Anda di halaman 1dari 24

Orde Baru

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde
Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat
meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Daftar isi
[sembunyikan]

1Latar belakang

2Supersemar dan kebangkitan Soeharto


o

2.1Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

2.2Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

2.3Pembentukan Kabinet Ampera

3Kebijakan ekonomi
o

3.1Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

3.2Swasembada beras

3.3Pemerataan kesejahteraan penduduk

4Penataan Kehidupan Politik


o

4.1Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya

4.2Penyederhanaan Partai Politik

4.3Pemilihan Umum

4.4Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI

4.5Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

5Penataan Politik Luar Negeri


o

5.1Kembali menjadi anggota PBB

5.2Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

5.2.1Pemulihan Hubungan dengan Singapura

5.2.2Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

5.2.3Pembekuan Hubungan dengan RRT

6Penataan Kehidupan Ekonomi


o

6.1Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

6.2Kerjasama Luar Negeri

6.3Pembangunan Nasional

7Warga Tionghoa

8Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

9Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

10Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

11Krisis finansial Asia

12Pasca-Orde Baru

13Lihat pula

14Referensi

15Daftar pustaka

Latar belakang[sunting

| sunting sumber]

Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti sistem
parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan memperuncing
persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia, yang kala itu berniat
mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan
mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari Indonesia.[2] Sejak saat itu,
kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah. [3]

Supersemar dan kebangkitan Soeharto[sunting

| sunting sumber]

Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) [sunting | sunting


sumber]

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi
Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. [1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[4] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat
pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul presiden segera
setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. [4] Segera
setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan
tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwaABRI,
khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga memohon agar Presiden
Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. [4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. [4] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu
oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf,
Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal
Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11
Maret 1966 atau Supersemar.[4]

Pemberangusan Partai Komunis Indonesia[sunting | sunting sumber]

Letnan Jenderal Soeharto

Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaranPartai
Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dariTritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai tersangkut
dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam Keputusan
Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang
disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orangorang yang dianggap terlibatGerakan 30 September.[5] Keanggotaan Partai Komunis
Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan
sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. [6] Di DPRGR sendiri, secara
total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. [5] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian
DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:

Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan


Supersemar.[7]

Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara


Tingkat Pusat dan Daerah.[7]

Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI


Bebas Aktif.[7]

Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[7]

Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.[7]

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan
Perundang-undangan di Indonesia.[7]

Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis


Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia.[7]

Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan dinilai
berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai Komunis
Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai. [8] Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap dan
dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.
[8]
Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. [9] Pada tanggal 30
September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai
Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]

Pembentukan Kabinet Ampera[sunting | sunting sumber]


Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS
No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera. [10] Tugas utama
Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal
dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan
MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu. [10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin menambah
kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala
itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. [10]Penyerahan ini
tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20
Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang
menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan.
[10]
Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar
penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS
pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto

sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum.[10]

Kebijakan ekonomi[sunting

| sunting sumber]

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)[sunting | sunting sumber]


Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan
usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan
sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi akan meningkat.
[12]

Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut
sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang mulai
dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan
iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan antara lain
dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian sepertiirigasi, perhubungan, teknologi
pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu melalui
penyediaan sarana penunjang utama seperti pupukhingga pemasaran hasil produksi.[12]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai
status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (19891994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak
menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor,
industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]

Swasembada beras[sunting | sunting sumber]


Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam. [14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras
per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan sebuah
prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]

Pemerataan kesejahteraan penduduk[sunting | sunting sumber]

Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan kesejahteraan


penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi,
pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, penyediaan air
bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen
di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% pada tahun
1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.[15]Pendapatan perkapita masyarakat juga naik dari
yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar per tahun pada
tahun 1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992. [14] Dalam kurun waktu yang
sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi
63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui
program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan penduduk
mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat diturunkan menjadi
2,0% per tahun.[14]

Penataan Kehidupan Politik[sunting

| sunting sumber]

Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi


masanya[sunting | sunting sumber]
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan: [butuh rujukan]

Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966

Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia

Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap


terlibat Gerakan 30 September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan sosial
politik itu adalah:[butuh rujukan]

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi,
PSII, dan PERTI

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik,
Partai Murba, IPKI, dan Parkindo

Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam


upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada
masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi
dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum[sunting | sunting sumber]

Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[butuh rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR dan
PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan adanya
konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi PDI
Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP. Penyelenggaraan
Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi Pemilu berlangsung dengan
asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Namun dalam kenyataannya, Pemilu
diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan
Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan
pemerintah yang perimbangan suara di MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah
memungkinkan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena
pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban,
rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan
MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]

Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI[sunting | sunting sumber]


Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik
terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI.
Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah
tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah
sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui
Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI didasarkan pada
fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya telah diperankan
ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya
dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah ditahan Belanda.
Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan
setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri. [16] Banyak perwira, khususnya mereka
yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.
[16]
Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang.[16]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. [16] Saat
itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi bagian dari
ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat kecil dibanding
Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan yang didapatkan
ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara angkatan bersenjata
Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[16] Selain itu, peralatan dan perlengkapan
yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar dan 160 tank ringan. [16]

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)[sunting | sunting


sumber]
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan namaEkaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan

kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan
mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. [butuh rujukan] Sehingga sejak
tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi. Semua bentukorganisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu
bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem
budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde
Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak
boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]

Penataan Politik Luar Negeri[sunting

| sunting sumber]

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. MPR
mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan. [butuh rujukan]

Kembali menjadi anggota PBB[sunting | sunting sumber]


Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar
bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 19551964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara
Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan Indonesia juga memulihkan
hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya
yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain[sunting | sunting sumber]


Pemulihan Hubungan dengan Singapura[sunting | sunting sumber]
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana
Menteri Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban
kesediaan untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia[sunting | sunting sumber]

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di


Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah:[butuh rujukan]

Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka
ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.

Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.

Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan IndonesiaMalaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul
Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan
diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok(RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena RRT
telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan
kepada Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah
terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa
dengan tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggotaanggota Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta
secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembaliPartai Komunis Indonesia. Melalui media
massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967,
Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]

Penataan Kehidupan Ekonomi[sunting

| sunting sumber]

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi[sunting | sunting sumber]


Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari


oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]

MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan serta


program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama


stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah
pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke
arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut
adalah:

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:
1. Rendahnya penerimaan negara.
2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.

5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.

Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian

Berorientasi pada kepentingan produsen kecil

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru


menempuh cara:[butuh rujukan]

Mengadakan operasi pajak

Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan


maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.

Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta


menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.

Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan
pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama
sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi,
dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan fungsinya
sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]

Kerjasama Luar Negeri[sunting | sunting sumber]

Pertemuan Tokyo

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahanbahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]
1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai
dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama
besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.

4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap


negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pertemuan Amsterdam

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan
membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group
for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta
persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan]Di samping mengusahakan bantuan luar negeri
tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan penangguhan serta memperingan syaratsyarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh
rujukan]
Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar
negeri.

Pembangunan Nasional[sunting | sunting sumber]

Trilogi Pembangunan

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang
ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan]Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan
Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian
upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan
masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya
mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu: [butuh rujukan]
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman
pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut
adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang
stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :[butuh rujukan]
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah: [butuh rujukan]
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan
perumahan.

2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan


3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui


Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde
Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu: [butuh rujukan]

Pelita I

Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian. [butuh rujukan]

Pelita II

Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II
ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan
rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil.
Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil
ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%. [butuh rujukan]

Pelita III

Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan] Pelaksanaan
Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV

Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah
sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini

yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

Pelita V

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan
pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi
yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan
luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.

Pelita VI

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini
ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang
sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan
terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa[sunting

| sunting sumber]

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah
warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaianBahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia
terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama
Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari
mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan
oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[butuh rujukan]

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru[sunting

| sunting sumber]

Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan
bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah

meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya


seperti Jawa, Bali dan Madurake luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur,
dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini
adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap
penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah,
meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam
bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[17] Sementara itu gejolak
diPapua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan
pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru[sunting

| sunting sumber]

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada
1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]

Sukses transmigrasi

Sukses KB

Sukses memerangi buta huruf

Sukses swasembada pangan

Pengangguran minimum

Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

Sukses Gerakan Wajib Belajar

Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

Sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri [butuh rujukan]

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru[sunting

| sunting

sumber]
[butuh rujukan]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar
disedot ke pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua

4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh


tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
10.Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang,
hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti
hancur.[butuh rujukan]
12.Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13.Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang
oleh swasta
14.Dan lain sebagainya

Krisis finansial Asia[sunting

| sunting sumber]

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak,
gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. [butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi meningkat
tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang
meluas, Soeharto mengundurkan diri pada21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya
untuk masa bakti ketujuh.[butuh rujukan] Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J.
Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru[sunting

| sunting sumber]

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke
Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Sovietdan Yugoslavia.
[butuh rujukan]
Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang
terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Kebijakan pada Masa Orde Baru, dan Perkembangan pada Orde Baru|
Sejarah lahirnya orde baru merupakan sebuah kebangkitan bangsa NKRI.
Orde baru merupakan peralihan Dari golongan orde baru ke orde lama,
didalam peralihan tersebut banyak prinsip melatar belakangi lahirnya baru,
didalam lahirnya orde terdapat berbagai rancangan-rancangan pembangunan
dalam perkembangan orde baru serta kebijakan-kebijakan dalam orde baru
dimana semua hal tersebut telah menjadi sejarah kebangkitan bangsa NKRI,
Orde baru merupakan masa untuk mengembalikan Pancasila dan UUD
sebagai tatanan bangsa NKRI.

Latar Belakang Lahirnya Ord Baru


Setelah G3OS / PKI berhasil ditumpas dan berbagai bukti-bukti principle
berhasil dikumpulkan Menujukan kepada Partai Komunis state (PKI ),
Akhirnya diambil sebuah kesimpulan bahwa Partai Komunis state (PKI)
melupakan dalang daring gerakang ini, Partai Komunis state (PKI) principle
melatar belakangi terjadi peristiwa G30S/PKI. Gerakan ini pun menyebabkan
rakyat marah terhadap PKI principle diikuti dengan berbagai demonstrasi
menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya (ormasnya) dan
tokoh-tokohnya diberikan sebuah sanksi dengan diadili. Panglima Kostrad /
Pangkopkamtib city manager Jenderal Soeharto principle diangkat sebagai
Menteri! Panglima Angkatan Darat melakukan tindakan-tindakan pembersihan

terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya


Latar belakang lahirnya Orde baru juga dipelopori Masyarakat luas principle
terdiri Dari Persian berbagai unsur seperti
Dukungan Dari Berbagai Golongan Kalangan Seperti :

Berbagai Partai politik,

Berbagai Organisasi massa

Perorangan,

Berbagai Pemuda,

Berbagai mahasiswa,

Berbagai pelajar,

Berbagai kaum wanita

Berbagai kalangan-kalangan ini bersama-sama mendirikan satu kesatuan aksi


dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung
G3OS/PKI Front Pancasila menduga bahwa PKI adalah dalang Dari Persian
semua ini dan Front Pancasila juga menuntut untuk dilakukannya
penyelesaian politis terhadap mereka principle terlibat dalam gerakan itu.
Berbagai Aksi principle datang principle menjadi Satu bertujuan menentang
G30S/PKI atau Gerakan thirty Sept 1965 itu di antaranya:

Aksi Mahasiswa state (KAMI),

Kesatuan Aksi Pelajar state (KAPI),

Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar state (KAPPI).

Kesatuan Aksi Sarjana state (KASI) dan lain-lain.

Berbagai kalangan principle menjadi sebuah kesatuan principle tergabung


dalam Fron Pancasila kemudian lebih dikenal dengan sebutan Angkatan sixty
six. Mereka principle tergabung dalam Front Pancasila mengadakan
demonstrasi di berbagai tempat terutama di Jalan yaitu jalan raya.Front
Pancasila atau Anggaktan sixty six melanjutkan aksinya diGedung Sekretariat

Negara Pada Tanggal eight Januari 1966 dengan mengajukan penyataan


bahwa kebijakan ekonomi pemeritahan tidak boleh di dilaksanakan atau
dibenarkan Lalu Pergerakan Front Pancasila Berlanjut ke Halaman Gedung
DPR-GR yakni twelve Januri 1966 untuk mengajukan Tri Tuntutan Rakyat
(Tritura) principle isinya sebagai berikut.

Isi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu:

Pembubaran PKI beserta organisasi massanya

Pembersihan Kabinet Dwikora

Penurunan harga-harga barang.

Pada tanggal fifteen Januari 1966 diadakan sidang paripurna Kabinet Dwikora
dalam sebuah tempat di bogor tepatnya di istana Bogor principle di hadiri oleh
wakil-wakil mahasiswa. Presiden Republik state yaitu Presiden Ir.Soekarno
berfikiran timbulnya berbagai gerakan para mahasiswa itu didalangi oleh
United States intelligence agency (Central Intelligence Agency) principle
lembaga ini bertempat di negara Amerika tepatnya Amrika serikat. Presiden
Republik state Ir. Soekarno menyatakan perombakan kabinetnya yakni pada
tanggal twenty one Februari tetapi itu tak ADA perubahan principle membuat
hati rakyat senang dikarenakan masih banyak anggota kabinetnya berada
dalam G30S/PKI, Kabinet baru tersebut atau dikenal dengan sebutan Seratus
Menteri.
Pada saat pelantikan Kabinet berbagai kalangan hadir seperti mahasiswa,
pelajar, dan pemuda mengisi jalan principle tujuan jalan tersebut menuju ke
Istana Merdeka, Aksi tersebut terjadi Pada tanggal twenty four Februani 1966,
Gerakan-Gerakan Berbagai kalangan ditahan Pasukan yaitu Pasukan
Cakrabirawa principle menyebabakan timbulanya bentrokan Dari Persian
kedua belah pihak yakni Pasukan Cakrabirawa dengan Demonstran, dalam
peristiwa itu merenggut nyawa seorang mahasiswa principle bernaung di
Universitas state yakni Arief Rahman principle gugur dalam bentrokan
tersebut.

Perkembangan Kekuasaan Orde Baru


Sejarah lahirnya orde baru (Surat perintah eleven Maret 1966 Supersemar
Dengan Surat perintah eleven Maret 1966 (Supersemar) Soeharto mengatasi
keadaan principle serba tidak menentu dan keadaan ini sangat tak terkendali.
Setelah peristiwa G3OS/ PKI, negara Republik state dilanda instabilitas politik
akibat tidak tegasnya keputusan keputusan principle diambil dalam perstiwa
itu oleh dalam Kepemimpinan Presiden Soekarno dan terpecah belahnya

berbagai partai politik menjadi sebuah kelompok-kelompok principle saling


bersiteru antara professional terhadap presiden dan kontra terhadap
kebijakan presiden atau principle mendukung presiden dan principle
menentang presiden, situasi ini semkian membahayakan persatuan bangsa
state. Melihat situasi konflik antara pendukung Orde Lama dengan Orde Baru
semakin bertambah gawat DPR-GR berpendapat bahwa situasi konflik harus
segera diselesaikan secara konstisional. Pada tanggal three Februari 1967
DPR- GR menyampaikan resolusi dan memo principle berisi anjuran kepada
Ketua commission Kabinet Ampera agar diselenggarakan Sidang Istimewa
MPRS. Pada tanggal twenty Februari 1967, Presiden Soekarno menyerahkan
kekuasaannya kepada Soeharto untuk menggantikan dalam
Pemerintahannya. Penyerahan kekuasaan dan Presiden Soekarno kepada
Soeharto dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS. MPRS dalam
Ketetapannya No. XXXIIIIMPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan
negara dan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat
Presiden Republik state. Dengan adanya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik
principle merupakan sumber instabilitas politik telah berakhir secara
konstitusional Sekalipun situasi konflik itu dapat tanggulangi tetapi kristalisasi
orde baru belum selesai . Untuk menjadikan state kembali traditional
dilakukan berbagai cara principle baik dan wajar sehingga mampu
mempercepat dan mendorong pembangunan, hal ini principle pertama kali
dilakukan dalam bidang politik untuk berlandaskan Pancasila UUD 1945.
Telah bergantinya kekuasaan atau kekuasaan Dari Persian Soekarno ke
Soeharto Sebagai pemegang kekuasaan dalam Pemerintahan state itu maka
muncullah babak baru dalam sejarah orde baru. Pada hakikatnya , Orde Baru
merupakan tatanan dalam kehidupan rakyat state ,bangsa dan negara
principle diletakkan sebagai mana mestinya dalam edeologi negara yaitu
Pancasila dan kembali menyacu kepada UUD 1945 untuk perbaikanperbaikan terhadap penyelewengan-penyelewengan principle telah terjadi
pada Chad lampau dan membangun kembali kekuatan bangsa state dengan
menumbuhkan kembali, mempercepat pembangunan-pembangunan bangsa
state, serta mengembalikan bangsa state ke jalan principle lurus principle
terselewengkan dengan tuntunan principle dikenal sebagai Tri Tuntutan rakyat
(Tritura). Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Pada hakikatnya tuntutan itu
mengungkapkan Keinginan keinginan rakyat principle mendalam untuk
melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam
situasi principle kongkret.
Jawaban dan tuntutan itu terdapat dalam ketetapan sebagai berikut:
1.

Pengukuhan tindakan Pengemban Surat Perintah Sebelas Maret


principle membubarkan PKI beserta organisasi massanya pada sidang MPRS
dengan Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/ 1966 dan Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966.

2.

Pelarangan faham dan ajaran Komunisme / Marxisme-Lenimisme di


state dengan faucet MPRS No. XXV / MPRS /1966.

3.

Pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan


tertib hukum dengan faucet MPRS No. XX!MPRS/1966

Usaha penataan kembali kehidupan politik ini dimulai pada awal tahun 1968
dengan penyegaran DPR-GR. Penyegaran ini bertujuan untuk menumbuhkan
hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan kekuatan principle ADA di
dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dan wakil-wakil partai
politik dan golongan karya. Tahap selanjutnya adalah penyederhanaan
kehidupan kepartaian kehormatan dan kekaryaan dengan cara
Pengelompokkan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai
tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan
Partai-partai politik.
Lahirlah tiga kelompok di DPR
1.

Kelompok Demokrasi Pembangunan principle terdiri dan partai-partai


PNI, Parkindo, Katolik IPKI, serta Murba.

2.

Kelompok Persatuan Pembangunan principle terdiri dan partai-partai


letter of the alphabet, Partai Muslimin state, Ps11 dan Perti.

3.

Sedangkan kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh,


organisasi pemudaorganisasitani dan nelayan organisasi seniman dan lainlain tergabung dalam kelompok Golongan Karya.

Kebijakan Pemerintah Orde Baru


Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa {indonesia|Indonesia|
Republic of state|Dutch East Indies|country|state|land} principle kini
mengambil langkah selanjutnya principle dilaksanakan dalam PembangunanPembangunan diseluruh kawasan Republik Indonesia principle atau dapat
dikatakan berskala Nasional. Dalam Pembangunan berskala Nasional
principle diharuskan terealisasi pada monkeypod orde baru melalui
Pembangunan Dalam waktu principle lama atau panjang dan pembangunan
principle singkat atau dalam jangka pendek dirancang melalui Pembangunan
Lima Tahun (Pelita). Setiap pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka
mencapai tingkat kesejahteraan bangsa state. Untuk memberikan arah dalam
usaha mewujudkan tujuan nasional tersebut maka MPR telah menetapkan

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973. Pada dasarnya
GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
berbagai program. GBHN direncanakan dalam pembangunan Lima tahun
(Repelita) principle berisi program-program konkret principle Kwa
dilaksanakan dalam kurun waktu Lima tahun. Pelaksanaan Repelita principle
bertujuan untuk Pembangunan principle berskala nasional atau diseluruh
wilayah Republik state principle dimulai sejak tahun 1969. Pembangunan
tersebut tidak arthropod genus dalam Trilogi Pembangunan, berikut Trilogi
pembangunan.
Trilogi Pembangunan

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya principle menuju pada

terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pertumbuhan ekonomi principle cukup tinggi.

Stabilitas Nasional principle sehat dan dinamis.

Selain itu dikumandangkan juga bahwa pertumbuhan ekonomi principle cukup


tinggi sebagai akibat pelaksanaan pembangunan tidak Kwa bermakna apabila
tidak diiringi dalam memeratakan pembangunan di state, Oleh karna itu
dicetuskanlah Pelita III principle isinya sebagai berikut.
Pelita III dalam pemerintahan Orde baru terdiri atas Delapan Jalur
Pemerataan yaitu:

Pemerataan pemenuhan kebutuhan utama rakyat yakni kebutuhan


pangan, sandang dan kebutuhan tempat tinggal atau perumahan

Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan


kesehatan.

Pemerataan pembagian pendapatan.

Pemerataan kesempatan kerja.

Pemerataan kesempatan berusaha.

Pemerataan kesempatan berpartisipasi dibidang pembangunan


terhadap generasi-generasi bangsa yakni generasi muda dan generasi kaum
wanita.

Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.

Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru

Mengakhiri Konfrontasi dengan Asian country

Pada Chad pemerintahan Presiden Soekarno, dibentuk Dwikora (Dwi


Komando Rakyat) dengan alasan untuk membantu perjuangan rakyat
Kalimantan Utara. Dwikora langsung berada di bawah komando Presiden
Soekarno. Dwikora mempunyai tugas membantu rakyat serta memerangi
neokolonialisme dan neoimperialisme. Namun, gerakan itu belum berhasil
terlaksana, karena bangsa state dikejutkan dengan meletusnya peristiwa
G3OS/PKI. Peristiwa G3OS/PKI menyebabkan pusat perhatian pemerintah
state tertuju pada penyelesaian masalah dalam negeri.Ketika pemerintahan
state berada di tangan Jenderal Soeharto, monkeypod sejak itu dimulai Chad
pemerintahan Orde Baru. Pada Chad pemerintahan Soeharto sebagai
Pejabat Presiden hubungan diplomatik dengan Asian country melalui kembali
dijalin. Normalisasi hubungan IndonesiaMalaysia berhasil dicapai guna
dengan ditandatanganinya capital of Indonesia tanggal eleven Agustus 1966.
Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan di masingmasing negara.
Kembalinya menjadi anggota PBB

Selama masa kekuasaan Presiden Soekarno, state menyatakan keluar Dari


Persian keanggotanan Perserikatan bangsa-bangsa akibat Dari Persian
terpilihnya Asian country sebagai calon kuat Dewan Keamanan PBB padahal
Asian country merupakan negara boneka Inggris. Maka dengan itu state
mengancam Kwa keluar jika PBB tetap mencalonkan Asian country menjadi
anggota dewan Keamanan. Setelah Chad pemerintahan berada dibawah
kendali pemerintahan Soeharto, state menyatakan kembali menjadi anggota
PBB dan melaksanakan tugas serta kewajiban principle diberikan oleh PBB
yaitu pada tanggal twenty eight Sept 1966.
Pendirian ASEAN

Negara state perlu menjalin hubungan kerja sama dengan negara lain secara
regional maupun world dengan melalu Organisasi ASEAN. Tujuan awalnya
didirikan ASEAN adalah untuk membendung paham komunis. Dan hubungan
kerja sama principle dijalin antar negara anggota ASEAN principle hampir
merambah sektor ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Integrasi Timor Tamerlane ke dalam wilayah NKRI

Wilayah Timor Tamerlane merupakan koloni portugas sejak abad ke sixteen


namun demikian jaraknya principle cukup jauh maka wilayah Timor Tamerlane
tidak diperhatikan oleh pemerintahan portugis . dan pada tahun 1975 terjadi
kekacauan dimana tidak jelasnya pemerintahan untuk meredakan kekacauan
principle terjadi di Tmor Tamerlane sebagaian masyakarat timor-timur
menginginkan bergabung dengan idneonsia dan para partai politik di Timortimur oleh karnanya itu Timor-timor secara resmi bergabung di republic state
pada bulan juli 1976 pada Chad pemerintahan presiden soeharto Namun
demikian ADA juga partai politik principle tidak setuju yaitu fretilin principle
terus memperjuangkan hak-haknya. Dan ketika presiden habibie menjabat
sebagai presiden RI 1999, Hawkeye State mreasa bahwa Timor-timur
merupakan duri dalam daging principle memberikan a pair of pilihan yaitu
bersatu atau berpisah. Denga digelarnya ajak pendapat. Dan pada akhirnya
Timor-timur resmi menjadi keluar Dari Persian negara kesatuan republic state
dan membentuk sendiri dengan nama Republik Demokrasi Timor Lorose atau
Timor Tamerlane

Anda mungkin juga menyukai