BAB II Responsi Paru
BAB II Responsi Paru
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Tuberkulosis
3.1.1
Definisi
Tuberkulosis, atau TB, adalah penyakit infeksius bakterial yang disebabkan
Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip
(tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Kemenkes, 2014).
3.1.3
Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta
Etiologi
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis
dan menular
secara langsung.
Mycobacterium
Karakteristik M. tuberculosis
M.tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang langsing berukuran
0,4x3m yang tahan asam dan bersifat aerobik. Disebut basil tahan asam karena
sulit didekolorisasi dengan alkohol maupun asam. Oleh karena sulit didekolorisasi
dengan alkohol. (95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorat),
mikrobakterium tidak dapat diklasifikasikan gram negatif maupun positif . Teknik
pewarnaan yang digunakan adalah Ziehl Nieelsen (Kemenkes, 2014).
Mikrobakteri memperoleh energi dari oksidasi senyawa karbon sederhana
dimana peningkatan PCO2 memacu pertumbuhan. Pembelahan biner basil TB
adalah 18 jam dan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan bakteri lainnya
( 60x lebih lambat dibanding Staphylococcus) hal ini dapat menerangkan mengapa
bakteri tuberculosis bermanifestasi pada gejala klinis kronik (Kemenkes, 2014).
Dinding sel M.tuberkulosis sebagian besar tersusun oleh :
1. Lipid
Mikrobakteri kaya akan lipid, khususnya asam mikolat (asam lemak rantai
panjang C78-C90), wax, dan fosfatidat. Di dalam sel sebagian besar lipid
berikatan dengan protein dan polisakarida. Kompleks peptide dengan asam
mikolat
membentuk
granuloma,
sedangkan
fosfolipid
merangsang
Patogenesis Tuberkulosis
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
Gambar 1 Patogenesis dan Lesi Tuberkulosis Primer (Ulrichs and Kaufmann, 2002).
Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli
(gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis
yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya
infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan
infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan
tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi
kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai
persister atau dormant, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita
tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi
pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciricirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular (Kemenkes, 2014).
Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi
primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya efusi pleura (Kemenkes, 2014).
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya sistem
kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan
pengobatan dengan immunosupresan (Kemenkes, 2014).
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah
sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali
dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis.
Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang menggunakan
obat tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi ini
menyebabkan jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak lagi
dapat membunuh kuman (Kemenkes, 2014).
3.1.7
Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru harus ditegakkan melalui pemeriksaan bakteriologis
10
11
Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (Kemenkes, 2014)
12
Pasien kambuh
Pasien gagal
13
Catatan:
-
Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan
ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun dibawah
200/mm3.
Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4<
350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.
dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS
rujukan pengobatan ARV (Kemenkes, 2014).
Tabel 7. Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB (Kemenkes, 2014)
14
Keterangan:
*) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan
pengobatan OAT (mengandung rifampisin), yang perlu dimulai ART bila tidak ada
alternatif lain. EFV tidak dapat digunakan pada trimester I kehamilan (risiko kelainan
janin). Setelah pengobatan dengan rifampisin selesai dapat dipikirkan untuk
memberikan kembali NVP. Waktu mengganti kembali dari EFV ke NVP tidak
diperlukan leadin dose. Jika seorang ibu hamil trimester ke 2 atau ke 3 menderita
TB, paduan ART yang mengandung EFV dapat dipertimbangkan untuk diberikan.
Alternatif lain, pada ibu hamil trimester pertama dengan CD4 > 250/mm3 atau jika
CD4 tidak diketahui, berikan paduan pengobatan ARV yang mengandung NVP
disertai pemantauan yang teliti. Bila terjadi gangguan fungsi hati, rujuk ke rumah
sakit.
Pengobatan Tuberkulosis Resistan Obat.
Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB dengan
MDR adalah sebagai berikut:
Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
15
Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah
Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.
Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat
diidentifikasi penyebabnya.
Keadaan
ini
dapat
mengakibatkan
terjadinya
gangguan
Perlu
dijelaskan
kepada
ibu
hamil
bahwa
keberhasilan
16
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.
Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal,
atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan
dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S)
dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
e. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali
OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan.
Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan
atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan
adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
f.
17
Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1)
Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2)
18
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen
sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke
2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes, 2014).
Tabel 8. Pemantauan hasil pengobatan
Hasil pengobatan OAT
Tabel 9. Definisi hasil pengobatan OAT
19
20
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika
seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu
kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang,
namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan
seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.
Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.
Pada Fasyankes Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian
kembali OAT harus dengan cara drug challenging dengan menggunakan
obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang
merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB
dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat
21
tersebut
dengan
obat
lain.
Lamanya
pengobatan
mungkin
perlu
3.1.8
Komplikasi TB
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi,baik sebelum
Pneumonia
3.2.1
oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit) tidak termasuk yang disebabkan
oleh
mycobacterium
tuberculosis.
Peradangan
yang
disebabkan
selain
22
3.2.2
Rute Penularan
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuham mikroorganisme diparu.
Apabila
terdapat
ketidakseimbangan
antara
faktor
imunitas
penjamu
dan
Patofisiologi
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan
diapedesis
eritrosit
sehingga
terjadi
permulaan
fagositosis
sebelum
23
3.2.4
Diagnosis
Diagnosis PDPI didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis,
foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti PDPI ditegakkan jika pada foto toraks
terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di
bawah ini :
Batuk-batuk bertambah
24
25
3.2.5
Tatalaksana
Tatalaksana terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat
26
3.2.6
Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita PDPI kurang dari 5% pada penderita rawat
jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut
Infectious Disease Society Of America (IDSA) angka kematian pneumonia
komunitas pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6%
dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal
ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita PDPI dengan
peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka
kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah 21%, sedangkan di RSUD
Dr. Soetomo angka kematian 20 -35% (PDPI, 2014).
3.3 HIV
3.3.1
Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan patogen yang menyerang
sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki CD4+ dipermukaan sel
nya seperti makrofag dan limfosit T. Sementara itu acquired-immunodeficiency
syndrome (AIDS) ialah merupakan suatu kondisi (sindrom) imunosupresif yang
berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekuner, serta
manifestasi neurologik tertentu akibat infeksi dari HIV (Djoerban, 2014).
3.3.2
Etiologi
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus
famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini
menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya ke dalam bentuk
yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap
kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi 2 tipe. HIV-1 merupakan tipe
27
yang menyebar luas ke seluruh dunia. Sedang yang HIV-2 merupakan tipe yang
hanya terdapat di Afrika Barat dan dibeberapa negara Eropa (Djoerban, 2014).
3.3.3 Epidemiologi
Situasi Global
Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda
menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. Angka
28
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Total
Estimasi Jumlah
ODHA
90.000
12.810
8.910
28.340
5.200
9.160
3.760
2.230
5.190
27.470
29
Memiliki sedikit salinan gen CCL3L1 yang membantu melawan infeksi HIV
3.3.5
Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada
molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian
dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur
hidup (Djoerban, 2009).
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV
tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak
30
tertular virus HIV yang dikenal dengan masa window period. Setelah beberapa
bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai
dampak dari infeksi HIV tersebut (Sidebang, 2010).
Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV
akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita
yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga
yang sangat lambat (non-progressor)(Djoerban, 2009).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik (Djoerban, 2009).
3.3.6
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita HIV/AIDS umumnya
sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita
penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
Rasa lelah dan lesu
Berat badan menurun secara drastis
Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
Mencret dan kurang nafsu makan
Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
Pembengkakan leher dan lipatan paha
Radang paru
Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal, yaitu :
Manifestasi tumor
Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat
bertahan kurang lebih 1 tahun (Kemenkes, 2014).
31
Manifestasi oportunistik
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per
bulan.
Manifestasi Neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer ((Djoerban, 2009).
3.3.7 Klasifikasi
Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja
dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control and
Prevention).
32
3. Kategori Klinis C
CD4+ < 200 sel/ml Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS
dan
pada
tahap
ini
orang
yang
terinfeksi
HIV
menunjukkan
33
Diare kronis
Tuberkulosis
Sedangkan Gejala minor dari infeksi HIV terdiri dari:
Kandidiasis orofaringeal
Kelemahan tubuh,
Berkeringat malam,
Limfadenopati generalisata,
Herpes zoster,
Pneumonia,
Sarcoma Kaposi
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium
asimptomatik,
aktivitas
Limfadenopati generalisata.
2. Stadium II
normal
dan
dijumpai
adanya
34
Diagnosis
Di negara-negara berkembang, sistem WHO untuk infeksi HIV digunakan
35
b. Western Blot
Western Blot
memiliki
spesifisitas
(kemampuan
test
untuk
Penatalaksanaan
Sesudah dinyatakan HIV positif, pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)
36
berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian stadium klinis,
imunologis, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4 merupakan
kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum melalui terapi. Penanganan
penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan
(treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi ARV
yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat lini pertama
yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi, dan compliance,
monitoring, target pengobatan, dan studi (KPAN, 2009).
Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi
oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB,
skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk
menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian
PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence),
konseling positive prevention dan konseling KB ( jika ada rencana memiliki anak).
Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu
memenuhi syarat ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan
(Kemenkes, 2014).
Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI
(nucleotide reserve transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleotide reserve
transcriptase inhibitors), misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan
nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor) yang
diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk
mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di
Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman tahun
2011 yang saat ini di jadikan acuan. Berikut merupakan perbedaan antara
keduannya (Kemenkes, 2011):
Tabel Pedoman Terapi ARV di Indonesia
Populasi Target
Odha tanpa gejala klinis (stadium
klinis 1) dan belum pernah
37
Koinfeksi TB-HIV
Koinfeksi HIV-Hepatitis B (kronis
aktif)