Presentasi Kasus Anestesi
Presentasi Kasus Anestesi
Oleh:
G99141013
Pembimbing:
nyeri dan memberikan bantuan hidup. Anestesi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasari berbeagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan
keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri
menyeluruh.
Time saving is life saving merupakan dasar dari tindakan pada menit-menit
pertama yang dapat menentukan hidup atau mati penderita. Basic Life Support
merupakan tindakan-tindakan segera yang dilakukan untuk mencegah proses menuju
kematian. Sirkulasi yag terhenti 3-5 menit dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen, pada korban yg pernah mengalamai hipoksemia waktunya menjadi lebih
sempit sehingga butuh penanganan segera.
Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala
sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita hindari pada
kejadian trauma kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani dengan segera
maka dapat muncul manifestasi dari cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu
dilakukan primary survey berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary
survey, dan secondary survey.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trauma Kepala
arachnoid
dan
piamater.Cairan
serebrospinal
(liquor
serebral
merupakan
kemampuan
otak
untuk
bergantung kepada bagian mana dari otak yang terkena trauma. Autoregulasi serebral
merupakan kemampuan otak untuk mempertahankan aliran darah yang tetap walupun
terdapat perubahan tekanan perfusi serebral (Setyono, 2011).
Berdasarkan derajat kesadarannya, cedera kepala diklasifikasikan menjadi :
1. Cedera kepala ringan
a. GCS 13-15
b. Pingsan 10 menit
c. Tidak ada deficit neurology
d. Gambaran scanning otak normal
2. Cedera kepala sedang
a. GCS 9-12
b. Pingsan 10 menit sampai dengan 6 jam
c. Terdapat deficit neurology
d. Gambaran scanning otak abnormal
3. Cedera kepala berat
a. GCS 3-8
b. Pingsan 6 jam
c. Terjadi deficit neurology
d. Gambaran scanning otak abnormal (Setyono, 2011).
Trauma difus pada otak (disebut juga diffuse axonal injury) disebabkan
karena gaya lembam akibat akselerasi atau deselerasi yang terjadi pada
kepala. Terdapat beberapa jenis akibat dari trauma kepala, yaitu:
a. Hematoma Epidural
Frekuensinya adalah 1% dari trauma pada kepala, dan 10% dari pasien
yang mengalami koma akibat trauma.Sering terjadi pada bagian temporal,
disebabkan oleh perdarahan arteri meningea media. Sering terjadi talk and
die phenomene, dimana pasien sadar kemudian diikuti oleh koma yang
dalam.
b. Hematoma Subdural
dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum
dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan
batas usia 21-30 tahun. Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal
menjadi masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat
permanen yang dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi
yang dilakukan, 72 % kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak
disebabkan kecelakaan lalu lintas.
3. Epidemiologi
Penyebab
DEWASA
Kecelakaan lalu lintas
Penganiyaan/berkelahi
Olahraga
Jatuh
Lain-lain
Anak-anak
Kecelakaan lalu lintas
Penganiyaan/berkelahi
Olahraga
Jatuh
Presentase (%)
40-45
10-15
5-10
5
5-10
10-15
5-10
50-65
5-10
4. Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
1. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh
karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat
ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
Jika berdasarkan perluasan tulang yang terlibat, fraktur ini dibagi
menjadi lengkap dan tidak lengkap. Fraktur ini disebut lengkap apabila
fraktur mencakup seluruh tulang. Fraktur ini juga dibagi menjadi tidak
lengkap,
seperti
pada
greenstick.
Jika
diklasifikasi
berdasarkan
septum
nasi,
fraktur
kesulitan jika pasien datang terlambat atau kerusakan sangat hebat yang
disertai dengan fraktur servikal atau terdapatnya kelainan pada kepala
yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan
dilakukan fiksasi.
Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulangtulang wajah yang adalah hal klasik terjadi pada trauma-trauma pada
wajah.
C. Penanganan Trauma
Penanganan korban trauma sedikit berbeda dengan dengan penanganan
korban medis. Pemberian pertolongan pada korban trauma memerlukan
pemeriksaan seluruh bagian tubuh. pemberian pertolongan juga harus ekstra hatihati apabila ada indikasi korban mengalami cidera tulang spinal, yaitu cidera
tulang belakang mulai dari tulang leher hingga tulang ekor. Cidera pada tulang
spinal merupakan cidera yang paling sensitif. Jika penanganannya salah, korban
bisa meninggal dunia.
Pada dasarnya penanganan korban trauma mengikut langkah-langkah berikut ini:
1. Penilaian keadaan
Penilaian keadaan merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan jika
menemui korban yang memerlukan bantuan. Hal yang harus dinilai pertama
kali adalah masalah lingkungan, apakah lingkungan aman untuk memberikan
pertolongan atau tidak. Jika tidak, korban bisa dipindahkan ke tempat yang
aman, tentu saja dengan syarat pemindahan tersebut memungkinkan dan tidak
membahayakan korban. Jika korban terindikasi mengalami cidera spinal,
sebaiknya pemindahan dilakukan oleh orang yang sudah berpengalaman dan
dengan peralatan yang sesuai karena cidera spinal membutuhkan penanganan
yang sangat hati-hati.
Setelah
lingkungan
dirasa
aman,
langkah
selanjutnya
adalah
pemeriksaan kepala
pemeriksaan mata
Periksa kondisi dan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya. Jika pupil
mata kanan dan kiri tidak sama besar atau ukurannya lebar sekali, ada
indikasi korban mengalami gangguan syaraf/syok.
pemeriksaan hidung
Periksa apakah ada darah, cairan bening, atau keduanya di hidung
korban.
jika
ada,
kemungkinan
korban
mengalami
benturan
kepala/gegar otak.
-
pemeriksaan telinga
pemeriksaan mulut
pemeriksaan leher
Periksa apakah ada pelebaran vena atau memar di leher. Jika ada,
kemungkinan korban mengalami cidera spinal bagian tulang leher.
pemeriksaan dada
pemeriksaan perut
pemeriksaan panggul
ini
melibatkan
gerakan
gerakan,
dilakukan
sensasi,
dengan
dan
meminta
sirkulasi.
korban
Pemeriksaan punggung
Pemeriksaan punggung biasanya dilakukan teakhir, yaitu saat korban
dipindahkan ke atas tandu atau papan spinal.
Pemeriksaan pernafasan
Pemeriksaan nadi
5. Penatalaksanaan
Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah pertolongan yang diberikan
pada korban. Pertolongan diberikan berdasarkan prioritas luka yang dialami
korban. Prioritas tersebut meliputi (urutan menunjukkan urutan penanganan):
a. Henti jantung dan nafas, ditolong dengan resusitasi jantung paru
b. Pendarahan, ditolong dengan pengendalian pendarahan
c. Luka bakar, ditolong dengan perawatan khusus luka bakar
d. Patah tulang, dislokasi sendi dan tulang, ditolong dengan immobilisasi dan
fiksasi
e. Tidak sadar, ditolong dengan pemberian rangsangan hingga sadar
6. Pemeriksaan berkala
Pemeriksaan berkala dilakukan setelah penatalaksanaan hingga korban
dirujuk ke instalasi kesehatan. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan respon,
jalan nafas, pernafasan, nadi, keadaan kulit, suhu, penatalaksanaan, dan
menjaga komunikasi (untuk korban sadar). Jika tanda vital normal,
pemeriksaan dilakukan setiap 15 menit. Tapi jika tanda vital tidak normal,
pemeriksaan dilakukan setiap 5 menit.
7. Pelaporan
Pertolongan yang telah diberikan harus dilaporkan ke instalasi kesehatan
yang menerima korban (Didik, 2008).
D. Pemeriksaan penunjang
1. CT scan
Peranan CT scan sebagai modalitas pilihan dalam diagnosa trauma kepala
karena memiliki keunggulan :
a. Pemeriksaan yang cepat dan mudah
b. Tidak invasif
c. Dapat mengidentifikasi dan melokalisasi adanya fraktur dan fragmennya
pada tulang kepala
d. Dapat menunjukkan adanya perdarahan ekstrakranial dan menghitung
volumenya
e. Dapat menunjukkan kelainan intrakranial
f. Infark akut,oedema cerebri, cerebral contusion
g. Perdarahan intrakranial : SDH, EDH, SAH
Beberapa gambaran CT scan pada trauma kepala intrakranial
a. Fraktur
b. Epidural hematom
c. Subdural hematom
d. Subarachnoid hemmorage
2. Rontgen thorax
Indikasi pemeriksaan thorax sangat banyak antara lain:
a. Bronchopneumonia
b. TB paru
c. Bronkhitis
d. Atelektasis
e. Trauma
f. Tumor/massa
Posisi AP :
Posisi ini dilakukan biasanya untuk pasien yang tidak dapat berdiri atau dalam
keadaan darurat. Pasien berdiri dengan posisi true AP dengan bagian
punggung menempel kaset (pasien tidur diatas meja pemeriksaan atau berada
di tempat tidur). Kaset diletakkan setinggi 3 jari dari pundak. Tangan
diletakkan di pinggang dengan posisi Os Manus PA kemudian siku diarahkan
ke depan agar Os Scapula terlempar keluar. Batas luas lapangan penyinaran
atas pada Vert. Cervicalis dan samping pinggir dada kanan dan kiri. Saat
exposi pasien dalam keadaan Full Inspirasi.
3. Rontgen cervical
Cervical foto series dilakukan atas indikasi pasien dengan keluhan nyeri
lokal, deformitas, krepitasi atau edema, perubahan status mental, gangguan
neurologis atau cedera kepala, pasien denganmultiple trauma yang potensial
terjadi cervical spine injury. Komplit cervical spine seri terdiri dari AP, lateral
view, open mount dan oblique. Swimmer dan fleksi ekstensi dilakukan bila
diperlukan.
4. Rontgen pelvis
Pemeriksaan rontgen pelvis dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan di rongga pelvis. Posisi AP : Pasien tidur diatas meja pemeriksaan
dengan posisi tubuh true AP. Lengan tangan diposisikan sejajar dengan kepala,
kaki di extensikan sejajar dengan tubuh, sehingga Pelvis tidak berotasi agar
tulang paha, Upper Femora dan sendi panggul serta Trochanter terlihat dengan
jelas. Marker ditempelkan pada ujung kaset.
5. Rontgen os cruris
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan di regio cruris.
Posisi AP : Pasien tidur diatas meja pemeriksaan posisi Supine, kepala
diganjal dengan bantal dan kedua tangan lurus disamping tubuh. Tungkai kaki
yang diperiksa diletakkan diatas kaset, tepat ditengah kaset posisi true AP,
marker ditempelkan pada ujung kaset. Posisi Lateral : Pasien tidur diatas
meja pemeriksaan posisi Supine, kepala miring ke kanan atau ke kiri diganjal
dengan bantal dan kedua tangan berimpit didepan dada, tungkai kaki yang
diperiksa diletakkan diatas kaset dalam posisi true Lateral. Tumgkai kaki yang
lain disilangkan ke depan tungkai kaki yang akan diperiksa, marker
ditempelkan pada ujung kaset.
3. ET
b.
Mencegah
dan
mengatasi
hipoksemia
hipoksia
serta
Alat
Aliran (L/menit)
Fi
O2 (fraksi
inspirasi)
0,24
0,28
Kanula
0,32
nasal
0,36
0,40
6
5-6
0,44
0,40
6-7
0,50
7-8
6
0,60
0,60
0,70
0,80
0,80
10
0,80
Masker
oksigen
Masker
dengan
kantong
reservoir
oksigen
3. Indikasi
a. Pasien hipoksia
Hipoksia hipoksik merupakan masalah pada individu normal pada daerah
ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit
sistim pernafasan lainnya.
Gejala dan tanda hipoksia hipoksik:
1. Pengaruh penurunan tekanan barometer
cenderung
melawanefek
perangsangan
oleh
hipoksia.
PaO2 antara 56-59 mmHg atau saturasi 89% disertai kor pulmonale,
polisitemia (hematokrit >56%).
Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapat terapi oksigen perlu
dievaluasi gas darah (AGD) serta terapi untuk menentukan perlu tidaknya terapi
oksigen jangka panjang.
4. Kontra indikasi
Tidak ada kontra indikasi absolut :
a. Kanul nasal / Kateter binasal / nasal prong : jika ada obstruksi nasal.
b. Kateter nasofaringeal / kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak
kepala, trauma maksilofasial, dan obstruksi nasal.
c. Sungkup muka dengan kantong rebreathing : pada pasien dengan
PaCO2 tinggi, akan lebih meningkatkan kadar PaCO2 nya lagi.
5. Resiko Terapi Oksigen
Salah satu resiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen. Hal ini
dapat terjadi bila oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50% terusmenerus selama 1-2 hari. Kerusakan jaringan paru terjadi akibat
terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel PMN dan H 2O2
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Kasus 1
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Status
Pekerjaan
Alamat
:
:
:
:
:
:
:
Dy
14 tahun
Laki-laki
Islam
Belum menikah
Pelajar
Pengkol RT/RW 06/01 Pengkol Tambakrejo Bojonegoro
No. RM
Masuk RS
Jawa Timur
: 01-26-29-89
: 22 Juli 2014
2. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan
3. Riwayat Penyakit Sekarang
10 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai sepeda motor
tanpa mengenakan helm dan menabrak pohon. Posisi jatuh tidak diketahui.
Setelah berjalan pasien mengalami penurunan kesadaran, tidak didapati
muntah dan kejang. Oleh penolong dibawa ke RS terdekat. Di rumah sakit
tersebut pasien diinfus dan diinjeksi obat-obatan. Kemudian pasien dirujuk
ke RSDM fraktur kompresi os temporalis sinistra.
4. Primary Survey
Airway
: Bersih
Breathing
Inspeksi
:
:Nafas spontan, pengembangan dada kanan dan kiri sama,
Mulut
Leher
Thorax
Abdomen
Extrimitas
: gigi tanggal
: pasang collar brace
: tak ada kelainan
: tak ada kelainan
: tak ada kelainan
6. Assesment
- COB GCS E2V3M5
- SDH regio temporobasal sinistra
- Oedem cerebi
- Fracture basis cranii media externa
- Close fracture linier os frontalis sinistra
7. Plan
- O2 5 lpm
- IVFD NaCl 0,9% 2000 cc/24 jam
- Injeksi ceftriaxon 1 gram/12 jam
- Injeksi ranitidin 50 gram/12 jam
- Metronidazol 1g/ 8 jam
- Piracetam 3g/ 8 jam
8. Hasil Radiologi
B. Kasus 2
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Status
Pekerjaan
Alamat
No. RM
Masuk RS
:
:
:
:
:
:
:
Vk
19 tahun
Laki-laki
Islam
Belum menikah
Pelajar
Jajar RT/RW 03/01 Sendang Karanggede Boyolali Jawa
Tengah
: 01-26-32-42
: 24 Juli 2014
2. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas
dan
keterbatasan
shoulder
joint
tak
mengalami
(+),
swelling
(+),
exorotasi,
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kasus 1
Kasus pertama adalah kasus pasien Dy usia 14 tahun jenis kelamin laki-laki,
seorang pelajar SMP yang mengalami kecelakaan sepeda motor. Saat kejadian pasien
tidak mengenakan helm standart, dan pasien menabrak pohon sehingga terjadi trauma
di bagian kepala dan memar di sebagian tubuh. Beberapa saat setelah kejadian
berlangsung pasien mengalami penurunan kesadaran, kemudian dilarikan ke rumah
sakit terdekat. Di rumah sakit tersebut pasien diberikan infus dan obat-obatan yang
tidak dapat disebutkan oleh pengantar pasien saat membawa pasien ke RSDM. Saat
pasien tiba di RSDM, pasien mangalami gaduh dan gelisah.
Saat pasien masuk ke bagian rhesus RSDM, pasien dicek jalan napasnya, dan
tidak didapati adanya sumbatan yang menghalangi jalan napas seperti cairan atau
corpus alineum. Dari hasil pemeriksaan pasien, pasien daat bernapas spontan dengan
tidak didapati adanya gangguan atau kesulitan bernapas, saturasi oksigen saat itu
adalah 95%. Sirkulasi darah pasien baik, ditandai dengan terabanya nadi sebesar 110x
per menit. GCS pasien adalah 10 yang dikatagorikan sebagai cedera otak sedang.
Dari hasil secondary survey yang didapatkan dari pasien adalah terdapat
adanya vulnus ekskoriasis di bagian kepala akibat trauma di sebelah samping kanan
atas dengan ukuran 5x4 cm, didapati pula adanya brill hematom di kedua mata, dan
pupil anisokor, ottorhea dan rinnorhea positif, hallo sign dari kedua cairan tersebut
juga positif, hal tersebut mengarah ke fraktur basis craniii. Kecurigaan fraktur basis
cranii ditandai dengan adanya halo test + yang merupakan tanda adanya LCS (Liquor
Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain itu juga terdapat perdarahan dari telinga,
dan hidung. Perdarahan dari telinga, kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii
fossa media, dan perdarahan dari hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior.
Oedema periorbita dextra et sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii.
Di dalam ruang rhesus RSDM, pasien diberikan terapi oksigen dengan
menggunakan canul nasal 3 liter per menit. Pasien juga diberikan lanjutan terapi
cairan kristaloid NaCl 0,9%. Selain itu pasien juga diberikan midazolam dengan dosis
0,5 mg/kg BB secara IV. Midazolam merupakan salah satu obat dari golongan
benzodiazepin yang memiliki massa kerja yang pendek. Midazolam sering digunakan
sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi dan induksi anesthesia.
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin
imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat.
Efek amnesia pada obat ini lebih kuat dibanding efek sedasi sehingga pasien dapat
terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama
beberapa jam. Awitan aksi midazolam yang diberikan secara IV adalah 30-60 detik,
dengan efek puncak terjadi 3-5 menit setelah pemberian, lama aksi obat ini
berlangsung 15-80 menit.
Pasien kemudian menjalani pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan CT
scan kepala, foto rontgen, dan hasil pemeriksaan darah. Dari hasil MSCT pada
tanggal 22 Juli 2014, tampak adanya lesi hiperdens di regio frontotemporal kiri, yang
merupakan gambaran subdural hematom. Gambaran sulci yang menyempit dangkal
dan gyri yang menebal menunjukkan adanya edema cerebri. Selain itu tampak adanya
fraktur di frontotemporal kiri dan pada basis cranii. Dari hasil foto CT juga
menunjukkan adanya lesi berdensitas darah di dalanm cavum maxillaris kiri. Dari
hasil pemeriksaan foto rontgen thorax dan cervical AP lateral tidak didapati adanya
fraktur atau deformitas tulang. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah didapati
adanya penurunan hemoglobin yang turun menjadi 5,1 g/dl (N = 14,0-17,5 g.dl),
trombosit 132.000/ul (N = 150.000-450.000/ul), eritrosit sebesar 1,83 juta/ul (N =
3,80-5,80 juta/ul), dan hematokrit 15 % (N = 33-45%).
A. Kasus 2
Pasien kasus kedua adalah pasien Vk berusia 19 tahun bejenis kelamin lakilaki datang ke RSDM pada tanggal 24 Juli 2014 dengan keluhan penurunan
kesadaran yang diakibatkan oleh kecelakaan seperda motor 4 jam sebelum masuk
rumah sakit. Menurut orang yang mengantar, saat kecelakaan pasien tidak
mengenakan helm standart. Kemudian pasien dibawa ke RS Assalam selanjutnya
diberikan terapi cairan infus dan obat-obatan.
Saat pasien masuk ke bagian rhesus RSDM, pasien dicek jalan napasnya, dan
tidak didapati adanya sumbatan yang menghalangi jalan napas seperti cairan atau
corpus alineum. Dari hasil pemeriksaan pasien, pasien daat bernapas spontan dengan
tidak didapati adanya gangguan atau kesulitan bernapas, saturasi oksigen saat itu
adalah 98%. Sirkulasi darah pasien baik, ditandai dengan terabanya nadi sebesar 96x
per menit. GCS pasien adalah 7 yang dikatagorikan sebagai cedera otak berat.
Dari hasil secondary survey yang didapatkan dari pasien adalah terdapat
adanya vulnus ekskoriasis di bagian kepala regio frontal dengan ukuran 8x6 cm
disertai oedem. Selain itu terdapat oedem dan vulnus ekskoriasis dengan ukuran 6x4
cm di regio infraclavicula sinistra.
fracture, disertai vulnus laserasi, fat globule, swelling, dan diskontinuitas pada regio
1/3 tengah os humeri sinistra.
Saat pasien datang ke RSDM, sudah terpasang terapi cairan NaCl 0,9%, bebat
yang terpasang di regio brachii sinistra, dan collar brace. Pasien kemudian dipasang
oropharyngeal airway. Selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan CT Scan dan foto
thorax. Kemudian pasien kembali ke ruangan rhesus, untuk selanjutnya pasien akan
dipasang ET.
Dari hasil pemeriksaan CT scan kepala didapati adanya lesi hiperdens di
thalamus kanan. Selain itu didapati adanya lesi berdensitas darah di sinus maxillaris
kanan. Dari gambaran CT scan terlihat adanya fraktur di os nasal. Dari hasil foto
rontgen regio brachii didapati adanya fraktur di 1/3 tengah os humerus sinistra. Dari
hasil pemeriksaan lab darah menunjukkan peningkatan leukosit 21,7 ribu/ul (N = 4,514,5 ribu/ul) dan peningkatan glukosa darah sewaktu menjadi 152 mg/dl (N = 60-140
mg/dl).
BAB V
SIMPULAN
1.
Kasus pertama dengan pasien Dy usia 14 tahun datang dengan cedera otak
sedang (GCS 9) di ruang rhesus jaga aspek airway, breathing, circulation, dan
disabilty. Kemudian untuk mengurangi gaduh gelisah pada pasien diberikan
Kasus kedua adalah pasien Vk usia 19 tahun dengan cedera otak berat (GCS 7)
di ruang rhesus jaga aspek airway, breathing, circulation, dan disabilty.
Kemudian dilakukan pemasangan oropharingeal airway, untuk selanjutnya
digantikan dengan pemasangan endotracheal tube. Untuk selanjutnya pasien
diserahkan ke bagian bedah RSDM.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1,
edisi 4. 2000. Jakarta: EGC.
Anonim (2012). Primary Trama Care.
http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_INDO.pdftraum
a (diakses 28 Juli 2014).
Anonim. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/4/Chapter%20II.pdf
(diakses 28 Juli 2014).
American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support. United States
of America: First Impression.
Bartholomeusz L(2003). Safe Anaesthesia. Hal 408-413
Bradley PJ (1997).Management of the obstructed airway and tracheostomy. In: Kerr
AG, editor. Scott-Browns Otolaryngology,6 th ed. London: Butterworth; p.5/7/714
Brandler
ES
(2010).
Cardiogenic
shock
in
emergency
medicine
http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment. Diakses Mei 2012
ME,
Bailey
BJ.
1999.
Cerebrospinal
Fluid
Leaks.
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/CSF-Leaks-9905/CSF-Leaks-9905.pdf
fraktur
arkus
dan
kompleks
zigomatikus.