Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada jaman globalisasi saat ini penggunaan alat transportasi sudah


semakin ramai dipergunakan oleh masyarakat dari kota maupun desa , hal itu bisa
dibuktikan dengan adanya jumlah kenaikan kendaraan dilihat dari tahun ke tahun.
Masyarakat kini sudah tidak lagi menggunakan alat transportasi tradisional
banyak dari mereka sudah beralih menuju alat tranportasi modern. Penggunaan
alat transportasi ini selain digunakan untuk bepergian, masyarakat juga sudah
semakin marak menggunakan alat transportasi modern untuk usaha pengiriman
barangnya, hal itu dikarenakan hemat energi dan tentu saja juga menghemat
waktu dalam pengiriman barang. Dalam kehidupan manusia, pengiriman barang
yang lazim disebut pengangkutan dan hal tersebut memegang peranan yang sangat
penting. Demikian juga halnya dalam dunia perdagangan, bahkan pengangkutan
memegang peranan yang mutlak, sebab tanpa pengangkutan perusahaan akan
mengalami kesulitan untuk dapat berjalan. Nilai suatu barang tidak hanya
tergantung dari barang itu sendiri, tetapi juga tergantung pada tempat dimana
barang itu berada, sehingga dengan pengangkutan nilai suatu barang akan
meningkat. Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan
barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk
meningkatkan daya guna dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat
diadakan perpindahan barang-barang dari suatu tempat yang dirasa barang itu
kurang berguna ketempat dimana barang-barang tadi dirasakan akan lebih
bermanfaat.
Namun dalam hal usaha pengiriman barang tentu saja tidak selalu akan
berjalan mulus ada beberapa faktor yang menghambat hal tersebut, hal ini tentu
saja akan merugikan agen pengiriman beserta para konsumen yang menggunakan
jasa mereka. Dalam tulisan ini saya akan mencoba menjelaskan tentang

Pentingnya Prinsip Tanggung Jawab Perusahaan Pengangkut Mengenai


Kerusakan Barang
1.2 Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan timbulnya kerusakan barang
pada saat pengiriman barang?
2. Bagaimana prinsip tanggung jawab pengangkut mengenai terjadinya kerusakan
barang?
1.3 Tujuan Penulisan
1. untuk memenuhi penilaian dari dosen Hukum Pengangkutan Fakultas Hukum
Universitas Udayana
2. Untuk mengetahui faktor penyebab kerusakan dalam pengiriman barang oleh
pengangkut
3. Agar mengetahui prinsip dan tanggung jawab yang benar pengangkut mengenai
terjadinya kerusakan barang
1.4 Manfaat Penulisan
1. Untuk Institusi
Tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan
untuk mengembangkan teori serta ilmu pengetahuan khususnya di bidang
ilmu hukum

2. Untuk penulis/penyusun selanjutnya


Tulisan ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan dan sebagai
acuan bagi penulis/penyusun selanjutnya untuk lebih menyempurnakan
makalah ini.
3. Untuk Pembaca
Tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk
menambah pengetahuan pembaca.
2

BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Pengangkutan
Kata pengangkutan berasal dari kata angkut yang artinya angkat atau
bawa, muat dan bawa atau kirimkan. Mengangkut artinya mengangkat dan
membawa, memuat dan membawa atau mengirimkan. Pengangkutan artinya
pengangkatan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman
barang atau orang, barang atau orang yang diangkut. Jadi dlam pengertian
pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari satu tempat ke
tempat lain1. Dalam definisi pengangkutan tersebut dapat diketahui berbagai aspek
pengangkutan sebagai berikut:
1. pelaku, yaitu orang yang melakukan pengangkutan. Pelaku ini ada yang berupa
badan usaha, seperti perusahaan pengangkutan, dan ada pula yang berupa
manusia pribadi, seperti buruh pengangkutan di pelabuhan.
2. alat pengangkutan, yaitu alat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pengangkutan, alat ini digerakan secara mekanik dan memenuhi syarat undangundang, seperti kendaraan bermotor, kapal laut, kapal udara, derek (crane)
3. barang atau penumpang, yaitu muatan yang diangkut. Barang muatan yang
diangkut adalah barang-barang perdagangan yang sah menurut undang-undang
4. perbuatan, yaitu kegiatan mengangkut barang atau penumpang sejak permuatan
sampai dengan penurunan ditempat tujuan yang ditentukan
5. fungsi pengangkutan, yaitu meningkatkan kegunaan dan nilai barang atau
penumpang (tenaga kerja)
6. tujuan pengangkutan, yaitu sampai atau tiba di tempat tujuan yang ditentukan
dengsan selamat, biaya pengangkutan lunas.2
b. Definisi perjanjian pengangkutan
1

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19
2
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,
jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 19-20

Purwosutjipto (1984) merumuskan definisi perjanjian pengangkutan


sebagai perjanjian timbal balik dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar biaya pengangkutan.3 biasanya dalam perjanjian pengangkutan,
penyelenggaraannya meliputi 4 tahap yakni:4
1. Tahap persiapan pengangkutan, yang meliputi penyediaan alat
pengangkutan, penyerahan muatan barang atau penumpang yang diangkut,
pembuatan dan penyelesaian dokumen pengangkutan.
2. Tahap kegiatan pengangkutan, yang meliputi kegiatan pemindahan
muatan barang atau penumpang dengan alat pengangkutan dari tempat
keberangkatan ketempat tujuan yang disepakati
3. Tahap penyerahan muatan barang atau penumpang kepada penerima,
atau turunnya penumpang, dan pembayaran biaya dalam pengangkutan
barang jika belum dibayar oleh pengirim.
4. Tahap pemberesan atau penyelesaian persoalan yang terjadi selama atau
sebagai akibat pengangkutan.
Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkutan dengan
pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk

menyelengarakan

pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan.
Fungsi pengangkutan pada dasarnya adalah untuk memindahkan barang atau
orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna
dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barangbarang dari suatu tempat yang dirasa barang itu kurang berguna ke tempat dimana
barang-barang tadi dirasakan akan lebih bermanfaat.5

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 20
4
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,
jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 93
5
Asikin Zainal, 2013, Hukum Dagang, jilid I, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h.153

2.1 Faktor apa yang menyebabkan keterlambatan dalam pengiriman barang


Dalam penyelenggaraan pengangkutan, pengangkut menyediakan alat
pengangkutan dan pengirim menyerahkan surat muatan serta barang muatan yang
akan diangkut. Pengangkut biasanya memeriksa muatan barang yang diangkut
berdasarkan surat muatan. Kebiasaan dalam pengangkutan ialah bahwa muatan
barang yang sudah diketahui jenis jumlahnya, seperti batu bata, pasir kali, beras
yang dikarungi, tidak diperlukan surat muatan karena sudah diketahui jenis dan
jumlahnya ketika melakukan pemuatan. Dalam perjanjian pengangkutan,
kewajiban pokok pengangkut adalah sebagai berikut:6
1. menyelenggarakan pengangkutan barang atau penumpang dari tempat muatan
sampai tempat tujuan dengan selamat;
2. merawat, menjaga, memelihara barang atau penumpang yang diangkut sebaikbaiknya;
3. menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan lengkap, utuh,
tidak rusak, atau tidak terlambat
4. melepaskan dan menurunkan penumpang ditempat tujuan atau pemberhentian
sebaik-baiknya.
Namun dalam perjanjian pengangkutan tersebut pasti tidak akan selalu
terlaksana itu dikarenakan adanya hambatan-hambatan ketika melakukan
pengiriman barang. Beberapa hambatan yang masih dialami oleh pihak-pihak
dalam pengangkutan, baik pengirim, pengangkut, ataupun penumpang, pada
dasarnya berkisar pada masalah tidak disipilin waktu, tidak disiplin muatan, tidak
disiplin pungutan, dan gangguan keamanan ketertiban perjalanan.7
a. tidak disiplin waktu
waktu keberangkatan alat pengangkutan, baik mengenai pengangkutan
muatan barang maupun mengenai pengangkutan penumpang, yang telah dijadwal
sering kali tidak dipenuhi oleh pengangkut, tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kedisiplinan waktu ini dianggap sebagai hal yang sudah
6

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76
7
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,
jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111-114

wajar,

terutama

pada

pengangkutan

darat,

laut

yang

tidak

ekspres.

Ketidakdisiplinan waktu keberangkatan ini amat membosankan penumpang dan


juga dapat merugikan baik pengirim maupun penumpang. Berhung pengangkutan
adalah sector usaha yang vital bagi kehidupan masyarakat, maka diharapkan bagi
para pengusaha yang bergerak di bidang usaha pengangkutan mentaati disiplin
waktu.
b. Tidak disiplin muatan
setiap alat pengangkutan telah ditetapkan kapasitas maksimumnya, baik
pada pengangkutan muatan barang maupun pada pengangkutan penumpang.
Ketentuan ini sering dilanggar oleh pihak pengangkut yang tidak disiplin. Jumlah
muatan barang atau penumpang yang dimuat ke dalam alat pengangkutan sering
melebihi kapasitas maksimum yang ditetapkan menurut peraturan yang berlaku.
Sepintas lalu muatan yang melebihi kapasitas itu menguntungkan pengangkut
karena memperoleh pembayaran biaya pengangkutan lebih banyak. Tapi jika
dilihat dari sisi penumpang dan barang, muatan yang melebihi nkapasitas itu besar
kemungkinan menimbulkan kecelakaan yang merugikan pihak-pihak. Bagi
penumpang dapat menimbulkan kecelakaan atau kematian, bagi pengirim dapat
menimbulkan kerugian karena pengangkutan yang tidak selamat, bagi pengangkut
dapat menimbulkan kerugian rusaknya atau musnahnya alat pengangkutan itu,
bagi negara rusaknya fasilitas jalan, darat, jembatan, dan kerugian modal yang
ditanam pada perusahaan pengangkutan BUMN, Perum asuransi.

c. Tidak disiplin waktu


dalam pengangkutan telah ditetapkan biaya-biaya yang wajib dibayar
menurut ketentuan peraturan yang berlaku, baik jenisnya maupun jumlahnya
(tarifnya). Tapi ketentuan tersebut tidak dipatuhi, karena dalam praktek
pengangkutan muncul yang disebut pungutan liar (pungli). Pungutan liar adalah
pungutan yang dilakukan oleh oknum petugas tertentu secara tidak sah , atau
bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Biasanya makin banyak prosedur
6

yang ditempuh bdalam proses pengangkutan, makin sering terjadi pungli. Apabila
masalah pungli ini tidak ditangani secara structural dan bersistem, dikhawatirkan
akan berlanjut terus, sehingga menjadi beban bagi masyaraka, dan akhirnya sulit
untuk diberantas. Pungli termasuk perbuatan yang memperkaya diri tanpa hak
atau tidak ahalal, yang dapat diklasifikasikan sebagai korupsi.

d. Gangguan keamanan dan ketertiban


gangguan keamanan sering dijumpai di dalam alat pengangkutan, kecuali
pesawat udara. Gangguan tersebut berupa pencurian, pencopetan. Sedangkan
gangguan dari luar alat pengangkutan berupa pelemparan waktu terutama pada
pengangkutan kereta api. Gangguan ketertiban sering dijumpai pada penjualan
tiket penumpang yang dikuasai oleh calo bahkan sampai tingkat penipuan harga
tiket penumpang. Ini terutama dijumpai pada pengangkutan darat dan laut. Selain
itu juga tidak tertibnya sopir bis mengemudikan kendaraannya yang sangat
berbahaya bagi penumpang, sehingga sering terjadi kecelakaan lalu lintas.
2.2 Prinsip tanggung jawab pengangkut mengenai terjadinya kerusakan
barang
Seperti yang telah dikemukakan oleh Purwosutjipto (1984) sistem hukum
Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara
tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan kehendak atau consensus.
Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelenggaraan
pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam
perjanjian itu. Yang dimaksud dengan dokumen pengangkutan ialah setiap tulisan
yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan, berupa naskah, tanda terima,
tanda penyerahan, tanda milik atau hak.
Apabila pengangkut tidak menyelenggarakan pengangkutan sebagaimana
timbul dari perbuatan penyelenggaraan pengangkutan baik karena kesengajaan
ataupun karena kelalaian pengangkutan sendiri. Timbulnya konsep tanggung

jawab karena pengangkutan memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya,


atau tidak baik, atau tidak jujur, atau tidak dipenuhi sama sekali.
Tetapi dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung
jawab pengangkut. Artinya apabila timbul kerugian, pengangkut bebas dari
pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal itu adalah:8
a. keadaan memaksa (overmacht);
b. cacat pada barang atau penumpang itu sendiri
c. kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang
ketiga hal tersebut diakui baik dalam undang-undang maupun dalam doktrin ilmu
hukum. Di luar ketiga hal tersebut pengangkut bertanggung jawab.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat
ketentuan yang membatasi tanggung jawab pihak-pihak. Kontrak adalah suatu
lembaga hukum (legal institution) yang menjadi dasar dari hampir sebagian besar
hubungan bisnis, setiap penjualan harta benda, jasa, dan hubungan kerja
melibatkan lembaga kontrak9. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi
tanggung jawab berdasarkan kelayakan. Apabila perjanjian itu dibuat secara
tertulis , biasanya pembatasan itu dituliskan secara tegas dalam syarat-syarat atau
klausula perjanjian. Tetapi apabila perjanjian dibuat secara tidak tertulis (lisan),
maka kebiasaan yang berintikan kelayakan atau keadilan memegang peranan
penting disamping ketentuan undang-undang. Bagaimanapun pihak-pihak
dilarang menghapuskan sama sekali tanggung jawab (pasal 470 ayat 1 KUHD,
untuk pengangkut).
Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam pasal 1236 dan 1246
KUHPdt. Menurut ketentuan pasal 1236 KUHPdt, pengangkut wajib membayar
ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga layak diterima, bila ia
tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyelamatkan
barang muatan. Pasal 1246 KUHPdt menentukan bahwa biaya, kerugian, dan

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 22
9
Sardjono Agus et. al., 2014, Pengantar Hukum Dagang, jilid I, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h. 5

bunga itu pada umumnya terdiri dari kerugian yang telah diderita dan laba yang
sedianya akan diterima.10
Selain kewajiban pengangkut yang diatur dalam KUHPerdata, Dalam
Undang undang Perlindungan konsumen hal itu sudah diatur pula, yaitu pada
pasal 19 yang berisi aturan sebagai berikut:11
1. pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan
atau jasa yang dihasilkan
2. ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
3. pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi
4. pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan
5. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan
kesalahan konsumen.
Selain itu pertanggung jawaban juga diatur di dalam Kitab Undangundang Hukum Dagang bab kesembilan tentang asuransi atau pertanggungan
seumurnya. Menurut pasal 246 KUHD, asuransi atau pertanggungan adalah
suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tidak tentu.12
10

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 22-23
11
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, jilid I, Kencana, Jakarta, h.
150
12
Hasyim Farida, 2009, Hukum Dagang, cetakan keempat, Jakarta, h. 32

Saefullah wiradipradja (1989) mengemukakan setidak-tidaknya ada tiga


prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan yaitu:
a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam
penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti
kerugian atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak
yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban
pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini
adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata
tentang perbuatan melawan hukum.13
b. prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga
Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya.
Tetapi jikan pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Yang dimaksud dengan
tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan
yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan
kerugian itu tidak mungkin terhindari. Beban pembuktian ada pada pihak
pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup
menunjukan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang
diselenggarakan oleh pengangkut.14
c. Prinsip tanggung jawab mutlak
Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti
kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan
pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung
jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak

13

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 27
14
Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,
jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 28

10

mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsure kesalahan tidak


relevan.15

BAB III
PENUTUP
15

Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,


jilid II, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 28

11

3.1 Kesimpulan
a. Pengangkutan merupakan salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam
kehidupan masyarakat. Pengangkutan itu sendiri mengandung kegiatan memuat
barang atau penumpang, membawa barang atau penumpang ke tempat lain, dan
menurunkan barang atau penumpang.
b. Timbulnya hambatan-hanmbatan dalam pengangkutan terutam karena erosi
disiplin, tidak mematuhi aturan yang telah ditentukan. Disamping itu juga
karena tidak regasnya aparat penegak hukum melaksanakan peraturan dan
melakukan penindakan terhadap pelanggar peraturan hukum pengangkutan.
c. Agen pengangkutan dalam melakukan tugasnya harus memiliki 3 prinsip
tanggung jawab yaitu prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, prinsip
tanggung jawab berdasarkan praduga, prinsip tanggung jawab mutlak.
3.2 Saran
Dalam penyelenggaraan pengangkutan pasti tidak akan selalu menemui
jalan yang mulus ada saja hambatan yang akan dialami. Untuk mengatasi
hambatan-hambatan

yang

merugikan

pihak-pihak

dalam

perjanjian

pengangkutan, perlu ditertibkan tingkah laku para aparat atau petugas yang
mengurus masalah pengangkutan dan dipertegas sanksi hukum bagi pelanggar
hukum pengangkutan.

12

Anda mungkin juga menyukai