Anda di halaman 1dari 22

pancasila dan pemilu

April 14, 2014 at 9:14am


PENYIMPANGAN ETIKA POLITIK DALAM
PEMILIHAN UMUM

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pengamalan atau praktek Pancasila dalam kehidupan saat ini
memang sudah sulit untuk ditemukan. Tidak terkecuali dikalangan intelektual dan
kaum elit politik Bangsa Indonesia. Aspek kehidupan berpolitik, ekonomi, dan
hukum serta hankam merupakan praktek dari isi Pancasila. Pancasila adalah dasar
negara dari Bangsa Indonesia dan telah membawa Negara ini hingga merdeka.
Secara hukum Indonesia memang sudah merdeka, namun jika kita lihat secara
individu (minoritas) hal itu belum terbukti. Masih banyak penyimpangan yang dilakukan
para elit politik dalam berbagai pengambilan keputusan, misalnya pada pemilihan
umum.
Pancasila
sebagai etika politik seharusnya sangat mendasari saat pelaksanaan pemilihan
umum, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Saat pemilihan umum, etika
politik tidak berlaku lagi bagi para elit politik dan masyarakat. Tidak
berlakunya etika politik saat pemilu berdampak dengan timbulnya berbagai
penyimpangan saat pelaksanaan pemilihan umum. Penyimpangan yang terjadi sangat
bertolak belakang dengan etika politik sebab etika politik mengandung
norma/nilai yang ada pada pancasila. Norma/nilai yang terkandung dalam
pancasila adalah suatu ajaran yang sifatnya positif yang jauh dari
penyimpangan.
Dengan
demikian, Pendidikan Pancasila harus lebih di tekankan agar rakyat Indonesia
atau para calon elit politik paham akan isi dan fungsi dari pancasila sebagai
dasar dari berpolitik tanpa harus terjadi penyimpangan saat pengambilan
kebijakan.

1.2
Rumusan
Masalah
Mengapa sering terjadi penyimpangan
pada saat pemilihan umum?
1.3
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui tujuan etika dalam berpolitik
2.
Untuk
mengetahui alasan penyimpangan dapat terjadi pada saat pemilihan umum
1.4
Manfaat
1.
Memberikan
pengetahuan tentang tujuan etika dalam berpolitik
2.
Memberikan
pengetahuan tentang dampak penyimpangan yang terjadi pada saat pemilihan umum

BAB
2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

2.1.1
Pengertian Etika
Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
perbagai ajaran moral. Etika dibagi menjadi 2 yaitu etika umum dan khusus.
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya
dengan perbagai aspek kehidupan manusia.[1]
Etika memberi manusia orientasi
bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-hari yang menjadi pegangan. Adapun
nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila tertuang dalam berbagai
tatanan sebagai berikut:
1.
Tatanan bermasyarakat
2.
Tatanan bernegara
3.
Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri
4.
Tatanan pemerintah daerah
5.
Tatanan hidup beragama
6.
Tatanan bela negara
7.
Tatanan pendidikan

8.
Tatanan berserikat
9.
Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintah
10.
Tatanan kesejahteraan sosial

2.1.2 Pengertian
Politik
Politik yaitu kegiatan yang menyangkut cara
bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif
dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara
anggota-anggotanya.[2]
Pengambilan
keputusan atau decisions making mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem
politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan
skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih. Untuk pelaksanaan
tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public
policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari
sumber-sumber yang ada. Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu
diperlukan suatu kekuasaan (power), dan kewenangan (authority) yang akan
dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin
timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan
jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement of
intents) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi
seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai
kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.[3]

2.1.3 Pengertian Etika Politik

Etika politik merupakan macam-macam kegiatan dalam suatu


sitem politik atau Negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari
sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan-pelaksanaan. Pengambilan keputusan
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem tersebut. Etika politik tidak
dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena
itu etika politik berkaitan dengan bidang pembahsan moral. Hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai
subjek etika.[4]
Fungsi
etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis
untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung
jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara
rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri
politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
idiologis dapat dijalankan secara obyektif.[5]
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan
pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang
normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif
sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial).
Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik
yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya
cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan ham
menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat
masing-masing dan keadaan sosial.
Pancasila sebagai etika politik bagi
bangsa dan negara Indonesia adalah etika yang dijiwai oleh falsafah negara
Pancasila. yaitu:
1.
Etika yang berjiwa Ketuhanan yang Maha Esa
2.
Etika yang berprikemanusiaan
3.
Etika yang dijiwai oleh rasa kesatuan nasional
4.
Etika yang berjiwa demokrasi

5.
Etika yang berkeadilan sosial

2.1.4
Pengertian Pemilihan Umum
Di dalam Undang-Undang terbaru yang
mengatur mengenai penyelenggaraan Pemilu yaitu UU No. 15 Tahun 2011 disebutkan
dalam Pasal 1 angka 1 bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Adanya pengertian yang demikian ini sesungguhnya juga harus dimaknai bahwa
pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia bukan hanya kongritisasi dari
kedaulatan rakyat (langsung, umum, bebas, dan rahasia), tetapi lebih dari itu
yaitu menghendaki adanya suatu bentuk pemerintahan yang demokratis yang
ditentukan secara jujur dan adil.
2.2
Budaya Politik Indonesia
Berbagai macam budaya politik yang berkembang, akan tetapi sulit membuat
keselarasan yang sanggup membuat suatu sistem politik berkerja secara optimal.
Budaya politik dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Budaya politik parokial
2. Budaya politik kaula
3. Budaya politik partisipan

Budaya
politik parokial, dapat diartikan sebagai budaya politik yang hanya terbatas
pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya yang bersifat
provinsial.Biasanya hal ini terjadi pada masyarakat yang masih bersifat
tradisional, dimana para pelaku politik tersebut masuk kedalam bidang-bidang

yang strategis dalam masyarakat tersebut, misalnya menjadi pelaku ekonomi atau
tokoh agama. Dalam keadaan yang seperti ini, tidak ada peranan politik yang
bersifat khas dan berdiri sendiri.
Budaya
politik kaula, dalam hal ini anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian dan
mungkin mempunyai kesadaran, terhadap sistem sebagai suatu keseluruhan,
terutama segi outputnya.Akan tetapi, perhatian mereka sebagai aktor politik
tidak jelas, hal ini terjadi karena perhatian yang mereka berikan bukan
perhatian sebagai manusia yang ingin membuat kehidupannya berubah dan menjadi
lebih bermartabat, tapi lebih cocok dikatakan sebagai robot atau pion-pion elit
politik yang ditempatkan digaris depan. Mengapa dikatakan demikian? Hal itu
terjadi karena mereka hanya berorintasi pada peryataannya, baik berupa
kebanggan, dukungan terhadap sistem dan mungkin sikap bermusuhan terhadap yang
bersebrangan. Padahal mereka hanya berada di posisi pasif, yang hanya
menerima keputusan yang dijatuhkan oleh pemimpin mereka dan menganggap sebagai
individu yang tidak berdaya terhadap keputusan tersebut.
Budaya
politik partisipan, ditandai oleh adanya perilaku yang berbeda, perilaku
sebagai kaula. Sebagai orang yang menganggap dirinya dan orang lain sebagai
individu aktif dalam kehidupan politik. Individu yang menyadari akan hak dan tanggung
jawab, serta dapat mempergunakan hak dan kewajibannya.7 Hal ini terasa jauh
lebih maju dan beradab dari kedua budaya politik yang sebelumnya, dalam budaya
politik partisipan terkesan lebih bermoral karena terdapat keterbukaan dan
tidak ada kesan membodohi apalagi merugikan orang lain dalam melangsungakan
kegiatan politik. Dengan demikian hasil yang dicapai diharapkan dapat maksimal
karena pada awalnya sudah dimulai dengan hal yang relatif baik yang lebih jujur
dan adil.

2.3 Budaya Politik Bersih dan Akar Budaya


Indonesia
Setiap
masyarakat memiliki nilai-nilai dasar dan karakteristik yang berbeda-beda satu
sama lain, sehingga masyarakat juga memiliki budaya politik yang berbeda-beda
satu dengan yang lainnya. Budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang
khas dari warga negara bersumber dari akar budaya politik yang merupakan wujud
sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan
masyarakat dan diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma
perilaku. Di Indonesia, nilai-nilai itu merupakan nilai-nilai dasar yang
meskipun berbeda-beda namun tidak bertentangan satu sama lain. Nilai itu
berasal dari nilai-nilai masyarakat-masyarakat adat yang ada di seluruh Negara
Indonesia yang kemudian dirangkum dan disatukan dalam Pancasila sebagai dasar
negara. Dengan demikian akar budaya tersebut secara keseluruhan dapat dilihat
dalam Pancasila.

Setiap sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai yang


memiliki makna mendalam. Prinsip-prinsip (nilai) dasar dalam Pancasila adalah
prinsip Ketuhanan yang menjadi elemen paling utama dari elemen negara hukum
Indonesia, prinsip musyawarah, keadilan sosial serta hukum yang tunduk pada
kepentingan nasional dan persatuan Indonesia yang melindungi segenap tumpah
darah Indonesia, prinsip keadilan sosial, dan prinsip terakhir negara hukum
Indonesia adalah elemen dimana hukum mengabdi pada kepentingan Indonesia yang
satu dan berdaulat yang melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.
Nilai-nilai dasar sebagaimana disebut di atas, dijabarkan
dalam perilaku-perilaku seperti menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi. Apabila dikaitkan dengan perilaku politik yang dilaksanakan dalam
pemilu ataupun pemilukada, nilai ini seringkali dikesampingkan. Realita yang
terjadi sekarang ini menunjukan bahwa seringkali pemenang pemilu melupakan
kepentingan rakyat yang diwakilinya demi kepentingan dirinya sendiri atau
bahkan partai politiknya. Para pemenang pemilu atau pemilukada terkadang hanya
berpikiran pragmatis untuk jangka pendek dan berusaha meraih keuntungan
sebanyak-banyaknya dari jabatan yang telah ia dapatkan, tanpa melihat efek
jangka panjang atas perilakunya tersebut. Tidak hanya itu untuk memperoleh dan
melanggengkan kekuasaannya para kontestan pemilu menghalalkan segala cara untuk
dapat terpilih atau terpilih kembali.
Nilai lain budaya kita yang sudah dilupakan antara lain adalah nilai
musyawarah, toleransi, tepa salira, kerjasama, gotong royong, kekeluargaan,
kejujuran, saling menghargai satu sama lain, dsb. Perlu diingat bahwa pemilihan
umum secara langsung bukanlah berarti lebih demokratis apabila dibandingkan
dengan proses pemilihan dan pengambilan kesepakatan yang dilakukan dengan cara
tidak langsung, seperti musyawarah atau lobi. Pemilihan langsung hanyalah
pilihan dari beberapa sistem demokrasi. Mahkamah Konstitusi dalam salah satu
putusannya mengakui sistem pemilihan yang berasal dari adat istiadat Papua,
pengambilan keputusan, termasuk pemilihan perwakilan dengan sistem noken
di daerah Yahukimo, Papua, diakui sebagai salah satu nilai budaya yang
keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Dengan kata lain, sistem demokrasi itu
sendiri dapat disesuaikan dengan nilai-nilai budaya setempat dengan dilandasi
komitmen untuk mendahulukan kepentingan umum dan menegakan etika politik.
Kebebasan sebagai inti dari demokrasi bukan berarti kebebasan tanpa batas
dan tanpa tanggung jawab. Terkait dengan pemilihan umum, adanya kebebasan
berpolitik tanpa konsep tanggung jawab hanya akan menjerumuskan kita pada
budaya anarki dan mau menang sendiri. Kebebasan berpolitik harus diimbangi
dengan keberadaan aturan hukum dan etika politik sebagai syarat terwujudnya
demokrasi. Tentu kita harus menolak bila aktivitas-aktivitas politik masyarakat
dalam penyelenggaraan pemilu dikatakan sebagai cerminan budaya politik bangsa
Indonesia. Pelanggaran dan penyimpangan seperti itu bukanlah budaya asli bangsa
Indonesia, namun bila hal tersebut dibiarkan maka bukan tidak mungkin
pelanggaran dan penyimpangan tersebut akan dianggap sebagai budaya bangsa yang

pada akhirnya akan merusak tatanan demokrasi bangsa Indonesia. Tanpa adanya
komitmen untuk mematuhi nilai-nilai budaya, aturan hukum serta etika politik
yang ada, politik bersih yang didambakan selama ini sulit untuk diwujudkan.

2.4
Dimensi Manusia Politik

a.
Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial
Paham
individualism yang merupakan bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai
makhluk individu yang bebas, konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat,
bangsa, maupun negara dasar merupakan dasar moral politik negara. Segala hak
dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan
dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu.
Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal sosialisme dan
komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia social. Individu menurut
paham kolekvitisme dipandang sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu
konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara paham kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai
makhluk sosial. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam
hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filsofi
manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan
sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa
tergantung pada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau
makhluk sosial. Kesosialanya tidak hanya merupakan tambahan dari luar terhadap
individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia ditakdirkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain.
Manusia didalam hidupnya mampu
bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena
dalam hubunganya dengan orang lain. Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam
pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan

hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu dan
sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan
kenegaraan indonesia bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara
bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan kesejahteraan individu maupun
masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan,
kebijaksanaan serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan
secara moral kepada dasar-dasar tersebut.[6]

b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia


Dimensi
politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum,
sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dimensi
ini memiliki dua segi fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk
bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek
kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakan
moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau
akibat yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan
karena kesadaran moral akan tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan
masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan manusia tidak dapat
dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka
harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif
masyarakat adalah hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang
memberitahukan kepada semua anggota masyarakat bagaimana mereka harus
bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif dan otomatis
menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena
itu yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang
mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara.
Penataan efektif adalah penataan de facto, yaitu penatan yang berdasarkan
kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu dipahami bahwa negara
yang memiliki.[7]

2.5 Makna Nilai-Nilai Pancasila Dalam


Etika Berpolitik
Pancasila
sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai
yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silasilanya. Karena jika
dilihat satu persatu dari masing-masing sila itu dapat saja ditemukan dalam

kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila terletak pada


nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias
ditukarbalikan letak dan susunannya. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai
Pancasila dalam etika berpolitik itu semua terkandung dalam kelima sila
Pancasila.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Ketuhanan
berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. YangMaha Esa berarti Maha
Tunggal, tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat- Nya dan perbuatan-Nya. Atas
keyakinan demikianlah, maka Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaannya untuk beribadat dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali
tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti
keagamaan. Hal ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.
Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan
berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi
pikir, rasa, karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari
nilai-nilai dan norma-norma. Adil berarti wajar, yaitu sepadan dan sesuai
dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab kata pokoknya adalah adab, sinonim
dengan sopan, berbudi luhur dan susila. Beradab artinya berbudi luhur,
berkesopanan, dan bersusila. Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945
alinea pertama: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.
Persatuan
Indonesia
Persatuan
berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi satu
kebulatan. Sila Persatuan Indonesia ini mencakup persatuan dalam arti
ideologis, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam. Hal ini sesuai dengan
pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, Kemudian dari pada itu untuk

membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa


Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kerakyatan
Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan
Kata
rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia yang berdiam
dalam satu wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system
demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa
kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat
dalam melaksanakan tugas kekuasaannya ikut dalam pengambilan
keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat.
Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keadilan
sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang
kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga
Negara Indonesia baik yang tinggal didalam negeri maupun yang di luar negeri.
Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam alinea
kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan
Indonesia Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak
dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana
dalam berpolitik harus bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan dan dengan penuh keadilan social
bagi seluruh rakyat Indonesia tampa pandang bulu. Nilai-nilai Pancasila
tersebut mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur
pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbaghai penyimpangan seperti yang sering
terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme,
penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika sampai
perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.

2.6 Nilai-nilai Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik

Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa serta sila kedua Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab adalah merupakan sumber nilai nilai moral bagi
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai
dengan:
a) Asas
legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan
dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c)
Dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip moral / tidak bertentangan dengannya
(legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan,
kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus
berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila
2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu keadilan dalam
hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian
senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan
yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah
merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan
pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus
dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok Negara.

2.7 Lima Prinsip


Dasar Etika Politik Pancasila

Pancasila sebagai etika politik mempunyai lima prinsip


yaitu disusun menurut
pengelompokan pancasila, sehingga bukan sekedar
sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila
memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika
politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan
hidup).
1.
Pluralisme
Pluralisme
adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan
positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda
pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap
kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi.
Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak
asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Hal tersebut dikarena hak-hak
asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak
diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan
martabatnya sebagai manusia. Karena itu, Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak
maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a.Mutlak karena
manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara,
manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.

masyarakat, melainkan karena ia

b.Kontekstual karena baru mempunyai


fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia
tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara
modern.
Bila mengkaji hak asasi manusia secara
umum, maka dapat dibedakan dalam bentuk tiga generasi hak-hak asasi manusia:

1) Generasi pertama
(abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis

dan perlakuan wajar di depan hukum.

2) Generasi kedua
(abad ke 19/20): hak-hak sosial
3) Generasi ketiga (bagian kedua abad ke
20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).

3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak
hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita
bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila
tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup
manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga,
kampung, kelompok
etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk
rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan
itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu
dilanggar dengan kasar oleh korupsi.

4. Demokrasi
Prinsip kedaulatan rakyat menyatakan bahwa tak ada
manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok
pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan
pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi
berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah kedaulatan
rakyat plus prinsip keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah
system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.

Demokrasi hanya dapat berjalan baik


atas dua dasar:
a.
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM;
perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran
mayoritas.
b. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan
dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum
merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang
sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling
dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar
keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan.
Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian
atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive pelaksanaan
ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama
dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam
kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu
diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan
pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak
dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin),
melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis.
Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak
hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidak adilan struktural paling
gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur
lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi
atas dasar ras, suku dan budaya.
Berdasarkan uaraian di atas, tantangan etika politik
paling serius di Indonesia sekarang adalah:
1.
Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan
sosial.
2.

Ekstremisme ideologis yang anti


pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu
kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3.
Korupsi.

2.8 Tujuan Etika Dalam Berpolitik


Tujuan
etika dalam berpolitik yaitu mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang
lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun
institusi-institusi yang adil.[8] Pemerintahan
yang sesuai dengan pancasila atau etika politik yaitu pemerintahan yang menjunjung
tinggi kejujuran. Apabila kita berpolitik menggunakan etika, kita akan lebih
bertanggung jawab karena kita mengetahui pengertian ,batasan dan tujuan dalam
berpolitik sehingga terhindar dari penyimpangan yang sering terjadi.
2.9 Pancasila sebagai Sistem Etika Dalam
PEMILU

Pancasila
adalah sebagai dasar negara Indonesia, memegang peranan penting dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila banyak memegang peranan yang
sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, salah satunya adalah Pancasila
sebagai suatu sistem etika.
Di dunia
internasional bangsa Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang memiliki
etika yang baik, rakyatnya yang ramah tamah, sopan santun yang dijunjung tinggi
dan pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa ini
sehingga bangsa ini dapat dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab
didunia. Pembentukan etika bukanlah hal yang mudah, karena berasal dari tingkah
laku dan hati nurani.
Pancasila
sebagai etika, dapat kita ketahui bahwa dalam pembahasan Bab 3 ini tentang

pancasila sebagai etika. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika juga ilmu yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita harus belajar tentang etika dan mengikuti
ajaran moral. Etika pun dibagi menjadi 2 kelompok etika umum dan khusus.
Etika
khusus ini terbagi dua yaitu terdari etika individual dan etika sosial. Etika
politik adalah cabang bagian dari etika sosial dengan membahas kewajiban dan
norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu
masyarakat kenegaraan ( yang menganut sistem politik tertentu) berhubungan
secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan
hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan
kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi. Dan pancasila memegang peranan dalam
perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan
dimana saja kita berada kita diwajibkan untuk beretika disetiap tingkah laku
kita. Seperti tercantum di sila ke dua kemanusian yang adil dan beradab
tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran pancasila dalam membangun etika bangsa
ini sangat berandil besar, Setiap sila pada dasarnya merupakan azas dan fungsi
sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan.
Maka
bisa dikatakan bahwa fungsi pancasila sebagai etika itu sangatlah penting agar
masyarakat harus bisa memilih dan menentukan calon yang akan menjabat dan
menjadi pimpinan mayarakat dalam demokrasi liberal memberikan hak kepada
rakyat untuk secara langsung memilih pejabat dan pemimpin tinggi (nasional,
provinsi, kabupaten/kota) untuk mewujudkan harapan rakyat. Sesungguhnya, dalam
era reformasi yang memuja kebebasan atas nama demokrasi dan HAM, ternyata ekonomi
rakyat makin terancam oleh kekuasaan neoimperialisme melalui ekonomi liberal.
Analisis ini dapat dihayati melalui bagaimana politik pendidikan nasional
(konsep : RUU BHP sebagai kelanjutan PP No. 61 / 1999) yang membuat rakyat
miskin makin tidak mampu menjangkau.Bidang sosial ekonomi, silahkan dicermati
dan dihayati Perpres No. 76 dan 77 tahun 2007 tentang PMDN dan PMA yang
tertutup dan terbuka, yang mengancam hak-hak sosial ekonomi bangsa !
Dalam
halnya PEMILU tahun 2009 banyak partai-partai yang belum memakai etika politik.
Bukan hanya para partai saja, melainkan masyarakat yang memilih pun terkadang
tidak memilih untuk memikirkan bangsanya melainkan hanya berfikir untuk
kepentingan sendiri (independent). Dan pada PEMILU banyak yang melanggar
etika politik yang telah diterapkan oleh KPU.
2.10
Penyimpangan
Pada Saat Pemilihan Umum

Penyimpangan pada saat pemilu sudah


sangat sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Penyimpangan dilakukan
oleh oknum atau para elit politik sendiri yang bertujuan untuk terpilihnya
calon petinggi Negara yang didukungnya tersebut dalam pemilu. Penyimpangan yang
terjadi yaitu sebagai berkut :
1.
Money Politic atau pendekatan calon petinggi
Negara kepada rakyat Indonesia melalui uang atau secara kasarnya yaitu
penyuapan agar calon petinggi Negara tersebut terpilih dalam pemilu. Penyimpangan
ini dapat dilakukan oleh oknum atau calon petinggi Negara yang mengikuti pemilu
agar mendapat dukungan dari rakyat yang banyak sehingga terpilih.
2.
Memanipulasi syarat administrasi
pencalonan atau memalsukan data-data seperti kewarganegaraan (WNI), Sehat
jasmani dan rohani, Usia telah 17 tahun, dan terdaftar sebagai calon pemilih.
Penyimpangan ini dapat dilakukan oleh oknum atau calon petinggi Negara yang
mengikuti pemilu melalui badan atau oknum yang bertugas untuk mendata calon
pemilih. Hal ini dilakukan agar calon pemilih semakin banyak sehingga peluang
akan memenangkan pemilu semakin besar.
3.
Ancaman dan intimidasi terhadap calon
pemilih. Penyimpangan ini dapat dilakukan oleh oknum atau calon petinggi Negara
yang mengikuti pemilu. Hal ini dilakukan agar calon pemilih ketakutan atau
merasa terancam apabila tidak memilih calon petinggi Negara tersebut karena
kebanyakan ancamannya menggunakan kekerasan.
4.
Kelalaian petugas penyelenggara pemilu. Penyimpangan
ini terjadi karena kecerobohan dari manusia dan penyimpangan ini meliputi kesalahan hitung
dan kesalahan
membaca kertas suara. Tetapi penyimpangan ini masih dimaklumi karena ada unsur
ketidak sengajaan pihak penyelenggara pemilu. Apabila terjadi penyimpangan ini
kemungkinan diadakan pemilu putaran
kedua.
Penyimpangan-penyimpangan ini sangat bertolak
belakang dengan etika politik karena etika politik mempunyai dasar pancasila
yang berisi norma/nilai yang bertentangan dengan ketidak jujuran. Sehingga
penyimpangan ini termasuk pelanggaran yang berkaitan dengan hukum yang berlaku.

2.9 Dampak Terjadinya Penyimpangan


Dampak dari terjadinya penyimpangan yaitu
mengajarkan kepada rakyat Indonesia bahwa ketidak jujuran atau kecurangan dalam
berpolitik di halalkan dan rusaknya pemerintahan Indonesia akibat petinggi
Negara yang terpilih atas uang bukan kemampuan dalam berpolitik yang berakibat
pada berbagai bidang di kehidupan.
2.10 Alasan Penyimpangan Masih Dapat Terjadi
Rakyat Indonesia dapat menerima penyimpangan yang
terjadi karena berbagai alasan, misalnya pendidikan rendah sehingga pengetahuan
akan etika berpolitik kurang, tingkat ekonomi yang kurang, dan ketidak pedulian
rakyat terhadap pemerintahan dikarenakan kekecewaan rakyat terhadap janji-janji
petinggi Negara yang terdahulu yang tidak sesuai dengan kenyataan.

BAB 3 PENUTUP

3.1
Kesimpulan
Dari hasil pembelajaran selama
melaksanakan penyusunan makalah
ini, penyusun dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Etika Politik dalam pelaksanaan
pemilihan umum masih kurang atau dikatakan masih tidak ada. Hal ini dapat di
tunjukkan dengan adanya berbagai penyimpangan yang terjadi saat pemilihan umum.
Penyimpangan dapat dilakukan oleh para elit politik atau masyarakat dengan
berbagai alasan yang mendasari, alasan yang paling banyak digunakan oleh elit
politik yaitu agar mendapatkan kemenangan dalam pemilihan umum (keegoisan),
sedangkan alasan yang sering digunakan oleh masyarakat yaitu ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah sehingga bersikap masa bodoh.

3.2 Saran
Pancasila hendaknya disosialisasikan
secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam berbagai segi
terwujud dengan adanya kesinambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan
mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara
ditentukan oleh kondisi pemerintah yang sesuai dengan etika politik agar semua
berjalan menuju kebaikan hidup.

DAFTAR
PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar


Ilmu Politik.Edisi Revisi Cetakan Pertama. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi
Hague, Rod, et.al. 1998. Comparative Government and Politics (fourth edition: fully
revised
and updated). London: Macmillan Press Ltd.
Kaelan Ms. 2004 .
Pendidikan Pancasila. Jakarta:
Paradigma offset
Kantaprawira,
Rusadi. 1985. Sistem Politik Indonesia,
Suatu Model Pengantar. Sinar Baru,
Bandung.
Permana, Setia, 2003. Politik Indonesia, Konspirasi Elit dan
Perlawanan Rakyat. Ceplas, Bandung.
Soegito,dkk.Pendidikan
Pancasila.Semarang: UPT UNNES PRESS
Sunarto,dkk.2010.Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi. Semarang: UPT UNNES PRESS
Suseno, Franz
Magnis, 1987, Etika Politik, PT.
Gramedia, Jakarta
DARI FACEBOOK

Anda mungkin juga menyukai