Anda di halaman 1dari 23

SINDROM NEFROTIK

(Hubungan Antara Kelainan Histopatologis dan Gambaran Klinis)

I. Pendahuluan
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk membedakan
degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus normal daripada nefritis yang menunjukkan
kelainan inflamasi glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang sudah tidak dipakai lagi.
TAhun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid (lipoid droplets) dalam sediment urin
pasien dengan nefritis parenkimatosa kronik. Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar
adanya lues dan diberikan istilah nefrosis lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian
digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu keadaan klnik dan
laboratorik tanpa menunjukkan suatu penyakit yang mendasari
Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas SN pada anak masih tinggi, yaitu melebihi
50%. Pasien-pasien ini dirawat untuk jangka waktu yang lama karena edema anasarka disertai
dengan ulserasi dan infeksi kulit. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamide dan penisilin
pada tahun 1940 dan dipakainya hormone adrenokortikotropik (ACTH) dan kortikosteroid
pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini diperkirakan 67% yang sering disebabkan oleh
komplikasi peritonitis dan sepsis dan pada decade berikutnya mortalitas menurun sampai
kurang lebih 40%. Angka kematian menurun lagi mencapai 35% setelah obat penisilin mulai
digunakan pada tahun 1946-1950.
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950-an untuk mengatasi edema
dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian menurun mencapai 20%.
Scwartz dan kawan-kawan melaporkan angka mortalitas 23%, 15 tahun setelah awitan
penyakit. Di antara pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamide umumnya
kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.
Sindrom nefrotik adalah suatu penyakit yang mengenai glomerulus dan ditandai oleh
adanya proteinuria masif, hipoalbuminemia dan edema. Pada keadaan tertentu, dapat pula
terjadi hiperlipidemia.
Kriteria dasar sindrom nefrotik (SN) adalah adanya proteinuria masif lebih dari

3,5

gram per 1,73 m2 luas permukaan badan per hari, disertai hipoalbuminuria kurang dari 3,0
gram per milliliter. Kriteria tambahan lainnya yaitu lipiduria, edema, dan kenaikan serum
lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total, dan trigliserida.
1

SN dapat terjadi pada semua umur dan kedua jenis kelamin. Insidensi tertinggi terjadi
pada umur 2-6 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan rasio 2:1. Sindrom
nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik (sindrom nefrotik primer) terjadi pada 90%
kasus anak. Insidensinya mencapai 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur di bawah 16
tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia
diperkirakan 6 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur di bawah 14 tahun.
II. Klasifikasi
2.1 Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologi, SN dibagi dalam:
1. SN Primer
Menunjukkan dimana penyakit terbatas hanya di dalam ginjal/glomerolus dan etiologinya
tidak diketahui (idiopatik) diduga ada hubungannya dengan genetik, imunologi dan alergi.
2. SN Sekunder
Menunjukkan dimana penyakit tidak terbatas hanya di dalam ginjal/glomerulus, akan
tetapi penyakit berasal dari luar ginjal.
Sebagian besar pasien SN, 75-80 %, termasuk sindrom nefrotik primer. Sedangkan
sisanya (20 %) termasuk sindrom nefrotik sekunder.
Penyakit-penyakit berikut juga dapat bermanifestasi menjadi SN:
1.

Penyakit Ginjal (parenkim) Primer


Pada perjalanan penyakit glomerulonefritis akut pasca infeksi Streptococcus sp. dapat
timbul gejala-gejala SN.

2.

Penyakit Metabolik dan Sistemik


Kira-kira 30 % pasien diabetes mellitus dapat terjadi proteinuria tetapi hanya sebagian
kecil yang masif dengan gejala SN.
Pada amiloidosis, protein-protein dari fraksi kappa dan lambda light chain dengan berat
molekul 22.000 dapat melalui filtrasi glomerolus, direabsorbsi dan mengalami
katabolisme pada sel-sel tubulus mengalami pengendapan sehingga terjadi kerusakan
sel-sel tubulus. Lambda light chain yang mempunyai sifat amiloidogenik, biasanya
terdapat pada amiloidosis primer. Kappa light chain lebih sering menyebabkan sclerosis
mesangeal.
Hampir 70-90 % pasien lupus eritematosus sistemik (LES) memperlihatkan kelainan
ginjal. SN merupakan salah satu gambaran klinis yang paling sering dijumpai pada LES.

3.

Gangguan Sirkulasi Mekanik


Proteinuria ringan merupakan salah satu kelainan laboratorium dari gagal jantung
kongestif dan perikarditis. Mekanisme proteinuria masif tidak diketahui pasti, diduga
akibat pemakaian diuretik organomerkuri, anoksi glomerulus, atau kenaikan tekanan
vena renalis.
Seperti pada trombosis vena renalis, walaupun hubungan antara trombosis vena renalis
dan sindrom nefrotik masih diperdebatkan, apakah trombosis ini akibat atau penyebab,
akhir-akhir ini banyak laporan yang menunjukkan bahwa kenaikan tekanan vena renalis
dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga terjadi
kebocoran protein plasma. Kenaikan tekanan vena renalis ditemukan pada beberapa
penyakit seperti RHS (Right Heart Syndrome) dan gagal jantung kongestif.

4.

Penyakit Keganasan
Antara lain terjadi pada penyakit Hodgkin, limfosarkoma, mieloma multiple, dan
sebagainya. Walaupun hubungan antara penyakit keganasan dengan sindroma nefrotik
masih kabur, tetapi sangat penting diketahui bahwa (a) glomerulopati termasuk sindrom
nefrotik dapat merupakan gambaran klinis pertama dari suatu neoplasma ekstrarenal; (b)
jaringan-jaringan ginjal atau metabolit-metabolit lainnya mungkin menyebabkan
autoantibodi yang menyebabkan sindroma nefrotik.

5.

Penyakit Infeksi

6.

Toksin Spesifik
Efek samping

penggunaan obat yang

menyebabkan

SN

jarang ditemukan.

Obat-obatan yang pernah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom nefrotik adalah


trimetadion, penisilinamin, fenindion, tolbutamid, dan probenesid. Obat tersebut hanya
menyebabkan kelainan ginjal ringan dan cepat mengalami remisi bila pemakaian obat
dihentikan. Obat yang dapat menyebabkan kelainan ginjal berat terutama toksik pada
tubulus ginjal yaitu preparat yang mengandung emas, diuretik organomerkuri, dan
bismuth.
7.

Kelainan Kongenital

8.

Lain-lain
Obesitas pernah dilaporkan dapat menyebabkan proteinuria masif. Mekanismenya
diduga berhubungan dengan kenaikan tekanan vena renalis.

2.2 Klasifikasi Berdasarkan Histopatologi


Klasifikasi kelainan glomerolus pada SN yang digunakan sesuai dengan rekomendasi
Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop electron dan
imunofluoresensi.
Berdasarkan keadaan histopatologi, sindrom nefrotik primer dibagi menjadi tipe:
1. Sindrom nefrotik perubahan minimal
Tipe ini sering dijumpai pada SN anak. Angka kejadian pada dewasa antara

10-

15 %. Gambaran klinis yang khas yaitu faal ginjal normal, tidak ditemukan hematuria,
normotensi. Patogenesis lesi ini tidak diketahui, diduga akibat gangguan atau disfungsi dari
sel T, atau sensitisasi dari sel T terhadap antigen renal.
Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya tidak ditemukan kelainan dan glomerulus seolaholah tampak normal. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya hanya menemukan fusi atau
obliterasi dari foot processes (FP). Penelitian imunofluoresen gagal membuktikan adanya
kelainan imunologis. Kadang-kadang lesi minimal ini disertai degenerasi lemak dan
pembengkakan sel-sel tubulus. Biopsi ginjal tidak perlu rutin dilakukan. Biopsi ginjal ulangan
pada pasien yang resisten terhadap kortikosteroid memperlihatkan lesi-lesi glomerolus seperti
amiloid atau deposit-deposit kompleks imun atau glomerulosklerosis fokal.
Pada SN ini sering terdapat remisi spontan atau remisi karena kortikosteroid. Remisi
lebih cepat tercapai dengan menggunakan kortikosteroid mencapai 90 %. Remisi spontan
mencapai 60 %. Kira-kira 2/3 pasien akan mengalami relaps 3-4 bulan selama remisi
sempurna. Hampir 70 % dari pasien yang mengalami relaps didahului oleh infeksi saluran
pernafasan non streptokok dengan periode laten kurang dari 10 hari.

Gambar 1. (A) Glomerulus normal (pembesaran 410 x). (B) SN kelainan minimal: tidak
terdapat proliferasi selular di dalam glomerulus dan tidak ada penebalan membrane basal
(pembesaran 375 x)

2. Sindrom nefrotik perubahan nonminimal

Fokal dan segmental glomerulosklerosis


Angka kejadian tipe ini hanya 10 % pada anak-anak dan 10-20 % pada dewasa. Tipe ini

dapat ditemukan pada pasien dengan gambaran klinis proteinuria asimptomatik dan
proteinuria masif pada SN. Klinis dijumpai hipertensi dan proteinuria tidak selektif.
Lesi yang ditemukan pada stadium awal sulit dibedakan dengan SN lesi minimal, kecuali
terdapat atrofi sel tubulus yang mencolok. Lesi yang progresif memperlihatkan sclerosis
segmental dan fokal pada stadium permulaan, tetapi akhirnya dapat mengenai seluruh
glomerulus. Kelainan histopatologis di bawah mikroskop cahaya memperlihatkan lesi bersifat
lokal dan primer mengenai juxtamedular : sclerosis hialin segmental dengan penambahan
matriks mesangial, foam cell, dengan atau tanpa proliferasi sel, dan atrofi sel tubulus.
Pemeriksaan mikroskop elektron menemukan endapan dari electrone-dense yang terlihat di
bawah endotel (subendotelial).
Peranan kortikosteroid maupun siklofosfamid masih kontroversi. Remisi dapat mencapai
25 % pada anak-anak. Progresivitas penyakit sapai menjadi gagal ginjal hanya sekitar 30 %
dari semua pasien.

Membranoproliferatif glomerulonefritis / glomerulonefritis proliferatif / glomerulonefritis


mesangiokapiler
Tipe ini jarang ditemukan, biasa ditemukan pada usia adolesen dengan umur antara 5-30

tahun. Gambaran klinis : proteinuria masif non selektif, hematuria, hipertensi, penurunan faal
ginjal progresif lambat selama bertahun-tahun sebelum terjadi sindrom azotemia.
Gambaran histopatologis memperlihatkan proliferasi sel mesangium yang sangat luas
sehingga membran basalis seolah-olah terputus, ditemukan electrone-dense yang terletak di
bawah endotel (subendotelial).
Peranan kortikosteroid masih kontroversi. Pengobatan semata-mata simptomatis sebelum
transplantasi ginjal.

Gambar 2. Glomerulonefritis proliferatif mesangeal: terdapat proliferasi sel mesangeal pada


glomerulus dengan sedikit pertambahan matriks. Sel endotel dan epitel membrane basal
tampak normal. (pembesaran 440 x)

Gambar 3. Glomerulonefritis membrano ploriferatif (GNMP) tipe I menunjukkan pembesaran


mesangium dan penebalan dinding kapiler. Pada beberapa tempat dinding kapiler tampak 2
lapis (double contour) (pembesaran 260 x)

Gambar 4. GNMP tipe II (dense deposit desease) menunjukkan proliferasi selular ringan dan penebalan dinding kapiler

Proliferasi mesangial difusa

Membranus glomerulonefritis
Angka kejadian tipe ini 30-50 % dari SN pada dewasa. Perjalanan penyakitnya lambat.

Proteinuria biasanya > 10 gram/hari dan sifatnya non selektif. Kira-kira 75 % dari pasien
menunjukkan gambaran klinis edema, disamping lebih dari 10% dengan hematuria
makroskopis terutama pada anak-anak. Hematuria mikroskopis ditemukan kira-kira pada 50
% pasien. Sepertiga dari pasien disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal.
Patogensis tipe ini diduga melalui mekanisme imunologis karena telah berhasil
diidentifikasi macam-macam antigen pada lesi parenkim ginjal. Etiologi glomerulonefritis
membranus yaitu idiopati, penyakit sistemik (SLE, poliarteritis), karsinoma (bronkus,
payudara, dan lambung), limfoma Hodgkin, infeksi (sifilis, malaria, filarial, lepra, hepatitis
B), obat-obatan (emas, penisilinamin, tridione, tolbutamide, dan probenesid).
Kelainan histopatologis yang terlihat di bawah mikroskop cahaya seperti penebalan difus
dan uniform dari membran basalis glomerolus, tetapi tidak ditemukan proliferasi sel-sel
(epitel, endotel, mesangium), maupun tanda-tanda reaksi inflamasi. Derajat perubahan dari
membran basalis glomerolus dapat diikuti dengan pemeriksaan mikroskop elektron. Pada
stadium permulaan , membran basalis glomerolus tidak menebal dan terlihat deposit yang
electrone-dense, terletak superfisial. Deposit ini makin membesar sehingga pinggir membran
basalis tampak seolah-olah terputus-putus seperti gerigi. Pada stadium lanjut, deposit ini akan
terbenam pada membran basalis. Kelainan membran basalis yang telah menebal dan tampak
bergerigi ini dapat dilihat dengan pewarnaan silver di bawah mikroskop cahaya.

Gambar 5. Terdapat penebalan difus pada membrane basal. Kelainannya difus mengenai
kedua glomerulus kedua ginjal. Tidak terdapat proliferasi sel endotel atau mesangium. Tidak
ada infiltrasi leukosit pada mesangium. Glomerulopati membranosa (GM) dengan pemulasan
asam periodic perak mefenamin, untuk membedakan GNMP tipe I dengan GM. Pada sediaan
ini tampak deposit subepitelial dan spikes
Pengobatan tipe ini masih kontroversi. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa
kortikosteroid tidak memberikan respon. Remisi ditemukan pada kira-kira 30 %, tetapi sering
terjadi relaps setelah beberapa bulan atau tahun. Prognosis tidak tergantung dari derajat
penebalan membran basalis. Proteinuria masif dan menetap mempunyai prognosis buruk,
lebih sering menjadi gagal ginjal kronis.
2.3 Klasifikasi Berdasarkan Pengobatan
Berdasarkan respon pengobatan terhadap steroid, sindrom nefrotik dibagi menjadi:
1. Steroid responsive
SN mengalami perbaikan setelah diberikan kortikosteroid.
2.

Nonsteroid responsive
SN tidak mengalami perbaikan setelah diberikan kortikosteroid selama 4 minggu.

III. Patofisiologi
Reaksi antigen antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis glomerulus
meningkat dan diikuti kebocoran sejumlah protein. Peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein sehingga terjadi proteinuria adalah patofisiologi pasti dari sindrom nefrotik.
Albumin adalah plasma protein yang predominan hilang dalam urin , tubuh kehilangan
albumin lebih dari 3,5 gram/hari menyebabkan hipoalbuminemia. Selain albumin protein lain
juga turut keluar seperti imunoglobulin, faktor koagulasi, transferin, dan lain-lain. Keadaan
8

klinis dan laboratorium pada sindrom nefrotik seperti oedem, hipoalbumin. hiperlipidemia,
terjadi akibat proteinuri. Keadaan patofisiologis ini berlaku untuk semua jenis sindrom
nefrotik tanpa membedakan morfologi maupun etiologinya.
1. Proteinuria masif (albuminuria)
Proteinuria secara umum merupakan kelainan primer pada sindrom nefrotik,
sedangkan kelainan klinis dan laboratoris lain dianggap sebagai kelainan sekunder.
Proteinuria pada sindrom nefrotik merupakan proteinuria yang masif, dibedakan dengan yang
lain yang tidak berhubungan dengan sindrom nefrotik.
Proteinuria pada sindroma nefrotik terutama

terdiri dari proteinuria glomerular.

Sedangkan proteinuria tubulus tidak memegang peranan penting. Hanya turut memperberat
derajat proteinuria. Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung
pada kelainan glomerulus. Kedua macam proteinuria (glomerular dan tubular) dapat diketahui
hanya dengan pemeriksaan elektroforesis proteinuria atau selektivitas proteinuria. Proteinuria
tubular terdiri dari alfa dan beta globulin, mempunyai berat molekul rendah. Proteinuria
tubular terutama berhubungan dengan penyakit-penyakit jaringan interstisial misal sindrom
Fanconi dan pielonefritis.
Proteinuri dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu:
a. Hilangnya "muatan polianion" pada dinding kapiler glomerulus.
Semua permukaan kapiler glomerulus dalam keadaan normal mempunyai muatan
polianion atau muatan negatif dan yang bertanggung jawab pada keadaan ini adalah
`sialoglikoprotein` dan `proteoglikan`, seperti heparin sulfat. Protein sulfat heparin
yang menimbulkan muatan negatif pada lamina elastika interna dan eksterna
merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul bermuatan negatif seperti
albumin. Sedangkan sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada
tonjolan kaki epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini penting
untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki epitel.
b. Adanya perubahan pori-pori dinding kapiler glomerulus.
Membran basalis merupakan barrier atau filter terhadap protein plasma. Perubahanperubahan histopatologis yang ditemukan pada membran basalis sesuai dengan derajat
proteinuria, misalnya pada glomerulopati membranosa, glomerulosklerosis fokal dan
glomerulopati proliferatif.
c. Adanya perubahan hemodinamik. yang mengatur aliran kapiler.

2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung bermacam-macam protein, sebagian besar menempati ruangan
ekstra vaskuler (EV). Plasma protein terutama terdiri dari albumin, mempunyai berat molekul
69.000. hepar memegang peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan
sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Jumlah albumin di dalam badan ditentukan
oleh masukan dari sintesis di hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi
renal, dan gastrointestinal. Mekanisme kompensasi hepar, terutama untuk mempertahankan
komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskuler dan intra vaskuler. Meningkatnya
katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada
keadaan hipoalbumin yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah tampaknya
disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme
fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus
renal) yang melampaui daya sintesis hati. Selain itu juga dipengaruhi oleh pemasukan protein
yang berkurang karena nafsu makan menurun dan mual-mual serta utilisasi asam amino yang
menyertai penurunan faal ginjal.
Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya globulin dan -1
globulin (normal atau rendah). Sedangkan -2 globulin, globulin, dan fibrinogen meningkat
secara relatif atau absolut. Meningkatnya -2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein
berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa
pasien, terutama mereka dengan SNKM pada anak, IgM dapat meningkat dan IgG menurun.
Pengarh sistemik dari hipoalbuminemia dapat terjadi pada semua organ tubuh. Semua
organ tubuh mengalami perubahan-perubahan seperti kerusakan jaringan yang jelas terlihat
pada kulit paha dan dinding perut. Garis horizontal (berwarna putih) pada kuku dinamakan
Muercke line.
Albumin serum bertindak sebagai pengikat steroid adrenokortikal dan hormon tiroid.
Kehilangan sejumlah hormon tiroid mungkin cukup untuk merangsang pembentukan thyroid
stimulating hormon (TSH) dan pembentukan goiter. Goiter ini akan mengalami regresi bila
sindrom nefrotik telah mengalami remisi. Hormon tiroid terikat juga pada plasma pre-albumin
yang mempunyai berat molekul 61.000 dan beberapa globulin.
Transferin dan seruloplasmin merupakan pengikat protein lainnya yang dapat lolos
melalui kerusakan glomerulus. Kehilangan sejumlah faktor-faktor fibrinolisis melalui
kerusakan glomerulus dapat menyebabkan pembentukan trombus.

10

Kehilangan sejumlah 25-hidroxycholecalciferol yang terikat pada protein dapat


menyebabkan gangguan ionisasi, terdapat penurunan kalsium serum (hipokalsemia) dengan
gejala tetani.
3. Edema
Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler yang menyebabkan cairan merembes ke ruang
interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan

albuminuria

dan

hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia

menyebabkan

menurunnya tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan


meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang
interstitial yang menyebabkan terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na renal sekunder

Edema
Terjadinya oedema menurut teori underfilled

Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri
dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume
plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium
renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan
tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai. peristiwa kompensasi
sekunder. Retensi cairan, yang secara terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya
akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik
plasma dan akhirnya mempercepat gerakan cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini
jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
11

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia yang disebabkan penurunan tekanan onkotik (jalur
tidak langsung) maupun difusi langsung cairan ke dalam jaringan interstisial hingga timbul
edema (jalur langsung). Kenaikan plasma renin dan angiotensin akan menyebabkan
rangsangan kelenjar adrenal untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormon
aldosteron (aldosteronisme sekunder) akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium (natriuresis) menurun. Retensi natrium dan air pada keadaan ini
(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian diuretik yang mengandung
antagonis aldosteron, misalnya aldakton. Selain itu pada keadaan hivoplemik ini juga terjadi
kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines yang menyebabkan tahanan
atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat
diperberat oleh kenaikan plasma renin dan angiotensin. Kenaikan tahanan (resistensi) vaskuler
renal menyebabkan :
Penurunan LFG
Penurunan ini mungkin diikuti penurunan eksresi natrium, natriuresis.

Kenaikan desakan starling kapiler peritubuler


Kenaikan desakan starling kapiler peritubuler mungkin (?) dapat menyebabkan
kenaikan reabsorbsi ion natrium sehingga eksresi natrium menurun.

Kedua keadaan tersebut yang mempengaruhi eksresi ion natrium (natriuresis), dapat
menyebabkan kenaikan volume cairan ekstra seluler (VCES) dan akhirnya timbul edema.
Hipovolemia dapat menyebabkan perubahan perubahan patologis sebagai berikut :

Penurunan cardiac output

Penurunan aliran darah ke ginjal

Penurunan filtrasi glomerulus

Pada keadaan hipovolemia berat, albumin serum kurang dari 1,5 gram%, akan terjadi
transudasi cairan dalam rongga pleura walaupun tanpa kelainan faal jantung. Konsentrasi
albumin dalam cairan limfatik mungkin akan mengganggu aliran cairan ke dalam pembuluh
limfe dan menyebabkan edema non gravitasi.
Keadaan diatas tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN
menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan
kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium
renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi
sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
12

cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke da!am
ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi
dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder terhadap hipovolemia.
Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primer

Volume plasma

Edema
Terjadinya edema menurut teori overfilled

Terbentuknya edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja
kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan
pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis.
4.

Hiperlipidemia
Pada pasien SN timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia. Umumnya terdapat

korelasi terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih
bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien
SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah
(LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat menyolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL)
umumnya normal pada SN. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan
oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun, diduga berhubungan
dengan mobilisasi lemak tubuh untuk sintesis protein setelah terjadi keseimbangan negatif.
Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati,
diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui
jalur vang berdekatan. Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap
hiperlipidemia karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini
mungkin sekunder akibat hilangnya -glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila
albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Hiperkolesterolemia
dapat merupakan indikator hiperlipoproteinemia pada SN. Kolesterol serum meninggi, dapat
mencapai 400-600 mg% dan trigliserid serum 2-3 gram%. Sindrom nefrotik yang tidak

13

disertai hiperkolesterolemia dinamakan pseudo-nephrotic syndrome, biasanya ditemukan pada


lupus eritematosus sistemik atau telah terjun ke fase gagal ginjal.
6.

Kelainan Tubulus Ginjal


Proteinuria berat/masif sering diikuti oleh glikosuria, aminoasiduria, dan fosfaturia

walaupun tidak dijumpai diabetes melitus atau nefropati paraprotein. Hipokalsuria dapat
merupakan gambaran sindroma nefrotik walaupun LFG masih normal.

IV. Gambaran Klinis


Gejala klinis yang utama dan sering adalah timbulnya oedem yang mendadak, bersifat
umum dan distribusinya berdasarkan daya gravitasi. Oedem periorbital pada saat bangun tidur
biasanya merupakan gejala awal, yang hilang setelah siang dan sore hari, digantikan oleh
oedem ekstrimitas bawah. Keadaan oedem periorbital ini akan berlangsung beberapa minggu
dan biasanya tidak cepat dibawa untuk berobat karena merasa bengkak kelopak mata tersebut
menghilang pada siang dan sore hari..
Pada sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia berat (albumin serum kurang dari 2
gram%) edema ini akan mengenai seluruh tubuh, dinamakan anasarka. Pasien-pasien
mengeluh sesak nafas, kaki merasa berat dan dingin, tidak jarang dengan diare.
Otot-otot mengalami atrofi terutama otot sklelet (muscle wasting) karena
keseimbangan negatif dari nitrogen atau akibat efek samping pemberian kortikosteroid jangka
lama. Atrofi otot-otot ini akan makin nyata bila edema telah hilang.
Pada beberapa pasien tidak jarang dengan keluhan yang menyerupai acute abdomen
yaitu sakit perut hebat, mual-mual dan muntah, dinding perut sangat tegang. Keluhan-keluhan
tersebut dinamakan nephrotic crisis. Pada laparotomi hanya ditemukan cairan asites steril dan
serat-serat fibrin. Sindrom nefrotik sangat peka terhadap infeksi sekunder terutama infeksi
saluran nafas (pneumonia) dan saluran kemih (pielonefritis).
Efusi serosa (transudat) berupa asites dan hidrotoraks. Asites biasanya terjadi tanpa
adanya oedem hebat terutama pada anak kecil dan bayi, dimana jaringan intersitial lebih
resisten terhadap pembentukan oedem daripada anak besar. Oedem yang hebat di seluruh
tubuh disebut oedem anasarka. Suatu trauma kecil pada kulit yang mengalami peregangan
karena oedem, mudah menimbulkan pecahnya bagian kulit tersebut dan tampak cairan keluar.
Dengan timbulnya oedem, diuresis menjadi berkurang dan tampak kental dan keruh.
Tekanan darah umumnya normal atau hipertensi ringan. Kenaikan tekanan darah ini
disebabkan adanya pelepasan renin yang tinggi sebagai respon terhadap hipovolemi.
14

Hipertensi berat dengan atau tanpa penyulit bukan merupakan gejala sindrom nefrotik tetapi
mempunyai hubungan dengan etiologi dan perubahan-perubahan histopatologis ginjal. Pada
pasien-pasien glomerulopati lesi minimal (GM) hipertensi lebih sering ditemukan (75%) bila
sindrom nefrotik mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis kronis, lupus nefritis, dan
glomerulosklerosis interkapiler pada diabetes melitus.
Hematuri mikroskopik transient kadang-kadang ditemukan pada 15% penderita
sindrom nefrotik tipe perubahan minimal.
V. Komplikasi
a. Malnutrisi
Hipoalbuminemia berat dan berlangsung lama dapat menyebabkan keadaan malnutrisi
yang memperburuk keadaan umum.
b. Infeksi
Menurunnya kadar imunoglobulin khususnya IgG bersama-sama dengan rendahnya faktor
B menyebabkan penderita sindrom nefrotik sangat rentan terhadap penyakit infeksi.
Infeksi yang sering terjadi adalah peritonitis, sepsis dan selulitis. Penyebab utama adalah
Streptokokus pneumonia. Kadang-kadang dapat disebabkan oleh bakteri gram negatif
seperti E.coli, Klebsiela dan H. influenza.
c. Trombosis
Trombosis bisa terjadi pada vena dan arteri, terutama yang mengenai vena besar di hati,
pelvis, ginjal, mesenterika dan pulmonal. Trombosis vena renalis merupakan komplikasi
yang relatif sering terjadi pada sindrom nefrotik tipe membranus nefropati, namun
membranus nefropati sendiri jarang ditemukan pada anak-anak. Faktor penyebab
terjadinya trombosis adalah
a. Hipovolemi : hemokonsentrasi dan hiperviskositas
b. Trombositosis
c. Peninggian konsentrasi faktor koagulasi plasma : faktor V, VII, VIII, X dan fibrinogen
d. Penurunan konsentrasi antitrombin III plasma
e. Peninggian platelet agregasi
d. Gagal Ginjal Akut
Uremi prerenal ringan sering didapatkan pada sindrom nefrotik dan keadaan ini
berhubungan dengan adanya hipovolemi. Paling sering didapatkan pada sindrom nefrotik
perubahan minimal dan fokal segmental glomerulosklerosis, ditandai dengan adanya
oliguri hebat yang resisten terhadap pemberian diuretik dan pemberian terapi cairan.
15

Penyebab terjadinya gagal ginjal akut belum diketahui secara pasti, namun diduga
melibatkan keadaan hipovolemi dan iskemi ginjal sehingga terjadi tubulus nekrosis akut
dan selanjutnya terjadi oedem intersitial dan terjadi peninggian tekanan tubulus proksimal
dengn akibat penurunan laju filtrasi glomerulus.
VI. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Urine
Proteinuri
Proteinuri bisa diperiksa secara kualitatif dengan pemeriksaan Bang atau dipstix, atau
secara kuantitatif dengan pemeriksaan Esbach.
Kendala pemeriksaan tersebut adalah :

Pada kedaan suhu tubuh meningkat (panas) dan setelah olah raga berat dapat
dijumpai proteinuri 30-100 mg% (1+ atau 2+) dan akan kembali normal bila panas
turun atau setelah istirahat.

Pada pemeriksaan Dipstix bisa didapatkan hasil positif palsu bila urin dalam
keadaan alkali.

Pada pemeriksaan Esbach dibutuhkan cara pengumpulan urin 24 jam

Pengertian proteinuri masif yaitu bila terdapat protein dalam urin lebih dari 40
mgram/m2/jam atau lebih dari 50 mgram/kgBB/24 jam atau rasio protein kreatinin urin
2,5. Rasio protein kreatinin urin didapatkan dengan memeriksa urin sewaktu (urin pagi):
kadar protein urin dan kreatinin urin dalam mgr% dan kemudian dikalkulasikan :
Rasio

: Protein urin/mgr%
Kreatinin urin/mgr%

Hasil : < 0,15 : normal


> 0,2 : abnormal
> 1 : suspek sindrom nefrotik
> 2,5 : diagnostik
Pada

pemeriksaan

urin

dilakukan

pemeriksaan

selektifitas

proteinuria

(elektroforesis proteinuria) untuk menentukan macam protein yang diekskresikan.


Macam-macam protein (fraksi proteinuria) mempunyai korelasi dengan kelainan-kelainan
histopatologis ginjal. Selektifitas proteinuria ini dapat diukur dengan pemeriksaan kadar
transferin (berat molekul rendah) dan kadar IgG (berat molekul tinggi) di dalam urin
plasma.
16

Rasio

: (U transferin) : (P IgG)
(U IgG) : (P transferin)
Hasil : < 0,1 : selektif
> 0,2 : Tidak selektif

Selektif berarti kemungkinan ke arah sindrom nefrotik lesi minimal, dan bersifat steroid
sensitif, sedang tidak selektif artinya kemungkinan kearah sindrom nefrotik lesi nonminimal dan bersifat tidak steroid sensitif.
Pada SN lesi minimal biasanya bersifat selektif, yaitu proteinuria kebanyakan terdiri dari
albumin yang mempunyai berat molekul rendah. Pada SN lesi non minimal, mempunyai
macam proteinuria selektif buruk atau non selektif. Bila proteinuria terdiri dari protein
berat molekul tinggi disebut tidak selektif.
Pemeriksaan selektivitas proteinuria tidak dapat dipercaya sebagai indikator untuk
menentukan respon terapi kortikosteroid.
Hematuri
Biasanya hematuri tidak ditemukan, namun pada 15% penderita sindrom nefrotik lesi
minimal bisa terdapat hematuri mikroskopik sementara. Adanya hematuri mikroskopik
yang terus-menerus disertai dengan adanya eri kast dan granuler kast merupakan
penyebab kronik glomerulonefritis (sindrom nefrotik non minimal) atau adanya trombosis
vena renalis.
Hematuria mikroskopis disertai eri kast sering ditemukan pada semua bentuk
glomerulonefritis yang menyebabkan SN. Kelainan sedimen urin lebih sering ditemukan
pada glomerulonefritis proliferatif dari

pada glomerulonefritis membranous dan lesi

minimal.
b. Darah
Pada pemeriksaan darah, protein plasma dan kolesterol dapat diperiksa untuk menunjang
diagnosis SN. Pada SN didapatkan hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, lipidemia.
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik anak ialah bila kadar albumin plasma kurang dari
30 gr%. Kenaikan kolesterol total serum dapat mencapai 400-600 mg% dan lipid 2-3 gram
%. Pada umumnya terdapat hubungan terbalik antara konsentrasi albumin serum dengan
konsentrasi kolesterol total serum.
c. Pemeriksaan Radiologis
-

Foto polos ginjal (FPP) dan pielogram intervena

17

Kedua ginjal membesar, mungkin disertai kompresi kalises akibat sembab


intrarenal. Pemeriksaan diperlukan untuk menentukan lokalisasi biopsi ginjal.
-

Inferior veno-cavogram
Pemeriksan ini diperlukan untuk menentukan trombosis vena rena renalis atau
kenaikan tekanan vena renalis.

VII. TERAPI

Tindakan Umum
Perawatan di rumah sakit dengan indikasi untuk evaluasi diagnostik awal dan rencana

pengobatan bila SN dengan edema anasarka, infeksi paru terutama pneumonia lobaris atau
GGA. Tidak perlu pembatasan aktivitas bila penderita menginginkan kecuali untuk pasienpasien berat disertai edema anasarka dan komplikasi dianjurkan istirahat mutlak. Mobilisasi
dapat mencegah atropi dari beberapa otot terutama ekstremitas namun mobilisasi terlalu aktif
justru dapat memperberat proteinuria.
Indikasi rawat jalan bila semua gejalaklinis telah hilang. Proteinuria dapat berlangsung
lama, beberapa bulan atau tahun. Pasien dapt bekerja seperti biasa, tetapi harus dihindarkan
melakukakn kerja fisik yang dapat memperberat proteinuria.
.

Dietetik
Untuk mencegah faal ginjal yang memburuk diet protein harus dibatasi yaitu 0,6-0,8

gr/kgBB/hari untukmencegah proses glomerulosklerosis.


Diet rendah garam, 1,5 gr/hari selama edema disertai diuretika. Bila dengan diet
rendah garam pasien kehilangan nafsu makan masih direkomendasikan diberikan makan
normal, tanpa garam di atas meja atau makanan asin lainnya.kadang-kadang pembatasan
garam sampai 10 meq perhari diperlukan untuk terjadinya diuresis.
Sebaiknya sebanyak kurang dari 35% kalori berasal dari lemak untuk mencegah
obesitas selama terapi steroid dan mengurangi hiperkolesterolemi.

Kerusakan glomerulus
1. Imunosupresif
Kortikosteroid
Pemberian terbatas hanya untuk GLM, nefropati lupus dan poliarteritis nodosa.
Efek farmakologis sebagai diuretik, anti inflamasi dan imunosupresif.
18

Beberapa alternatif cara pemberian kortikosteroid sebagai berikut :


a.

prednison dengan takaran 1mg/kgBB/hari selama 1 minggu,diteruskan dengan 1/3


takaran (15-20mg) selama 4-6 bulan.

b.

Prednison 60-80mg/hari selama 1 minggu , dilanjutkan intermiten atau 3-4 hari


perminggu selama 4-6 bulan

c.

Prednison 60-80mg intermiten sejak permulaan pengobatan. Dosis diturunkan


bertahap sesuai respon klinis maupun laboratorium. Cara ini untuk mencegah efek
samping kortikosteroid.
Selama pemberian awasi respons klinis dan laboratorium maupun efek samping.

Macam-macam respons klinis :


a. remisi lengkap. Proteinuria minimal, albumin serum lebih dari 3 gram%, kolesterol
serum kurang dari 300 mg%. Klinis : diuresis lancar, edema hilang.
b. Remisi tidak lengkap. Proteinuria kurang dari 3,5 gram/hari, albumin serum lebih dari
2,5 gram%, serum kolesterol kurang dari 350 mg%. Klinis diuresis lancar, edema
hilang.
c. Remisi parsial Proteinuria kurang dari 3,5 gram/hari, perubahan-perubahan kimia
darah tidak bermakna. Klinis diuresis tidak lancar, edema tidak hilang.
d. Resisten atau non-responder. Klinis maupun laboratorium tidak mengalami perubahan
selama pemberian kortikosteroid 6-8 minggu.
Efek samping kortikosteroid
Sindrom cushing, infeksi tuberkulosis, aktivasi diabetes melitus, tukak lambung,
hipertensi, fenomena dari tromboemboli, dan akhirnya kelainan psikis.
Sitostatistika
Sitostatik potensial sangat berbahaya, perlu dipertimbangkan sebelum pemberian obat
ini. Biasa digunakan untuk SN adalah siklofosfamid. Golongan sitostatistika lainnya seperti
azatioprin dan klorambusil masih memerlukan evaluasi klinis.
Indikasi pemberian sitostatistika pada GLM adalah :

Non responder terhadap kortikosteroid.

Relap frekuen

Timbul efek samping bila diberikan kortikosteroid

Pada pasien-pasien GLM yang non responder terhadap kortikosteroid atau lesi-lesi
lain seperti glomerulopati membranos dan glomerulopati fokal. Dapat dicoba kombinasi
kortikosteroid dan siklofosfamid. Takaran siklofosfamid 1,5 mg/kg BB/hari, kemudian
19

takaran disesuaikan jumlah lekosit supaya berkisar 4000 sampai 5000 permm3.penyesuaian
takaran setiap 2 minggu, setiap bulan, dan akhirnya setiap beberapa bulan bila telah stabil.

2.Anti agregasi trombosit


Indometasin merupakan obat anti inflamasi, sering digunakan untuk artritis. Indometasin
dapat dicoba untuk pengobatan SN.
Efek farmakologis :
a. mengurangi proteinuria
b. mengurangi fibrinogen dan fibrin-fibrin antigen
c. mencegah agregasi trombosit
Pengalaman klinis menunjukkan bahwa indometasin memberikan respon hanya untuk GLM.
Indometasin diberikan 3-4 mg/kgBB/hari per rektal atau 2-3 mg/kgBB/hari per oral.
3. Antikoagulan dan dipiridamol
Antikoagulan dan dipiridamol untuk mecegah penyulit hiperkoagulasi dengan fenomena
tromboemboli yang mungkin terjadi pada pasien SN. Efek farmakologis terutama
mencegah agregasi trombosit dan deposit fibrin atau trombus.
Antikoagulan yang sering diberikan seperti heparin, warfarin, dan fenindion. Pemberian
antikoagulan dapat dikombinasikan dengan sitostatistika.

Albumin
Pemberian infus salt poor human albumin mempunyai peranan dalam pengobatan
SN.Infus albumin memiliki efek singkat dan cepat dieksresikan melalui urin.
Indikasi infus albumin :
Resisten terhadap diuretika.kriteria resisten diuretika bila 500 mg furosemid dan
200 mg spironolakton tidak memberikan respon yang adekuat. Dosis albumin
adalah 300 ml dengan konsentrasi 15% diberikan melaui infus selama 45 menit,
dilanjutkan segera dengan 120mg furosemid iv. Frekuensi infus tergantung efek
diuresis.
Biasanya setiap 2 hari.
Komplikasi acute circullatory collaps
Pemberian infus dekstran atau PRC merupakan terapi pilihan.
20

Diuretik
Furosemid dimulai dari 40-80mg perhari dinaikkan setiap 2hari. Efektif untuk

mengurangi edema kecuali pada pasien dengan hipoalbuminemia berat dengan albumin serum
kurang dari 1,5 gram%. Spironolakton diberiakn pada pasien dengan hiperaldosteronisme.

Pengobatan lokal
Insisi tungkai dapat mengeluarkan cairan 2-3liter perhari. Pengaruhnya dapat

merangsang diuresis. Kerugiannya dapat menimbulkan infeksi sekunder karena luka insisi
sulit menutup kembali. Insisis diindikasikan untuk pasien SN berat dengan albumin serum
kurang dari 1,5 gram% atau telah terdapat penurunan LFG, diuresis spontan sulit diharapkan.
Ultrafiltrasi (manual atau sekuensial) dengan mesin hemodialisis (HD) paling efektif
untuk mengeliminasi kelebihan cairan teruama pasien anasarka. Terapi ultrafiltrasi dapat
dilanjutkan dengan program dialisis bila disertai penurunan faal ginjal berat (LFG urang dari
20%)

Hipertensi
Obat-obatan anti hipertensi yang diberikan dapat mengontrol tekana darah biasanya

kombinasi vasodilator langsung (prasozin HCl), beta bloker, dan diuretika. Golongan
penghambat enzim angiotensin converting dan antagonis kalsium lebih rasionalkarena
mempengaruhi hemodinamik ginjal dan diikuti penurunan eksresi protein (proteinuria).
VIII.Prognosis
1. Prognosis
Prognosis tergantung dari beberapa faktor:

Umur dan jenis kelamin


Umur muda atau anak-anak dan wanita memiliki prognosis lebih baik daripadan umur tua
atau dewasa dan laki-laki.

Penyulit
Makin awal etrdapat penyulit gagal ginjal dan hipertensi, prognosis makin buruk.

Pengobatan
Pengobatan yang terlambat dan diberikan setelah terdapat gambaran klinis selama 6 bulan
memiliki prognosis buruk.
21

Jenis kelainan histopatologis


GLM memiliki prognosis yang baik,lebih sering remisi spontan pada anak-anak. GM
memperlihatkan perjalanan penyakit dengan progresivitas lambat denganpenurunan faal
ginjal makin lama makin berat sehingga prognosisnya buruk. GF memiliki prognosis
buruk dengan progresivitas bervariasi dan resisten terhadap prednison. Prognosis paling
buruk dan diakhiri oleh gagal ginjal sering dijumpai pada GP atau mesangiokapiler.

2.Sebab kematian
Kematian terutama disebabkan gagal ginjal kronis dengan sindrom azotemia; infeksi sekunder
ekstra renal (pneumonia) atau renal (pielonefritis); dan gagal ginjal sirkulasi akut.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Arvin; Behrman; Kleigman. Editor : Wahab, A. S. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 3
Edisi 15. Jakarta, EGC, 1996. Hal : 1828-1831
2. Singadipoera, B.S. Nefrologi Anak. Bandung, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unpad, . Hal : 18-37
3. Sukandar, E. Nefrologi Klinik edisi II-1997. Bandung, Penerbit ITB, 1997. Hal:164198
4. Garna, H.; Nataprawira, H. M. D.; Rahayuningsih, S. E. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi 3. Bandung, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
Unpad, 2005. Hal: 539-540
5. Alatas, H.; Tambunan, T.; Trihono, P. P.; Pardede, S. O. Buku Ajar Nefrologi Anak
Edisi 2. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2002. Hal: 381-382, 391-401.

23

Anda mungkin juga menyukai