Anda di halaman 1dari 6

Analisis koefisien korelasi karakteristik responden dengan variabel endogen

Korelasi Spearman (rho) adalah metode yang digunakan untuk analisis korelasi.
Metode ini termasuk metode statistik non parametric, yang artinya metode uji ini tidak
membutuhkan suatu pengukuran dengan tingkat ketelitian yang tinggi bila dibandingkan
dengan uji parametrik. Korelasi Spearman merupakan uji statistik yang digunakan untuk
menguji hipotesis asosiatif dua variabel bila data yang digunakan berskala ordinal (ranking).
Pengolahan data menggunakan software SPSS untuk melihat hasil korelasi dan signifikasi
antara masing-masing pasang indikator, dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 2 Korelasi Spearman


Spearman's
rho

Korelasi
Y1

Usia

Pendidikan

Y2

Correlation
Coefficient

-,165

Sig. (2-tailed)
N
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation
Coefficient

,172
70
,278*

,130
Kecende
rungan lebih
loyal
,285
70
,201

,020
70
Masa Kerja
-,209
kerja fisik
dan non fisik
Sig. (2-tailed)
,083
N
70
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Expert knowledge,
empiris, kuantitatif
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Sumber: Data primer 2016

,095
70
,038

,755
70

Merujuk pada data tabel 2, hasil analisis korelasi Spearman dengan software SPSS,
bahwa koefisien korelasi usia terhadap kuantitas kerja (Y1) bernilai negatif, menurut
Sugiyono (2007) nilai negatif ini menunjukkan arah berlawanan, artinya semakin tinggi usia
maka kuantitas kerja akan semakin menurun. Menurut Winardi (2001) kuantitas kerja

berhubungan dengan kemampuan kerja untuk menghasilkan pekerjaan sesuai dengan target
perusahaan yang tercermin dari jumlah hasil kerja, maka dari itu diperlukan kondisi tubuh
yang selalu sehat dan kuat. Penurunan kuantitas kerja disebabkan oleh penurunan kesehatan
rata-rata responden yang didukung dengan peningkatan usia. Kemudian koefisien korelasi
usia terhadap kualitas kerja (Y2) memiliki nilai yang positif dan tak signifikan, berarti
peningkatan usia responden akan meningkatkan kinerjanya, walaupun tidak secara signifikan.
Responden yang memiliki usia yang semakin tinggi, memiliki kualitas kerja yang semakin
baik.
Koefisien korelasi pendidikan terhadap kuantitas kerja (Y1) bernilai positif dan
signifikan, yang artinya hubungan antara pendidikan dan kinerja searah. Menurut Sugiyono
(2007) nilai positif ini menunjukkan hubungan searah. Meningkatnya pendidikan responden,
akan berdampak positif pada kinerja. Hal yang sama terjadi pada korelasi antara tingkat
pendidikan terhadap kualitas kerja (Y2) kerja. Nilai yang dihasilkan positif, berarti tingkat
pendidikan semakin tinggi, menyebabkan kinerja meningkat.
Terakhir untuk koefisien korelasi masa kerja terhadap kuantitas kerja (Y1) bernilai
negatif, menurut Sugiyono (2007) nilai negatif ini menunjukkan arah berlawanan, artinya
semakin tinggi masa kerja maka kuantitas kerja akan semakin menurun. Hubungan antara
masa kerja dengan kualitas kerja (Y2) memiliki nilai yang positif dan tak signifikan, berarti
peningkatan masa kerja responden akan meningkatkan kinerjanya, walaupun tidak signifikan.
Masa kerja yang semakin tinggi menggambarkan responden yang semakin cakap dalam
pekerjaannya, sehingga dengan pengalaman kerja yang semakin lama, secara otomatis akan
meningkatkan kualitas pekerjaannya.
Metode kedua yang digunakan yaitu analisis chi square kontingensi untuk data
responden jenis kelamin dengan variabel endogen yaitu kinerja. Chi square adalah analisis
untuk mengetahui apakah distribusi data seragam atau tidak, uji ini disebut juga uji
keselarasan atau goodness of fit test. Teknik analisis ini memudahkan peneliti dalam menilai
kemungkinan memperoleh perbedaan frekuensi yang nyata dengan frekuensi yang
diharapkan dalam kategori-kategori tertentu (Sugiarto 2002). Berikut merupakan hasil
analisis chi square kontingensi menggunakan tabel kontingensi.
1) Hipotesis H0 dan H1
H0: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kinerja.
H1: terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kinerja.
2) Nilai kontingensi antara jenis kelamin dengan kinerja yaitu Y1 (kuantitas kerja) dan
Y2 (kualitas kerja) dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 3 Kontingensi
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Sumber: Data primer 2016

Kinerja
Y1
15
44
59

Total
Y2
15
49
64

30
93
123

3) Nilai frekuensi yang diharapkan (fe)


(total baris)(total kolom)
Nilai fe untuk setiap sel diperoleh dari
. Nilai kontingensi baru
(total total)
setelah penambahan nilai fe dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 4 Kontingensi baru

Kinerja
Jenis Kelamin

Y1

Laki-laki

fo
15

fe
14.39

Perempuan

44

44.6

Total

59

59

fo
1
5
4
9
6
4

Total
Y2
fe
15.61

fo
30

fe
30

48.4

93

93

64

123

123

Sumber: Data primer 2016


4) Nilai chi square
Diperoleh dengan rumus 2=(

(fofe)2
fe

, sehingga diperoleh nilai chi square sebesar

0.034
5) Kriteria pengujian
Jika 2 hitung lebih kecil dari 2 tabel maka Ho diterima dan jika 2 hitung lebih besar dari
2 tabel maka Ho ditolak.
6) Nilai 2 tabel
Taraf signifikansi () = 0.05
Derajat kebebasan = (baris-1) (kolom-1)
= (2-1) (2-1)
=1
Maka 2 tabel = 3.84
7) Hasil perbandingan
Berdasarkan hasil perbandingan antara 2 hitung dengan 2 tabel diperoleh nilai
sebesar 0.034, dengan nilai chi square tabel sebesar 3.84 2 hitung lebih kecil daripada 2
tabel maka tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kinerja
(kuantitas kerja dan kualitas kerja).
Evaluasi Model Structural Equation Modeling Partial Least Square (PLS)
Evaluasi Outer Model (Model Pengukuran)
Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada prosedur analisis data, evaluasi model
pengukuran melibatkan uji validitas dan reliabilitas data. Uji validitas didasarkan pada nilai
faktor loading harus diatas 0.6. Evaluasi konstruk motivasi dilakukan dengan menggunakan
nilai factor loading dari setiap indikator. Penelitian ini menggunakan empat indikator
variabel, yakni keahlian/passion(X1.1), insentif (X1.2), latar belakang social (X1.3), dan
pengembangan karir (X1.4). Factor loading yang dimiliki X1.1, X1.2, X1.3, X1.4 secara
keseluruhan memenuhi syarat minimal, yaitu 0.6 seperti yang tertera di lampiran 7 atau nilai
outerloadings pada lampiran 11. Hal tersebut membuktikan bahwa indikator pembentuk
motivasi memiliki validitas yang baik dan seluruh indikator tentunya memiliki pengaruh yang
berarti terhadap motivasi.
Analisis factor loading pada variabel lingkungan kerja merupakan evaluasi
menggunakan validitas konvergen model refleksif. Nilai tersebut menggambarkan validitas
indikator pembentuk lingkungan kerja. Lingkungan kerja sendiri memiliki lima indikator
yang digunakan peneliti, yaitu gaya kepemimpinan (X2.1), bau (X2.2), sirkulasi udara (X2.3),
penerangan (X2.4), serta hubungan antar sesama karyawan (X2.5). Dari kelima indikator

lingkungan kerja tersebut, terdapat satu indikator yang tidak memenuhi syarat atau nilai
factor loading nya berada dibawah 0.6 seperti yang terlihat pada lampiran 7, sehingga
disarankan untuk dihilangkan. Setelah dihilangkan, indikator akan dikalkulasi ulang
menggunakan PLS yang terlihat pada lampiran 8. Sehingga dapat disimpulkan bahwa empat
dari lima indikator lingkungan kerja teruji validitasnya.
Variabel terakhir yang diuji validitas indikatornya adalah kinerja. Evaluasi validitas
konvergen dapat dilihat dari nilai faktor loading seperti yang tertera di lampiran 7 atau outer
loadingnya pada lampiran 11. Variabel ini memiliki dua indikator, yaitu kuantitas kerja (Y1)
dan kualitas kerja (Y2). Masing-masing indikator telah diolah dan mendapatkan nilai factor
loading diatas 0.6. Hal tersebut membuktikan juga bahwa kedua indikator memiliki validitas
yang sudah teruji baik.
Selanjutnya adalah evaluasi model berdasarkan validitas diskriminan pada model
refleksif dengan melihat nilai cross loadings, seperti yang terlampir di lampiran 9. Nilai
korelasi antar indikator dengan variabel latennya harus memiliki nilai yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai korelasi dengan variabel laten lainnya. Dapat dilihat bahwa X1.1,
X1.2, X1.4, memiliki nilai cross loadings yang lebih besar terhadap motivasi dibandingkan
terhadap variabel laten lingkungan kerja maupun kinerja, kecuali X1.3 memiliki nilai yang
lebih rendah dari indikator pada konstruk lingkungan kerja, yakni gaya kepemimpinan.
Begitu juga dengan X2.1, X2.3, dan X2.5, nilai cross loadings lebih tinggi terhadap
lingkungan kerja dibandingkan dengan variabel laten lain, namun untuk X2.2 nilainya lebih
rendah dibandingkan dengan indikator lain pada konstruk yang berbeda, yakni indikator
kuantitas kerja pada konstruk kinerja. Sedangkan Y1 dan Y2 memiliki nilai lebih baik
terhadap variabel yang sama dibandingkan variabel laten yang lain (motivasi dan lingkungan
kerja). Data tersebut juga menunjukkan bahwa konstruk/variabel indikator secara diskriminan
baik dalam memprediksi indikator pada masing-masing variabel laten. Sedangkan untuk
variabel laten lingkungan kerja dan motivasi, terdapat satu indikator yang memiliki prediksi
rendah terhadap variabel latennya.
Menguji kevalidan suatu pengukuran dapat pula melihat dari sudut nilai AVE dan
Communality, seperti yang terlihat pada tabel 1. Nilai yang dihasilkan seluruh konstruk
(variabel laten) diatas 0.5, sehingga dapat dikatakan dengan nilai tersebut persyaratan
validitas konvergen terpenuhi pada model ini.
Tabel 5 Nilai AVE dan Communality
No. Variabel laten
AVE
Communality
1
Kinerja
0,788606
0,788606
2
Lingkungan
0,629336
0,629336
3
Motivasi
0,550251
0,550251
Sumber: Data Primer 2016
Setelah uji validitas selesai, selanjutnya akan menguji reliabilitas suatu pengukuran.
Reliabilitas merupakan uji kekonsitenan suatu pengukuran model. Nilai reliabilitas dapat
dilihat pada tabel 3, terlihat nilai reliabilitas ketiga variabel laten diatas 0.6 baik dari sudut
nilai cronbachs alpha, mapun composite reliability variable, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ketiga variabel memiliki tingkat kekonsistenan dan keakuratan yang baik dalam
mengukur seluruh konstruk.
Tabel 6 Nilai composite reliability variable dan cronbachs alpha
No. Variabel laten
Composite Reliability
Cronbachs Alpha
1
Kinerja
0,881625
0,738298
2
Lingkungan
0,870181
0,804946

3
Motivasi
Sumber: Data Primer 2016

0,828544

0,725836

Evaluasi Inner Model (Model Struktural)


Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada outer model, akan dilanjutkan
dengan analisis inner model yang sering disebut model struktural. Tahap ini bertujuan
menganalisis tingkat estimasi antar variabel bebas (motivasi dan lingkungan kerja) dengan
variabel terikat (kinerja). Analisis pengaruh antar variabel dapat melihat nilai nilai R square
pada tabel 3 hasil pengolahan PLS dan Original Sample (O) seperti yang tertera pada tabel 4.
Tabel 7 Nilai R square
No. Variabel laten
Nilai R square
1
Motivasi
0.00000
2
Lingkungan kerja
0.00000
3
Kinerja
0,659520
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan nilai pada tabel 3, besarnya koefisien determinasi (R square) sebesar
0,659520 atau = 65.95%, sedangkan sisanya sebesar 34.05% dipengaruhi oleh variabel lain di
luar variabel yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Hasil R square untuk variabel
endogen yang diperoleh dari model struktural menunjukkan bahwa nilainya berada pada level
model moderat.
Tabel 8 Path coefficients (t-values)
No. Variabel
1
Lingkungan kerja-> kinerja
2
motivasi kerja -> kinerja
Sumber: Data Primer 2016

Original Sample (O)


0,479086
0,392457

T-Statistics
3,726439
3,766114

Data yang tertera pada tabel 4, menunjukkan nilai 0,479086 dan 0,392457, yang
merupakan besarnya estimasi hubungan antara motivasi dan lingkungan kerja terhadap
kinerja. Sedangkan nilai T-Statistics pada tabel 4, menunjukkan bahwa motivasi kerja dan
lingkungan kerja mampu mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja karyawan karena nilai TStatistics masing-masing variabel memiliki nilai yang lebih tinggi dari nilai T-Statistics tabel
sebesar 1,99.
Berdasarkan hasil evaluasi konstruk motivasi dan lingkungan kerja dapat dinyatakan
bahwa pemberian motivasi dan penyediaan lingkungan kerja yang dilakukan perusahaan
untuk karyawan telah cukup dan memenuhi prosedur atau ketetapan perusahaan terkait
pemberian motivasi dan penyediaan lingkungan kerja yang baik karyawan. Hal ini juga
menunjukkan bahwa dari hasil evaluasi T-Statistics, kinerja karyawan akan semakin tinggi
apabila motivasi dan lingkungan kerja yang diterima karyawan baik.
Sehingga, pembentukan motivasi karyawan PT. A secara langsung memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap kinerja karyawan, yang artinya apabila motivasi (meliputi
keahlian/passion, insentif, latar belakang sosial, dan pengembangan karir) dan lingkungan
kerja (meliputi gaya kepemimpinan, bau, sirkulasi udara, dan hubungan antar karyawan) yang
semakin baik, akan dapat meningkatkan kinerja karyawannya. Hasil yang sama juga pernah
dilakukan oleh peneliti Dewi dan Laras (2014), Dwi Septianto (2010), Lucky Wulan Analisa
(2011), yang mendapatkan hasil bahwa motivasi dan lingkungan kerja berpengaruh positif
signifikan terhadap kinerja karyawan.

Anda mungkin juga menyukai