Anda di halaman 1dari 4

MAESTRO HUKUM

DR. Suparman Marzuki


Ketua Komisi Yudisial

Saya Tersesat
di Jalan yang Benar
Di ujung tahun 2013 Ketua Komisi Yudisial Suparman
Marzuki memaparkan berbagai persoalan hukum,
yang sebenarnya tergolong sudah usang. Dan
katanya, persoalan hukum itu bisa diatasi dengan
menerapkan sistem pengawasan sebagai instrumen
kontrol birokrasi dan prosedur penegakan hukum.
Itu hanya salah satu solusi.

elakanya, banyak pihak


yang berasumsi bahwa
lembaga pengawasan hadir
didasari kecurigaan terhadap
lembaga yang diawasi.
Suparman berpendapat, persoalan
hukum di Indonesia bukan hanya
dalam pelaksanaan hukum, tetapi
juga pembuatan undang-undang
itu sendiri. Banyaknya produk
undang-undang yang tidak bisa
dijalankan menjadi bukti kebobrokan dalam pembuatannya.
Dalam konteks itu, ia mengistilahkan Indonesia sebagai negara
lembek. Cirinya, merajalelanya
korupsi dan tingginya produksi
undang-undang sehingga terjadi
overlegislation.

INTEGRITAS - Edisi 10 Tahun 02 - 2014

29

MAESTRO HUKUM
Undang-undang tidak bisa
dijalankan karena sebagian besar
perundang-undangan bukan didesain untuk menjawab permasalahan hukum jangka panjang,
melainkan reaksi spontan atas
masalah-masalah yang muncul.
Itu sebabnya rumusan-rumusan
peraturan perundang-undangan
kita itu tidak menjawab masalah
secara substansial. Tidak menjawab penyebab masalah, hanya
menjadi semacam obat penawar
obat rasa sakit, tidak menyembuhkan penyebab penyakit itu,
tandas Suparman.
Produk undang-undang itu tidak
menjawab substansi masalah
karena pembuatannya bukan
konstruksi dari kebutuhan realitas.
Undang-undang kita itu
sepenuhnya bersifat top down dan
hasil konstruksi berpikir orangorang di belakang layar, seperti
politisi dan ilmuwan.
Seharusnya undang-undang
dibuat berdasarkan data riil yang
dibutuhkan masyarakat agar
memiliki relevansi sosial yang
kuat.
Mekanisme pembuatan undangundang, yang merupakan
mekanisme politik, membuat
aspirasi dan kepentingan politik
terlalu kental sehingga tidak
menjawab kebutuhan dan
kepentingan besar masyarakat
kecuali untuk mengadopsi
kepentingan pragmatis.

Tiga Problem di Level


Pelaksanaan Hukum
Setelah mengutarakan beberapa
problem di level pembuatan
produk undang-undang,
Suparman memaparkan tiga

30

Itu sebabnya rumusanrumusan peraturan


perundang-undangan kita
itu tidak menjawab
masalah secara
substansial. Tidak menjawab penyebab masalah,
hanya menjadi semacam
obat penawar obat rasa
sakit, tidak menyembuhkan penyebab
penyakit itu, tandas
Suparman.

problem di tingkat pelaksanaan


hukum.
Pertama di tingkat institusi.
Suparman menilai rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan merupakan masalah
krusial yang harus segera diatasi.
Modal sosial untuk membangun
negara hukum adalah trust. Modal
sosial kita itu rendah, bahkan
minus, tandasnya.
Kalau masyarakat masih menggunakan institusi penegak hukum,
lanjut Suparman, itu bukan karena
masyarakat percaya, melainkan
karena tidak punya pilihan. Sebab,
seluruh penyelesaian sengketa
saat ini diambil alih oleh
pemerintah.
Berbeda sebelum 1950-an,
masyarakat masih menggunakan

INTEGRITAS - Edisi 10 Tahun 02 - 20114

kearifan lokal atau institusi adat


untuk menyelesaikan sengketa.
Tiga institusi itu menyedot dana
paling besar, tapi tidak dipercaya,
jadi kita sebenarnya mengalami
kebangkrutan sosial, tambah
Suparman.
Kedua, rendahnya kualitas dan
kuantitas penegak hukum negara
ini. Ia mencontohkan lembaga
kepolisian sebenarnya masih
membutuhkan tambahan
personel. Sesuai dengan standar
PBB, seharusnya setiap satu polisi
menaungi 350 warga.
Selain itu, ia juga menilai para
penegak hukum memiliki kualitas
ilmu pengetahuan dan pondasi
moral yang rendah. Termasuk juga
terbatasnya ketersediaan sarana
dan prasarana para penegak
hukum.
Dan masalah terakhir di tingkat
pelaksanaan penegakan hukum
adalah rendahnya budaya hukum
di tengah-tengah masyarakat.
Padahal, seharusnya hukum harus
dijadikan kebutuhan dasar masyarakat selain sandang, pangan dan
papan. Ia mencontohkan ketika
dirinya melihat pihak yang berperkara masalah pemilihan umum
kepala daerah pemilu kada atau
pilkada datang ke Mahkamah
Konstitusi hanya untuk mencari
kemenangan, bukan mencari
keadilan.
Orang maju ke MK bukan untuk
diadili mencari keadilan, melainkan masing-masing berpikir bagaimana memenangkan. Pilkada
pertama di lapangan, pilkada
kedua di meja hakim, oleh karena
itu pertarungannya harus dimenangkan. Itu menjadi bagian dari
persoalan, paparnya.
Ketiga hal tersebut menurut

lembaga penegak hukum. Dalam


artian sempit, Suparman
mengakui pengawasan memang
sudah banyak dilakukan oleh
lembaga penegak hukum.
Seperti Mahkamah Agung atau
MA yang memiliki pengawasan
internal untuk mengawasi
administrasi, putusan pengadilan
dan KY juga mengawasi etika,
perilaku dan beberapa mekanisme
pengadilan.
Pengawasan secara luas juga
sudah dilakukan KY terhadap MA
seperti dalam hal perekrutan
hakim agung.

Suparman bukanlah persoalan


baru karena persoalan itu sudah
menjadi persoalan masa lalu. Tapi
ia menyayangkan bangsa ini tidak
bersungguh-sungguh dalam
membangun negara hukum.
Energi dan biaya lebih banyak
dialokasikan untuk membangun
kehidupan politik. Bukannya
kehidupan politik tidak penting,
tapi pembangunan hukum jauh
lebih penting.

Pengawasan Dibutuhkan untuk


Membangun Trust
Modal sosial untuk membangun
negara hukum adalah
kepercayaan masyarakat terhadap
institusi hukum itu sendiri.
Sayangnya, pemerintah tidak
menempatkan instrumen kontrol
dalam birokrasi dan prosedural
penegakan hukum.
Celakanya lagi, asumsi terhadap

instrumen kontrol itu rendah


karena basis orang berpikir bila
ada pengawasan berarti ada
faktor kecurigaan didalamnya.
Dan cara berpikir ini salah, ujar
Suparman.
Menurut Suparman, ketika sistem
penegakan hukum dibuat, di
dalamnya harus ada subsistem
pengawasan sehingga siapa pun
yang menggunakan sistem ini
akan membuat orang percaya.
Ibarat memasuki pintu
pengadilan, orang sudah percaya
bahwa pengadilan akan bekerja
dengan baik secara birokrasi dan
prosedural karena ada subsistem
pengawasan di dalamnya.
Lantas, seperti apa pengawasan
yang seharusnya dilakukan untuk
membangun negara hukum?
Suparman menekankan bahwa
kehadiran Komisi Yudisial atau KY
adalah untuk membangun
kepercayaan masyarakat terhadap

Kami membuat proses rekrutmen


hakim agung yang transparan dan
akuntabel untuk mencari hakim
agung yang berintegritas. Kalau
kita berhasil menemukan hakim
agung yang seperti itu, dia akan
menjadi hakim yang bisa
mengawasi dirinya sendiri dan
mengawasi lingkungan tempat dia
bekerja, kata Suparman.
Suparman mengakui peran KY
untuk melakukan pengawasan di
bidang rekrutmen terbatas hanya
pada hakim agung, sedangkan
pada hakim biasa bukan domain
mereka.
Tersesat di Jalan yang Benar
Suparman dibesarkan dalam
keluarga sederhana. Ketika
beranjak remaja ia merantau ke
Tanjungkarang, Lampung,
melanjutkan sekolah menengah
pertama. Anak ke-13 dari 14
bersaudara ini kemudian
melanjutkan perantauan ke
Yogyakarta dan bersekolah di
SMA terbaik pada waktu itu, SMA
Negeri 3 Yogyakarta. Pria
berusia 52 tahun yang lahir di
Lampung ini mengaku tidak

INTEGRITAS - Edisi 10 Tahun 02 - 2014

31

MAESTRO HUKUM
pernah memiliki cita-cita berkarir
di dunia hukum. Selepas lulus
SMA pada 1981, Suparman
bermimpi kuliah di Universitas
Gadjah Mada, Fakultas Ilmu Sosial
Politik, Jurusan Hubungan
Internasional. Ia ingin menjadi
diplomat.
Namun sayang, ia gagal tes ke
jurusan favoritnya itu. Ia pun
memutuskan mendaftar kuliah di
Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta, tetapi karena tidak
berminat jurusan ekonomi,
akhirnya tanpa berpikir panjang ia
memilih Fakultas Hukum UII.
Atmosfer di FH UII membuatnya
betah sehingga ia pun akhir jatuh
cinta kepada ilmu hukum. Selama
menjadi mahasiswa, Suparman
juga aktif berorganisasi, antara
lain di Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI).
Bukan saja materinya, tetapi
atmosfir lingkungannya yang
egaliter, kompetitif, hubungan
dosen dan mahasiswa yang
terbuka, itu membuat suasana
batin saya betah, saya merasa
tersesat di jalan yang benar.
Akhirnya saya enjoy dan
memantapkan hati di dunia
hukum, tutur Suparman.
Persinggungannya dengan KY
berawal pada 2006. Ketika itu ia
banyak membantu KY dalam
berbagai penelitian. Keinginannya
mengabdi di KY semakin kuat
ketika para kolega dan sahabatnya
ikut memberi dorongan. Ia lalu
menjabat Ketua Bidang
Pengawasan Hakim dan
Investigasi KY. Dan pada
pertengahan 2013 ia terpilih
menjadi ketua menggantikan
Eman Suparman.

Kami membuat proses


rekrutmen hakim agung
yang transparan dan
akuntabel untuk mencari
hakim agung yang
berintegritas. Kalau kita
berhasil menemukan
hakim agung yang seperti
itu, dia akan menjadi
hakim yang bisa
mengawasi dirinya sendiri
dan mengawasi
lingkungan tempat dia
bekerja, kata Suparman.

yang tetap dipegang dan


dijaganya sampai saat ini. Yaitu, ia
selalu berdoa dan
memperjuangkan dirinya agar
bermanfaat bagi sebanyakbanyaknya orang lain dimanapun
ia berada. Baginya hidup bukan
untuk diagendakan, tapi hidup itu
harus mengalir mengikuti proses.
Yang saya pentingkan saya
bangun dalam diri saya; bukan
mau jadi apa saya kelak, tapi
bagaimana saya menjalani hidup.
Itu menurut saya lebih penting,
tuturnya.
Kalaupun toh saya menjadi dosen
dalam satu menit, satu menit itu
orang merasakan manfaat
kehadiran saya. Kalaupun toh saya
menjadi ketua KY dalam dua
tahun, saya berharap lembaga ini
merasakan manfaat kehadiran
saya.

Suparman memiliki satu prinsip

32

INTEGRITAS - Edisi 10 Tahun 02 - 20114

Itu yang saya selalu pertahankan,


bangun, saya pelihara dengan
baik, dan saya percaya Allah tidak
akan menyia-nyiakan hambanya
yang selalu berdoa dan berusaha
menjadikan dirinya orang baik,
tambahnya kemudian.
Baginya bisa melalui jenjang
pendidikan dan jenjang karir
seperti saat ini merupakan
anugerah Tuhan tak terkira.
Terlebih ia juga sangat bersyukur
karena dikaruniai empat anak
yang sedang menapaki jenjang
pendidikan hukum di bangku
kuliah dan SMA, dan satu
diantaranya sudah menjadi
dokter.
Suparman mengakui dirinya tidak
pernah punya target dan tak
pernah menghitung waktu. Yang
ia lakukan adalah bagaimana
mengisi waktu-waktu tersebut.
Tapi apa yang saya lakukan untuk
mengisi umur-umur itu, itu jauh
lebih penting dan mendasar,
katanya kemudian. Ia sangat
terinspirasi dengan sosok ayahnya
yang selalu menekankan
pentingnya meraih pendidikan
tinggi agar kehidupan anakanaknya semakin maju.
Meskipun bapak saya itu cuma
tamatan kelas 4 Sekolah Rakyat,
tapi dia selalu mengatakan kalau
orang yang berpendidikan itu
memiliki banyak pilihan dalam
hidup, kenang Suparman.
Semangat seperti itu ditanamkan
betul oleh bapak saya kepada
anak-anaknya, tutup Suparman
mengakhiri wawancara.
Ian/Db

Anda mungkin juga menyukai