Anda di halaman 1dari 3

BERTERIMAKASIH PADA DEMOKRASI?

Oleh : H.M. Ismail Yusanto

Alhamdulillah. Luar biasa! Allahu Akbar! Itulah kata yang mungkin paling pantas
diucapkan melihat kesuksesan Konferensi Rajab 1432 H yang diselenggarakan
oleh Hizbut Tahrir Indonesia di sepanjang bulan juni lalu. Gelegar Konferensi
dirasakan oleh paling sedikit 130 ribu umat Islam baik dari kalangan ulama,
ustadz dan ustadzah, tokoh masyarakat, intelektual, pengusaha dan kalangan
profesional, mahasiswa ataupun rakyat biasa yang mengikuti konferensi itu di 30
kota di seluruh Indonesia. Mereka tidak hanya tercerahkan oleh materi-materi
orasi yang memang sangat argumentatif mengenal bagaimana Khilafah dengan
syariahnya bakal menyejahterakan seluruh rakyat tanpa kecuali. Mereka juga
tergugah untuk turut berjuang bersama HTI karena perjuangan untuk tegaknya
syariah dan Khilafah memang merupakan kewajiban seluruh umat Islam. Dalam
konferensi itu juga tertanam keyakinan yang sangat kokoh tentang kepastian
tegaknya Khilafah, karena Khilafah adalah wa'dullah (janji Allah). Maka dari Itu,
siapapun yang hadir dalam konferensi itu dengan hati yang ikhlas dan pikiran
yang terbuka pasti akan larut dalam gelegak suasana perjuangan yang
membuncah.

Namun, bagi kalangan liberal, semua sukses itu hanya berarti satu kata: HTI
harus makin berterima kasih pada demokrasi. Menurut mereka, berkat
demokrasilah Hizbut Tahrir di Indonesia kini bebas beraktivitas, menerbitkan
banyak media, termasuk menyelenggarakan berbagai even-even kolosal seperti
Konferensi Khilafah Internasional pada tahun 2007 dan Konferensi Rajab tahun
ini.

Diakui, Hizbut Tahrir memang tidak bisa bergerak bebas dan tumbuh
berkembang di negara-negara totaliter seperti Saudi Arabia, Mesir, Yordania,
Suriah dan negara Timur Tengah lain: terutama pada era sebelum revolusi yang
baru lalu terjadi. Aktivitasnya dilarang dan banyak anggotanya yang dipenjara.
Sebaliknya, Hlzbut Tahrir justru berkembang di negara-negara yang jauh seperti
di Indonesia terutama setelah era reformasi. Namun, menyatakan bahwa itu
semua berkat jasa demokrasi, dan karenanya HT harus berterima kasih padanya
adalah pernyataan yang serampangan.

Bila benar perkembangan pesat Hizbut Tahrir di Indonesia karena demokrasi,


mestinya keadaan serupa terjadi di semua negara yang menganut paham
demokrasi. Kenyataannya tidak demikian. Lihatlah bagaimana keadaan dakwah
di negara-negara yang katanya demokratis itu. Di Inggris, misalnya, Hizbut Tahrir
Britain (HTB) terus mendapat tekanan politik. Terakhir mereka bahkan mendapat

kesulitan untuk penyelenggaraan Konferensi Khilafah Internasional pada juli lalu


yang rencananya akan diikuti oleh 10.000 peserta dari 40 negara. Pasalnya,
semua tempat dipaksa untuk menolak begitu tahu yang bakal menyewa adalah
HTB. Di Denmark, jerman dan sejumlah negara Eropa yang ngakunya negara
demokratis, Hlzbut Tahrir malah dilarang. Hizbut Tahrir Amerika Serikat tahun
lalu juga gagal menyelenggarakan konferensi Khilafah karena mendapat tekanan
serupa.

Keadaan kurang lebih sama terjadi di kawasan Asia Selatan. Di India,


Bangladesh dan Pakistan, ,yang juga dianggap negara-negara demokratis, Hizbut
Tahrir tidak bebas bergerak. Di Bangladesh dilarang. Beberapa aktivisnya,
termasuk jurubicara HT Bangladesh, Prof. Mohiuddin Ahmed, hingga sekarang
masih di dalam penjara tanpa pengadilan. Di Turki, negeri Muslim yang sering
dipuja-puja sebagai yang paling demokratis, ratusan anggota HT Turki dipenjara
tanpa pernah diadili. Beberapa di antaranya ditangkap begitu mendarat di
Ankara sepulang dari Jakarta mengikuti Muktamar Ulama Nasional tahun 2009
lalu dengan tuduhan turut dalam pertemuan mempersiapkan kegiatan terorisme.

Keadaan buruk di negara-negara yang disebut demokratis bukan hanya


menimpa Hizbut Tahrir, tetapi juga umat Islam secara keseluruhan. Lihatlah,
bagaimana pemerintah Swiss memberlakukan kebijakan larangan pembangunan
menara masjid yang disahkan melalui referendum pada tahun 2009. Pemerintah
Prancis pun, mulai tahun 2011 ini resmi melarang burqa. Pakaian yang sejatinya
dalam perspektif hak asasi manusia harus dianggap wajar karena merupakan
ekspresi keyakinan beragama seseorang dan sama sekali tidak menimbulkan
gangguan pada kehidupan publik, nyatanya justru dianggap sebagai bentuk
penindasan terhadap perempuan. "Jilbab seluruh wajah adalah bendera sebuah
ideologi sektarian dan mengancam kehormatan manusia," kata ketua kelompok
hak-hak wanita Prancis Ni Putes Ni Soumises, Sihem Habchi.

Penindasan itu agaknya akan terus menyebar. Buktinya, undang-undang yang


sama kini tengah dibahas di Belgia, Spanyol dan Italia. Bahkan Australia melalui
sebuah RUU akhir tahun lalu juga berniat mengikuti kebijakan negara-negara
Eropa dalam melarang Jilbab, Bila RUU itu disahkan, orang-orang percaya bahwa
mereka memiliki kebebasan untuk menyerang dan menyakiti para perempuan
yang memakai hijab.

Bukan hanya soal pakaian, penindasan juga ditunjukkan dengan tindakan


diskriminatif terhadap Muslim di sana. Sebuah survei yang disponsori oleh Komisi
Eropa yang hasilnya dirilis pada 26 November 2010 memperlihatkan sebagian
besar umat Muslim yang tinggal di negara-negara yang tergabung dalam Uni

Eropa (UE) mengalami diskriminasi. Survei dilakukan oleh Eurobarometer melalui


telepon kepada 4.000 Muslim dewasa yang tinggal di negara-negara UE.

Dalam survei itu, responder diberi pertanyaan apakah pernah diperlakukan


diskriminasi oleh non-Muslim. Hasilnya, 79 persen umat Islam itu mengaku
pernah diperlakukan diskriminasi setidaknya satu kali.

Terakhir pemerintah Belanda melarang penyembelihan binatang secara syariah


di tempat-tempat penyembelihan hewan karena tanpa dibius. Para anggota
parlemen yang menyetujui ketentuan itu mengklaim bahwa cara penyembelihan
menurut syariah Islam itu "tidak manusiawi". Sebab, undang-undang Belanda
mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih harus dalam keadaan tidak
sadar, agar tidak merasakan sakit atau ketakutan. Sebaliknya, aturan Islam
mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih harus dalam keadaan sadar.
Larangan serupa sebelumnya sudah diberlakukan juga di Selandia Baru, negaranegara Skandinavia dan Swiss.

Jadi, haruskah HTI berterima kasih pada demokrasi? Ingat, kebebasan


beraktivitas yang diperoleh oleh HTI adalah hak setiap Muslim, yakni untuk
melaksanakan kewajiban dakwah. Hak ini harus diiindungi. Ini bukan pemberian
siapa-siapa. Bahkan sebaliknya, siapa saja yang telah atau hendak merampas
hak ini berarti telah berbuat dosa karena menghalangi jalan dakwah. Oleh
karena itu, HTI tidak merasa harus berterima kasih pada siapa pun, apalagi pada
demokrasi.

Kalaulah kita harus berterima kasih, tentu tidak lain kepada Allah SWT, bukan
pada demokrasi yang justru mengingkari kekuasaan Allah dalam penetapan
hukum. Ucap terima kasih yang sama semestinya juga harus dilakukan oleh
kalangan liberal, juga manusia lain, siapapun dia. Karena atas berkat rahmat
Allahlah mereka hidup, menghirup udara segar, berjalan dan berbicara serta
mengenyam segala nikmat. Dengan semua nikmat yang telah mereka reguk itu,
sungguh sangat tidak pantas mereka malah menyanjung-nyanjung demokrasi,
sementara kekuasaan Allah SWT mereka lecehkan!!

Anda mungkin juga menyukai