Anda di halaman 1dari 16

Tinea Cruris

Sisilia Dina Mariana - 102009147


Aurellius - 102012070
Shella Gustiawati Hidayat (102013430)
Teguh Tirto Katon (102013550)
Tika Ayu Hasta Riani (102014070)
Benita Rosalie (102014168)
Ricko (102014174)
Indah Eka Putri (102014203)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) - 5694 2061
Abstrak
Pada masa sekarang di negara-negara yang mempunyai penduduk yang banyak dan
sedang berkembang memiliki tantangan dalam meningkatkan kualitas kesehatan. Faktor
kebersihan lingkungan dan individu sangat dibutuhkan untuk menghindarkan diri dari berbagai
jenis penyakit. Salah satu penyakit yang berhubungan dengan kebersihan diri terutama pada
lipatan paha adalah Tinea Kruris. Insiden penyakit jamur ini cukup tinggi di Indonesia karena
menyerang masyarakat luas. Infeksi jamur umumnya dapat diobati dengan baik, akan tetapi
mudah terjadi infeksi ulang. Penyakit karena infeksi jamur ini terkadang memiliki gejala-gejala
yang sama pada beberapa jenis penyakit kulit lainnya. Oleh karena itu pemeriksaan penunjang
sangat dibutuhkan untuk mengetahui penyakit infeksi jamur ini seperti pemeriksaan kerokan
kulit yang mengalami kelainan, pemeriksaan dengan lampu Wood, dan sebagainya. Pengobatan
pada penyakit infeksi jamur ini dilakukan baik secara medikamentosa, seperti pemberian salep
gatal, kemudian non-medikamentosa seperti memberi edukasi untuk lebih memperhatikan dan
menjaga kebersihan diri serta lingkungan.
1

Kata kunci : Tinea kruris, infeksi jamur, penatalaksaan.


Abstrack
These days, the densely populated countries are struggling to improve their medical
qualities. Environmental hygiene and individual factors is needed to avoid various kinds of
diseases. One of the diseases associated with personal hygiene, especially in the groin is tinea
cruris. The incidence of fungal disease is quite high in Indonesia for attacking the public at
large. Fungal infections can be treated with generally good, but easy to re-infection. Diseases
due to fungal infection is sometimes have symptoms similar to some other skin diseases.
Therefore the investigation is needed to determine the fungal infectious diseases such as skin
scrapings examination abnormalities, examination with Wood's lamp, and so on. Treatment of
fungal infections is done either medically, such as lubrication itchy, then the non-medical as
provide education for more attention and maintaining personal hygiene and the environment.
Key words : Tinea Cruris, fungal infection, management.
Pendahuluan
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan merupakan organ yang kompleks,
elastis serta sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada
lokasi tubuh. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan
dan kehidupan. Struktur dari kulit adalah lapisan-lapisan yang secara umum dibagi menjadi
epidermis, dermis, dan subkutis. Epidermis akan terbagi lagi menjadi beberapa lapisan, begitu
juga dermis dan subkutis. Setiap lapisannya memiliki fungsi dan peranan masing-masing untuk
tubuh kita.
Karena kulit merupakan bagian terluar dari tubuh kita, kulitlah yang sering terpapar atau
berkontak langsung dengan lingkungan di luar tubuh kita. Maka dari itu, kulit jadi rawan terkena
penyakit, walaupun tidak sedikit jenis penyakit kulit yang merupakan kelainan genetik. Pada
kesempatan kali ini saya akan mencoba membahas mengenai salah satu penyakit kulit yang
sering terjadi di Indonesia, tinea cruris. Saya harap tulisan saya kali ini dapat dipahami dan
membantu para pembaca.

Skenario 1
Laki-laki berusia 30 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan bercak coklat pada kedua
lipatan paha yang terasa gatal sejak 4 minggu yang lalu. Gatal terutama dirasakan saat cuaca
panas atau saat berkeringat banyak. Pasien mengobati sendiri dengan kortikosteroid tetapi tidak
terdapat perbaikan dan kelainan kulit meluas.
Anamnesis
Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang
dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien melakukan
kunjungan ke dokter. Data klinik yang ingin didapat oleh dokter dalam anamnesis diantaranya
adalah keluhan utama beserta waktunya, riwayat penyakit sekarang yang sesuai dengan keluhan,
riwayat penyakit dahulu yang pernah diderita atau trauma dan kecelakaan, riwayat keluarga
apakah ada yang sakit seperti ini atau penyakit tertentu, riwayat sosial, ekonomi, dan budaya
yang berkaitan dengan problem medis, riwayat lingkungan tempat tinggal dan bekerja, serta
kebiasaan hidup sehari-hari dan untuk pasien wanita, perlu ditanya tentang riwayat perkawinan,
persalinannya, menstruasi terakhir, dan riwayat keluarga berencana.1
Berdasarkan kasus diatas didapatkan identitas pasien adalah laki-laki berusia 30 tahun
dengan keluhan utama bercak coklat pada kedua lipatan pahanya yang terasa gatal, gatal
bertambah saat cuaca panas dan berkeringat. Keadaan ini sudah berlangsung 4 minggu. Dari
kasus diatas juga didapatkan riwayat pemakaian obat kortikosteroid, tertapi tidak terdapat
perbaikan dan kelainan kulit meluas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah pemeriksaaan pada tubuh pasien untuk
menemukan gejala atau tanda-tanda klinis. Hasil pemeriksaan fisik akan dicatat dalam rekam
medis. Rekam medis dan pemeriksaan fisik akan membantu dalam penegakkan diagnosis dan
perencanaan penatalaksanaan pada pasien. Pemeriksaan fisik dilakukan secara sistematis, mulai
dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak. Pemeriksaan fisik yang umum dilakukan
adalah melihat tanda-tanda vital atau pemeriksaan suhu, denyut dan tekanan darah. Setelah itu

dilanjutkan dengan pemeriksaan organ utama yang diperiksa dengan inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi, beberapa tes khusus mungkin diperlukan.
Untuk pemeriksaan kulit, pemeriksaan dilakukan pada rambut di kepala, akar rambut,
kulit wajah, tubuh, ekstremitas atas dan bawah, kuku, dan sela antar jari tangan dan kaki. Untuk
pemeriksaan kulit yang baik dibutuhkan penerangan yang baik dengan bantuan sinar matahari
ataupun dengan sinar lampu yang berwarna alami / day light. Lalu dibutuhkan juga senter, kaca
pembesar, spidol untuk memberi tanda, bulu peraba dan paku tajam tumpul palu refleks. Saat
memeriksa kulit, pertama-tama tentukan warna kulit, suhu kulit, kelembapan kulit, dan tekstur
kulit. Lalu periksa lesi kulit dan sebutkan efloresensinya, baik warna, ukuran, susunan kelainan
atau bentuk, batas, lokasi dan penyabaran. Lalu lakukan pemeriksaan lesi kulit apabila
diperlukan, seperti dengan kaca pembesar untuk melihat ada tidaknya achromia, atrofi dan
alopecia, lalu melakukan tes anestesi atau anhidrosis. Lalu pemeiksaan dapat dilanjutkan ke
bagian lain seperti kuku, dan rambut.1
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan tinea cruris akan ditemukan lesi berbatas tegas
atau sirkumskirp, dengan peradangan pada bagian tepi lebih nyata dibandingkan dengan bagian
tengah.2 Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi).
Bila penyakit ini sudah menahun akan ditemukan bercak hitam disertai sedikit sisik. 2 Infeksi
sekunder dapat ditemukan karena adanya garukan berupa erosi dan keluarnya cairan. Tandatanda ini dapat ditemukan di daerah lipatan paha, daerah perineum, dan sekitar anus atau bahkan
meluas ke perut bagian bawah dan bagian tubuh yang lain.2

Gambar 1. Gambaran Klinis Tinea Cruris

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu suatu pemeriksaan medis yang dilakukan atas indikasi
medis tertentu guna memperoleh keterangan-keterangan yang lebih lengkap. Tujuan pemeriksaan
ini adalah diagnostik dan terapeutik. Diagnostik dimaksud untuk membantu menegakkan
diagnosis penyakit sedangkan terapeutik yaitu untuk pengobatan penyakit tertentu.
Berdasarkan kasus diatas pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakan
diagnosis adalah pemeriksaan mikologi, yang terdiri dari pemeriksaan langsung sediaan basah
dan biakan. Bahan klinis yang diperlukan untuk pemeriksaan mikologi sesuai kasus di atas
berupa kerokan kulit yang mengalami kelainan yang sebelumnya dibersihkan dengan spiritus
70% dan diperiksa dengan lampu Wood. Lalu bahan kerokan tadi dapat diperiksa langsung
menggunakan mikroskop sebagai sediaan basah dengan ditambahkan KOH dengan konsentrasi
20%.

Hasilnya akan nampak hifa yang terdiri dari dua garis sejajar, terbagi oleh sekat,

bercabang, ataupun dapat ditemukan spora berderet (antrospora).2 Lalu pembiakan yang
dilakukan untuk menentukan spesies jamur dapat dilakukan di medium agar buatan dekstrosa
Sabouraud.
-

Diagnosis Kerja / Working Diagnosis (Tinea Cruris)


Tinea cruris atau sinonimnya eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ataupun
ringworm of the groin adalah penyakit kulit akibat jamur dermatofita (dermatofitosis) pada
lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.2 Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun,
bahkan dapat merupakan kelainan yang berlangsung seumur hidup. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, pada tinea cruris ditemukan lesi berbatas tegas atau sirkumskirp,
dengan peradangan pada bagian tepi lebih nyata dibandingkan dengan bagian tengah.
Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila
penyakit ini sudah menahun akan ditemukan bercak hitam disertai sedikit sisik.

Diagnosis Banding / Diferential Diagnosis


Kandidiasis atau Kandidosis adalah penyakit jamur yang bersifat akut atau subakut
disebabkan oleh spesies Candida.3 Penyakit ini dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku,
bronki, atau paru. Berdasarkan kasus diatas, diagnosis banding mengarah ke kandidosi
5

intertriginosa dengan tempat predileksi daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal,
lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus dengan lesi berupa
bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesinya dikelilingi oleh satelit
berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan
daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer. Pada
pemeriksaan penunjang dengan larutan KOH atau pewarnaan gram ditemukan blastospora
atau hifa semu dengan koloni jamur seperti ragi.

Gambar 2. Gambaran Klinis Candidiasis


Eritrasma ialah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh
Corynebacterium minitussismum, ditandai dengan adanya lesi berupa eritema dan skuama
halus pada daerah ketiak atau lipat paha.4 Dengan pemeriksaan lampu Wood ditemukan
efloresensi merah membara (coral-red)

Gambar 3. Gambaran Klinis Eritrasma


Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,
berlapis-lapis dan transparan.5

Gambar 4. Gambaran Klinis Psoriasis


Dermatitis Seboroik merupakan istilah yang dipakai untuk segolongan penyakit kulit yang
didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Faktor
penyebabnya tidak diketahui tetapi berhubungan dengan status seboroik yang rupanya
diturunkan. Selain ditemukan glandula sebasea yang lebih aktif, kelainan ini juga dipengaruhi
faktor kelelahan, stres emosional, infeksi, atau defisiensi imun. Kelainan kulit terdiri atas eritema
dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas.6

Gambar 5. Gambaran Klinis Dermatitis Seboroik


Dermatitis Intertriginosa adalah klasifiksasi dermatitis berdasarkan lokasinya, yaitu di daerah
lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans
penis, dan umbilikus.7 Dermatitis atau ekzem adalah peradangan kulit, bagian epidermis dan
dermis, sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen. Respon ini
menimbulkan reaksi klinis berupa efloresensi poliformik, berupa eritema, edema, papul, vesikel,
skuama, likenifikasi, dan menyebabkan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul
7

bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa (oligoformik). Dermatitis cenderung residif dan
kronis.8

Gambar 6. Gambar Klinis Dermatitis Intertriginosa

Tinea cruris yang merupakan dermatofitosis pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Jamur golongan tersebut mempunyai sifat
mencerna kreatin dan termasuk pada kelas Fungi imperfecti, yang terbagi kedalam 3 genu, yaitu
Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton.2 Morfologi jamur ini memiliki koloni kapang
atau filamen yaitu terdiri dari sel-sel memangjang dan bercabang yang disebut hifa. Sporanya
merupakan spora aseksual yaitu artrospora, spora yang dibentuk langsung dari hifa dengan
banyak septum dan kemudia terfragmentasi.
Etiologi
Tinea cruris yang merupakan dermatofitosis pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Jamur golongan tersebut mempunyai sifat
mencerna kreatin dan termasuk pada kelas Fungi imperfecti, yang terbagi kedalam 3 genu, yaitu
Microsporum, Tricophyton, dan Epidermophyton.2 Morfologi jamur ini memiliki koloni kapang
atau filamen yaitu terdiri dari sel-sel memangjang dan bercabang yang disebut hifa. Sporanya
merupakan spora aseksual yaitu artrospora, spora yang dibentuk langsung dari hifa dengan
banyak septum dan kemudia terfragmentasi.

Epidemiologi
8

Tinea cruris tersebar luas terutama di daerah beriklim tropis, banyak terdapat di
Indonesia. Infeksi umumnya terjadi pada laki-laki postpubertal, namun perempuan juga dapat
terkena. Penularan lebih mudah terjadi dalam lingkungan yang padat atau pada tempat dengan
pemakaian fasilitas bersama seperti asrama dan di rumah tahanan. Pemakaian baju ketat,
keringat, dan baju mandi yang lembap dalam waktu yang lama merupakan faktor predisposisi
tinea kruris. Faktor risiko yang lain adalah obesitas dan diabetes mellitus.8
Patogenesis
Jamur golongan dermatofita yang mencerna kreatin akan memanfaatkan kreatin pada
stratum korneum kulit kita untuk berkembang biak dengan baik dibagian-bagian tubuh yang
lembab, habitat pendukung pertumbuhan jamur. Aktivitas jamur membuat penderita mengalami
pruritus. Pruritus merupakan sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk
menggaruk dengan kata lain pruritus adalah rasa gatal. Garukan yang dilakukan terus menerus
akan menimbulkan efloresensi sekunder yang menyebabkan lesi semakin buruk.8
Gejala Klinis
Kelainan mengenai kulit di daerah inguinal pada bagian dalam dan perineum. Kelainan
yang disebabkan Trichophyton rubrum atau Epidermophyton floccosum bersifat kronik dan
relatif tanpa peradangan. Lesi hanya tampak sebagai eritema ringan dengan daerah tepi yang
tampak tidak begitu aktif. Kelainan oleh Trichophyton mentagrophytes terlihat akut dengan
peradangan, bagian tepi lesi tampak aktif disertai vesikel dan seringkali disertai rasa gatal yang
hebat. Pada permulaan, lesi klinik berupa bercak eritematosa kecil, meninggi, berskuama pada
paha bagian dalam dan menyebar ke perifer, sering menjadi vesikel kecil multiple dengan tepi
meluas. 8
Pada akhirnya, lesi membentuk bercak berbatas tegas, tidak teratur dan bilateral dengan
bagian tengah hiperpigmentasi dan berskuama. Pada beberapa kasus, terutama infeksi dengan T.
mentagrophytes, reaksi radang lebih berat dan infeksi dapat meluas ke regio kruris. Penis
biasanya tidak terkena infeksi, hal ini yang membedakan lesi ini dengan kandidosis. Gatal dapat
berat pada awalnya tetapi menghilang setelah reaksi radang menghilang. Tinea kruris lebih
sering pada orang gemuk, orang yang berkeringat banyak dan memakai pakaian ketat.8

Menifestasi Klinis
Menifestasi klinis atau gejala klinis yang dapat timbul pada penyakit yang disebabkan
oleh jamur memiliki morfologi yang khas. Penderita merasa gatal dengan kelainan berbatas
tegas, terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (poliforfi), dan bagian tepi lesi lebih aktif
(lebih jelas tanda-tanda peradangannya) daripada bagian tengah. Gejala klinis yang timbul dapat
menentukan berat ringannya reaksi radang yang dialami penderita. Wujud lesi yang beraneka
ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi, menahun oleh Trichophyton
rubrum sampai kerion Celsi yang disebabkan Microspurum canis.2 Sekali lagi, pada tinea cruris
ditemukan lesi berbatas tegas atau sirkumskirp, dengan peradangan pada bagian tepi lebih nyata
dibandingkan dengan bagian tengah. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer
dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini sudah menahun akan ditemukan bercak hitam disertai
sedikit sisik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea cruris dibagi menjadi terapi medika mentosa dan terapi non
medika mentosa. Untuk terapi medika mentosa dapat digunakan preparat antijamur topikal.
Preparat dibawah ini diaplikasikan dua kali sehari pada daerah yang terkena. Hasil optimal akan
terlihat setelah 4 minggu, termasuk 1 minggu setelah lesi hilang. Diaplikasikan kurang lebih 3
cm di luar tepi lesi. Agen topikal ini sebanding, hanya dibedakan dari segi biaya, dasar,
pembawa, dan aktivitas antijamur.
Imidazol
Antijamur golongan imidazol memiliki spectrum yang luas. Terdiri dari beberapa
preparat, antara lain mikonazol, klotrimazol, dan ketokonazol. Mikonazol menghambat aktivitas
jamur Tricophyton, Epidermohyton, dan Microsporum, Candida dan Malassezia furfur.
Mekanisme kerja obat ini belum diketahui sepenuhnya. Mikonazol masuk ke dalam sel jamur
dan menyebabkan kerusakan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel
meningkat. Mungkin pula terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida
dalam sel jamur yang akan menyebabkan kerusakan. Obat yang sudah menembus lapisan tanduk
kulit dan akan menetap sampai 4 hari. Obat ini diindikasikan untuk dermatofitosis, tinea
versikolor, dan kandidiasis mukokutan. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 2% dan bedak tabur
10

yang dipakai 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Krim 2% untuk penggunaan intravaginal
diberikan sekali sehari pada malam hari selama 7 hari. Gel 2% tersedia untuk kandidiasis oral.
Mikonazol tidak boleh dibubuhkan pada mata. Efek samping dari obat ini berupa iritasi, rasa
terbakar, dan maserasi. Penggunaan pada kehamilan trimester pertama sebaiknya dihindari.
Klotrimazol
Mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan mekanisme kerja mirip mikonazol dan
secara topikal digunakan untuk pengobatan tinea pedis, cruris, dan corporis yang disebabkan
oleh Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagrophytes, Epidermohyton floccosum, dan
Microsporum canis, dan untuk tinea versikolor. Juga untuk infeksi kulit dan vulvovaginitis yang
disebabkan oleh Candida albicans. Obat ini tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan
kadar 1% untuk dioleskan dua kali sehari. Pada pemakaian topikal dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema, gatal, dan urtikaria.
Tolnaftat
Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar dermatofitosis tapi
tidak untuk candida. Tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerosol, atau larutan topikal
dengan kadar 1%. Digunakan 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam waktu 24-72 jam.
Asam Benzoat dan Asam Salisilat
Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam perbandingan 2:1 (biasanya 6% dan
3%) ini dikenal sebagai salep Whitfield. Di Indonesia terkenal dengan salep kulit 88. Asam
benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik.
Karena asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan
tanduk yang menderita terkelupas seluruhnya, sehingga pemakaian obat ini membutuhkan waktu
beberapa minggu sampai bulanan. Salep ini banyak digunakan pengobatan tinea pedis, dan
kadang-kadang juga untuk tinea kapitis. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga
ada keluhan kurang menyenangkan dari pemakainya karena salep ini berlemak.

11

Asam Undesilenat
Asam undesilenat merupakan cairan kuning dengan bau khas yang tajam. Dosis biasa
dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang
lama dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini aktif terhadap Tricophyton, Epidermohyton,
dan Microsporum. Obat ini tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5% undesilenat
dan 20% seng undesilenat. Dalam hal ini seng berperan untuk menekan luasnya peradangan.
Haloprogin
Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal putih kekuningan,
sukar larut dalam air tetapi larut dalam alcohol. Obat ini bersifat fungisidal terhadap
Tricophyton, Epidermohyton, dan Microsporum, dan Malassezia furfur. Haloprogin tersedia
dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1%.
Siklopiroks Olamin
Obat ini merupakan antijamur topikal berspektrum luas. Penggunaan kliniknya ialah
untuk dermatofitosis, kandidiasis, dan tinea versikolor. Siklopiroks olamin tersedia dalam bentuk
krim 1% yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang.
Terbinafin
Terbinafin merupakan suatu derivate alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin. Obat
ini digunakan secara topikal untuk dermatofitosis. Terbinafin topikal tersedia dalam bentuk krim
1% dan gel 1%. Terbinafin topikal digunakan untuk pengobatan tinea cruris dan corporis yang
diberikan 1-2 kali sehari selama 1-2 minggu.
Lalu untuk preparat antijamur sistemik digunakan jika infeksi kulit telah mengalami
keratinisasi: hanya digunakan jika lesi semakin meluas dan gagal merespon terhadap pengobatan
topikal. Biasanya dibutuhkan untuk pengobatan tinea capitis dan tinea unguium, tinea yang
mengalami inflamasi dan tinea pedis yang tipe hiperkeratosis-moccasin.

12

Griseofulvin
Griseofulvin diisolasi dari Penicillium griseofulvum dierckx. Griseofulvin efektif
terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Tricophyton, Epidermohyton, dan Microsporum.
Preparat ini dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin. Waktu
paruhnya kira-kira 24 jam. Obat ini akan dikumpulkan dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul
bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin sehingga sel baru ini akan
resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang telah mengandung jamur akan terkelupas dan
diganti oleh sel yang normal.
Efek samping yang berat jarang timbul akibat pemakaian griseofulvin. Namun dapat juga
timbul leukopenia, granulositopenia, sakit kepala, atralgia, neuritis perifer, demam, pandangan
kabur, insomnia, berkurangnya fungis motorik, pusing, sinkop, rasa kering pada mulut, mual,
muntah, diare, flatulensi, albuminuria, silinderuria. Pada kulit dapat terjadi urtikaria, reaksi
fotosensitivitas, eritema multiforme, vesikula dan erupsi menyerupai morbili.
Di Indonesia, griseofulvin mikrokristal tersedia dalam bentuk tablet berisi 125 dan 500
mg dan tablet yang mengandung partikel ultramikrokristal tersedia dalam takaran 330 mg.Untuk
anak, griseofulvin diberikan 5-15 mg/kgBB/hari sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari
dalam dosis tunggal. Griseofulvin diberikan selama 2-3 minggu. Bila dosis tunggal tidak dapat
ditoleransi, maka dibagi dalam beberapa dosis.
Ketokonazol
Ketokonazol merupakan turunan imidazol sintetik dengan struktur mirip mikonazol dan
klotrimazol. Obat ini meurpakan antijamur sistemik per oral yang penyerapannya bervariasi antar
individu. Obat ini menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan aktivitas berbagai
jenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada pasien dengan pH lambung
yang tinggi, pada pemberian bersama antagonis H2 atau bersama antasida. Pengaruh makanan
tidak begitu nyata terhadap penyerapan ketokonazol.
Setelah pemberian per oral, obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, liur, juga pada
kulit yang mengalami infeksi, tendo, cairan sinovial, dan cairan vaginal. Sebagian besar obat ini
mengalami metabolisme lintas pertama. Sebagian besar ketokonazol diekskresikan bersama
13

cairan empedu ke lumen usus dan hanya sebagian kecil saja yang dikeluarkan bersama urin,
semuanya dalam bentuk metabolit yang tidak aktif. Efek sampingnya antara lain mual, muntah,
sakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, pruritus, parestesia, gusi berdarah, erupsi kulit,
dan trombositopenia. Dosis yang dianjurkan pada dewasa adalah satu kali 200-400 mg sehari
selama 1 bulan.9
Untuk tinea cruris sebaiknya penderita mengganti pakaian dalam 2-3 kali sehari, gunakan
pakaian dalam berbahan katun yang menyerap keringat, dan usahakan terhindar dari berkeringat
atau udara panas.
Tinea cruris dapat mengalami infeksi sekunder oleh Candida atau bakteri lain. Area
tersebut dapat mengalami likenifikasi dan hiperpigmentasi pada infeksi jamur yang kronis.
Kesalahan pengobatan tinea cruris dengan steroid topikal dapat menyebabkan perburukan
penyakit. Walaupun pasien dapat menyadari gejala yang mereda, tapi infeksi dapat berlanjut dan
menyebar.9
Komplikasi
Tinea cruris dapat mengalami infeksi sekunder oleh Candida atau bakteri lain. Area
tersebut dapat mengalami likenifikasi dan hiperpigmentasi pada infeksi jamur yang kronis.
Kesalahan pengobatan tinea cruris dengan steroid topikal dapat menyebabkan perburukan
penyakit. Walaupun pasien dapat menyadari gejala yang mereda, tapi infeksi dapat berlanjut dan
menyebar.9
Prognosis
Prognosis tinea cruris umumnya baik apabila segera ditangani dan penderita menghindari
faktor-faktor pencetus dan teratur meminum obat atau memberi obat. Tetapi tidak sedikit
penderita yang mengalami penyakit ini bertahun-tahun atau bahkan seumur hidupnya.2
Pencegahan
Tinea cruris dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan. Dapat
juga menggunakan bedak yang mengandung mikonazol atau tolnaftat pada daerah yang rentan
terhadap infeksi jamur setelah mandi.9
14

Kesimpulan
Tinea cruris atau sinonimnya eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ataupun
ringworm of the groin adalah penyakit kulit akibat jamur dermatofita (dermatofitosis) pada lipat
paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan kelainan yang berlangsung seumur hidup. Pada tinea cruris ditemukan lesi
berbatas tegas atau sirkumskirp, dengan peradangan pada bagian tepi lebih nyata dibandingkan
dengan bagian tengah. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder
(polimorfi). Bila penyakit ini sudah menahun akan ditemukan bercak hitam disertai sedikit sisik.
Setelah melakukan tinjauan pustaka dan membandingkan gejala klinis dari tiap-tiap
diagnosis banding diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kasus diatas laki-laki tersebut menderita
tinea cruris. Dapat diberikan obat topikal maupun oral berupa antijamur sebagai
penatalaksanaannya. Hindari juga faktor-faktor pencetus seperti udara panas ataupun tidak
menjaga kebersian dan kelembapan kulit.

15

Daftar Pustaka
1. Hardjodisastro D. Menuju seni ilmu kedokteran: bagaimana dokter berpikir, bekerja, dan
menampilkan diri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006. h.218-9, 229-30.
2. Budimulja U. Mikosis dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. ed.6. Jakarta: Falkutas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h.92-9.
3. Kuswadji. Kandidosis dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. ed.6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h.106-9.
4. Budimulja U. Eritrasma dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. ed.6. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h.334-5.
5. Djuanda A. Psoriasis dalam: Dermatosis eritroskuamosa dalam Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. ed.6. Jakarta: Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h.189-195.
6. Djuanda A. Dermatitis Seboroik dalam: Dermatosis eritroskuamosa dalam Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. ed.6. Jakarta: Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h.200-2.
7. Sularsito S. A. dan Djuanda S. Dermatitis dalam: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. ed.6.
Jakarta: Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h.129.
8. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. Dermatofitosis. Dalam: Sutanto, I., Ismid, I. S., Sjarifuddin, P.K.,
Sungkar, S., editor. Buku ajar parasitologi kedokteran. ed.4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008. h.319-25.
9. Setiabudy, R. Bahry, B. Obat jamur. Dalam: Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi,

Elysabeth. Farmakologi dan terapi. ed.5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009. h.574-5, 579-82.

16

Anda mungkin juga menyukai