Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Trauma uretra merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada fraktur
pelvis dan straddle injury. Angka kejadian trauma uretra bahkan mencapai 24%
dari seluruh fraktur pelvis pada orang dewasa.1 Trauma ini lebih sering terjadi
pada pria dan jarang pada wanita.2,4
Ruptur uretra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi
oleh karena fraktur pelvis akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
Sekitar 70% dari kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan lalu
lintas / kecelakaan kendaraan bermotor, 25% kasus akibat jatuhdari ketinggian,
dan 90% kasus cedera uretra akibat trauma tumpul. Secara keseluruhan pada
fraktur pelvis akan terjadi pula cedera uretra bagian posterior (3,5%-19%) pada
pria, dan (0%-6%) pada uretra wanita.2
Fraktur pada daerah pelvis biasanya karena cedera akibat terlindas ( crush
injury), dimana kekuatan besar mengenai pelvis. Trauma ini juga seringkali
disertai dengan cedera pada anggota tubuh lainnya seperti cedera kepala, thorax,
intra abdomen, dan daerah genitalia. Angka kematian sekitar 20 % kasus fraktur
pelvis akibat robekan pada vena dan arteri dalam rongga pelvis.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Uretra


Sistem kemih seluruhnya terletak di bagian retroperitoneal, sehingga
proses patologi seperti obstruksi, radang, dan pertumbuhan tumor terjadi di luar
rongga abdomen, tetapi gejalanya dan tandanya mungkin tampak di perut
menembus peritoneum parietal belakang. Gajala dan tanda jarang disertai tanda
rangsang peritoneum. Arteri renalis dan cabangnya merupakan arteri tunggal
tanpa kolateral (end artery) sehingga penyumbatan pada arteri atau cabangnya
mengakibatkan infark ginjal. Dinding ureter mempunyai lapisan otot yang kuat,
yang dapat menyebabkan kontraksi hebat disertai nyeri yang sangat hebat.
Dinding muskuler tersebut mempunyai hubungan langsung dengan lapisan otot
dinding pielumdi sebelah cranial dan dengan otot dinding buli-buli di sebelah
kaudal. Ureter menembus dinding muskuler masuk ke kandung kemih secara
miring sehingga dapat mencegah terjadinya aliran balik dari kandung kemih ke
ureter. Sistem pendarahan ureter bersifat segmental dan berasal dari pembuluh
arteri ginjal, gonad, dan buli-buli. (smith, 2009)
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika
urinaria sampai keluar tubuh, yang berfungsi untuk menyalurkan urin dari vesika
urinaria hingga meatus bermuara ke meatus urinarius externus. (smith, 2009)
Secara anatomis, urethra pada pria terbagi dua menjadi pars anterior dan
pars posterior, yang saling berbatasan pada diafragma urogenital. Urethra
proksimal mulai dari perbatasan dengan buli-buli, orificium uretra internum dan
uretra prostatica. Urethra postatica seluruhnya terdapat di dalam prostat dan
berlanjut menjadi urethra membranaceus. Struktur yang menjaga adalah
ligamentum puboprostatika melekatkan prostat membran pada arkus anterior
pubis. Urethra membranaceus terdapat pada ujung anterior diafragma urogenital

dan menjadi bagian proksimal urethra anterior setelah melewati membran


perineum. Urethra bulbosa, agak menonjol pada proksimal anterior, berjalan di
sepanjang bagian proksimal korpus spongiosum dan berlanjut menjadi urethra
pendulosa di sepanjang uretra anterior. Ductus dari glandula Cowper bermuara di
urethra bulbosa. Urethra penil atau pendulosa berjalan di sepanjang penis dimana
berakhir pada fossa naviculare dan meatus urethra eksternus. (smith, 2009)
Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan antara uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas
otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga pada saat buli buli
penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris
dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan
seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap tertutup pada saat
menahan kencing. Panjang uretra pada pria sekitar 8 inci (20 cm),

Gambar 1: Potongan sagital organ pelvis pada pria dan perempuan.

Sedangkan pada uretra wanita sekitar 11/2 inci (4cm), yang berada di
bawah simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra
bermuara kelenjar pariuretra, diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih
sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot
bergaris. Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi
mempertahankan agar urin tetap berada di dalam buli buli pada saat perasaan
ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesica melebihi tekanan intrauretra
akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna. (smith, 2009)
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis
kebanyakan ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33
tahun. Padaanak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%. Terdapat perbedaan
persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera uretra pada
anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan
resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra (Smith. 2009)
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita,
perbedaan ini disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan
mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku (Schreiter. 2006)
2.3 Trauma Uretra
Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan
cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang
menimbulkanfrakturtulang pelvis menyebabkanruptururetra pars membranasea,
sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat
menyebabkan ruptur uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada
uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route
atau salah jalan, demikian pula tindakan operasi trans uretra dapat menimbulkan
cedera uretra iatrogenik (Purnomo, Basuki. 2012).
Ketika uretra mengalami trauma kemungkinan juga berkaitan dengan
perkembangan penyakit obstruksi atau striktur uretra. Striktur uretra ketika uretra

mengalami trauma atau luka karena infeksi dalam jangka panjang, mengakibatkan
terganggunya saluran berkemih dan semen (Purnomo, Basuki. 2012)
Berdasarkan anatomi, ruptur uretra dibagi atas ruptur uretra posterior yang
terletak proksimal diafragma urogenital dan ruptur uretra anterior yang terletak
distal diafragma urogenital.3,4
2.3.1 Trauma Uretra Posterior
A. Etiologi
Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma
tumpul dan fraktur pelvis.3,5,6 Uretra pars membranasea adalah bagian
uretra yang melewati diafragma urogenital dan merupakan bagian
yang paling mudah terkena trauma bila terjadi fraktur pelvis.3,6
Pada fraktur tulang pelvis, dapat terjadi robekan pars
membranasea karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke
kranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranasea
terikat di diafragma urogenital.3,5,6 Ruptur uretra posterior dapat terjadi
total atau inkomplet. Pada ruptur total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek sehingga vesika urinaria dan
prostat terlepas ke kranial.5
Fraktur pelvis yang menyebabkan ruptur uretra biasanya akibat
sekunder dari kecelakaan sepeda motor (68%-84%) atau jatuh dari
ketinggian dan adanya trauma tumpul pelvis (6%-25%).6 Fraktur
pelvis banyak ditemukan pada tiga dekade pertama kehidupan, dengan
rasio laki-laki:perempuan sebesar 2:1 pada dewasa muda.6
Trauma uretra yang berhubungan dengan fraktur pelvis lebih
jarang ditemukan pada perempuan karena ukuran uretra perempuan
yang lebih pendek dan mobilitasnya yang lebih besar terhadap arkus
pubis. Cedera uretra lebih sering berhubungan dengan cedera/laserasi
vagina (75%) dan cedera rektal (33%).6
B. Gejala Klinik

Pada ruptur uretra posterior, terdapat tanda patah tulang pelvis.


Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas,
hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa
ditemukan tanda rangsangan peritoneum. Pasien biasanya juga
mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian
bawah.3,5,6
Ruptur uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah
sedikit di meatus uretra.3,5,6 Gejala ini merupakan gejala yang paling
penting dari ruptur uretra dan sering menjadi satu-satunya gejala yang
merupakan indikasi untuk dilakukannya uretrogram retrogade sebagai
alat penegak diagnosis pasti.3
Selain tanda setempat, pada pemeriksaan colok dubur ditemukan
prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma
urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karen pindah
ke kranial. Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan hati-hati
karena fragmen tulang dapat mencederai organ lain, seperti rektum.3,5,6
Kateterisasi merupakan kontraindikasi pada ruptur uretra
sebelum dilakukan uretrogram retrograd karena apat menyebabkan
infeksi

periprostatika

dan

perivesika

hematoma

serta

dapat

menyebabkan laserasi yang parsial menjadi laserasi total.


Pada pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan adanya
anemia. Pemeriksaan urin kadang tidak dapat dilakukan bila terjadi
retensi.3
Pada pemeriksaan uretrografi didapatkan ekstravasasi kontras
dan terdapat fraktur pelvis.12

C. Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi,
hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis.5
Adapun komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur
uretra. Impotensi dan inkontinensia juga merupakan komplikasi yang
mungkin timbul pada trauma uretra posterior.3,5,6
Komplikasi akan tinggi jika dilakukan reparasi segera, dan akan
menurun bila hanya dilakukan sistotomi suprapubik dan reparasi
dilakukan belakangan.3,6
D. Pengelolaan
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera organ
intraabdomen atau organ lain, cukup dilakukan sistostomi. Reparasi
uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis

ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silikon selama tiga minggu. 3,5
Bila disertai cedera organ lain hingga tidak memungkinkan untuk
dilakukannya reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter
secara langsir (rail roading).

Diagram 1. Pengelolaan trauma uretra posterior pada laki-laki.4

Diagram 2. Pengelolaan trauma uretra pada perempuan.4,8

10

Gambar 2. Cara langsir (rail roading) pemasangan kateter Foley menetap pada
ruptur uretra.4,8
a) Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra
b) Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui
sistotomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting
yang dirasa di tempat ruptur
c) Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde
dari buli-buli
d) Sonde dicabut dari uretra
e) Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter Foley
yang dijahit pada kateter Nelaton
f) Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
g) Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga
balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi
di buli-buli ditutup

11

2.3.2 Trauma Uretra Anterior


A. Etiologi
Cedera uretra anterior, selain oleh cedera kangkang (straddle
injury),

dapat

juga

disebabkan

oleh

instrumentasi

urologik

(iatrogenik), seperti pemasangan kateter, businasi, dan bedah


endoskopi.3,5,6,8
Cedera uretra bulbaris dapat terjadi karena jatuh terduduk atau
terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras (seperti
batu, kayu, atau palang sepeda) dengan tulang simfisis.5
Straddle injury dapat menyebabkan laserasi atau kontusio dari
uretra.Pada kontusio, biasanya hanya terjadi memar dan tidak terdapat
robekan. Hematoma perineal biasanya menghilang tanpa komplikasi.
Adapun pada straddle injury yang berat dapat terjadi laserasi yang
menyebabkan robeknya uretra dan terjadinya ekstravasasi urin yang
bisa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke dinding abdomen
yang bila tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
infeksi dan sepsis.3
B. Gejala Klinik
Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera
kangkang atau instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus
uretra.3,5,6
Pada ruptur uretra anterior, didapatkan:
-

Perdarahan per-uretra/ hematuri.


Kadang terjadi retensi urine.
Hematom kupu-kupu/butterfly hematom/ jejas perineum.
Pada ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom

pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra
merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi ruptur uretra total,
penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma, dan

12

nyeri perut bagian bawah dan suprapubik. Pada perabaan mungkin


ditemukan kandung kemih yang penuh.3,5,6

Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi


karena udem atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis
mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah
dapat meluas jauh, tergantung pada fasia yang turut rusak. Pada
ekstravasasi ini

mudah timbul infiltrat urin yang menyebabkan

selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.5


Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan
urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan
secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika
fasia Buck ikut robek, ekstravasai urin dan darah hanya dibatasi oleh
fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotum atau
dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran
seperti

kupu-kupu

sehingga

disebut butterfly

hematoma atau

hematoma kupu-kupu.6

13

Pada pemeriksaan radiologis, hasil pemeriksaan uretrogram


retrogad dapat menunjukkan gambaran ekstravasasi bila terdapat
laserasi uretra, sedangkan pada kontusio uretra tidak akan didapatkan
gambaran ekstravasasi. Bila tidak tampak adanya ekstravasasi, maka
pemasangan kateter uretra diperbolehkan.3
C. Komplikasi
Komplikasi dari cedera pada pelvis sulit dibedakan dengan
komplikasi akibat pasca uretroplasti atau cedera buli-buli. Komplikasi
dini yang dapat terjadi setelah rekonstruksi uretra adalah infeksi,
hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan dan epididimitis.3
Sedangkan komplikasi lanjut yang sering terjadi, yaitu:
1. Impotensi
Ditemukan 13-30% dari penderita dengan fraktur pelvis dan
pada cedera uretra yang dirawat dengan pemasangan kateter. Cedera
pada saraf parasimpatis penil merupakan penyebab terjadinya
impotensi setelah fraktur pelvis.
2. Inkontinesia
Insiden terjadinya inkontinensia urine rendah( 2-4 %), dan
disebabkan oleh kerusakan pada Bladder Neck. Oleh karena itu,

14

inkontinensia meningkat pada penderita yang dilakukan Open Bladder


Neck sebelum dilakukan operasi.
3. Striktur
Setelah dilakukan rekonstruksi rupture uretra posterior, 1215% penderita terbentuk striktur. Biasanya 96% kasus berhasil
ditangani dengan dilakukan penangan secara endoskopi.
D. Pengelolaan
Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan
uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal.
Dipasang kateter silikon tiga minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan
sistostomi dan pemasangan kateter Foley di uretra selama 7-10 hari,
sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistostomi baru
dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa
buang air kecil.3,5

15

Diagram 3. Pengelolaan trauma uretra anterior pada laki-laki.4

16

Diagram 4. Pengelolaan trauma uretra iatrogenik karena kesalahan pemasangan


kateter.4
2.3.3 Klasifikasi Trauma
Trauma uretra yang paling sering diklasifikasi berdasarkan
klasifikasi trauma menurut American Association for the Surgery of
Trauma (AAST) dan menurut Goldman.4
Pada klasifikasi trauma menurut AAST, pengklasifikasian lebih
difokuskan pada derajat disrupsi dan pemisahan uretra yang terjadi
(Tabel 1), adapun menurut Goldman, trauma diklasifikasikan
berdasarkan hasil uretrografi (Tabel 2).

17

Tabel 1. Klasifikasi Trauma Menurut AAST

Tabel 2. Klasifikasi Trauma Uretra Berdasarkan Uretrografi Menurut Goldman

18

BAB III
KESIMPULAN

Trauma uretra dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat trauma dan hasil


pemeriksaan uretrograf. Berdasarkan struktur anatomisnya, trauma ini terbagi
menjadi trauma uretra anterior dan posterior. Trauma ini lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan pada perempuan, hal ini berhubungan dengan struktur
anatomis uretra itu sendiri.
Banyak hal yang dapat mengakibatkan terjadinya trauma uretra,
diantaranya adalah trauma tumpul, fraktur pelvis, straddle injury, dan iatrogenik.
Gambaran klinis, hasil pemeriksaan radiologis dan pengelolaan masing-masing
trauma dibedakan sesuai dengan derajat trauma dan juga penyebabnya, adapun
komplikas trauma meliputi komplikasi dini setelah rekonstruksi dan juga
komplikasi lanjut.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Sabiston,

David

C.

2010.

BukuAjarBedahBagian

2.

Jakarta

:PenerbitBukuKedokteran EGC.
2. Snell, Richard S. 2006. AnatomiKlinikUntukMahasiswaKedokteranEdisi
6. Jakarta: PenerbitBukuKedokteran EGC.
3. StafPengajarBagianIlmuBedah FKUI. Kumpulan

KuliahIlmuBedah.

Tangerang: BinarupaAksara Publisher.


4. Martinez-Pineiro L, et al. 2010. EAU Guidelines on Urethral
Trauma.EurUrol (2010), doi:10.1016/j.eururo.2010.01.013.
5. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2005.
Jakarta:PenerbitBukuKedokteran EGC.
6. Rosenstein, Daniel I. and Alsikafi, Nejd F. 2006. Diagnosis and
Classificasion of Urethral Injuries. Urologic Clinics of North America
33(2006) 73-85.
7. Ingram, Mark D.,

et

al.

2008.

Urethral

Injuriesafter

Pelvic

Trauma:Evaluation withUrethrography.RadioGraphics 2008; 28:1631


1643
8. Brandes S.2006. Initial management of anterior and posterior urethral
injuries . Urologic clinics of north america. Philadelpia :Elseivers Sanders;
2006. p. 87-95

20

Anda mungkin juga menyukai