Pembimbing:
dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC
Disusun oleh:
Yuni Purwati
G4A014085
Dasep Padilah
G4A014086
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN JOURNAL READING
KEJADIAN GEJALA TENGGOROK PASCA INTUBASI ENDOTRAKEA:
PERBANDINGAN ESTIMASI DAN PENGUKURAN TEKANAN KAF
MENGGUNAKAN ALAT DENGAN TANPA ALAT DI GBPT RSUD DR.
SOETOMO SURABAYA
Disusun oleh:
Yuni Purwati
G4A014085
Dasep Padilah
G4A014086
September 2016
Pembimbing,
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja
sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi.
Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani
dan memelihara keadaan anestesi pasien.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli
anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal,
tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan
napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.
Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan
melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa
ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus
diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas
dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Tindakan intubasi endotrakea seringkali menyebabkan trauma terhadap
mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul
pasca operasi. Beberapa gejala yang sering dikeluhkan antara lain: nyeri
tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness). Gejala-gejala
tersebut merupakan akibat dari iritasi lokal dan proses inflamasi yang terjadi pada
mukosa saluran nafas atas.
Dari beberapa penelitian mengenai pengaruh pemasangan pipa endotrakea,
lebih banyak penelitian yang memfokuskan kepada lesi yang diakibatkan oleh
tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea. Beberapa contoh trauma yang terjadi
karena pemasangan pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, laserasi
pada plika vokalis, subluksasi kartilago aretinoid, obstruksi pipa, stenosis
subglotis, penggeseran atau displacement tube, stridor pasca ekstubasi, ulserasi
nasal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pasca ekstubasi.
Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di GBPT RSU dr Soetomo
Surabaya, pada saat pemasangan endotrakeal tube, tekanan kaf biasanya diberikan
secara titrasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit ukuran 20cc,
diberikan
tekanan
udara
secara
perlahan-lahan
ke
dalam
kaf
sambil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu
lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan
nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002).
B. Tujuan Intubasi Endotracheal
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
4. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
C. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotracheal
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun
2002 antara lain :
1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal
atau sebagai bronchial toilet.
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah uji klinis randomized clinical trial, dengan model
parallel design. Dilakukan randomisasi terhadap subjek kelompok studi dan
kelompok kontrol dimana rekruitmen dilakukan pada saat yang sama. Selanjutnya
perlakuan diberikan berbeda secara double blinded.
Penelitian ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan ruang rawat inap
pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya, September sampai November 2009.
Populasi penelitan adalah semua pasien yang menjalani pembedahan elektif
menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr.
Soetomo Surabaya selama periode September-November 2009.
Sampel adalah penderita yang dilakukan pembedahan eletif menggunakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya,
selain bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi seksio sesarea, dan
bedah saraf. Sampel diperoleh dari metode consecutive sampling (peneliti
meneliti semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dalam kurun waktu
tertentu/selama masa pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi). Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel sebesar 22
orang pada masing-masing kelompok kontrol dan perlakuan. Dengan estimasi
jumlah sampel putus uji sebesar 10%, maka pada tiap grup ditambahkan 3 orang.
Sehingga jumlah total sampel adalah 50 orang.
Setelah mendapatkan persetujuan dari panitia Kelaikan Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya, penelitian ini
mulai dijalankan. Sebagaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien
yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anestesi umum dengan
pemasangan intubasi endotrakea. Pada kunjungan pra operasi malam hari sebelum
pelaksanaan operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi, mencatat kondisi terakhir pasien,
serta memberi penjelasan sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan
pasien untuk mengikuti penelitian.
Alokasi subyek pada penelitian ini dengan desain pararel untuk uji klinis
dengan 2 kelompok. Subyek yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan
randomisasi (R). Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian kaf pipa endotrakea
secara klinis yaitu sampai suara nafas menghilang (minimal Occlusive Volume
Technique). Sedangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggunakan
alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan dibandingkan terhadap
munculnya gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk dan suara serak) pasca
operasi. Derajat signifikansi dianggap bermakna apabila p<0.05.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
10
dan volume udara yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang
dipergunakan di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive
Technique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan maksimal
adalah 30 cmH2O. Sementara, volume udara yang diisikan bervariasi antara
4 sampai 11 ml, dengan rata-ratanya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk
beda tekanan awal dan akhir bervariasi antara 8 sampai dengan 10 cmH2O.
Saat dilakukan perhitungan analisis statistik menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov terhadap data tekanan udara dan volume udara yang
diisikan ke dalam kaf, didapatkan tingkat kemaknaan (p) < 0,05 pada
variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini memiliki arti bahwa pemberian
tekanan ataupun volume udara ke dalam kaf tidak dilakukan secara acak dan
bukan merupakan sebuah distribusi normal.
11
12
statisk, yang dicerminkan oleh derajat signikasi P> 0,05 pada seluruh variabel
yang diuji.
Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi perhatian karena seolaholah menyebabkan kejadian gejala tenggorok lebih banyak daripada teknik
anestesi TIVA (Total Intra Venous Anesthesia). Seperti terlihat jelas pada
tabel 5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang terjadi pada
kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat daripada kelompok TIVA.
Setelah dilakukan uji statistik ternyata menunjukkan perbedaan yang tidak
terlalu signikan (p=0,05).
Selain pertimbangan hal-hal eksternal tersebut, faktor pipa
Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa kelompok operasi
yang memakan waktu 2-3 jam terlihat paling banyak mengalami kejadian
gejala tenggorok, walaupun juga akhirnya tidak menunjukkan perbedaan
yang signikan secara statistik (p=0,291).
13
sendiri
juga
sangat
diperhatikan
supaya
tidak
menimbulkan bias yang besar, misalnya untuk ukuran pipa yang digunakan
adalah yang paling sesuai untuk masing-masing subjek penelitian.
14
15
KESIMPULAN
16
1.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
17
Hendrickson,
RN,
BS.,
2002.
Intubation,
http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html
3)
Gisele
18