Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN JOURNAL READING

KEJADIAN GEJALA TENGGOROK PASCA INTUBASI ENDOTRAKEA:


PERBANDINGAN ESTIMASI DAN PENGUKURAN TEKANAN KAF
MENGGUNAKAN ALAT DENGAN TANPA ALAT DI GBPT RSUD DR.
SOETOMO SURABAYA

Pembimbing:
dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC

Disusun oleh:
Yuni Purwati
G4A014085
Dasep Padilah

G4A014086

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN JOURNAL READING
KEJADIAN GEJALA TENGGOROK PASCA INTUBASI ENDOTRAKEA:
PERBANDINGAN ESTIMASI DAN PENGUKURAN TEKANAN KAF
MENGGUNAKAN ALAT DENGAN TANPA ALAT DI GBPT RSUD DR.
SOETOMO SURABAYA

Disusun oleh:
Yuni Purwati

G4A014085

Dasep Padilah

G4A014086

diajukan untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian pada SMF Anestesiologi


dan Reanimasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal

September 2016

Pembimbing,

dr. Hermin Prihartini, Sp.An-KIC

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja
sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi.
Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani
dan memelihara keadaan anestesi pasien.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli
anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal,
tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan
napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.
Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat
mempengaruhi keadaan jalan napas.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan
melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa
ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus
diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas
dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Tindakan intubasi endotrakea seringkali menyebabkan trauma terhadap
mukosa saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul
pasca operasi. Beberapa gejala yang sering dikeluhkan antara lain: nyeri
tenggorok (sore throat), batuk (cough), dan suara serak (hoarseness). Gejala-gejala
tersebut merupakan akibat dari iritasi lokal dan proses inflamasi yang terjadi pada
mukosa saluran nafas atas.
Dari beberapa penelitian mengenai pengaruh pemasangan pipa endotrakea,
lebih banyak penelitian yang memfokuskan kepada lesi yang diakibatkan oleh
tekanan kaf terhadap dinding lateral trakhea. Beberapa contoh trauma yang terjadi
karena pemasangan pipa itu antara lain: hematom, laserasi pada mukosa, laserasi
pada plika vokalis, subluksasi kartilago aretinoid, obstruksi pipa, stenosis
subglotis, penggeseran atau displacement tube, stridor pasca ekstubasi, ulserasi
nasal, suara serak, dan obstruksi jalan nafas pasca ekstubasi.
Dalam kenyataan di dalam praktek sehari-hari di GBPT RSU dr Soetomo
Surabaya, pada saat pemasangan endotrakeal tube, tekanan kaf biasanya diberikan

secara titrasi klinis. Yang dimaksud ialah menggunakan spuit ukuran 20cc,
diberikan

tekanan

udara

secara

perlahan-lahan

ke

dalam

kaf

sambil

memperhatikan suara yang muncul di tenggorok pasien akibat pernafasan buatan


ventilasi tekanan positif yang diberikan oleh ahli anestesi (minimal occlusive
technique). Suara yang muncul ini adalah akibat kebocoran udara akhir inspirasi
dari paru yang melewati ruangan di sela-sela dinding trakhea dan dinding luar
pipa endotrakhea. Tekanan kaf dianggap sudah mencapai optimal ketika tidak lagi
terdengar suara nafas tersebut. Tekanan kaf yang kurang dapat memperbesar
risiko aspirasi dan sebaliknya tekanan yang berlebihan rentan menimbulkan
trauma pada trakhea. Penelitian pada jurnal ini mengamati apakah metode
pemberian tekanan kaf dengan metode minimal occlusive technique yang rutin
dilakukan tersebut tidak menyebabkan lebih banyak kejadian komplikasi gejala
tenggorok dibandingkan apabila tekanan kaf diukur menggunakan alat khusus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu
lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan
nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002).
B. Tujuan Intubasi Endotracheal
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
4. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.
C. Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotracheal
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun
2002 antara lain :
1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal
atau sebagai bronchial toilet.

4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang


gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
5. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
6. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar
untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli
bedah.
7. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
8. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction
dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
9. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontraindikasi bagi dilakukannya
intubasi endotrakheal antara lain :
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah uji klinis randomized clinical trial, dengan model
parallel design. Dilakukan randomisasi terhadap subjek kelompok studi dan

kelompok kontrol dimana rekruitmen dilakukan pada saat yang sama. Selanjutnya
perlakuan diberikan berbeda secara double blinded.
Penelitian ini dilakukan di ruang operasi GBPT dan ruang rawat inap
pascabedah RSU dr Soetomo Surabaya, September sampai November 2009.
Populasi penelitan adalah semua pasien yang menjalani pembedahan elektif
menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr.
Soetomo Surabaya selama periode September-November 2009.
Sampel adalah penderita yang dilakukan pembedahan eletif menggunakan
anestesi umum dengan intubasi endotrakea di GBPT RSU dr. Soetomo Surabaya,
selain bedah kepala leher, THT, bedah jantung terbuka, operasi seksio sesarea, dan
bedah saraf. Sampel diperoleh dari metode consecutive sampling (peneliti
meneliti semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dalam kurun waktu
tertentu/selama masa pengambilan sampel berlaku, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi). Berdasarkan rumus diperoleh jumlah sampel sebesar 22
orang pada masing-masing kelompok kontrol dan perlakuan. Dengan estimasi
jumlah sampel putus uji sebesar 10%, maka pada tiap grup ditambahkan 3 orang.
Sehingga jumlah total sampel adalah 50 orang.
Setelah mendapatkan persetujuan dari panitia Kelaikan Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/RSU dr. Soetomo Surabaya, penelitian ini
mulai dijalankan. Sebagaimana direncanakan, sampel diambil dari pasien-pasien
yang dilakukan operasi pembedahan menggunakan anestesi umum dengan
pemasangan intubasi endotrakea. Pada kunjungan pra operasi malam hari sebelum
pelaksanaan operasi keesokan harinya, dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
pasien tentang kelayakan masuk kriteria inklusi, mencatat kondisi terakhir pasien,
serta memberi penjelasan sekaligus meminta informed consent tentang kesediaan
pasien untuk mengikuti penelitian.
Alokasi subyek pada penelitian ini dengan desain pararel untuk uji klinis
dengan 2 kelompok. Subyek yang memenuhi kriteria penelitian dilakukan
randomisasi (R). Kemudian dialokasikan menjadi kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan. Kelompok kontrol dilakukan pengisian kaf pipa endotrakea
secara klinis yaitu sampai suara nafas menghilang (minimal Occlusive Volume
Technique). Sedangkan kelompok perlakuan pengisian dilakukan menggunakan

alat khusus pengukur tekanan kaf. Kedua efek akan dibandingkan terhadap
munculnya gejala tenggorok (nyeri tenggorok, batuk dan suara serak) pasca
operasi. Derajat signifikansi dianggap bermakna apabila p<0.05.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Dari seluruh jumlah sampel sebesar 50 pasien, tidak terdapat subyek


yang drop out ataupun dikeluarkan dari perhitungan dan analisa statistik.
Sebelum dilakukan analisis menggunakan metode analitik, terlebih dahulu
dilakukan analisis karakteristik dan sebaran data dari beberapa variabel yang
meliputi umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, status PS ASA, dan jenis
operasi yang dijalani dengan sebelumnya dilakukan perhitungan uji
kolmogorov smirnov dan uji runs untuk memastikan bahwa sebaran variabel
memenuhi persyaratan distribusi normal.

Berdasarkan data pada Tabel 1, diketahui bahwa subjek penelitian


memiliki karakteristik yang hampir mirip baik pada kelompok perlakuan
maupun pada kelompok kontrol. Untuk variabel usia, berkisar antara 22
sampai 60 tahun dengan nilai rata-ratanya adalah 42,20 16,63. Sedangkan
menurut jenis kelamin, terlihat bahwa sebagian besar subyek adalah
perempuan, yaitu 16 orang (64%) pada kelompok perlakuan dan 13 orang
(52%) pada kelompok kontrol. Adapun penilaian menurut kondisi subyek
berdasarkan skoring status PS ASA, pada kelompok perlakuan lebih
didominasi oleh status PS ASA 2 yang berjumlah 17 orang (98%), berbeda
dengan kelompok kontrol yang jumlah status PS ASA 1 sedikit lebih banyak
(13 orang atau 52%) dibanding PS ASA 2. Sebaran data pada semua
variabel memenuhi kriteria distribusi normal karena nilai p-nya > 0,05.
8

Setelah dilakukan pengelompokan, dari tabel 2 terlihat bahwa


subyek sebagian besar diambil dari penderita yang menjalani jenis operasi
orthopedi dan digestif.

Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat dilihat bahwa baik pada


kelompok perlakuan maupun kontrol terdapat lebih dari separuh (72%) pipa
endotrakea jenis kinked yang dipergunakan. Adapun diameter interna yang
tersering dipergunakan adalah 7,5mm (masing-masing 52% dan 44%).

Pada tabel 4 ditampilkan hasil pengumpulan data tentang tekanan


kaf yang diberikan pada kelompok perlakuan menggunakan alat Endotest@,

10

dan volume udara yang diisikan kedalam kaf sesuai teknik yang
dipergunakan di GBPT RSU Dr. Soetomo yaitu Minimal Occlusive
Technique. Tampak bahwa tekanan kaf awal yang diberikan maksimal
adalah 30 cmH2O. Sementara, volume udara yang diisikan bervariasi antara
4 sampai 11 ml, dengan rata-ratanya sebanyak kurang lebih 5,24 ml. Untuk
beda tekanan awal dan akhir bervariasi antara 8 sampai dengan 10 cmH2O.
Saat dilakukan perhitungan analisis statistik menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov terhadap data tekanan udara dan volume udara yang
diisikan ke dalam kaf, didapatkan tingkat kemaknaan (p) < 0,05 pada
variabel tekanan awal dan volume. Fakta ini memiliki arti bahwa pemberian
tekanan ataupun volume udara ke dalam kaf tidak dilakukan secara acak dan
bukan merupakan sebuah distribusi normal.

11

Tabel 5 tersebut menyajikan perhitungan dan analisis tentang


kejadian gejala tenggorok; yang berupa nyeri tenggorok, batuk, dan suara
serak; pasca tindakan intubasi endotrakea saat dilakukan anestesi umum.
Untuk melihat secara garis besar, telah dilakukan pengelompokkan datadata tentang beberapa variabel yaitu jenis sampel, umur, jenis kelamin,
ukuran ETT, jenis ETT, penggunaan agent inhalasi serta lamanya waktu
dilakukannya tindakan operasi.
Apabila hanya selintas saja diamati tampak kelompok kontrol, yang
menggunakan teknik minimal occlusive volume untuk pengisian kaf,
menunjukkan kejadian gejala tenggorok ringan relatif lebih banyak dari
pada kelompok perlakuan. Namun begitu, dari analisis yang dilakukan
diketahui bahwa perbedaan ini tidak signikan secara statistik (p=0,484).
Gejala nyeri tenggorok juga sekilas terlihat lebih banyak dialami
oleh kelompok umur 50-60 tahun, sedangkan gejala batuk justru tidak
dialami sama sekali oleh kelompok umur ini. Hasil uji statistik juga tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,680).
Dari variabel jenis kelamin, terlihat bahwa subyek perempuan lebih
banyak yang mengalami gejala tenggorok ini, meskipun juga tidak
signikan secara statistik (p=0,395).
Berdasarkan analisa faktor endotracheal tube, dapat diamati bahwa
ukuran diameter interna 7,0 mm dan jenis yang kinked relatif lebih banyak
berkaitan dengan gejala tenggorok pasca intubasi. Namun demikian, uji
statistik juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan secara
statistik (p>0,05).
Mengamati beda tekanan kaf yang diukur pada awal dan akhir
tindakan operasi, terlihat beberapa menunjukkan peningkatan tekanan dan
beberapa yang lain justru menggambarkan penurunan tekanan kaf. Namun
setelah dilakukan analisa statistik juga tidak didapatkan perbedaan yang
signikan diantara kelompok tersebut (p=0,678).
Selain dilakukan pengelompokan terhadap karakteristik-karakteristik tersebut,
juga dilakukan uji statistik Mann-Whitney untuk mencoba mengetahui apakah
terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok akibat pengaruh variabel-variabel
itu. Namun hasil uji menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna secara

12

statisk, yang dicerminkan oleh derajat signikasi P> 0,05 pada seluruh variabel
yang diuji.
Penggunaan agen anestesi inhalasi menjadi perhatian karena seolaholah menyebabkan kejadian gejala tenggorok lebih banyak daripada teknik
anestesi TIVA (Total Intra Venous Anesthesia). Seperti terlihat jelas pada
tabel 5 diatas, kejadian masing-masing gejala tenggorok yang terjadi pada
kelompok agen inhalasi hampir 2 kali lipat daripada kelompok TIVA.
Setelah dilakukan uji statistik ternyata menunjukkan perbedaan yang tidak
terlalu signikan (p=0,05).
Selain pertimbangan hal-hal eksternal tersebut, faktor pipa
Pada variabel lamanya operasi terlihat bahwa kelompok operasi
yang memakan waktu 2-3 jam terlihat paling banyak mengalami kejadian
gejala tenggorok, walaupun juga akhirnya tidak menunjukkan perbedaan
yang signikan secara statistik (p=0,291).

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat diamati data tentang kejadian


gejala tenggorok pasca tindakan intubasi endotrakea pada dua kelompok
yang berbeda, yaitu kelompok perlakuan yang tekanan kafnya diisi dengan
alat khusus dan kelompok kontrol yang tekanan kafnya diisi sebagaimana
prosedur sehari-hari melalui estimasi dengan teknik Minimal Occlusive
Volume. Untuk lebih memudahkan perhitungan maka kejadian gejala
tenggorok dikelompokkan lagi menjadi 2 kelompok besar saja, yaitu subyek
yang sama sekali tidak mengalami gejala apapun serta subyek yang
mengeluh gejala walaupun ringan saja. Pada tabel ini terlihat bahwa angka
kejadian gejala tenggorok pada penelitian ini adalah sebesar 20% (10 dari
50 subyek). Selain itu, data tersebut disajikan dalam bentuk tabel 2 x 2
untuk selanjutnya dilakukan perhitungan Odds Ratio. Hasil Odds Ratio

13

sebesar 0.603 diatas menunjukkan risiko terjadinya gejala tenggorok pada


kelompok perlakuan adalah sebesar 0.603 kali dibandingkan kelompok
kontrol. Namun demikian, dikarenakan interval kepercayaan (Condence
Interval/CI) mencakup angka 1 maka kesimpulan yang diperoleh adalah
bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian gejala tenggorok pada kedua
macam cara pengisian kaf pipa endotrakea atau bahwa perbedaan cara
pengisian kaf pada tindakan intubasi dalam penelitian ini dak memiliki
hubungan dengan kejadian gejala tenggorok pasca tindakan.
B. Pembahasan
Pipa endotrakea memiliki kaf dengan daya regang (compliance)
tinggi, yang ditujukan untuk mencegah kebocoran gas anestesi dan
kemungkinan terjadi aspirasi, diciptakan khusus dengan ruang volume besar
namun tekanan rendah (high-volume low pressure cuff) sehingga tekanan
terhadap dinding mukosa trakea dapat diminimalkan. Namun karena
karakteristik mukosa trakea yang terbentuk dari epitel pseudostratified
dengan silia, menyebabkan dinding tersebut sangat sensitif terhadap
pergeseran dengan dinding luar pipa endotrakea.
Penelitian ini berupaya untuk menghindari kondisi yang dapat
menimbulkan bias terhadap munculnya gejala tenggorok yang tidak murni
disebabkan oleh cara pengembangan kaf itu sendiri. Beberapa yang dicoba
untuk dieliminasi antara lain: adanya penyulit pada saluran nafas atas subjek
semisal infeksi atau peradangan kronis yang diakibatkan riwayat merokok
lama, pemasangan pipa nasogastrik yang diduga juga dapat menambah
iritasi, prosedur tindakan intubasi yang kasar dan dilakukan berulang kali,
penyedotan lendir (suctioning) yang berlebihan, gerakan-gerakan kepala
leher yang berlebihan atau berulang-ulang saat tindakan operasi dilakukan,
serta semakin lamanya tindakan intubasi dilakukan sehingga dibatasi dipilih
hanya tindakan-tindakan operasi yang kurang dari 4 jam.
endotrakea

sendiri

juga

sangat

diperhatikan

supaya

tidak

menimbulkan bias yang besar, misalnya untuk ukuran pipa yang digunakan
adalah yang paling sesuai untuk masing-masing subjek penelitian.

14

Digunakan pipa endotrakea yang masih steril dari kemasan pabrik,


selanjutnya diberi lubrikasi menggunakan spray xylocaine 2% dimulai dari
ujung distal dan nantinya juga akan dilakukan penyemprotan cairan yang
sama ke dalam faring saat dilakukan tindakan laringoskopi.
Kejadian gejala tenggorok pasca tindakan intubasi trakea tidak
memiliki kaitan yang bermakna dengan karakteristik demografi dan
morfometri. Hal tersebut sejalan dengan penelitian-penelitian yang
dilakukan sebelumnya oleh Sengupta dkk, Parwani dkk, dan Braz dkk.
Umur pasien rata-rata adalah masing-masing 42,04 12,69 tahun pada
kelompok perlakuan dan 42,3610,72 tahun pada kelompok kontrol. Hal ini
menggambarkan bahwa proporsi subjek penelitian terdistribusi normal.
Pipa endotrakea yang dipakai untuk penelitian ini adalah sesuai
dengan yang sehari-hari digunakan di lingkungan RSU Dr. Soetomo, yaitu
merk Rusch produksi perusahaan negara Uruguay, yang bersifat high
volume low pressure. Ukuran diameter interna yang digunakan sebagian
besar adalah 7,5mm, yaitu 13 kali penggunaan (52%) pada kelompok
perlakuan dan 11 kali penggunaan (44%) pada kelompok kontrol. Jenis pipa
endotrakea yang paling sering digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
kinked.
Dari aspek pengisian kaf dengan menggunakan alat khusus pengukur
tekanan kaf yang dipergunakan dalam penelitian ini (Endotest), tekanan
udara yang direkomendasikan adalah 25-30 cmH2O, sehingga besaran
tekanan udara yang diberikan dalam kaf tidak terlalu bervariasi. Setelah
dilakukan analisis, rerata tekanan udara yang diisikan ke dalam kaf adalah
29,201,15 cmH2O. Pada pengisian kaf menggunakan teknik minimal
occlusive volume untuk kelompok kontrol, rata-rata volume udara yang
diisikan adalah sebanyak 5,241,66ml.
Variabel tekanan akhir kaf yang diukur pasca tindakan operasi
selesai atau sesaat sebelum dilakukannya tindakan ekstubasi, juga
diobservasikan dalam penelitian ini. Rata-rata tekanan kaf akhir adalah
29,363,99 cmH2O. Penelitian yang dilakukan Manissery dkk melaporkan
bahwa pada anestesi menggunakan 67% N2O sebagai agen inhalasi, tekanan

15

kaf pada akhir 1 jam pertama ditemukan sebesar rata-rata 62,612,33


cmH2O. Padahal sebagaimana sudah diketahui, bahwa tekanan kaf di atas 50
cmH2O (37 mmHg) yang merupakan critical perfusion pressure sudah akan
menyebabkan terjadinya penghentian aliran perfusi darah ke jaringan
mukosa cincin trakea dan dinding posterior
Pada tabel 3 yang menyajikan data tentang penggunaan agen
anestesi inhalasi terlihat bahwa variabel ini sangat besar kemungkinan dapat
ikut menyebabkan kejadian gejala tenggorak. Terbukti dengan jumlah
kejadiannya yang lebih banyak daripada teknik anestesi TIVA (Total Intra
Venous Anesthesia), yaitu hampir 2 kali daripada kelompok TIVA. Dan
setelah dilakukan uji statistik ternyata menunjukan perbedaan yang dak
terlalu signikan (p=0,05). Hingga penelitian ini dilakukan masih belum
ditemukan, berbagai terbitan ilmiah, tentang pengaruh penggunaan gas
inhalasi terhadap gejala tenggorok pasca intubasi. Oleh karena itu masih
belum dapat diambil kesimpulan yang mendalam terhadap fenomena
tersebut.
Oleh karena itu, pencegahan nyeri tenggorok pascabedah menjadi
hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pelayanan anestesia
dikarenakan mencegah komplikasi akan meningkatkan kepuasan pasien
pada pelayanan tersebut (Ogata MK & Horishita T, 2005). Metode
farmakologik efektif untuk mencegah rasa nyeri tenggorok pascabedah,
antara lain dengan menggunakan inhalasi beklometason, berkumur
mempergunakan azulen sulfonat, memakai spray lidokain 10% atau 2%,
serta pemberian deksametason sistemik (Agarwal NS & Goswami D, 2006).
Thomas (2007) melaporkan bahwa deksametason profilaksis
intravena menurunkan insidens nyeri tenggorok pascabedah sebesar 20%.
Pemakaian deksametason dapat menimbulkan efek samping seperti
peningkatan tekanan darah, ulkus peptikum, serta dapat membuat kebutuhan
insulin terhadap pasien diabetes melitus meningkat.

KESIMPULAN

16

1.

Kejadian nyeri tenggorokan pascaintubasi endotrakea merupakan hal yang


sering ditemui.

2.

Nyeri tenggorokan terjadi karena adanya trauma mukosa akibat


pemasangan intubasi. Beberapa keluhan yang sering terjadi adalah nyeri
tenggorok, batuk, dan suara serak

3.

Salah satu cara untuk mengatasi keluhan nyeri tenggorokan pascaintubasi


adalah dengan pemberian deksamethasone

DAFTAR PUSTAKA

17

Agarwal NS, Goswami D. 2006. An evaluation of the efficacy of aspirin and


benzydamine hydrochloride gargle for attenuating postoperative sore
throat: a prospective, randomized, single blind study. Anesth Analg, 2006
Oct;103(4):10013.
Dorland, Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta:EGC,
1765.
Gail

Hendrickson,
RN,
BS.,
2002.
Intubation,
http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html
3)

Gisele

de Azevedo Prazeres, MD. 2002. Orotracheal Intubation,


http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.ht
ml

Longnecker D, Brwon D, Newman M, Zapol W. 2008. Anesthesiology. USA: The


McGraw-Hill Companies.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.
2006.
Airway Management. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors.
Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGrawHill Companies, p. 9806.
Pasca Anestesia. 2002. dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.
Ogata MK, Horishita T. 2005. Gargling with sodium azulene sulfonate reduces the
postoperative sore throat after intubation of the trachea. Anesth Analg,
101(1):2903.
Thomas BS. 2007. Dexamethasone reduces the severity of postoperative sore
throat. Can J Anesth, 54(11):897901.

18

Anda mungkin juga menyukai