Pancasila Dengan Pemilu
Pancasila Dengan Pemilu
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pengamalan atau praktek Pancasila dalam kehidupan saat ini
memang sudah sulit untuk ditemukan. Tidak terkecuali dikalangan intelektual dan
kaum elit politik Bangsa Indonesia. Aspek kehidupan berpolitik, ekonomi, dan
hukum serta hankam merupakan praktek dari isi Pancasila. Pancasila adalah dasar
negara dari Bangsa Indonesia dan telah membawa Negara ini hingga merdeka.
Secara hukum Indonesia memang sudah merdeka, namun jika kita lihat secara
individu (minoritas) hal itu belum terbukti. Masih banyak penyimpangan yang dilakukan
para elit politik dalam berbagai pengambilan keputusan, misalnya pada pemilihan
umum.
Pancasila
sebagai etika politik seharusnya sangat mendasari saat pelaksanaan pemilihan
umum, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Saat pemilihan umum, etika
politik tidak berlaku lagi bagi para elit politik dan masyarakat. Tidak
berlakunya etika politik saat pemilu berdampak dengan timbulnya berbagai
penyimpangan saat pelaksanaan pemilihan umum. Penyimpangan yang terjadi sangat
bertolak belakang dengan etika politik sebab etika politik mengandung
norma/nilai yang ada pada pancasila. Norma/nilai yang terkandung dalam
pancasila adalah suatu ajaran yang sifatnya positif yang jauh dari
penyimpangan.
Dengan
demikian, Pendidikan Pancasila harus lebih di tekankan agar rakyat Indonesia
atau para calon elit politik paham akan isi dan fungsi dari pancasila sebagai
dasar dari berpolitik tanpa harus terjadi penyimpangan saat pengambilan
kebijakan.
1.2
Rumusan
Masalah
Mengapa sering terjadi penyimpangan
pada saat pemilihan umum?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui tujuan etika dalam berpolitik
2.
Untuk
mengetahui alasan penyimpangan dapat terjadi pada saat pemilihan umum
1.4
Manfaat
1.
Memberikan
pengetahuan tentang tujuan etika dalam berpolitik
2.
Memberikan
pengetahuan tentang dampak penyimpangan yang terjadi pada saat pemilihan umum
BAB
2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.1.1
Pengertian Etika
Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
perbagai ajaran moral. Etika dibagi menjadi 2 yaitu etika umum dan khusus.
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya
dengan perbagai aspek kehidupan manusia.[1]
Etika memberi manusia orientasi
bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-hari yang menjadi pegangan. Adapun
nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila tertuang dalam berbagai
tatanan sebagai berikut:
1.
Tatanan bermasyarakat
2.
Tatanan bernegara
3.
Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri
4.
Tatanan pemerintah daerah
5.
Tatanan hidup beragama
6.
Tatanan bela negara
7.
Tatanan pendidikan
8.
Tatanan berserikat
9.
Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintah
10.
Tatanan kesejahteraan sosial
2.1.2 Pengertian
Politik
Politik yaitu kegiatan yang menyangkut cara
bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif
dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara
anggota-anggotanya.[2]
Pengambilan
keputusan atau decisions making mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih. Untuk pelaksanaan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public
policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari
sumber-sumber yang ada. Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu
diperlukan suatu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang akan
dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan
jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement of
intents) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi
seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai
kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.[3]
5.
Etika yang berkeadilan sosial
2.1.4
Pengertian Pemilihan Umum
Di dalam Undang-Undang terbaru yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Pemilu yaitu UU No. 15 Tahun 2011 disebutkan
dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adanya pengertian yang demikian ini sesungguhnya juga harus dimaknai bahwa
pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia bukan hanya kongritisasi dari
kedaulatan rakyat (langsung, umum, bebas, dan rahasia), tetapi lebih dari itu
yaitu menghendaki adanya suatu bentuk pemerintahan yang demokratis yang
ditentukan secara jujur dan adil.
2.2
Budaya Politik Indonesia
Berbagai macam budaya politik yang berkembang, akan tetapi sulit membuat
keselarasan yang sanggup membuat suatu sistem politik berkerja secara optimal.
Budaya politik dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Budaya politik parokial
2. Budaya politik kaula
3. Budaya politik partisipan
Budaya
politik parokial, dapat diartikan sebagai budaya politik yang hanya terbatas
pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat
provinsial.Biasanya hal ini terjadi pada masyarakat yang masih bersifat
tradisional, dimana para pelaku politik tersebut masuk kedalam bidang-bidang
yang strategis dalam masyarakat tersebut, misalnya menjadi pelaku ekonomi atau
tokoh agama. Dalam keadaan yang seperti ini, tidak ada peranan politik yang
bersifat khas dan berdiri sendiri.
Budaya
politik kaula, dalam hal ini anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian dan
mungkin mempunyai kesadaran, terhadap sistem sebagai suatu keseluruhan,
terutama segi outputnya.Akan tetapi, perhatian mereka sebagai aktor politik
tidak jelas, hal ini terjadi karena perhatian yang mereka berikan bukan
perhatian sebagai manusia yang ingin membuat kehidupannya berubah dan menjadi
lebih bermartabat, tapi lebih cocok dikatakan sebagai robot atau pion-pion elit
politik yang ditempatkan digaris depan. Mengapa dikatakan demikian? Hal itu
terjadi karena mereka hanya berorintasi pada peryataannya, baik berupa
kebanggan, dukungan terhadap sistem dan mungkin sikap bermusuhan terhadap yang
bersebrangan. Padahal mereka hanya berada di posisi pasif, yang hanya
menerima keputusan yang dijatuhkan oleh pemimpin mereka dan menganggap sebagai
individu yang tidak berdaya terhadap keputusan tersebut.
Budaya
politik partisipan, ditandai oleh adanya perilaku yang berbeda, perilaku
sebagai kaula. Sebagai orang yang menganggap dirinya dan orang lain sebagai
individu aktif dalam kehidupan politik. Individu yang menyadari akan hak dan tanggung
jawab, serta dapat mempergunakan hak dan kewajibannya.7 Hal ini terasa jauh
lebih maju dan beradab dari kedua budaya politik yang sebelumnya, dalam budaya
politik partisipan terkesan lebih bermoral karena terdapat keterbukaan dan
tidak ada kesan membodohi apalagi merugikan orang lain dalam melangsungakan
kegiatan politik. Dengan demikian hasil yang dicapai diharapkan dapat maksimal
karena pada awalnya sudah dimulai dengan hal yang relatif baik yang lebih jujur
dan adil.
pada akhirnya akan merusak tatanan demokrasi bangsa Indonesia. Tanpa adanya
komitmen untuk mematuhi nilai-nilai budaya, aturan hukum serta etika politik
yang ada, politik bersih yang didambakan selama ini sulit untuk diwujudkan.
2.4
Dimensi Manusia Politik
a.
Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Paham
individualism yang merupakan bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai
makhluk individu yang bebas, konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat,
bangsa, maupun negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak
dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan
dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan
komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia social. Individu menurut
paham kolekvitisme dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu
konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai
makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam
hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi
manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan
sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa
tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau
makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap
individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain.
Manusia didalam hidupnya mampu
bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena
dalam hubunganya dengan orang lain. Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam
pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan
hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan
sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan
kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara
bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kesejahteraan individu maupun
masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan,
kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan
secara moral kepada dasar-dasar tersebut.[6]
Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa serta sila kedua Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab adalah merupakan sumber nilai nilai moral bagi
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai
dengan:
a) Asas
legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan
dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c)
Dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip moral / tidak bertentangan dengannya
(legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan,
kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus
berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila
2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu keadilan dalam
hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian
senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan
yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus
dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok Negara.
1) Generasi pertama
(abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis
2) Generasi kedua
(abad ke 19/20): hak-hak sosial
3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke
20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak
hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita
bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila
tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup
manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga,
kampung, kelompok
etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk
rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan
itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu
dilanggar dengan kasar oleh korupsi.
4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada
manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok
pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan
pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi
berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan
rakyat plus prinsip keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah
system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Pancasila
adalah sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang
sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah Pancasila
sebagai suatu sistem etika.
Di dunia
internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki
etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi
dan pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa ini
sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab
didunia. Pembentukan etika bukanlah hal yang mudah, karena berasal dari tingkah
laku dan hati nurani.
Pancasila
sebagai etika, dapat kita ketahui bahwa dalam pembahasan Bab 3 ini tentang
pancasila sebagai etika. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika juga ilmu yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita harus belajar tentang etika dan mengikuti
ajaran moral. Etika pun dibagi menjadi 2 kelompok etika umum dan khusus.
Etika
khusus ini terbagi dua yaitu terdari etika individual dan etika sosial. Etika
politik adalah cabang bagian dari etika sosial dengan membahas kewajiban dan
norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu
masyarakat kenegaraan ( yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan
secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan
hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi. Dan pancasila memegang peranan dalam
perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan
dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku
kita. Seperti tercantum di sila ke dua kemanusian yang adil dan beradab
tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa
ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan fungsi
sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.
Maka
bisa dikatakan bahwa fungsi pancasila sebagai etika itu sangatlah penting agar
masyarakat harus bisa memilih dan menentukan calon yang akan menjabat dan
menjadi pimpinan mayarakat dalam demokrasi liberal memberikan hak kepada
rakyat untuk secara langsung memilih pejabat dan pemimpin tinggi (nasional,
provinsi, kabupaten/kota) untuk mewujudkan harapan rakyat. Sesungguhnya, dalam
era reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM, ternyata ekonomi
rakyat makin terancam oleh kekuasaan neoimperialisme melalui ekonomi liberal.
Analisis ini dapat dihayati melalui bagaimana politik pendidikan nasional
(konsep : RUU BHP sebagai kelanjutan PP No. 61 / 1999) yang membuat rakyat
miskin makin tidak mampu menjangkau.Bidang sosial ekonomi, silahkan dicermati
dan dihayati Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang
tertutup dan terbuka, yang mengancam hak-hak sosial ekonomi bangsa !
Dalam
halnya PEMILU tahun 2009 banyak partai-partai yang belum memakai etika politik.
Bukan hanya para partai saja, melainkan masyarakat yang memilih pun terkadang
tidak memilih untuk memikirkan bangsanya melainkan hanya berfikir untuk
kepentingan sendiri (independent). Dan pada PEMILU banyak yang melanggar
etika politik yang telah diterapkan oleh KPU.
2.10
Penyimpangan
Pada Saat Pemilihan Umum
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari hasil pembelajaran selama
melaksanakan penyusunan makalah
ini, penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Etika Politik dalam pelaksanaan
pemilihan umum masih kurang atau dikatakan masih tidak ada. Hal ini dapat di
tunjukkan dengan adanya berbagai penyimpangan yang terjadi saat pemilihan umum.
Penyimpangan dapat dilakukan oleh para elit politik atau masyarakat dengan
berbagai alasan yang mendasari, alasan yang paling banyak digunakan oleh elit
politik yaitu agar mendapatkan kemenangan dalam pemilihan umum (keegoisan),
sedangkan alasan yang sering digunakan oleh masyarakat yaitu ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah sehingga bersikap masa bodoh.
3.2 Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan
secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi
terwujud dengan adanya kesinambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan
mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara
ditentukan oleh kondisi pemerintah yang sesuai dengan etika politik agar semua
berjalan menuju kebaikan hidup.
DAFTAR
PUSTAKA