Buletin Investasi DPLK - Q4 2014
Buletin Investasi DPLK - Q4 2014
4.40
4.04
3.68
Buletin Investasi
3.32
2.96
2.60
2.24
1.88
1.52
1.16
0.80
Sep/01
Jun/02
Mar/03
Jan/04
Oct/04
Aug/05
May/06
Feb/07
Dec/07
Sep/08
Jul/09
Apr/10
Jan/11
Nov/11
Aug/12
May/13
Mar/14
Dec /14
Tolok Ukur
95.56%
8.06%
-3.63%
4.00
3.80
3.60
3.40
3.20
3.00
2.80
2.60
2.40
2.20
2.00
Trend pergerakan inflasi masih merangkak naik sejak awal hingga akhir kuartal ke-4
dibandingkan kuartal sebelumnya. Lanjutan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) rata-rata
sebesar 9%, yang diikuti kenaikan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) sebesar 23% di
bulan Oktober, menjadi pemicu kenaikan pada komponen perumahan dan makanan, dan
membawa inflasi bulanan secara keseluruhan sebesar 0.47% diawal kuartal. Memasuki
bulan November, Pemerintahan yang baru memutuskan pengalihan subsidi dari sektor
konsumtif, yang salah satunya berbentuk subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM), ke
sektor produktif. Karena itu, sejak tanggal 18 November 2014, BBM bersubsidi jenis
Premium dinaikan 30.77% dari yang sebelumnya Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per
liter, sedangkan BBM jenis solar juga naik 36.36% dari yang sebelumnya Rp 5.500 per liter
menjadi Rp 7.500 per liter. Kenaikan harga BBM ini langsung memberikan imbas pada
kenaikan komponen makanan dan transportasi dalam perhitungan inflasi bulanan yang
melonjak ke level 1.5% di bulan November. Imbas kenaikan TDL dan harga BBM bersubsidi
dibulan Oktober dan November ternyata masih dirasakan di bulan Desember dengan
kecenderungan harga pangan masih berangsur naik, sehingga membawa inflasi bulan
Desember ke level 2.46%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Pemicu kenaikan harga-harga
sepanjang kuartal juga membawa Angka inflasi secara tahunan bergerak searah, dengan
inflasi tahunan di akhir kuartal ke-4 berada dilevel 8.36%, jauh lebih tinggi dibandingkan
inflasi di akhir kuartal ke-3 yang hanya berada di level 4.53%. Inflasi inti, yaitu inflasi diluar
komponen pangan dan energi, menunjukan tren yang meningkat sepanjang kuartal dengan
tercapai dilevel 4.93% di akhir kuartal ke-4, dibanding akhir kuartal sebelumnya yang
mencapai 4.04%. Akselerasi inflasi inti secara umum dipicu kecenderungan kembali
menguatnya harga komoditas emas dunia yang secara langsung mempengaruhi kenaikan
komponen pakaian melalui sub-komponen emas perhiasan.
Gejolak inflasi di kuartal ke-4 disikapi Bank indonesia (BI) dengan sikap prudent. Di bulan
November, sesaat sebelum diumumkannya kenaikan harga BBM bersubsidi oleh Pemerintah
di tanggal 18 November 2014, melalui Rapat Dewan Gubernur khusus telah memutuskan
kenaikan tingkat suku suku bunga acuan (BI Rate) ke level 7.75% dari sebelumnya 7.50%
atau naik 25bps, begitu juga dengan suku bunga fasilitas pinjaman (Lending Facility) juga
naik ke level 8.00% dari sebelumnya di level 7.50% atau naik 50bps, bunga overnight rate
(FASBI-Fasilitas Bank Indonesia) masih tetap dipertahankan di level 5.75%. Langkah
kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai tindakan preemtif BI dalam menghadapi lonjakan
inflasi pasca kenaikan BBM bersubsidi. Sampai dengan akhir kuartal ke-4, melalui Rapat
Dewan Gubernur terakhir di tahun 2014 diputuskan tetap mempertahankan BI rate, lending
facility rate, dan overnight rate tetap di level terakhir.
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
Apr/00
Feb/01
Nov/01
Sep/02
Jul/03
May/04
Mar/05
Dec/05
Oc t/06
88.37%
Aug/07
Jun/08
Apr/09
Jan/10
Nov/10
Sep/11
Jul/12
May/13
Feb/14
Dec/14
T olok Ukur
Obligasi Negara-SUKUK
9.63%
Kas 1.99%
Laporan ini belum diaudit. Investasi dalam Dana di atas mengandung risiko. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikasi kinerja yang akan datang
Nilai tukar Rupiah terhadap USD masih menunjukan tren yang melemah sepanjang kuartal
ke-4, meskipun diawal kuartal sempat diwarnai penguatan sesaat ditengah optimisme pasar
setelah pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 berjalan dengan
baik, juga di sertai wajah baru kabinet yang diemban sebagian besar oleh figur profesional.
Namun penguatan ini tidak berlangsung lama, kembali terpuruknya kinerja neraca
perdagangan ditengah merosotnya harga minyak dunia, ditambah isu global dengan
kembali menguatnya spekulasi terhadap wacana kenaikan suku bunga acuan di Amerika
Serikat yang lebih cepat dari yang diperkirakan pasca publikasi data-data ekonomi yang
menunjukan perbaikan, ditambah naiknya permintaan mata uang USD dari dalam negeri di
akhir tahun juga menambah tekanan terhadap Rupiah diakhir kuartal ke-4 yang nyaris
menyentuh level terburuknya sejak tahun 2008. Rupiah diperdagangkan dalam kisaran Rp
12,001 Rp 12,725 per USD hingga penutupan diakhir sesi perdangangan kuartal ke-4 di
level Rp 12,434 per USD atau mengalami depresiasi kuartalan 2.02% dibandingkan posisi
awal kuartal dilevel Rp 12,188 per USD. Namun demikian, Bank Indonesia (BI) tetap
konsisten menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah yang salah satunya melalui instrumen lindung
nilai yang salah satunya Foreign Exchange Swap guna menambah dukungan terhadap
cadangan devisa sebagaimana posisi cadangan devisa di akhir November masih tetap stabil
di level USD 111.14 Milyar dari USD 111.16 Milyar di akhir kuartal sebelumnya, tetap berada
diatas level yang diyakini sebagai level psikologis pasar dilevel USD 100 Milyar. Disisi lain, BI
juga terus mengeluarkan paket - paket kebijakan lainnya yang memberikan relaksasi aturan
pinjaman luar negeri, aturan terkait devisa hasil ekspor, serta melakukan perjanjian Swap
secara bilateral dengan beberapa negara dan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam
valuta asing USD yang diharapkan dapat lebih menjaga pasokan valuta asing sehingga nilai
tukar Rupiah dapat tetap terkendali sekaligus menjaga posisi cadangan devisa kedepannya.
Kembali diberikannya izin ekspor bahan mineral oleh Pemerintah pada perusahaanperusahaan pengekspor bahan mineral seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa
Tenggara sejak bulan September, nampaknya belum mampu menahan keterpurukan neraca
perdagangan di akhir Nopember. Jatuhnya harga minyak dunia yang berkepanjangan
berdampak pada surutnya harga komoditas produk-produk komoditas unggulan dalam
negeri seperti batubara dan crude palm oil (CPO), ditengah lesunya permintaan dari negaranegara tujuan ekspor terkait pelemahan ekomoni global yang semakin memperlemah
kinerja ekspor. Neraca perdagangan per akhir Nopember mencatatkan defisit sebesar USD
425.70 Juta, berada di level defisit yang lebih dalam dibanding defisit yang tejadi diakhir
kuatal ke-3 sebesar USD 270.30 Juta.
Semakin positifnya ekspektasi investor terhadap peningkatan kondisi makroekonomi
domestik kedepannya, terutama terhadap kebijakan reformasi subsidi terkini yang telah
diambil Pemerintahan yang baru, serta didukung oleh kondisi pembiayaan defisit APBN
tahun 2014 yang telah tercukupi di bulan November, sehingga untuk sementara Pemerintah
tidak lagi menambah penerbitan obligasi yang baru sampai dengan penghujung tahun
2014, berhasil melambungkan kinerja pasar obligasi pemerintah diakhir kuartal ke-4.
Dengan menggunakan HSBC Bond Index sebagai acuan, Pasar Obligasi secara fenomenal
berhasil membukukan performa kuartalan sebesar +6.00%, jauh melampaui kinerja kuartal
sebelumnya yang hanya berada di level +0.81%, serta salah satu pasar obligasi berkinerja
terbaik di kawasan Asia. Begitu juga dengan kinerja tahun berjalan sampai dengan akhir
kuartal ke-4 (Year-to-date), nyaris melipatgandakan kinerjanya di level 13.33% dari yang
diakhir kuartal sekaligus menutup kinerja tahunan 2014, yang sebelumnya baru mencapai
6.92%. Ekspektasi positif investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia tetap
menguat, meskipun tekanan sentimen global masih terus bergulir dimana Bank Sentral
Amerika Serikat (The Federal Reserve) yang sebelumya secara berkala masih terus konsisten
melakukan pengurangan program stimulusnya yang sampai akhir kuartal ke-3, akhirnya
menghentikan sepenuhnya program stimulus tersebut dibulan Oktober, yang
memungkinkan normalisasi suku bunga acuan di Amerika Serikat segera dilakukan, dan
berpotensi menimbulkan arus dana investor asing keluar dari pasar obligasi Indonesia
menuju pasar obligasi Amerika Serikat. Relatif positif ekspektasi investor tercermin pada
indikator persepsi resiko terhadap obligasi pemerintah Indonesia, Credit Default Swap (CDS)
berjangka 5 tahun ditutup lebih rendah di level 157 dibanding 167 diakhir kuartal
sebelumnya yang mengindikasikan ekspektasi premi resiko yang diharapkan masih lebih
kondusif dalam berinvestasi di Indonesia.
Kian positifnya antusias investor domestik maupun asing terhadap pasar obligasi pemerintah
Indonesia, terbukti pada kepemilikan investor asing yang terus bertambah bahkan sempat
menembus level tertingginya dalam sejarah pasar obligasi pemerintah Indonesia. Direktorat
Jendral Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan RI sepanjang kuartal ke-4
mencatat, investor asing telah membukukan volume pembelian bersih sebesar Rp 13.98
Trilliun, masih terus bertambah setelah dikuartal sebelumnya sebelumnya mencapai Rp
43.48 Triliun sepanjang kuartal ke-3, sehingga besarnya kepemilikan tercatat Rp 461.35
Trilliun, dari yang sebelumnya mencapai Rp 447.37 Triliun dikahir kuartal ke-3. Rasio
kepemilikan asing terhadap total obligasi Pemerintah yang diperdagangkan terus beranjak
naik, bahkan mencapai puncak tertingginya dalam sejarah di level 39.41% di akhir
November, dan sedikit menurun diakhir kuartal ke-3 yaitu 38.13%, namun tetap
menunjukan peningkatan dibanding akhir kuartal ke-3 yang telah mencapai 37.30%.
Laporan ini belum diaudit. Investasi dalam Dana di atas mengandung risiko. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikasi kinerja yang akan datang
Investasi
Profil
Risiko
Besar
Investasi
(Rp. Milyar)
GRO-Dana
US Dolar
GRO-Dana
Saham
GRO-Dana
Pendapatan
Tetap
GRO-Dana
Syariah
Tinggi
Moderat
Rendah
Moderat
Rendah
4,586,334,739,210
Kinerja
1 tahun
10.55%
2.38%
33.09%
12.63%
9.01%
Benchmark
3.81%
0.05%
22.29%
13.33%
6.52%
Kinerja
dalam
1 bulan
0.86%
0.19%
1.27%
-0.32%
0.71%
Kinerja
dalam
3 bulan
2.55%
Kinerja
dalam
6 bulan
5.24%
Kinerja
sejak YTD
10.55%
Nilai tukar Rupiah terhadap USD masih menunjukan tren yang melemah sepanjang kuartal ke-4, meskipun diawal kuartal sempat diwarnai penguatan sesaat
ditengah optimisme pasar setelah pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 berjalan dengan baik, juga di sertai wajah baru kabinet
yang diemban sebagian besar oleh figur profesional. Namun penguatan ini tidak berlangsung lama, kembali terpuruknya kinerja neraca perdagangan
ditengah merosotnya harga minyak dunia, ditambah isu global dengan kembali menguatnya spekulasi terhadap wacana kenaikan suku bunga acuan di
Amerika Serikat yang lebih cepat dari yang diperkirakan pasca publikasi data-data ekonomi yang menunjukan perbaikan, ditambah naiknya permintaan
mata uang USD dari dalam negeri di akhir tahun juga menambah tekanan terhadap Rupiah diakhir kuartal ke-4 yang nyaris menyentuh level terburuknya
sejak tahun 2008. Rupiah diperdagangkan dalam kisaran Rp 12,001 Rp 12,725 per USD hingga penutupan diakhir sesi perdangangan kuartal ke-4 di level
Rp 12,434 per USD atau mengalami depresiasi kuartalan 2.02% dibandingkan posisi awal kuartal dilevel Rp 12,188 per USD. Namun demikian, Bank
Indonesia (BI) tetap konsisten menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah yang salah satunya melalui instrumen lindung nilai yang salah satunya Foreign Exchange
Swap guna menambah dukungan terhadap cadangan devisa sebagaimana posisi cadangan devisa di akhir November masih tetap stabil di level USD 111.14
Milyar dari USD 111.16 Milyar di akhir kuartal sebelumnya, tetap berada diatas level yang diyakini sebagai level psikologis pasar dilevel USD 100 Milyar. Disisi
lain, BI juga terus mengeluarkan paket - paket kebijakan lainnya yang memberikan relaksasi aturan pinjaman luar negeri, aturan terkait devisa hasil ekspor,
serta melakukan perjanjian Swap secara bilateral dengan beberapa negara dan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing USD yang
diharapkan dapat lebih menjaga pasokan valuta asing sehingga nilai tukar Rupiah dapat tetap terkendali sekaligus menjaga posisi cadangan devisa
kedepannya.
Kembali diberikannya izin ekspor bahan mineral oleh Pemerintah pada perusahaan-perusahaan pengekspor bahan mineral seperti PT Freeport Indonesia dan
PT Newmont Nusa Tenggara sejak bulan September, nampaknya belum mampu menahan keterpurukan neraca perdagangan di akhir Nopember. Jatuhnya
harga minyak dunia yang berkepanjangan berdampak pada surutnya harga komoditas produk-produk komoditas unggulan dalam negeri seperti batubara
dan crude palm oil (CPO), ditengah lesunya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor terkait pelemahan ekomoni global yang semakin memperlemah
kinerja ekspor. Neraca perdagangan per akhir Nopember mencatatkan defisit sebesar USD 425.70 Juta, berada di level defisit yang lebih dalam dibanding
defisit yang tejadi diakhir kuatal ke-3 sebesar USD 270.30 Juta.
5.94%
4.81%
0.55%
2.11%
Klasfikasi Asset
Deposito Dolar 98.50%
Kas & Hutang 1.50%
0.80
Jan/99
Nov/99
Sep/00
Jul/01
May/02
Mar/03
J an/04
Nov/04
Sep/05
Jul/06
May/07
Mar/08
Kinerja
sejak berdiri
15.40%
7.16%
9.74%
1.12%
12.63%
33.09%
2.38%
11.49%
24.33%
6.50%
4.28%
9.01%
8.33%
Feb/09
Dec/09
Oct/10
Aug/11
Feb/14
Dec/14
Untuk kuartal keempat tahun 2014, Index Harga Saham Gabungan (IHSG) naik sebesar 1.7% dan ditutup di level 5,226.9. Kinerja IHSG di atas kinerja pasar
saham global (MSCI World Indeks) yang naik sebesar 0.6% & pasar saham regional (MSCI Asia Pacific Indeks) yang turun sebesar 1.7%. Rata-rata nilai
perdagangan di kuartal keempat turun sebesar 13% menjadi US$343 juta, sementara arus dana asing berbalik menjadi keluar sebesar US$461 juta pada
kuartal keempat, setelah masuk sebesar US$397 juta pada kuartal ketiga.
Volatility indeks di kuartal keempat juga masih tetap tinggi. Yang menjadi pemicu lebih banyak dari faktor global, seperti pelonggaran moneter oleh bank
sentral China dan ekspektasi kenaikan Fed rate, sehingga sentiment investor global terhadap resiko menjadi tidak menentu. Faktor politik Indonesia telah
tidak begitu banyak berpengaruh terhadap pergerakan indeks, terlebih setelah harga BBM subsidi dinaikkan di bulan November, menunjukkan reformasi
telah dimulai oleh pemerintahan baru. Selama kuartal keempat, sektor yang outperform indeks adalah property, pertanian dan finansial dan sektor yang
underperform indeks adalah pertambangan, perdagangan dan infrastruktur. Dengan dinaikkannya harga BBM subsidi, beban subsidi berkurang dan
memungkinkan untuk dialokasi ke sector yang produktif seperti pembangunan infrastruktur. Hal ini yang menyebabkan kenaikan harga saham-saham
konstruksi dalam sector property jauh melampaui indeks.
Rupiah melemah sebesar 1.6% di kuartal keempat, lebih karena penguatan US dollar terhadap mata uang dunia. Ekspektasi kenaikan Fed rate
menyebabkan US dollar indeks naik 5% selama kuartal keempat atau naik 12.8% selama tahun 2014, mencapai level tertinggi dalam 8 tahun terakhir.
Posisi forex reserve tetap stabil di level USD 111.9 milyar per Desember. Sedangkan angka inflasi tahunan 2014 di 8.36%, di atas ekspektasi pasar di 7.93%
karena pengaruh kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik.
Ke depannya, resiko di pasar saham Indonesia lebih akan datang dari factor global, seperti kenaikan Fed rate atau resiko geopolitik seperti kemungkinan
Yunani keluar dari EU. Tetapi resiko ini bisa diimbangi dengan factor domestic yang positif. Kebijakan-kebijakan reformatif pemerintah yang terus
diluncurkan (misalnya kebijakan energi) meningkatkan keyakinan investor saham akan sentimen-sentimen positif yang masih akan terjadi di masa depan.
20.40
Klasifikasi Asset
18.40
16.40
14.40
12.40
10.40
8.40
6.00
Apr/13
22.40
Gejolak inflasi di kuartal ke-4 disikapi Bank indonesia (BI) dengan sikap prudent. Di bulan November, sesaat sebelum diumumkannya kenaikan harga BBM
bersubsidi oleh Pemerintah di tanggal 18 November 2014, melalui Rapat Dewan Gubernur khusus telah memutuskan kenaikan tingkat suku suku bunga
acuan (BI Rate) ke level 7.75% dari sebelumnya 7.50% atau naik 25bps, begitu juga dengan suku bunga fasilitas pinjaman (Lending Facility) juga naik ke level
8.00% dari sebelumnya di level 7.50% atau naik 50bps, bunga overnight rate (FASBI-Fasilitas Bank Indonesia) masih tetap dipertahankan di level 5.75%.
Langkah kebijakan tersebut dimaksudkan sebagai tindakan preemtif BI dalam menghadapi lonjakan inflasi pasca kenaikan BBM bersubsidi. Sampai dengan
akhir kuartal ke-4, melalui Rapat Dewan Gubernur terakhir di tahun 2014 diputuskan tetap mempertahankan BI rate, lending facility rate, dan overnight rate
tetap di level terakhir.
Jun/12
Tolok Ukur
4.83%
3.98%
6.55%
6.41%
5.91%
6.40
5.60
5.20
4.40
4.80
4.40
4.00
Klasifikasi aset
Deposito
Obligasi Pemerintah
Kas dan Hutang
2.40
3.60
3.20
100.00%
0.00%
0.00%
2.80
0.40
2.40
Jan/01
2.00
Sep/01
Jun/02
Mar/03
Dec/03
Sep/04
Jun/05
Feb/06
Nov/06
Aug/07
May/08
Dana Saham
Feb/09
Nov/09
Tolok Ukur
Jul/10
Apr/11
Jan/12
Oct/12
Jul/13
Apr/14
Dec/14
1.60
1.20
0.80
Jan/99
Nov/99 Sep/00
Jul/01
May/02
Mar/03
Jan/04
Nov/04
Sep/05
Jul/06
May/07 Mar/08
Feb/09
Dec/09
Oc t/10
Aug/11
Jun/12
Apr/13
Feb/14 Dec/14
Laporan ini belum diaudit. Investasi dalam Dana di atas mengandung risiko. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikasi kinerja yang akan datang
GRO Rupiah
T olok Ukur
Laporan ini belum diaudit. Investasi dalam Dana di atas mengandung risiko. Kinerja masa lalu bukan merupakan indikasi kinerja yang akan datang
Laporan
ini belum
diaudit.
Investasi
dalam
Dana
di atas
mengandung
risiko.
Kinerja
masa
bukan
merupakan
indikasi
kinerja
yang
akandatang
datang
Laporan
ini belum
diaudit.
Investasi
dalam
Dana
di atas
mengandung
risiko.
Kinerja
masa
lalulalu
bukan
merupakan
indikasi
kinerja
yang
akan