Asimilasi paham Animisme dengan paham Hindu dalam tindakan religius orang Jawa
melahirkan tokoh simbolik seperti Dewi Sri yang kemudian memunculkan tradisi-tradisi yang
berkaitan dengan pemujaan atau penghormatan kepadanya.
Banyak Cerita mitos yang berkaitan dengan Dewi Sri, namun inti ceritanya tetap sama.
Terdapat sebelas hal yang menjadi tumpuan pengembangan cerita Dewi Sri (Lestari, 1996). (1)
Dewi Sri berasal dari Kahyangan, (2) Dewi Sri sebagai istri dari Raden
Sadhana (mereka adalah penjelmaan dari Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu),
(3) Dewi Sri mempunyai kecantikan yang sempurna, (4) Dewi Sri
mempunyai persoalan dengan Raksasa Kala, (5) Dewi Sri dan Raden
Sadhana melarikan diri ke hutan untuk menghindari Raksasa Kala, (6)
Dewi Sri dan Raden Sadhana bersembunyi di hutan, (7) Dewi Sri dan
Raden Sadhana berjanji akan membalas budi rakyat yang telah menolong
mereka. (8) Dewi Sri dan Raden Sadhana mati karena sakit. (9) Muncul
tanaman-tanaman yang berguna bagi manusia dari kuburnya (dalam versi
lain, tanaman tersebut muncul dari bagian-bagian tubuh Dewi Sri), (10)
Raksasa Kala marah dan menjelma menjadi binatang perusak tanaman,
(11) Dewi Sri memohon kepada Dewata agar menolong rakyat. Pada bagian kesebelas inilah,
menurut Lestari (1996), terdapat banyak pengembangan jalan cerita.
Pada daerah yang masyarakatnya mengenal pertanian pada umumnya mereka mengenal
tokoh dewi kesuburan melalui upacara-upacara pertanian yang masih dilaksanakan sampai
sekarang. Sedangkan pada beberapa tempat, tokoh Dewi Sri hanya dikenal melalui cerita rakyat.
Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan
Dalam masyarakat pertanian, melimpahnya hasil panen berkaitan erat dengan kesuburan
yang identik dengan perempuan. Dewi Sri muncul sebagai gambaran dari dewi kesuburan dalam
masyarakat Jawa. Kesuburan dikaitkan dengan perempuan karena fungsi produksi dan
reproduksinya. Dalam kebudayaan agraris, perempuan dianggap melahirkan segala sesuatu di
dunia ini. Karena hal itulah muncul konsepsi pemujaan dewi ibu (mother goddess) dalam
masyarakat agraris (Sumintarsih, 2007). Dewi ibu berperan sebagai pelindung kelahiran dan
Upacara ritual terakhir adalah wiwit/ methik sebagai penghormatan kepada Dewi Sri yang
telah menjaga padi hingga panen. Upacara
dimulai
dengan
ini
petani
menbawa
kelengkapan
Selain bentuk ritual yang dilakukan langsung di sawah seperti contoh diatas, ditemukan
pula bentuk pemujaan di tempat lain seperti:
2. Candi Barong
Contoh penggunaan candi sebagai tempat pemujaan Dewi Sri terdapat pada Candi
Barong. Candi Barong merupakan candi Hindu dari abad 9-10 Masehi yang terletak di Dusun
Candisari, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta. Penamaan Candi ini didasari oleh relief
hiasan singa/ barong pada sisi tubuh candi.
Bangunan candi terdiri dari tiga buah teras yang diatasnya terdapat dua buah bangunan
candi. Di dalam salah satu bilik candinya
terdapat arca Dewa Wisnu, dan pada candi yang
lain terdapat arca Dewi Sri yang merupakan
dewi kesuburan dan istri dari Dewa Wisnu.
Candi ini diperkirakan berfungsi untuk kegiatan
pemujaan yang berkaitan dengan kesuburan
berdasarkan
temuan
tersebut.
Selain
itu,
pernyataan ini didukung dengan latar belakang daerah di sekitar candi yang dinilai kurang subur.
3. Rumah Tradisonal Jawa
Bentuk lain penghormatan masyarakat Jawa kepada Dewi Sri juga terdapat pada tata
ruang rumah tradisionalnya. Tata ruang rumah tradisional Jawa (Joglo), memiliki satu ruangan
khusus untuk pemujaan Dewi Sri. Ruangan yang dimaksud biasanya terdapat di bagian tengah
bangunan atau disebut senthong tengah.
Senthong tengah oleh masyarakat agraris diyakini sebagai tempat istirahat Dewi Sri. Oleh
karena itu, ruangan ini kemudian dipergunakan untuk tempat pemujaan terhadap Dewi Sri dan
disebut sebagai pasren (dari asal kata Sri) atau petanen (dari asal kata tani). Bagi para petani,
pasren atau petanen merupakan simbol adanya hubungan erat antara petani dengan Dewi Sri
yang diharapkan akan terus memberikan keinginan petani yaitu mendapatkan hasil panen yang
melimpah dari tahun ke tahun (Sumintarsih, 2007).
. Pada rumah Joglo milik seorang bangsawan, keberadaan pasren dilengkapi dengan
beberapa aksesoris seperti ani-ani (pisau kecil untuk memetik padi), beberapa tangkai padi, dan
Patung Loro Blonyo. Loro Blonyo merupakan patung sepasang pengantin dari tanah liat/ kayu
yang digambarkan dengan posisi duduk bersila yang merupakan gambaran bersatunya Dewi Sri
dengan Raden Sadhana. Patung ini menyimbolkan harapan agar pengantin Jawa diberi kesuburan
dalan proses regenerasi mereka.
Kesimpulan
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa masyarakat tradisional di
Jawa melakukan berbagai macam bentuk ritual yang ditujukan kepada Dewi Sri. Pemujaan
kepada Dewi Sri selalu berkaitan dengan kesuburan. Salah satu contoh pemujaan terhadap Dewi
Sri dalam masyarakat agraris adalah ritual-ritual yang dilakukan selama proses bertani padi yang
terdiri dari upacara tingkep tandhur, methik, dan lain-lain.
Peran Dewi Sri sebagai pelindung kelahiran, pengendali bahan makanan, pengatur
kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran menempati posisi sentral dalam sistem keyakinan
masyarakat agraris.
Pemujaan kepada Dewi Sri dalam candi-candi Hindu Waisnawa memiliki posisi yang
sama penting dengan pemujaan Yoni atau Dewi Parwati dalam candi-candi Hindu Syaiwa, yaitu
sebagai pendamping dari salah satu Dewa Trimurti. Namun, berbeda dengan pemujaan terhadap
Dewi Parwati yang dikenal luas dalam Masyarakat dan umumnya hanya dilakukan di candi,
pemujaan kepada Dewi Sri lebih populer dilakukan oleh masyarakat pertanian dan pemujaan
kepadanya diantaranya juga dilakukan di tempat lain seperti: sawah atau Senthong Tengah pada
Rumah Joglo.
Daftar Pustaka
Lestari, Nanny Sri. 1996. Mitos Dewi Sri dan Rempah-rempah. Laporan penelitian Universitas
Indonesia
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. http://candi.pnri.go.id/jawa_tengah_yogyakarta/
barong/barong.htm. Diakses pada 14 April 2012
Rumidjah, Jumeiri Siti, dkk. [t. th]. Dewi Sri: Cerita Rakyat dari Daerah Surakarta, Jawa
Tengah. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen P & K
Setyastuti, Ari, dkk. 2003. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta
Sumintarsih. 2007. Dewi Sri dalam Tradisi Jawa. Dalam Jantra: Jurnal Sejarah dan Budaya
vol.II, no. 3, h. 136-144
Suwardi. [t. th]. Makna Simbolik Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa. [t. t]: [t. p.]
Widayatsari, Siti. 2002. Tata Ruang Rumah Bangsawan Yogyakarta. Dalam Dimensi Teknik
Arsitektur vol.30, no.2, h. 122-132