Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan salah satu jenis penyakit infeksi bakteri yang banyak
ditemukan di Negara kita, baik pada anak maupun dewasa. Demam tifoid pada anak
terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan memiliki manifestasi ringan. Makin
muda umur anak, gejala klinis demam tifoid semakin tidak khas. Perbedaan lain antara
demam tifoid anak dengan dewasa adalah mortalitas demam tifoid pada anak lebih
rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama
dijumpai pada anak besar dengan manifestasi klinis berat, menyerupai kasus dewasa.1,2
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene
buruk2. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika subspesies enterika
serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A
(S. Paratyphi A). Diperkirakan angka kejadian 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan
900/100.000/tahun di Asia3. Center for Disease Control (CDC) Indonesia melaporkan
prevalensi demam tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan
64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasiantara 3,1
10,4 % pada pasien rawat inap4. Menurut Buku ajar Infeksi dan Pediatri Tropis tahun
2010, umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara usia
3 19 tahun mencapai 91% kasus3.
Pada lima tahun terakhir ini, para klinisi di beberapa Negara mengamati adanya
kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal, yang ternyata disebabkan oleh strain
Salmonella typhi yang telah resisten terhadap antibiotik yang lazim dipergunakan untuk
pengobatan demam tifoid. Strain Salmonella typhi yang resisten terhadap 2 atau lebih
jenis antibiotik yang lazim dipergunakan yaitu ampisilin, kloramfenikol, dan
kotrimoksazol dinamai strain multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi. Dengan
ditemukannya MDR Salmonella typhi, maka pemilihan antibiotik yang tepat akan
menjadi masalah, termasuk kendala biaya1.
Untuk infeksi Salmonela. Keampuhan kloramfenikol pada pengobatan demam
tifoid telah diakui berdasarkan efektifitasnya terhadap Salmonella typhi di samping harga

obat relatif murah. Setelah kloramfenikol bertahan sekitar 25 tahun, dilaporkan oleh
beberapa peneliti di berbagai negara adanya strain Salmonella typhi yang resisten
terhadap kloramfenikol. Peneliti India melaporkan adanya kasus demam tifoid yang
resisten terhadap kloramfenikol pada tahun 1970, sedangkan di Mexico pertama kali
dilaporkan pada tahun 1972. Resistensi tersebut ternyata diikuti oleh adanya resistensi
Salmonella typhi terhadap obat-obat lain yang biasa dipergunakan untuk mengobati
demam tifoid. Di negara berkembang, antibiotik yang tersedia untuk pengobatan demam
tifoid adalah ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol.1,2
Melihat perkembangan MDR strain Salmonella typhi, yang begitu cepat di
beberapa negara sehingga mengakibatkan mortalitas tifoid pada anak meningkat, maka
telah dilakukan pengamatan resistensi Salmonella typhi pada anak yang didiagnosis
secara klinis demam tifoid di Bagian Ilmu Kesehatan RSCM jakarta. Penelitian dilakukan
pada tahun 1990-1994. Selama waktu penelitian telah dirawat 645 orang anak dengan
diagnosis klinis demam tifoid,131 (20,3%) dikonfirmasi dengan biakan positif terhadap
Salmonella typhi, dan 61 (9,5%) kasus diantaranya mempunyai hasil uji resistensi.
Kelompok umur 59 tahun merupakan proporsi terbanyak (48,9%), sedangkan 18 (13,6%)
kasus adalah kelompok balita, terdiri dari 60 (45,8%) anak laki-laki dan 71 (54,2%) anak
perempuan1.
Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan
yang tepat terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun
diperlukannya juga pengaturan diet yang tepat dan perawatan medis (medical care) yang
baik dan benar agar proses penyembuhan dapat bejalan secara optimal.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas penatalaksanaan komplikasi demam tifoid.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
1. Mengetahui Penatalaksanaan Demam Tifoid
2. Meningkatkan kemampuan dalam menulis ilmiah di bidang kedokteran
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan program pendidikan profesi di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Tidar Magelang.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada
beberapa literatur.

BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.3,4,5
2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum
penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.1,4

2.3 Patogenesis
Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus
kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organorganterutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati
dan limpa sehingga organ-organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan.
Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh
tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa
diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.

Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi
sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.1,4

2,4 Gejala Klinis


Masa inkubasi Demam tifoid 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Gejala timbul secara
tiba-tiba atau berangsur angsur. Penderita demam tifoid merasa cepat lelah, malaise,
anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh. Pada minggu
pertama demam (suhu berkisar 39-400C), nyeri kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual
muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu
5

kedua demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali, splenomegali,


gangguan kesadaran.
Pada umumnya demam berangsur-angsur naik selama minggu pertama, demam
terutama pada sore hari dan malam hari. Pada minggu kedua dan ketiga demam terus
menerus tinggi, kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian
antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai epiktasis.
Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berselaput putih
dan pinggirnya hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa
membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada permulaan penyakit umumnya
terjadi diare, kemudian menjadi obstipasi.1,4
2.5 Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk
mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan
darah pada 14 hari pertama setelah terinfeksi.6
Selain itu tes widal (O dah H aglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer
akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2
hari

menunjukkan

peningkatan

progresif

dari titer

agglutinin

(diatas

1:200)

menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid.7,8


Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada
minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya
Salmonella8.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari
demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis
polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus.
Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada
akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena
gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Pada beberapa
kasus yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit
kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita

yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung
banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang serta daya tahan tubuh. Bila
jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan
oleh sistem pelindung tubuh manusia.8,9
2.6 Penatalaksanaan Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid harus terdeteksi secara dini. Monitor dan evaluasi baik
klinis maupun laboratoris harus terlaksana secara adequat. Bila komplikasi berbahaya
harus dilakukan perawatan intensif dan dirawat secara bersama-sama dari bermacammacam disiplin spesialis yang terkait. Managemen atau penatalaksanaan komplikasi
demam tifoid tidak lepas dari penatalaksanaan demam tifoid secara umum yang meliputi
managemen medikamentosa, managemen nutrisi yang baik serta perawatan medik yang
baik merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid. Sampai saat ini masih
dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Managemen Medikamentosa
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang
dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit bila
lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk
laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan
maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita, misalnya
pembe rian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin, dan
mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan
demam.
A. Pemberian antimikroba
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
a. Kloramfenikol
Di era pre-antibiotik, angka mortalitas dari demam tifoid masih tinggi sekitar 15%.
Terapi dengan kloramfenikol diperkenalkan pada 1948, mengubah perjalanan penyakit,
menurunkan angka mortalitas hingga <1% dan durasi demam dari 14-28 hari menjadi 3-5
hari. . Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena, sampai
7 hari bebas demam. Penyuntikan

intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk demam enterik hingga
munculnya resistensi pada tahun 1970. Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa
penyakit yang memanjang dan karier kronik, toksisitas terhadap sumsum tulang (anemia
aplastik), angka mortalitas yang tinggi di beberapa negara berkembang merupakan
perhatian terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama.
Penurunan demam terjadi rata-rata pada hari ke-5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg,
demam rata-rata menurun pada hari ke-6
sampai ke-6.
c. Ampisilin dan Kotrimoksazol
Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol.
Ampicilin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol (TPM-SMZ) menjadi pengobatan yang
utama. Munculnya strain MDR S.typhi, dengan resisten terhadap ampicillin dan
kotrimoksazol telah mengurangi kemanjuran obat ini.
Pada tahun 1989, muncul MDR S. Typhi. Bakteri ini resisten terhadap kloramfenikol,
ampicilin, Trimetoprim-Sulfametoksazol (TPM-SMZ), streptomycin, sulfonamid dan
tertacyklin. Di daerah dengan prevalensi tinggi infeksi S.typhi MDR (India, Asia tenggara
dan Afrika), seluruh pasien diduga demam tifoid dan diterapi dengan quinolon atau
sefalosporin generasi III hingga hasil kultur dan tes sensitivitas tersedia.
d. Quinolon
Quinolon memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonellae invitro, dengan efektif
penetrasi terhadap makrofag, mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu, dan
memiliki potensi yang tinggi diantara antibiotik lain dalam terapi demam tifoid.
Ciprofloksasin terbukti memiliki efektivitas yang tingi, tidak ada karier S. Typhi yang
muncul, faktanya, pada studi lainnya, indikasi utama untuk menggunakan antibiotik
quinolon. Ciprofloksasin juga telah ditemukan memiliki efek terapi terhadap strain
S.typhi dan S.paratyphi MDR. Resistensi terhadap ciprofloksasin mulai muncul
khususnya di daerah India. Quinolon lainnya, seperti ofloxacin, norfloxacin dan
pefloxacin, terbukti efektif dalam percobaan klinis skala kecil. Terapi singkat dengan
ofloxacin (10-15 mg/kg dibagi dua selama 2-3 hari) muncul lebih simpel, aman dan
8

efektif dalam terapi inkomplit MDR demam tifoid. Demam pada umumnya turun pada
hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
e. Sefalosporin Generasi III
Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk mengobati demam tifoid,
dengan pemberian selama 3 hari memberikan efek terapi sama dengan regimen obat yang
diberikan 10-14 hari. Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon
selama 5-7 hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap. Obat-obat
ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon. Direkomendasikan diberikan
untuk 10-14 hari.
f. Antibiotik lainnya
Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan demam tifoid dengan
aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini menunjukan lebih efektif daripada
kloramfenikol dalam membasmi organisme dalam darah. Penelitian prospektif di
Malaysia terhenti akibat tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik
makrolida baru diberikan dengan dosis 1 gr
sekali sehari selama 5 hari juga bermanfaat untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan
lainnya penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua obat ini dapat digunakan
pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui.

10

Menurut Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia dalam buku ajar IPD Fakultas
Kedokteran FKUI, pilihan utama antibiotik pada demam tifoid adalah golongan
kuinolon.

11

Pada penelitian yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2002-2008 didapatkan hasil
bahwa beberapa antibiotika yang biasa digunakan para klinisi di Indonesia masih
memiliki efek terapi diatas 90 terhadap S.typhi dan S.paratyphi.

B. Penggunaan Glukokortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada pasien demam tifoid berat dengan gangguan
kesadaran (delirium, stupor, koma, shok). Dexametason diberikan dengan dosis awal
3mg/kg IV, selanjutnya 1mg/kg tiap 6 jam sebanyak delapan kali pemberian selain itu,
juga diberikan kepada pasien dengan demam yang tidak turun-turun.
o Hari ke 1: Kortison 3 X 100 mg im atau Prednison 3 X 10 mg oral
o Hari ke 2: Kortison 2 X 100 mg im atau Prednison 2 X 10 mg oral
o Hari ke 3: Kortison 3 X 50 mg im atau Prednison 3 X 5 mg oral
o Hari ke 4: Kortison 2 X 50 mg im atau Prednison 2 X 5 mg oral
o Hari ke 5: Kortison 1 X 50 mg im atau Prednison 1 X 5 mg oral 19
C. Antipiretik
Pireksia dapat di atasi dengan kompres. Salisilat dan antipiretik lainnya sebaiknya
tidak diberikan karena dapat menyebabkan keringat yang banyak dan penurunan tekanan
darah (bradikardi relatif).
2. Managemen Nutrisi
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain : 7,9
a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.

12

b. Tidak mengandung banyak serat.


c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
d. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan
makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat
membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur saring,
juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus. Syarat-syarat diet sisa rendah adalah : 9

Energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan aktivitas

Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total

Lemak sedang, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total

Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total

Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat maksimal
8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi perorangan

Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat) sesuai dengan
toleransi perorangan.

Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam dan
berbumbu tajam.

Makanan dimasak hingga lunak dan dihidangkan pada suhu tidak terlalu panas
dan dingin

Makanan sering diberikan dalam porsi kecil

Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet perlu
disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau makanan
parenteral.

Diet sisa rendah terbagi dua , yaitu: 12


a. diet sisa rendah I
diet sisa rendah I adalah makanan yang diberikan dalam bentuk disaring atau
diblender. Makanan ini menghindari makanan berserat tinggi dan sedang, bumbu
yang tajam, susu, daging berserat kasar (liat), dan membatasi penggunaan gula

13

dan lemak. Kandungan serat maksimal 4 gram. Diet ini rendah energi dan
sebagian zat gizi. 9
Tabel 1. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah 1
Bahan makanan
Dianjurkan
Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat
Bubur saring, roti bakar, Beras tumbuk, beras ketan,
kentang dipure, makaroni, roti whole wheat, jagung,
bihun
rebus,
biskuit, ubi, singkong, talas, cake,
krakers, tepung-tepungan tarcis,
dodol,
tepungdipuding atau dibubur
tepungan yang dibuat kue
manis.
Sumber protein hewani
Daging empuk, hati, ayam, Daging
berserat
kasar,
ikan giling halus, telur ayam, dan ikan yang diawet,
direbus, ditim, diceplok air di goreng kering, telur
atau sebagai campuran diceplok, udang dan kerang,
dalam
makanan
dan susu dan produk susu.
minuman
Sumber protein nabati
Tahu ditim dan direbus, Kacang-kacangan
seperti
susu kedelai
kacang
tanah,
kacang
merah, kacang tolo, kacang
hijau, kacang kedelai, tempe
dan oncom.
Sayuran
Sari sayuran
Sayuran dalam keadaan
utuh
Buah-buahan
Sari buah
Buah dalam keadaan utuh
Minuman
Teh, sirup, kopi encer
Teh dan kopi kental,
minuman beralkohol dan
mengandung soda
Bumbu
Garam, vetsin, gula
Bawang, cabe, jahe, merica,
ketumbar, cuka dan bumbu
lain yang tajam
b. diet sisa rendah II
Diet sisa rendah II merupakan makanan peralihan dari diet sisa rendah I ke
Makanan biasa. Diet ini diberikan bila penyakit mulai membaik atau bila penyakit
bersifat kronis. Makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak. Makanan
berserat sedang diperbolehkan dalam jumlah terbatas, sedangkan makanan
berserat tinggi tidak diperebolehkan. Susu diberikan maksimal 2 gelas sehari.

14

Lemak dan gula diberikan dalam bentuk mudah cerna. Bumbu kecuali cabe,
merica dan cuka, boleh diberikan dalam jumlah terbatas. Kandungan serat diet ini
adalah 4-8 gram.
Tabel 2. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan tidak Dianjurkan pada diet sisa rendah II
Bahan makanan
Dianjurkan
Tidak Dianjurkan
Sumber karbohidrat
Beras dibubur/ditim, roti Beras tumbuk, beras ketan,
bakar,
kentang
rebus, roti whole wheat, jagung,
krakers, tepung-tepungan di ubi, singkong, talas, cake,
bubur atau dipuding
tarcis,
dodol,
tepungtepungan yang dibuat kue
manis.
Sumber protein hewani
Daging empuk, hati, ayam, Daging
berserat
kasar,
ikan
direbus,
ditumis, ayam, dan ikan yang diawet,
dikukus, diungkep dan di telur diceplok dan dadar,
panggang, telur direbus, daging babi.
ditim, diceplok air atau
sebagai campuran dalam
makanan dan minuman,
susu maksimal 2 gelas
perhari.
Sumber protein nabati
Tahu ditim direbus, ditumis, Kacang-kacangan
seperti
pindakan, susu kedelai
kacang
tanah,
kacang
merah, kacang tolo, kacang
hijau, kacang kedelai, tempe
dan oncom.
Sayuran
Sayuran
yang
berserat Sayuran
yang
berserat
rendah dan sedang, seperti tinggi
seperti
daun
kacang panjang, buncis singkong, daun katuk, daun
muda, bayam, labu siam, pepaya, daun dan buah
tomat
masak,
wortel melinjo, oyong, pare serta
direbus,
dikukus
dan semua sayur yang dimakan
ditumis.
mentah
Buah-buahan
Sari buah; buah segar yang Buah yang dimakan dengan
matang (tanpa kulit dan biji) kulit, seperti apel, jambu
dan
tidak
banyak biji, dan pir serta jeruk yang
menimbulkan gas seperti dimakan dengan kulit ari;
pepaya,
pisang,
jeruk, buah yang menimbulkan
avokad, nenas
gas seperti durian dan
nangka.
15

Lemak

Minuman

Bumbu

Margaris, mentega dan


minyak
dalam
jumlah
terbatas untuk menumis,
mengoles dan setup
Teh, kopi encer, sirup

Minyak untuk menggoreng,


lemak hewani, kelapa dan
santan

Teh dan kopi kental,


minuman beralkohol dan
mengandung soda
Garam, vetsin, gula, cuka, cabe, merica
salam, laos, kunyit, kunci
dalam jumlah terbatas.

Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan


mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa,
dan seterusnya.12
3. Perawatan Medis
Tirah baring dan perawatan medis (medical care) bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur, seperti makan,
minum, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur,
pakaian, dan perlengkapan yang dipakai7.
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien7.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi air kemih.7,9
Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi pada demam tifoid yaitu : 7
a.

Komplikasi Intestinal

16

Komplikasi intestinal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan intestinal, perforasi usus,
ileus paralitik, pankreatitis.

Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukan/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.
Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam
batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 1032%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80 %. Bila transfusi yang diberikan
tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.

Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tandatanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang
tidak ditemukan karena adanya udara bebas diabdomen. Tanda-tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai
yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur

17

(biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit,


dan mobilitas penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman
S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan aerobik
pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan
kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus
dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah
yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi
darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan
intestinal.
b.

Komplikasi ekstra intestinal

Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia,
peningkatan protombin time, peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan fibrin degradation product sampai koagulasi intravaskular
diseminata (KID) dapatditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid.
Trombositopenia sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
produksi trombosit di sum-sum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memiliki
peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksinmengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID
kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi
trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula
yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

Hepatitis tifosa

18

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus


dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada
S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus,
malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium, dan bila perlu histopatologik hatti. Pada demam tifoid kenaikan
enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat
jarang, komplikasi hepatoensefalopati dapat terjadi.

Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis
sendiri dapat disebabkan oleh mediator proinflamasi, virus, bakteri, cacing,
maupun zat-zat farmakologi. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta
USG/CT scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis
pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti
ceftriakson atau quinolon.

Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi (EKG) dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan
sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan
perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan EKG yang menetap disertai aritmia
mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan
miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab
kematian. Biasanya pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.

Manifestasi neuropsikiatrik/tifoid toksik


Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma atau koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism,
sindroma otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia

19

sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis


perifer, sindroma Guillen-Bare, dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium,
somnolen, sopor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis
lainnya dan dalam pemeriksaancairan otak masih dalam batas normal. Sindrom
klinik seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik, sedangkan
penulis lainnya menyebutkan dengan demam tifoid berat, demam tifoid
ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial
ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim,
nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut
mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka
kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg
ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.
2.10 Pencegahan
Vaksinasi dengan menggunakan vaksin T.A.B (mengandung basil tifoid dan
paratifoid A dan B yang dimatikan ) yang diberikan subkutan 2 atau 3 kali pemberian
dengan interval 10 hari merupakan tindakan yang praktis untuk mencegah penularan
demam tifoid Jumlah kasus penyakit itu di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 358-810
kasus per 100.000 penduduk per tahun. Suntikan imunisasi tifoid boleh dilakukan setiap
dua tahun sedangkan vaksin oral diambil setiap lima tahun. Bagaimanapun, vaksinasi
tidak memberikan jaminan perlindungan 100%.7
Mengkonsumsi air yang telah dimasak. Masak air sekurang-kurangnya lima menit
penuh (apabila air sudah masak, biarkan ia selama lima menit lagi). 7
Bila sedang dalam perjalanan usahakan menggunakan air botol atau minuman yang
telah terjamin kebersihannya. Makan makanan yang baru dimasak. Jika terpaksa makan
di kedai, pastikan makanan yang dipesan khas dan berada dalam keadaan `berasap

20

kerana baru diangkat dari dapur. Tudung semua makanan dan minuman agar tidak
dihinggapi lalat. Letakkan makanan di tempat tinggi. 7
Buah-buahan hendaklah dikupas dan dibilas sebelum dimakan. Cuci tangan dengan
sabun dan air bersih sebelum menyediakan atau memakan makanan, membuang sampah,
memegang bahan mentah atau setelah buang air besar.7

21

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Di era Multi Drug Resisten seperti
saat sekarang ini, pilihan pengobatan haruslah lebih cermat. Penggunaan antibiotik
golongan Quinolon merupakan pilihan utama pengobatan demam tifoid untuk saat ini.
Tak hanya dengan obat-obatan, perawatan medis yang baik dan benar serta penanganan
nutrisi yang tepat juga memiliki peranan penting dalam penatalaksanaan demam tifoid.
3.2 Saran
Diperlukan ketepatan dalam mendiagnosa demam tifoid agar tidak terjadi
pemakaian antibiotik yang tidak seharusnya. Pemilihan antibiotik yang adekuat dapat
mengurangi angka terjadinya resistensi. Perlunya kerjasama antara dokter dan paramedis
lain untuk bersama-sama membantu mengobati pasien serta memberikan edukasi yang
tepat kepada pasien dan keluarganya agar dapat membantu proses penyembuhan.
Pencegahan sangat penting yaitu dengan menjaga higiene lingkungan tempat
tinggal dan sekitarnya, higiene makanan serta tidak buang air besar sembarangan. Tutup
rapat makanan agar tidak dihinggapi lalat.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo D. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al., editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
Universitas Indonesia; 2007. p. 1752.
2. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, et al. Demam Tifoid. Dalam: Panduan
Pelayanan Medik Himpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Interna
Publishing; 2009. p. 139-141
3. Hasan R. Buku kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Infeksi Tropik. Jakarta : FK UI,
1985.
4. Noer, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta : FKUI, 1996.
5. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. Demam Tifoid. Jakarta : FK UI, 2000.
6. Brusch JL. Typhoid Fever. www.emedicine.com last up date July 24th 2009
[diakses pada tanggal 8 Mei 2011].
7. Lentnek AL. Typhoid Fever. Division of Infection Disease. www.medline.com last
up date June 20th 2010 [diakses pada tanggal 9 Mei 2011].
8. Cleary Th G. Salmonella species in longess, Pickerling LK, Praber CG. Principles
and Practice of Pediatric Infectious Disease Churchill Livingstone, New York 1 nd
ed, 2003 : hal. 830.
9. Fadilah, Siti. KMK No. 364 ttg Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. 2006.
Jakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai