Anda di halaman 1dari 35

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Tuberkulosis

3.1.1

Definisi
Tuberkulosis, atau TB, adalah penyakit infeksius bakterial yang disebabkan

oleh karena infeksi Mycobacterium tuberculosis, dimana secara umum menginfeksi


paru-paru. Penyakit ini ditularkan dari penderita ke individu sehat melalui percikan
(droplets) yang berasal dari tenggorokan dan paru-paru penderita dengan penyakit
pernapasan yang aktif. (WHO, 2015)
Seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis mendukung TB
disebut

pasien terduga TB.

Sedangkan, Seseorang yang terkena infeksi

Mycobacterium tuberculosis disebut dengan pasien TB. Definisi pasien TB dapat


dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis, yang
terdiri dari pasien TB paru BTA positif, pasien TB baru hasil biakan
maupun tes cepat dan TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis,
biakan atau tes cepat.
2. Pasien pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak
memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis
sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah pasien TB
paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB,
pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis (Kemenkes, 2014).
3.1.2
1.

Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari
28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan
OAT selama 1 bulan atau lebih ( dari 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:

Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau


pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).

Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):


adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).

Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir


pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui (Kemenkes, 2014).


Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja

Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan

Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah

satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)

Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Kemenkes, 2014).

3.1.3

Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta

orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV possitifsepertiga penduduk


dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Selain itu, diperkirakan
terdapat 450.000 orang menderita TB MDR dan 170.000 diantaranya meninggal
dunia Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Di indonesia sendiri, TB masih menjadi masalah kesahatan
utama yang belum juga terselesaikan. Pada tahun 2012 diperkirakan lebih dari
500.000 dan diperkirakan sekitar 130.000 kasus belum terlaporkan (Kemenkes,
2014).
3.1.4

Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis

dan menular

secara langsung.

Mycobacterium

tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan berbentuk batang. Mycobacterium


tuberculosis ini memiliki sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan,
hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga disebut sebagai
basil tahan asam (BTA). Bakteri Mycobacterium tuberculosis sangat sensitif pada
panas, sinar matahari, radiasi ultraviolet, namun bakteri ini sangat tahan terhadap
dingin, pembekuan, dan pengeringan. Beberapa basil tetap pada fase tidak
mereplikasi atau perlahan mereplikasi pada keadaan tidak aktif selama sisa hidup
individu (Kemenkes, 2014).
Selain Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis juga menyebabkan
tuberculosis orofaring dan usus yang berjangkit melalui susu sapi perah yang
mengidap tuberculosis. Sedangkan M.avium-intracellulare merupakan strain yang
sering ditemukan pada pasien AIDS, mengenai 10% hingga 30% pasien. Penularan
strain ini melalui tanah, air, unggas, babi, dan hewan ternak, namun diantara

semuanya Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab tersering (Kemenkes,


2014).
3.1.5

Karakteristik M. tuberculosis
M.tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang langsing berukuran

0,4x3m yang tahan asam dan bersifat aerobik. Disebut basil tahan asam karena
sulit didekolorisasi dengan alkohol maupun asam. Oleh karena sulit didekolorisasi
dengan alkohol. (95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorat),
mikrobakterium tidak dapat diklasifikasikan gram negatif maupun positif . Teknik
pewarnaan yang digunakan adalah Ziehl Nieelsen (Kemenkes, 2014).
Mikrobakteri memperoleh energi dari oksidasi senyawa karbon sederhana
dimana peningkatan PCO2 memacu pertumbuhan. Pembelahan biner basil TB
adalah 18 jam dan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri lainnya
( 60x lebih lambat dibanding Staphylococcus) hal ini dapat menerangkan mengapa
bakteri tuberculosis bermanifestasi pada gejala klinis kronik (Kemenkes, 2014).
Dinding sel M.tuberkulosis sebagian besar tersusun oleh :
1. Lipid
Mikrobakteri kaya akan lipid, khususnya asam mikolat (asam lemak rantai
panjang C78-C90), wax, dan fosfatidat. Di dalam sel sebagian besar lipid
berikatan dengan protein dan polisakarida. Kompleks peptide dengan asam
mikolat

membentuk

granuloma,

sedangkan

fosfolipid

merangsang

pembentukan nekrosis pengkejuan . Disamping itu lipid juga membentuk sifat


tahan asam pada mikobakteri.
2. Protein
Tiap mikobakteri memiliki protein yang terikat dengan wax dan menginduksi
reaksi tuberkulin. Dengan kata lain, protein tersebut dapat menyebabkan
pembentukan berbagai antibodi.
3. Polisakarida
Peran polisakarida dalam menimbulkan penyakit TB masih belum pasti.
Polisakarida bisa menginduksi hipersensitivitas tipe cepat dan berperan
sebagai antigen ketika bereaksi dengan serum pasien (Kemenkes, 2011).
3.1.6

Patogenesis Tuberkulosis
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu

batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut

terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam


tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar
dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita
tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita
tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Kemenkes, 2014).

Gambar 1 Patogenesis dan Lesi Tuberkulosis Primer (Ulrichs and Kaufmann, 2002).

Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli
(gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis
yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya
infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan
infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan
tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi
kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai
persister atau dormant, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita
tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses

(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi
pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciricirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular (Kemenkes, 2014).
Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi
primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya efusi pleura (Kemenkes, 2014).
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem
kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan
pengobatan dengan immunosupresan (Kemenkes, 2014).
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah
sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali
dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis.
Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang menggunakan
obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi ini
menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak lagi
dapat membunuh kuman (Kemenkes, 2014).
3.1.7

Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru harus ditegakkan melalui pemeriksaan bakteriologis

seperti pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan maupun tes cepat dengan


spesimen dahak SPS (sewaktu-pagi-sewaktu). Ditetapkan pasien TB jika minimal
satu dari pemeriksaan uji dahak hasilnya BTA positif. Apabila pemeriksaan
bakteriologis hasilnya negative, maka penegakan diagnosis dapat dilakukan secara
klinis dan pemeriksaan penunjang minimal adalah foto thoraks yang ditetapkan oleh
dokter yang telah terlatih TB (Kemenkes, 2014). Secara ringkas, alur diagnosis TB
adalah sebagai berikut :

Gambar 2. Alur diagnosis TB paru dewasa. (Kemenkes, 2014)


3.1.7 Penatalaksanaan Tuberkulosis
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes, 2014).
Prinsip Pengobatan
Prinsip pengobatan TB adalah pengobatan adekuat yang berarti harus sesuai
panduan mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi, diberikan
dalam dosis yang tepat, diminum secara teratur dengan pengawasan langsung oleh
PMO (pengawas menelan obat), dan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup
sesuai panduan yang terdiri dari tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal
bertujuan untuk secara efektif menurunkan kuman dan tahap lanjutan yang

10

bertujuan untuk membunuh sisa kuman dang mencegah terjadinya kekambuhan


(Kemenkes, 2014).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel 1. Obat-obat OAT dan efek sampingnya (Kemenkes, 2014)

Tabel 2. Dosis OAT Lini pertama (Kemenkes, 2014)

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia (Kemenkes, 2011):
o Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
o Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri
dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide,
sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

11

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket


berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien (Kemenkes,
2014).
Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT (Kemenkes, 2014).
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam
satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB (Kemenkes,
2014):
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paru

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Kemenkes, 2014)

12

Tabel 4. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1 (Kemenkes, 2014)

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow up)

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 (Kemenkes, 2014)

Tabel 6. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 (Kemenkes, 2014)

13

Catatan:
-

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan


aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB
lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan
ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4 (Kemenkes, 2014).
Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien
tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien tidak dalam
pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB. Pemberian ARV dilakukan dengan
prinsip :

Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan
ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah
200/mm3.

Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4<
350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.

Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa


memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak

dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS
rujukan pengobatan ARV (Kemenkes, 2014).
Tabel 7. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB (Kemenkes, 2014)

14

Keterangan:
*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan
pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai ART bila tidak ada
alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan
janin). Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk
memberikan kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak
diperlukan leadin dose. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita
TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan.
Alternatif lain, pada ibu hamil trimester pertama dengan CD4 > 250/mm3 atau jika
CD4 tidak diketahui, berikan paduan pengobatan ARV yang mengandung NVP
disertai pemantauan yang teliti. Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk ke rumah
sakit.
Pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat.
Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut:

Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif.

Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang


(cross-resistance)

Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya.


Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari
Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.

Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

15

Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan. Dikatakan


konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari.

Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah

paduan standar (standardized treatment). yaitu :


Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto - Lfx - Z Cs
Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris dan dapat disesuaikan bila :
a. Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan
sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
b. Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada :
-

Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian


hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.

Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.

Terjadi perburukan klinis (Kemenkes, 2014).

Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus (Kemenkes, 2014)


a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier
placenta.

Keadaan

ini

dapat

mengakibatkan

terjadinya

gangguan

pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan


dilahirkan.

Perlu

dijelaskan

kepada

ibu

hamil

bahwa

keberhasilan

pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat

16

berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal,
atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S)
dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
e. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan.
Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan
atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
f.

Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui
empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik.
OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien

17

dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui


ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.
g. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.
h. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan
jiwa pasien seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
i.

Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:

1)

Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2)

Untuk TB ekstra paru:

18

Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang


disertai kelainan neurologik (Kemenkes, 2014).
Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB
1) Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam

memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke
2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes, 2014).
Tabel 8. Pemantauan hasil pengobatan
Hasil pengobatan OAT
Tabel 9. Definisi hasil pengobatan OAT

19

Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya


Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan
gejala.
Efek samping ringan OAT (Kemenkes, 2014)

Efek samping berat OAT (Kemenkes, 2014)

20

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika
seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas


atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan
dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge.
Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah
timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas.

Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB
dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat

21

tersebut

dengan

obat

lain.

Lamanya

pengobatan

mungkin

perlu

diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.

Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)


terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT
yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam
pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas
terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat
dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien
TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang
berat (Kemenkes, 2011).

3.1.8

Komplikasi TB
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi,baik sebelum

atau dalam massa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa


komplikasi yang mungkin timbul (PDPI, 2014) adalah:
1. Batuk darah
2. Hydropneumothoraks
3. Pneumothoraks
4. Luluh paru
5. Gagal nafas
6. Gagal jantung
7. Efusi pleura
3.2

Pneumonia

3.2.1

Definisi dan Epidemiologi


Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan

oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit) tidak termasuk yang disebabkan
oleh

mycobacterium

tuberculosis.

Peradangan

yang

disebabkan

selain

mikroorganisme disebut pneumonitis (PDPI, 2014).


Berdasarkan data SEAMIC Health Statistic tahun 2001 influenza dan
pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. Berdasarkan
laporan WHO tahun 1999 penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi
saluran nafas akut termasuk influenza dan pneumonia (PDPI, 2014).

22

3.2.2

Rute Penularan
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuham mikroorganisme diparu.

Apabila

terdapat

ketidakseimbangan

antara

faktor

imunitas

penjamu

dan

mikroorganisme dapat terjadi infeksi pada paru. Banyak cara mikrooganisme


mencapai permukaan yaitu:
1. Inokulasi langsung
2. Hematogen
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa (PDPI, 2014).
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk melalui inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat pada beberapa penelitian tidak
ditemukan jenis mikroorganismne yang sama (PDPI, 2014).
3.2.3

Patofisiologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan

reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan

diapedesis

eritrosit

sehingga

terjadi

permulaan

fagositosis

sebelum

terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan


dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag (PDPI, 2014).
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan
'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas (PDPI, 2014).

23

3.2.4

Diagnosis
Diagnosis PDPI didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,

foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti PDPI ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :

Batuk-batuk bertambah

Perubahan karakteristik dahak / purulen

Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam

Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial


dan ronki

Leukosit > 10.000 atau < 4500

24

Penilaian derajat keparahan penyakit Penumonias dapat dilakukan dengan


menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome
Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini :

Berdasarkan kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat


inap PDPI adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.

Frekuensi napas > 30/menit

Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg

Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg

Tekanan diastolik < 60 mmHg (PDPI, 2014).

3. Pasien pneumonia pengguna NAPZA

25

3.2.5

Tatalaksana
Tatalaksana terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian

antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme


dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi biasanya dapat langsung diberikan karena
beberapa alasan yaitu penyakit yang berat dapat mengancam jiwa, bakteri patogen
yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia, dan hasil
pembiakan bakteri memerlukan waktu (PDPI, 2014).
Terapi antibiotik yang disarankan pada pasien rawat inap non ICU menururt
ATS Guideline 2007 adalah fluroquinolon (levofloxacin 750mg/hari), beta laktam
(ammoxicilin 1 gr 3 kali sehari) dan makrolid (doksisiklin sebagai alternatif).
Penatalaksanaan pneumonia komunitas dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
-

Pengobatan suportif / simptomatik

Istirahat di tempat tidur

Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi

Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas

Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran

Pemberian antiblotik harus diberikan kurang dari 8 jam

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa


-

Pengobatan suportif / simptomatik

Pemberian terapi oksigen

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam

c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif


-

Pengobatan suportif / simptomatik

Pemberian terapi oksigen

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat

simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik

Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam (PDPI, 2014).

26

3.2.6

Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,

bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita PDPI kurang dari 5% pada penderita rawat
jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian pneumonia
komunitas pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6%
dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal
ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita PDPI dengan
peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka
kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD
Dr. Soetomo angka kematian 20 -35% (PDPI, 2014).
3.3 HIV
3.3.1

Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang

sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki CD4+ dipermukaan sel
nya seperti makrofag dan limfosit T. Sementara itu acquired-immunodeficiency
syndrome (AIDS) ialah merupakan suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang
berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekuner, serta
manifestasi neurologik tertentu akibat infeksi dari HIV (Djoerban, 2014).

3.3.2

Etiologi
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus

famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi 2 tipe. HIV-1 merupakan tipe

27

yang menyebar luas ke seluruh dunia. Sedang yang HIV-2 merupakan tipe yang
hanya terdapat di Afrika Barat dan dibeberapa negara Eropa (Djoerban, 2014).
3.3.3 Epidemiologi
Situasi Global
Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda
menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. Angka

seroprevalensi di antara pengguna obat suntik sangat bervariasi di


seluruh dunia, namun epidemi terkini terjadi di Eropa bagian timur,
Rusia, dan India bagian utara (Mandal, 2008). Pada tahun 2013
jumlah orang hidup (seluruh usia) dengan HIV sebesar 35 juta
penduduk, dengan angka kematian terkait AIDS sekitar 1,5 juta
penduduk (WHO,2013).
Gambar 2.1 Prevalensi HIV Dewasa Tahun 2013 (WHO, 2013)

28

Gambar Jumlah Kumulatif kasus HIV & AIDS berdasarkan Provinsi


(Kemenkes, 2014)
Situasi Nasional
Sejak ditemukannya kasus AIDS pertama di Indonesia pada
tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan
di Indonesia dari tahun ke tahun secara kumulatif cenderung
meningkat. Pada tahun 2006 Ditjen PP & PL Depkes RI mengadakan
kegiatan estimasi populasi rawan tertular HIV dengan hasil sebagai
berikut:

Tabel 2.1 Estimasi Rawan Tertular HIV/AIDS tahun 2006


No.

Kelompok Rawan Terinfeksi HIV

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Penyalahguna NAPZA suntik (IDU)


Non-IDU partner dari IDU
Wanita Penjaja Seks (WPS)
Pelanggan WPS
Pasangan pelanggan WPS
Laki-laki Suka Laki-laki (LSL)
Waria
Pelanggan waria
Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP)
Umum
193.70
193.71

10.
Total

Estimasi Jumlah
ODHA
90.000
12.810
8.910
28.340
5.200
9.160
3.760
2.230
5.190
27.470

3.3.4 Faktor Resiko


Faktor resiko terinfeksi HIV/AIDS antara lain:

Tidak memakai pelindung ketika melakukan hubungan seksual dengan lebih


dari satu pasangan

29

Tidak memakai pelindung ketika melakukan hubungan seksual dengan


orang dengan HIV positif

Memiliki penyakit menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia,


gonorrhea atau bacterial vaginosis.

Bergantian dalam memakai jarum suntik

Mendapatkan transfusi darah yang terinfeksi virus HIV

Memiliki sedikit salinan gen CCL3L1 yang membantu melawan infeksi HIV

Ibu yang memiliki HIV

3.3.5

Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper

yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada
molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian
dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup (Djoerban, 2009).
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV
tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak

30

tertular virus HIV yang dikenal dengan masa window period. Setelah beberapa
bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai
dampak dari infeksi HIV tersebut (Sidebang, 2010).
Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV
akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita
yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga
yang sangat lambat (non-progressor)(Djoerban, 2009).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik (Djoerban, 2009).
3.3.6

Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS umumnya

sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
Rasa lelah dan lesu
Berat badan menurun secara drastis
Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembengkakan leher dan lipatan paha
Radang paru
Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal, yaitu :

Manifestasi tumor

Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.

Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun (Kemenkes, 2014).

31

Manifestasi oportunistik

Manifestasi pada Paru


a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas
dalam dan demam.

b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.

Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per
bulan.

Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya

timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer ((Djoerban, 2009).
3.3.7 Klasifikasi
Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja
dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control and
Prevention).

Klasifikasi Menurut CDC (Centre for Diseases Control and Prevention)

32

CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan


dewasa) berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi
kekebalan tubuh yang dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi
kekebalan tubuh ditunjukkan oleh limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga
kategori, yaitu (Sidebang, 2010):
1. Kategori Klinis A
CD4+ > 500 sel/ml meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik),
Limfadenopati generalisata yang menetap, infeksi HIV akut primer
dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
2. Kategori Klinis B
CD4+ 200-499 sel/ml terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik)
pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk
dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut
yaitu keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya
kerusakan kekebalan dengan perantara sel (cell mediated immunity),
atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan
klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV.
Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis
orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes
zoster, Neuropati perifer, penyakit radang panggul.

3. Kategori Klinis C
CD4+ < 200 sel/ml Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS
dan

pada

tahap

ini

orang

yang

terinfeksi

HIV

menunjukkan

perkembangan infeksi dan keganasan yang mengancam kehidupannya,


meliputi : Sarkoma Kaposi, Kandidiasis bronki/trakea/paru, Kandidiasis
esophagus, Kanker leher rahim invasif, Coccidiodomycosis, Herpes
simpleks, Cryptosporidiosis, Retinitis virus sitomegalo, Ensefalopati yang
berhubungan dengan HIV, Bronkitis/Esofagitis atau Pneumonia, Limfoma
Burkitt, Limfoma imunoblastik dan Limfoma primer di otak, Pneumonia
Pneumocystis carinii

33

Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)


Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia.
Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu
berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah
dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik. Adapun
gejala mayor tersebut terdiri dari:

Penurunan berat badan > 10%

Demam yang panjang atau lebih dari 1 bulan

Diare kronis

Tuberkulosis
Sedangkan Gejala minor dari infeksi HIV terdiri dari:

Kandidiasis orofaringeal

Batuk menetap lebih dari 1 bulan

Kelemahan tubuh,

Berkeringat malam,

Hilang nafsu makan,

Infeksi kulit generalisata,

Limfadenopati generalisata,

Herpes zoster,

Infeksi Herpes simplex kronis,

Pneumonia,

Sarcoma Kaposi
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium

klinis, yaitu (WHO,2007) :


1. Stadium I
Bersifat

asimptomatik,

aktivitas

Limfadenopati generalisata.
2. Stadium II

normal

dan

dijumpai

adanya

34

Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat


kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik,
Prorigo, Onikomikosis, Ulkus yang berulang dan Kheilitis angularis,
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi saluran nafas
bagian atas seperti Sinusitis bakterialis.
3. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%,
berat badan menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih
dari 1 bulan, demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat
Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1 tahun terakhir, infeksi bakterial
yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis.
4. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur
>50%, terjadi HIV wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi
opurtunistik seperti Pneumonia Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis
otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan, Kriptosporidiosis
ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks mukomutan
>1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata
seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan
paru, Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta
Ensefalopati HIV(WHO,2007).
3.3.8

Diagnosis
Di negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan

dengan memakai data klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju


digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat
(Sidebang, 2010).
a. ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay)
Tes skrining yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(enzyme-linked immunoabsorbent assay). Untuk mengidentifikasi antibodi
terhadap HIV, tes ELISA sangat sensitif, tapi tidak selalu spesifik, karena
penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif sehingga menyebabkan

35

false positif, diantaranya penyakit autoimun ataupun karena infeksi. 16


Sensivitas ELISA antara 98,1%-100% dan dapat mendeteksi adanya
antibodi terhadap HIV dalam darah.

b. Western Blot
Western Blot

memiliki

spesifisitas

(kemampuan

test

untuk

menemukan orang yang tidak mengidap HIV) antara 99,6% - 100%.


Namun pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu
sekitar 24 jam.30 Tes Western Blot mungkin juga tidak bisa menyimpulkan
seseorang menderita HIV atau tidak. Oleh karena itu, tes harus diulangi
setelah dua minggu dengan sampel yang sama. Jika test Western Blot
tetap tidak bisa disimpulkan, maka test Western Blot harus diulangi lagi
setelah 6 bulan.
c. PCR (Polymerase chain reaction)
PCR untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif dan spesifik untuk
infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas.
3.3.9

Penatalaksanaan
Sesudah dinyatakan HIV positif, pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)

dilakukan pemeriksaan CD4 dan menentukan penyakit penyerta serta infeksi


oportunistik yang ada untuk menentukan stadium infeksi HIV. Untuk selanjutnya
ODHA akan mendapatkan paket layanan perawatan dukungan pengobatan.

Penatalaksanaan Terapi Antitertoviral (ARV)


Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan dengan

perkembangan bukti ilmiah dan keterediaan layanan secara internasional. Semakin


dini ODHA terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin
menurun esiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun menularkan
infeksi HIV (Kemenkes, 2011). Pedoman nasional pengobatan antiretroviral di
Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman dan
rekomendasi WHO (Kemenkes, 2011).
Pemberian ARV pada ODHA bertujuan untuk menurunkan angka kematian
akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas hidup ODHA

36

berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian stadium klinis,
imunologis, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4 merupakan
kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum melalui terapi. Penanganan
penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan
(treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi ARV
yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat lini pertama
yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi, dan compliance,
monitoring, target pengobatan, dan studi (KPAN, 2009).
Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi
oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB,
skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk
menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian
PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence),
konseling positive prevention dan konseling KB ( jika ada rencana memiliki anak).
Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu
memenuhi syarat ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan
(Kemenkes, 2014).
Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI
(nucleotide reserve transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleotide reserve
transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan
nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor) yang
diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk
mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di
Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman tahun
2011 yang saat ini di jadikan acuan. Berikut merupakan perbedaan antara
keduannya (Kemenkes, 2011):
Tabel Pedoman Terapi ARV di Indonesia
Populasi Target
Odha tanpa gejala klinis (stadium
klinis 1) dan belum pernah

Pedoman Terapi ARV 2007


Indikasi Mulai Terapi ARV
CD4 < 200 sel/mm3

Pedoman Terapi ARV 2011


CD4 < 350 sel/mm3

37

mendapat terapi ARV (ARV-nave)

Odha dengan gejala klinis dan


belum pernah mendapat terapi ARV
(ARV-nave)

Perempuan hamil dengan HIV

Odha dengan Koinfeksi TB yang


belum pernah mendapat terapi ARV
Odha dengan Koinfeksi Hepatitis B
(HBV) yang belum pernah
mendapat terapi ARV

Semua pasien CD4 < 200 sel/mm3


Stadium klinis 3 atau 4, berapapun
jumlah CD 4

Stadium klinis 2 bila CD4 < 350


sel/mm3
Atau
Stadium klinis 3 atau 4, berapapun
jumlah CD4

Stadium klinis 1 atau 2 dan CD4 <


200 sel/mm3
Stadium klinis 3 dan CD4 < 350
sel/mm3
Stadium klinis 4 berapapun jumlah
CD4

Semua ibu hamil berapapun jumlah


CD4 atau apapun stadium klinis

Adanya gejala TB aktif dan CD4 <


350 sel/mm3

Mulai terapi berapapun jumlah CD4

Tidak ada rekomendasi khusus

Odha dengan koinfeksi Hepatitis B


(kronis aktif), berapapun jumlah
CD4.

Paduan Terapi ARV


Odha yang belum pernah mendapat
terapi ARV (ARV-nave)

Perempuan hamil HIV +

Koinfeksi TB-HIV
Koinfeksi HIV-Hepatitis B (kronis
aktif)

AZT atau d4T + 3TC (atau FTC) +


EFV atau NVP

Menggunakan TDF sebagai lini


pertama
Perlunya memulai phase-out d4T
dan memulai terapi dengan AZT
atau TDF, mengingat efek samping

AZT + 3TC + NVP

AZT atau TDF sebagai lini pertama

AZT atau d4T + 3TC (atau FTC) +


EFV

TDF menggantikan d4T sebagai lini


pertama

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Diperlukan paduan NRTI yang berisi


TDF + 3TC (atau FTC)

Anda mungkin juga menyukai