati.
Setelah

lingkungan

dirasa

aman,

langkah

selanjutnya

adalah

mengumpulkan informasi mengenai kejadian yang dialami korban. Informasi


ini dapat diperoleh dari korban atau saksi mata. Langkah terakhir pada
penilaian keadaan ini adalah meminta bantuan, terutama bantuan untuk
merujuk korban ke instalasi kesehatan terdekat.
2. Penilaian dini

Penilaian dini adalah pemeriksaan awal terhadap korban. Pemeriksaan ini


merupakan pemeriksaan yang bersifat mendasar, berhubungan dengan
kelangsungan hidup korban, sehingga harus segera dilaksanakan. Penilaian
dini meliputi:
a. Pemeriksaan kesadaran korban
Tingkat kesadaran korban dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
awas/kesadaran penuh, respon terhadap suara, respon terhadap nyeri, dan
tidak sadar sama sekali. Dalam pemeriksaan ini buatlah tes terhadap
penglihatan, misal dengan menggerakkan jari di depan korban. Jika korban
memberi tanggapan, berarti korban dalam keadaan sadar. Jika tidak,
pemeriksaan dilanjutkan dengan tes suara, misal dengan dipanggil. Jika ada
tanggapan, maka korban respon terhadap suara. Jika tidak, korban bisa
distimulasi dengan rasa sakit dengan cara mencubit lengan atas bagian
dalam, dekat ketiak, atau dengan menekan dada. Jika ada tanggapan, dilihat
dari perubahan raut muka atau tanda-tanda sakit yang lain, maka korban
respon terhadap nyeri. Jika tidak ada tanggapan, maka korban benar-benar
tidak sadar.
b. Pemeriksaan saluran nafas (airway)
Pemeriksaan saluran nafas bertujuan untuk membebaskan dan
membuka jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara membuka
mulut dan mengamati apakah ada benda yang berpotensi menyumbat
saluran pernafasan. Jika ada, benda tersebut harus dikeluarkan. Jika tidak,
langkah selanjutnya adalah menekan dahi dan mengangkat dagu korban
sehingga kepala korban berada pada posisi tengadah. Posisi ini akan
mempertahankan terbukanya saluran pernafasan.
Pembukaan saluran pernafasan dengan menekan dahi dan mengangkat
dagu tidak bisa dilakukan pada korban yang mengalami patah tulang leher.

Untuk korban seperti ini, pembukaan saluran pernafasan dilakukan dengan


metode jaw thrus, yaitu dengan mendorong rahang korban ke depan (posisi
rahang seperti cakil).
c. Pemeriksaan nafas (breathing)
Pemeriksaan nafas bertujuan untuk mengetahui apakah korban
bernafas dengan normal atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
mendekatkan telinga dan pipi penolong ke hidung korban dan mata
penolong tertuju pada dada atau perut korban. Lihat pergerakan dada atau
perut saat korban bernafas, dengar suara nafas korban, rasakan hembusan
udara yang keluar dari hidung, dan hitung jumlah hembusan nafas korban
selama 5 detik. Apabila pada pemeriksaan nafas ini diketahui korban tidak
bernafas, berikan nafas buatan dengan cara meniup mulut korban dan
menutup hidungnya setiap 5 detik.
d. Pemeriksaan sistem sirkulasi darah (circulation)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa jantung korban
berfungsi dengan baik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menyentuh
nadi karotis di leher selama 3 5 detik. Jika tidak ada denyut nadi, lakukan
resusitasi jantung paru.
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengetahui cidera yang dialami
korban. pemeriksaan ini berprinsip pada 2 hal, yaitu menyeluruh pada semua
bagian tubuh dan dilakukan secara sistematis dan berurutan. Pemeriksaan
dilakukan dengan penglihatan (inspeksi), perabaan (palpasi), dan pendengaran
(auskultasi). Keberadaan cidera pada korban dapat diketahui melalui adanya
perubahan bentuk (berhubungan dengan cidera otot dan tulang), luka, nyeri,
atau bengkak.
Pemeriksaan fisik melalui urutan sebagai berikut:

pemeriksaan kepala

pemeriksaan mata
Periksa kondisi dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya. Jika pupil
mata kanan dan kiri tidak sama besar atau ukurannya lebar sekali, ada
indikasi korban mengalami gangguan syaraf/syok.

pemeriksaan hidung
Periksa apakah ada darah, cairan bening, atau keduanya di hidung
korban.

jika

ada,

kemungkinan

korban

mengalami

benturan

kepala/gegar otak.
-

pemeriksaan telinga

pemeriksaan mulut

pemeriksaan leher
Periksa apakah ada pelebaran vena atau memar di leher. Jika ada,
kemungkinan korban mengalami cidera spinal bagian tulang leher.

pemeriksaan dada

pemeriksaan perut

pemeriksaan panggul

pemeriksaan tungkai dan kaki


Pemeriksaan
Pemeriksaan

ini

melibatkan

gerakan

gerakan,

dilakukan

sensasi,

dengan

dan

meminta

sirkulasi.
korban

menggerakkan kaki (khusus untuk korban sadar). Jika tidak bisa,


kemungkinan ada cidera di otot tungkai dan kaki. Pemeriksaan sensasi
dilakukan dengan menekan jari kaki tertentu dan menanyakan jari apa
yang sedang ditekan (khusus untuk korban sadar). Jika korban salah
menjawab atau tidak merasakan apa-apa, kemungkinan ada kerusakan
di syaraf. Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara menyentuh
nadi di mata kaki dan di punggung kaki (dilakukan pada korban sadar
maupun tidak sadar). Jika tidak ada denyut nadi, kemungkinan korban
mengalami pendarahan.

Pemeriksaan lengan dan tangan


Pemeriksaan di lengan dan tangan sama dengan pemeriksaan di
tungkai dan kaki, yaitu pemeriksaan yang melibatkan gerakan, sensasi,
dan sirkulasi. Nadi yang diperiksa pada pemeriksaan ini adalah nadi di
pergelangan tangan.

Pemeriksaan punggung
Pemeriksaan punggung biasanya dilakukan teakhir, yaitu saat korban
dipindahkan ke atas tandu atau papan spinal.

4. Pemeriksaan tanda vital


Pemeriksaan tanda vital ini meliputi:

Pemeriksaan pernafasan

Normalnya, manusia dewasa bernafas sebanyak 12 20 kali per


menit. Jika lebih dari 30 kali per menit, kemungkinan korban
mengalami syok.

Pemeriksaan nadi

Pemeriksaan nadi bisa dilakukan di nadi pergelangan tangan,


untuk korban sadar, atau di nadi leher, bagi korban tidak sadar.
Normalnya, denyut nadi manusia adalah 60 90 kali per menit. Jika
lebih dari 150 kali per menit, kemungkinan korban mengalami syok.

Pemeriksaan tekanan darah

Pemeriksaan tekanan darah dilakukan jika tersedia peralatannya.


Normalnya tekanan darah manusia 100 140 mmHg untuk sistol dan
60 90 mmHg untuk diastol. Jika tekanan darah korban 50/35 mmHg
(sistol/diastol), kemungkinan korban akan meninggal dunia.

Pemeriksaan suhu tubuh

Normalnya suhu tubuh manusia 36 37 oC. Jika tidak ada


termometer, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan membandingkan

suhu tubuh korban dengan penolong. Caranya adalah dengan


merasakan/menyentuh dahi korban dan penolong secara bersamaan.

Pemeriksaan warna kulit

5. Penatalaksanaan
Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah pertolongan yang diberikan
pada korban. Pertolongan diberikan berdasarkan prioritas luka yang dialami
korban. Prioritas tersebut meliputi (urutan menunjukkan urutan penanganan):
a. Henti jantung dan nafas, ditolong dengan resusitasi jantung paru
b. Pendarahan, ditolong dengan pengendalian pendarahan
c. Luka bakar, ditolong dengan perawatan khusus luka bakar
d. Patah tulang, dislokasi sendi dan tulang, ditolong dengan immobilisasi dan

fiksasi
e. Tidak sadar, ditolong dengan pemberian rangsangan hingga sadar
6. Pemeriksaan berkala
Pemeriksaan berkala dilakukan setelah penatalaksanaan hingga korban
dirujuk ke instalasi kesehatan. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan respon,
jalan nafas, pernafasan, nadi, keadaan kulit, suhu, penatalaksanaan, dan
menjaga komunikasi (untuk korban sadar). Jika tanda vital normal,
pemeriksaan dilakukan setiap 15 menit. Tapi jika tanda vital tidak normal,
pemeriksaan dilakukan setiap 5 menit.
7. Pelaporan
Pertolongan yang telah diberikan harus dilaporkan ke instalasi kesehatan
yang menerima korban (Didik, 2008).
D. Pemeriksaan penunjang
1. CT scan
Peranan CT scan sebagai modalitas pilihan dalam diagnosa trauma kepala
karena memiliki keunggulan :
a. Pemeriksaan yang cepat dan mudah

b. Tidak invasif
c. Dapat mengidentifikasi dan melokalisasi adanya fraktur dan fragmennya
pada tulang kepala
d. Dapat menunjukkan adanya perdarahan ekstrakranial dan menghitung
volumenya
e. Dapat menunjukkan kelainan intrakranial
f. Infark akut,oedema cerebri, cerebral contusion
g. Perdarahan intrakranial : SDH, EDH, SAH
Beberapa gambaran CT scan pada trauma kepala intrakranial
a. Fraktur
b. Epidural hematom
c. Subdural hematom
d. Subarachnoid hemmorage
2. Rontgen thorax
Indikasi pemeriksaan thorax sangat banyak antara lain:
a. Bronchopneumonia
b. TB paru
c. Bronkhitis
d. Atelektasis
e. Trauma
f. Tumor/massa
Posisi AP :
Posisi ini dilakukan biasanya untuk pasien yang tidak dapat berdiri atau dalam
keadaan darurat. Pasien berdiri dengan posisi true AP dengan bagian
punggung menempel kaset (pasien tidur diatas meja pemeriksaan atau berada
di tempat tidur). Kaset diletakkan setinggi 3 jari dari pundak. Tangan
diletakkan di pinggang dengan posisi Os Manus PA kemudian siku diarahkan
ke depan agar Os Scapula terlempar keluar. Batas luas lapangan penyinaran

atas pada Vert. Cervicalis dan samping pinggir dada kanan dan kiri. Saat
exposi pasien dalam keadaan Full Inspirasi.
3. Rontgen cervical
Cervical foto series dilakukan atas indikasi pasien dengan keluhan nyeri
lokal, deformitas, krepitasi atau edema, perubahan status mental, gangguan
neurologis atau cedera kepala, pasien denganmultiple trauma yang potensial
terjadi cervical spine injury. Komplit cervical spine seri terdiri dari AP, lateral
view, open mount dan oblique. Swimmer dan fleksi ekstensi dilakukan bila
diperlukan.
4. Rontgen pelvis
Pemeriksaan rontgen pelvis dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan di rongga pelvis. Posisi AP : Pasien tidur diatas meja pemeriksaan
dengan posisi tubuh true AP. Lengan tangan diposisikan sejajar dengan kepala,
kaki di extensikan sejajar dengan tubuh, sehingga Pelvis tidak berotasi agar
tulang paha, Upper Femora dan sendi panggul serta Trochanter terlihat dengan
jelas. Marker ditempelkan pada ujung kaset.
5. Rontgen os cruris
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan di regio cruris.
Posisi AP : Pasien tidur diatas meja pemeriksaan posisi Supine, kepala
diganjal dengan bantal dan kedua tangan lurus disamping tubuh. Tungkai kaki
yang diperiksa diletakkan diatas kaset, tepat ditengah kaset posisi true AP,
marker ditempelkan pada ujung kaset. Posisi Lateral : Pasien tidur diatas
meja pemeriksaan posisi Supine, kepala miring ke kanan atau ke kiri diganjal
dengan bantal dan kedua tangan berimpit didepan dada, tungkai kaki yang
diperiksa diletakkan diatas kaset dalam posisi true Lateral. Tumgkai kaki yang
lain disilangkan ke depan tungkai kaki yang akan diperiksa, marker
ditempelkan pada ujung kaset.
3. ET

Ventilasi melalui pipa endotrakeal merupakan cara yang sangat efektif .


Jalan nafas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih
terjamin. Kemungkinan aspirasi cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara
pernafasan juga menjadi mudah dikendalikan dan penggunaan Positive End
Expiratory Pressure (PEEP) dapat dilakukan dengan mengatur katup
ekspirasi.
a. Indikasi pemasangan ET
1. Proteksi jalan nafas : Hilangnya refleks pernafasan ( cedera
cerebrovascular, kelebihan dosis obat), Obstruksi jalan nafas besar
( epiglotitis, corpus alienum, paralisis pita suara), perdarahan
faring ( luka tusuk, luka tembak pada leher), tindakan profilaksis
( pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke rumah sakit lain
atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas
dalam proses transportasi pasien)
2. Optimalisasi jalan nafas : saluran untuk pelaksanaan pulmanary
toilet darurat (sebagai contoh : penghisapan atau bronchoscopy
untuk aspirasi akut atau pun trakheitis bakterialis berat), tindakan
untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang tinggi pada
jalan nafas ( respiratory distress syndrome pada orang dewasa dan
penyakit membran hyalin) (Dibutuhkan tekanan inspirasi yang
tinggi atau PEEP)
3. Ventilasi mekanik pada kegagalan respirasi yang dikarenakan :
Pulmonar, Penyakit jantung atau edema pulmoner, Neurologi ,
Mekanik , Hiperventilasi therapeutik untuk pasien pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
b. Teknik intubasi ET
Intubasi endotrakea merupakan tindakan penyelamatan dan dapat
dilakukan tanpa atau dengan analgesia topikal dengan xylocain 10%.
Posisi pasien tidur telentang, leher fleksi sedikit dan kepala ekstensi.

Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,


dimasukkan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong ke
kiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu
laringoskop diangkat ke atas sehingga pita suara terlihat. Endotrakea
dimasukkan melalui mulut di antara celah kedua pita suara ke dalam
trakea. Pipa endotrakea dapat juga dimasukkan melalui lubang hidung
sampai rongga mulut dan dimasukkan ke dalam celah antara kedua pita
suara sampai trakea. Kemudian balon diisi dengan udara dan pipa
endotrakea difiksasi dengan baik (Hadiwikarta et al., 2007)
D. Terapi Oksigen
1. Definisi
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru
melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. (Standar
Pelayanan Keperawatan di ICU, Dep.Kes. RI, 2005)
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih
tinggi dari yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut
konsentrasi oksigen dalam ruangan adalah 21 %, (Brunner & Suddarth,2001)
Sejalan dengan hal tersebut diatas menurut Titin, 2007, Terapi oksigen adalah
suatu tindakan untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen pada inspirasi, yang
dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2 (Orthobarik )
b. Meningkatkan tekanan oksigen (Hiperbarik)
2. Tujuan/ kegunaan
a.

Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke


jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob

b.

Mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90 % untuk :


-

Mencegah

dan

mengatasi

hipoksemia

mmempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.

hipoksia

serta

Menurunkan kerja nafas dan miokard.

Menilai fungsi pertukaran gas

Alat

Aliran (L/menit)

Fi

O2 (fraksi

inspirasi)

0,24

0,28

Kanula

0,32

nasal

0,36

0,40

6
5-6

0,44
0,40

6-7

0,50

7-8
6

0,60
0,60

0,70

0,80

0,80

10

0,80

Masker
oksigen
Masker
dengan
kantong
reservoir

oksigen

3. Indikasi
a. Pasien hipoksia
Hipoksia hipoksik merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit
sistim pernafasan lainnya.
Gejala dan tanda hipoksia hipoksik:
1. Pengaruh penurunan tekanan barometer

Penurunan PCO2 darah arteri yang terjadi akan menimbulkan alkalosis


respiratorik.
2. Gejala hipoksia saat bernafas oksigen
Di ketinggian 19.200 m, tekanan barometer adalah 47 mmHg, dan pada
atau lebih rendah dari tekanan ini cairan tubuh akan mendidih pada suhu
tubuh. Setiap orang yang terpajan pada tekanan yang rendah akan lebih
dahulu meninggal saat hipoksia, sebelum gelembung uap air panas dari
dalam tubuh menimbulkankematian.
3. Gejala hipoksia saat bernafas udara biasa
Gejala mental seperti irritabilitas, muncul pada ketinggian sekitar 3700
m. Pada ketinggian 5500 m, gejala hipoksia berat, dan diatas 6100 m,
umumnya seseorang hilang kesadaran.
4. Efek lambat akibat ketinggian
Keadaan ini ditandai dengan sakit kepala, iritabilias, insomnia, sesak
nafas, serta mual dan muntah.
5. Aklimatisasi
Respon awal pernafasan terhadap ketinggian relatif ringan, karena
alkalosis

cenderung

melawanefek

perangsangan

oleh

hipoksia.

Timbulnya asidosis laktat dalam otak akan menyebabkan penurunan pH


LCSdan meningkatkan respon terhadap hipoksia.
b. Oksigenasi kurang sedangkan paru normal
c. Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
d. Oksigenasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal.
e. Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
f. Pasien dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah.
Kriteria pemberian terapi oksigen tersebut dapat dilakukan dengan beberapa
cara dibawah ini.

1. Pemberian oksigen secara berkesinambungan (terus menerus), Diberikan


apabila hasil analisis gas darah pada saat istirahat, didapat nilai:

PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi kurang dari


88%.

PaO2 antara 56-59 mmHg atau saturasi 89% disertai kor pulmonale,
polisitemia (hematokrit >56%).

2. Pemberian secara berselang


Diberikan apabila hasil analisis gas darah saat latihan didapat nilai:

Pada saat latihan PaO2 55 mmHg atau saturasi 88%


Pada saat tidur PaO255 mmHg atau saturasi 88% disertai komplikasi
seperti hipertensi pulmoner.somnolen dan aritmia.

Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapat terapi oksigen perlu
dievaluasi gas darah (AGD) serta terapi untuk menentukan perlu tidaknya terapi
oksigen jangka panjang.
4. Kontra indikasi
Tidak ada kontra indikasi absolut :
a. Kanul nasal / Kateter binasal / nasal prong : jika ada obstruksi nasal.
b. Kateter nasofaringeal / kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak
kepala, trauma maksilofasial, dan obstruksi nasal.
c. Sungkup muka dengan kantong rebreathing : pada pasien dengan
PaCO2 tinggi, akan lebih meningkatkan kadar PaCO2 nya lagi.
5. Resiko Terapi Oksigen
Salah satu resiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen. Hal ini
dapat terjadi bila oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50% terusmenerus selama 1-2 hari. Kerusakan jaringan paru terjadi akibat
terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel PMN dan H 2O2

melepaskan enzim proteolotikdan enzim lisosom yang dapat merusak


alveoli. Sedangkan resiko yang lain seperti retensi gas karbondioksida dan
atelektasis.
Oksigen 100% menimbulkan efek toksik, tidak saja pada hewan,
namun juga pada bakteri, jamur, biakan sel hewam dan tanaman. Apabila O 2
80-100% diberikan kepada manusia selama 8 jam atau lebih, saluran
pernafasan akan teriritasi, menimbulkan distres substernal, kongesti hidung,
nyeri tenggorokan dan batuk. Pemajanan selama 24-48 jam mengakibatkan
kerusakan jaringan paru.

BAB III
LAPORAN KASUS
A. Kasus 1
1. Identitas Pasien

Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Status
Pekerjaan
Alamat

:
:
:
:
:
:
:

Dy
14 tahun
Laki-laki
Islam
Belum menikah
Pelajar
Pengkol RT/RW 06/01 Pengkol Tambakrejo Bojonegoro

No. RM
Masuk RS

Jawa Timur
: 01-26-29-89
: 22 Juli 2014

2. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
10 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai sepeda motor
tanpa mengenakan helm dan menabrak pohon. Posisi jatuh tidak diketahui.
Setelah berjalan pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak didapati
muntah dan kejang. Oleh penolong dibawa ke RS terdekat. Di rumah sakit
tersebut pasien diinfus dan diinjeksi obat-obatan. Kemudian pasien dirujuk
ke RSDM fraktur kompresi os temporalis sinistra.
4. Primary Survey
Airway
: Bersih
Breathing
Inspeksi

:
:Nafas spontan, pengembangan dada kanan dan kiri sama,

tidak didapati adanya jejas di thorax


Palpasi
: Fremitus kanan kiri sama
Perkusi
: Sonor / sonor
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan (-/-)
Cardiovaskuler: Akral hangat, tekanan darah 112/66, heart rate 110x
Disability
: GCS E1V3M5, pupil anisokor 3mm/5mm, lateralisasi (-)
Exposure
: Temperature 37 C, jejas (-)
5. Secondary Survey
Kepala
: vulnus ekskoriasis ukuran 5x4 cm
Mata
: brill hematom (+/+), pupil anisokor 3mm/5mm
Hidung
: rinnorhea (+), hallo sign (+)
Telinga
: ottorhea (+), hallo sign (+)

Mulut
Leher
Thorax
Abdomen
Extrimitas

: gigi tanggal
: pasang collar brace
: tak ada kelainan
: tak ada kelainan
: tak ada kelainan

6. Assesment
- COB GCS E2V3M5
- SDH regio temporobasal sinistra
- Oedem cerebi
- Fracture basis cranii media externa
- Close fracture linier os frontalis sinistra
7. Plan
- O2 5 lpm
- IVFD NaCl 0,9% 2000 cc/24 jam
- Injeksi ceftriaxon 1 gram/12 jam
- Injeksi ranitidin 50 gram/12 jam
- Metronidazol 1g/ 8 jam
- Piracetam 3g/ 8 jam
8. Hasil Radiologi

B. Kasus 2
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Status
Pekerjaan
Alamat
No. RM
Masuk RS

:
:
:
:
:
:
:

Vk
19 tahun
Laki-laki
Islam
Belum menikah
Pelajar
Jajar RT/RW 03/01 Sendang Karanggede Boyolali Jawa

Tengah
: 01-26-32-42
: 24 Juli 2014

2. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Kecelakaan terjadi 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat kecelakaan
mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm standar. Pasien jatuh
sendiri tanpa sebab yang tidak diketahui. Tidak didapati adanya muntah,
kejang, pingsan (+). Pasien dibawa ke rumah sakit Assalam diinfus, dan
diberi obat-obatan kemudian pasien dirujuk ke RSDM dengan diagnosis
CKB.
4. Primary Survey
Airway
: Bersih
Breathing
:
Inspeksi
:Nafas spontan, pengembangan dada kanan dan kiri sama,
tidak didapati adanya jejas di thorax
Palpasi
: Fremitus kanan kiri sama
Perkusi
: Sonor / sonor
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan (-/-)
Cardiovaskuler: Akral hangat, tekanan darah 130/80, heart rate 96x
Disability
: GCS E1V2M4, pupil isokor 3mm/3mm, lateralisasi (-)
Exposure
: Temperature 36,4 C, jejas (-)
5. Secondary Survey
Kepala
: Jejas (+)
Mata
: Tak ada kelainan
Hidung
: Tak ada kelainan
Telinga
: Tak ada kelainan
Mulut
: vulnus apertura (+)
Leher
: pasang collar brace
Thorax
: Tak ada kelainan
Abdomen
: Tak ada kelainan
Extrimitas
: Jejas (+)
Status Lokalis :
a. Regio frontal
: Oedem (+), vulnus ekskoriasis ukuran 8x6 cm
b. Regio infraclavicula dextra : Oedem (+),vulnus ekskoriasis ukuran
6x4 cm
c. Regio clavicula sinistra

: swelling (+), skin intact, deformitas

(-), neurovaskuler disorder (-), ROM elbow


koint

dan

keterbatasan

shoulder

joint

tak

mengalami

d. Regio humerus sinistra : vulnus laserasi (+), fat globul (+),


deformitas

(+),

swelling

(+),

exorotasi,

neurovaskuler disorder (-), diskontinuitas pada


humerus 1/3 tengah, ROM elbow (-)
e. regio antebrachii : Swelling (+)
6. Assesment
- COB GCS E1V2M5
- Open fracture humerus sinistra 1/3 tengah
- Open fracture clavicula sinistra 1/3 tengah
- Suspect brachial plexus injury complete type
7. Plan
- IVFD NaCl 0,9% 2100 cc/24 jam
- Injeksi ceftriaxon 1 gram
- Injeksi ranitidin 50 gram/12 jam
8. Hasil Radiologi

BAB IV

PEMBAHASAN
A. Kasus 1

Kasus pertama adalah kasus pasien Dy usia 14 tahun jenis kelamin laki-laki,
seorang pelajar SMP yang mengalami kecelakaan sepeda motor. Saat kejadian pasien
tidak mengenakan helm standart, dan pasien menabrak pohon sehingga terjadi trauma
di bagian kepala dan memar di sebagian tubuh. Beberapa saat setelah kejadian
berlangsung pasien mengalami penurunan kesadaran, kemudian dilarikan ke rumah
sakit terdekat. Di rumah sakit tersebut pasien diberikan infus dan obat-obatan yang
tidak dapat disebutkan oleh pengantar pasien saat membawa pasien ke RSDM. Saat
pasien tiba di RSDM, pasien mangalami gaduh dan gelisah.
Saat pasien masuk ke bagian rhesus RSDM, pasien dicek jalan napasnya, dan
tidak didapati adanya sumbatan yang menghalangi jalan napas seperti cairan atau
corpus alineum. Dari hasil pemeriksaan pasien, pasien daat bernapas spontan dengan
tidak didapati adanya gangguan atau kesulitan bernapas, saturasi oksigen saat itu
adalah 95%. Sirkulasi darah pasien baik, ditandai dengan terabanya nadi sebesar 110x
per menit. GCS pasien adalah 10 yang dikatagorikan sebagai cedera otak sedang.
Dari hasil secondary survey yang didapatkan dari pasien adalah terdapat
adanya vulnus ekskoriasis di bagian kepala akibat trauma di sebelah samping kanan
atas dengan ukuran 5x4 cm, didapati pula adanya brill hematom di kedua mata, dan
pupil anisokor, ottorhea dan rinnorhea positif, hallo sign dari kedua cairan tersebut
juga positif, hal tersebut mengarah ke fraktur basis craniii. Kecurigaan fraktur basis
cranii ditandai dengan adanya halo test + yang merupakan tanda adanya LCS (Liquor
Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain itu juga terdapat perdarahan dari telinga,
dan hidung. Perdarahan dari telinga, kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii
fossa media, dan perdarahan dari hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior.
Oedema periorbita dextra et sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii.
Di dalam ruang rhesus RSDM, pasien diberikan terapi oksigen dengan
menggunakan canul nasal 3 liter per menit. Pasien juga diberikan lanjutan terapi
cairan kristaloid NaCl 0,9%. Selain itu pasien juga diberikan midazolam dengan dosis
0,5 mg/kg BB secara IV. Midazolam merupakan salah satu obat dari golongan
benzodiazepin yang memiliki massa kerja yang pendek. Midazolam sering digunakan

sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi dan induksi anesthesia.
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin
imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat.
Efek amnesia pada obat ini lebih kuat dibanding efek sedasi sehingga pasien dapat
terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama
beberapa jam. Awitan aksi midazolam yang diberikan secara IV adalah 30-60 detik,
dengan efek puncak terjadi 3-5 menit setelah pemberian, lama aksi obat ini
berlangsung 15-80 menit.
Pasien kemudian menjalani pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan CT
scan kepala, foto rontgen, dan hasil pemeriksaan darah. Dari hasil MSCT pada
tanggal 22 Juli 2014, tampak adanya lesi hiperdens di regio frontotemporal kiri, yang
merupakan gambaran subdural hematom. Gambaran sulci yang menyempit dangkal
dan gyri yang menebal menunjukkan adanya edema cerebri. Selain itu tampak adanya
fraktur di frontotemporal kiri dan pada basis cranii. Dari hasil foto CT juga
menunjukkan adanya lesi berdensitas darah di dalanm cavum maxillaris kiri. Dari
hasil pemeriksaan foto rontgen thorax dan cervical AP lateral tidak didapati adanya
fraktur atau deformitas tulang. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapati
adanya penurunan hemoglobin yang turun menjadi 5,1 g/dl (N = 14,0-17,5 g.dl),
trombosit 132.000/ul (N = 150.000-450.000/ul), eritrosit sebesar 1,83 juta/ul (N =
3,80-5,80 juta/ul), dan hematokrit 15 % (N = 33-45%).
A. Kasus 2
Pasien kasus kedua adalah pasien Vk berusia 19 tahun bejenis kelamin lakilaki datang ke RSDM pada tanggal 24 Juli 2014 dengan keluhan penurunan
kesadaran yang diakibatkan oleh kecelakaan seperda motor 4 jam sebelum masuk
rumah sakit. Menurut orang yang mengantar, saat kecelakaan pasien tidak
mengenakan helm standart. Kemudian pasien dibawa ke RS Assalam selanjutnya
diberikan terapi cairan infus dan obat-obatan.

Saat pasien masuk ke bagian rhesus RSDM, pasien dicek jalan napasnya, dan
tidak didapati adanya sumbatan yang menghalangi jalan napas seperti cairan atau
corpus alineum. Dari hasil pemeriksaan pasien, pasien daat bernapas spontan dengan
tidak didapati adanya gangguan atau kesulitan bernapas, saturasi oksigen saat itu
adalah 98%. Sirkulasi darah pasien baik, ditandai dengan terabanya nadi sebesar 96x
per menit. GCS pasien adalah 7 yang dikatagorikan sebagai cedera otak berat.
Dari hasil secondary survey yang didapatkan dari pasien adalah terdapat
adanya vulnus ekskoriasis di bagian kepala regio frontal dengan ukuran 8x6 cm
disertai oedem. Selain itu terdapat oedem dan vulnus ekskoriasis dengan ukuran 6x4
cm di regio infraclavicula sinistra.

Pada regio humerus sinistra terdapat open

fracture, disertai vulnus laserasi, fat globule, swelling, dan diskontinuitas pada regio
1/3 tengah os humeri sinistra.
Saat pasien datang ke RSDM, sudah terpasang terapi cairan NaCl 0,9%, bebat
yang terpasang di regio brachii sinistra, dan collar brace. Pasien kemudian dipasang
oropharyngeal airway. Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan dan foto
thorax. Kemudian pasien kembali ke ruangan rhesus, untuk selanjutnya pasien akan
dipasang ET.
Dari hasil pemeriksaan CT scan kepala didapati adanya lesi hiperdens di
thalamus kanan. Selain itu didapati adanya lesi berdensitas darah di sinus maxillaris
kanan. Dari gambaran CT scan terlihat adanya fraktur di os nasal. Dari hasil foto
rontgen regio brachii didapati adanya fraktur di 1/3 tengah os humerus sinistra. Dari
hasil pemeriksaan lab darah menunjukkan peningkatan leukosit 21,7 ribu/ul (N = 4,514,5 ribu/ul) dan peningkatan glukosa darah sewaktu menjadi 152 mg/dl (N = 60-140
mg/dl).

BAB V
SIMPULAN
1.

Kasus pertama dengan pasien Dy usia 14 tahun datang dengan cedera otak
sedang (GCS 9) di ruang rhesus jaga aspek airway, breathing, circulation, dan
disabilty. Kemudian untuk mengurangi gaduh gelisah pada pasien diberikan

midazolam secara IV. Untuk selanjutnya pasien diserahkan ke bagian anak


RSDM.
2.

Kasus kedua adalah pasien Vk usia 19 tahun dengan cedera otak berat (GCS 7)
di ruang rhesus jaga aspek airway, breathing, circulation, dan disabilty.
Kemudian dilakukan pemasangan oropharingeal airway, untuk selanjutnya
digantikan dengan pemasangan endotracheal tube. Untuk selanjutnya pasien
diserahkan ke bagian bedah RSDM.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1,
edisi 4. 2000. Jakarta: EGC.
Anonim (2012). Primary Trama Care.
http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdftraum
a (diakses 28 Juli 2014).

Anonim. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/4/Chapter%20II.pdf
(diakses 28 Juli 2014).
American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support. United States
of America: First Impression.
Bartholomeusz L(2003). Safe Anaesthesia. Hal 408-413
Bradley PJ (1997).Management of the obstructed airway and tracheostomy. In: Kerr
AG, editor. Scott-Browns Otolaryngology,6 th ed. London: Butterworth; p.5/7/714
Brandler
ES
(2010).
Cardiogenic
shock
in
emergency
medicine
http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment. Diakses Mei 2012

Carpenito LJ (2007). Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.


Contant CF, Valadka AB, Shankar MD (2001). Adult respiratory distress syndrome: a
complication of induced hypertension after severe head injury. Journal of
Neurosurgery. 95(2): 560568.
De Jong W. 2002. Buku Ajar Ilmu Bedah Cetakan 1 : Jakarta EGC.
Dechred

ME,

Bailey

BJ.

1999.

Cerebrospinal

Fluid

Leaks.

http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/CSF-Leaks-9905/CSF-Leaks-9905.pdf

Didik (2008). Pertolongan Pertama pada Korban Trauma. Available from :


http://www.arismaduta.org/index.php?option=com_content&view Diakses 05
Mei 2012.
Doegoes LM (2009). Perencanaan Keperawatan dan Dokumentasian Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Dorland, WAN. (2002) . Kamus Kedokteran, EGC, Jakarta.
Fahmi R. 2010. Cedera Kepala. http://community.um.ac.id/archive/index.php/t55154.html

Hadiwikarta A, Rusmarjono, dan Efiaty AS (2007). Penanggulangan sumbatan laring.


Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Halimudin. 2007. Terapi Diuretik Osmotik (Manitol) pada Gangguan Sistem
Persarafan.
http://www.nardinurses.files.wordpress.com/2007/12/terapidiurutik-osmotik.doc
Hudak CM (2009). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Krausz (2006). Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of
Emergency Surgery. Hal: 1-14
Malik G.M. 2006. Penanganan Rahang Patah.
http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=41278

Prasetiyono A (2005). Penanganan

fraktur

arkus

dan

kompleks

zigomatikus.

Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. 1(3): 41-50.


Purwadianto A. Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi Pedoman
Penatalaksanaan Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara, pp: 47-49. )\
Pusponegoro AD (2007) . Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Setyono, H. 2011. Kuliah Penatalaksanaan Trauma Kepala. Surakarta : FKUNS.
Sjamsuhidajat R, Jong WD (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. EGC Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai