Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH PKN

ANALISIS PERATURAN KPU NO. 15 DAN NO. 17 TAHUN 2013


TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN DAN PELAPORAN DANA KAMPANYE
PESERTA PEMILU ANGGOTA DPR DPD DAN DPRD

STEPHANUS FAJAR PAMUNGKAS


K2513063
PTM A

PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2013/2014

PENULIS MAKALAH

STEPHANUS FAJAR PAMUNGKAS


K2513063
PTM A

PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tahun 2014 tepatnya 9 April 2014 adalah tahun politik dimana seluruh rakyat
Indonesia melaksanakan pesta demokrasi dalam rangka pemilihan umum (pemilu)
untuk memilih calon anggota legislatif (parlemen) untuk masa jabatan 2014-2019.
Sebelum dilaksanakannya pesta demokrasi pemilu legislatif tersebut tentunya ada
masa-mas dimana para calon anggota legislatif untuk mengenalkan diri,
menyampaikan visi dan misi untuk membawa Indonesia semakin lebih baik.
Perkenalan para calon anggota legislatif ini dinamakan kampanye politik..
Kampanye politik adalah satu hal lumrah yang seringkali ditemukan dalam
proses pertarungan politik dalam suatu negara. Tidak bisa disangkal lagi bahwa
melalui kampanye tersebut, aktor politik bisa dengan leluasa untuk mencari
seluruh segmen pemilih untuk mendapatkan dukungan nantinya. Menurut Roger
dan Storey kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana
dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang
dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Sedangkan Pfau dan Parrot memiliki definisi yang berbeda tentang kampanye,
yakni suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan yang
dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan mempengaruhi khalayak
sasaran yang ditetapkan. Kampanye bisa dikatakan sebagai tindakan komunikasi
yang terorganisir yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode tertentu
guna mencapai tujuan tertentu.1
Dalam politik setiap kandidat berhak melakukan kampanye sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan tentunya. Dan kampanye dilakukan dengan prinsip
pembelajaran bersama dan tanggung jawab. Charles U Larson (1992) membagi 3
jenis model kampanye, diantaranya adalah:
1 Gun Gun Heryanto, Komunikasi Politik Sebuah Pengantar, Bogor: penerbit Ghalia
Indonesia, 2013

1. Product-oriented Campaign, yakni kampanye yang berorientasi pada


produk. Umumnya terjadi pada dunia bisnis. Sudah tentu motivasinya
adalah untuk mencari keuntungan finansial.
2. Candidat-oriented Campaign, yakni kampanye yang berorientasi pada
kandidat, umumnya di motivasi oleh hasrat untuk memperoleh kekuasaan
politik, jenis ini sering juga disebut Political Campaign
3. Ideologically campaign, yakni kampanye yang berorientasi pada tujuantujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial.
Disebut juga sebagai Sosial Change Campaign.
Makalah ini akan membahas tentang analisis peraturan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) No. 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) No. 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana peraturan kampanye pemilihan umum tahun 2014?
2. Bagaimana tanggapan partai politik terhadap aturan kampanye berdasarkan
peraturan KPU No.15 dan 17 tahun 2013?
3. Bagaimana analisis Peraturan KPU No. 15 dan 17 Tahun 2013?
4. Contoh-contoh pemberitaan di media massa mengenai kampanye?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui peraturan kampanye pemilu legislatif tahun 2014.
2.Mengetahui tanggapan partai politik peserta pemilu tentang aturan
kampanye pemilu legislatif.
3. Mengetahui analisis peraturan KPU No. 15 dan 17 Tahun 2013.
4. Mengetahui apa yang terjadi dalam kampanye pemilu legislatif tahun 2014.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kampanye Politik


Pemilihan Umum anggota legislatif (parlemen) dan eksekutif (presiden dan
wakil presiden) di Indonesia dilaksanakan pada tahun 2014 ini. Pemilihan Umum
(pemilu) adalah hal yang erat kaitannya dengan kampanye politik para partai
politik peserta pemilu dan para calon anggota legislatif ataupun calon presiden
dan wakil presiden. Pemilu atau pemilihan umum adalah tindakan melakukan
pemilihan anggota-anggota Badan Perwakilan oleh seluruh rakyat dalam suatu
waktu dan menurut cara tertentu. 2
Pemilu tentunya erat kaitannya dengan kampanye politik. Menurut Rogers dan
Storey

(1987)

mendefinisikan

kampanye

sebagai

serangkaian

tindakan

komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada
sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu
tertentu. Beberapa ahli komunikasi mengakui bahwa definisi yang diberikan
Rogers dan Storey adalah yang paling popular dan dapat diterima dikalangan
ilmuwan komunikasi.
Hal ini didasarkan kepada dua alasan. Pertama, definisi tersebut secara tegas
menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi, dan alasan
kedua adalah bahwa definisi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses dan
fenomena praktik kampanye yang terjadi dilapangan. Pada dasarnya metode
kampanye diantaranya adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Pertemuan Terbatas
Tatap muka dan dialog
Penyebaran melalui media cetak dan media elektronik
Penyiaran melalui radio dan atau televise
Penyebaran bahan kampanye kepada umum
Pemasangan alat peraga di tempat umum
Rapat umum
Debat publik / debat terbuka antar calon
Kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan

Selain itu, sifat kampanye pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni kampanye
negatif dan kampanye hitam (black campaign). Kampanye negatif adalah
2 Kansil C.S.T, Inti Pengetahuan Pemilihan Umum, Jakarta:Pradnya Paramita, 1974

kampanye yang sifatnya menyerang pihak lain melalui sejumlah data atau fakta
yang bisa diverifikasi dan diperdebatkan. Kampanye hitam (Black campaign)
adalah kampanye yang bersumber pada rumor, gosip, bahkan menjurus ke
implementasi sejumlah teknik propaganda. Jenis ini biasanya sulit untuk
diverifikasi apalagi diperdebatkan.
Jadi pada dasarnya kampanye merupakan hal lumrah yang sering ditemukan.
Bahkan dalam beberapa waktu sering kali ditemukan implementasi dari proses
kampanye yang tidak sejalan dengan regulasi yang telah disepakati bersama.
B. Regulasi Kampanye Pemilihan Umum 2014
Pada era reformasi inilah terlihat peranan rakyat yang begitu penting di dalam
mekanisme pemilihan anggota parlemen DPR serta presiden, berbeda dengan era
orde baru dimana intervensi pemerintah Soeharto begitu kuat dalam mekanisme
pemilu di Indonesia. Dalam masa reformasi ini pula perbaikan terhadap undang
undang pemilu lebih di perhatikan terutama perihal permasalahan yang terkait
dengan masalah kampanye yang akan kita bahas.
Kampanye pada perkembangannya mengalami semacam perubahan nilai dan
perubahan gaya dalam menyampaikan visi dan misi kepada khalayak, macammacam model komunikasi era Soekarno berbeda pula dengan gaya komunikasi di
era pemilu 2004 dan 2009 bahkan mungkin akan lebih berbeda pula untuk di
tahun 2014 dimana peranan media elektronik menjadi begitu dominan di banding
komunikasi yang bersifat orasi. Atau bisa kita simpulkan bahwa bentuk
komunikasi ini mengalami perubahan.
Katakanlah angkatan bung Karno untuk berkomunikasi atau bahkan
berkampanye, aktor politik cenderung melakukan apa yang disebut dengan
retorika politik, aktor politik pada era itu tentu harus memiliki kemampuan orasi
yang baik sehingga dapat menarik massa yang banyak, tipe-tipe orang yang
mampu memberikan sebuah orasi/retorika politik secara baik dapat diartikan juga
sebagai solidarity maker, tipe solidarity maker tentunya lebih bisa mempengaruhi
massa dalam jumlah yang besar, kemudian isu yang diangkat juga belum terlalu
kompleks melainkan hanya terbatas pada sebuah tatanan ideologis bangsa.

Lalu munculnya media massa, peran retorika menjadi sedikit mengalami


pergeseran karena dalam media massa isu-isu kepemimpinan mulai ditampilkan
dan mempunyai pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Dalam generasi
komunikasi media massa ini peran lembaga pers mulai mendapat perhatian khusus
karena isu-isu yang diangkat tidak lagi hanya pada tataran ideologis melainkan
turut memperhatikan aspek lain seperti ekonomi serta kesenjangan sosial yang
terus terjadi di dalam sebuah negara. Kemudian yang ketiga ialah media sosial,
karena perkembangan dunia cyber yang begitu pesat maka pengumpulan sebuah
opini acapkali sering kita temui pada dunia internet seperti di facebook, twitter
lalu blog-blog yang juga bisa menjadi alat komunikasi sekaligus alat kampanye
terhadap sebuah negara.
Pergeseran nilai komunikasi ini pula selalu mengikuti perkembangan zaman
tentunya dari komunikasi yang mengharuskan adanya aktor lalu khalayak berubah
menjadi media massa yang memainkan peran yang lebih dominan. Dalam proses
penyelenggaraan berbangsa dan bernegara maka diperlukan suatu contract social
untuk mewujudkan tatanan hidup yang terarah dan berpedoman. Begitupun pula
dengan proses kampanye politik, dalam pelaksanannya pun bukan berarti tanpa
aturan melainkan terdapat aturan kuat didalamnya. Termasuk pedoman dan juga
sanksi bagi yang melanggar.
Karena perkembangan media kampanye ini begitu berkembang maka
pelanggaran pun sering dilakukan pihak yang berkampanye, maka KPU sebagai
lembaga yang mengatur mekanisme pemilu membuat semacam aturan baru bagi
para peserta kampanye yang menggunakan media elektronik sebagai alat untuk
memobilisasi massa. Khususnya di Indonesia aturan mengenai pemilu secara
keseluruhan datur oleh UU NO 8 Tahun 2012.
Pada awal 2013, Tim Perumus (Timus) Pansus Revisi UU Pemilu menggelar rapat
mengenai aturan kampanye pemilu 2014. Berikut adalah beberapa hasilnya:3
1. Pasal 86 ayat (1) huruf h yang terkait dengan penggunaan fasilitas kampanye.
Fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan pendidikan dilarang untuk digunakan
sebagai tempat kampanye, kecuali individu yang diundang secara resmi oleh
3 http://www.kpu.go.id

pihak penanggungjawab kegiatan tanpa menggunakan atribut kampanye.


Misalnya orang datang melakukan ceramah akbar di masjid, mengisi seminar
di kampus dan yang sejenisnya tidak dilarang sepanjang tidak menggunakan
atribut kampanye, dan syaratnya hanya bersifat individu,
2. Yang diputuskan juga adalah tentang pemberitaan kampanye sebagaimana
dalam Pasal 94 ayat 2 tentang kampanye iklan yang Mengganggu
Kenyamanan. Pansus UU Pemilu menilai kalimat ini subyektif, dan tidak
memiliki tolak ukur yang jelas. "Mestinya bahasa UU tidak boleh sumir dan
tolak ukurnya harus jelas. Karena itu, kosa kata kenyamanan oleh anggota
Timmus dihapus,"kata Nurul.
3. Persoalan yang juga tidak kalah alotnya adalah perdebatan mengenai Dana
Kampanye Pemilu. Hal ini diatur dalam bagian kesepuluh. Pasal 130 ayat (3)
yang mengatur tentang Dana kampanye Pemilu dapat berupa uang, barang,
dan/atau jasa.
4. Sementara itu Pasal 132 Ayat (1) tentang dana kampanye Pemilu yang berasal
dari sumbangan pihak lain perseorangan, tidak boleh melebihi Rp. 1 miliar
sementara untuk Dana kampanye Pemilu yang berasal dari sumbangan pihak
lain, kelompok, perusahaan, maksimal Rp. 5 miliar. Untuk DPD Sumbangan
Dana kampanye yang berasal dari perseorangan tidak boleh melebihi Rp. 250
juta. Dan sumbangan yang berasal dari kelompok atau perusaahan tidak boleh
melebihi Rp. 500 juta.
5. Pasal 140 yang mengatur peserta Pemilu dilarang menerima sumbangan yang
berasal dari pihak asing, baik perusahaan asing maupun negara asing.
.
C. Batasan Waktu Kampanye
UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 83 menyatakan, kampanye pemilu
legislatif dimulai tiga hari setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta
pemilu dan berakhir saat dimulainya masa tenang. Artinya, sepanjang 11 Januari
2013-5 April 2014, lebih kurang 15 bulan, masyarakat akan menghadapi terpaan
kampanye beragam kekuatan yang bertarung. Rentang masa kampanye Pemilu
2014 ini lebih lama dibandingkan Pemilu 2009 yang berjalan 9 bulan (5 Juli 2008-

5 April 2009). Hal lain yang berbeda adalah waktu pelaksanaan metode
kampanye.4
Untuk Pemilu 2014, tak hanya metode rapat umum, iklan di media cetak dan
elektronik baru bisa digunakan 21 hari sebelum masa tenang. Dalam praktik
demokrasi elektoral di Indonesia, fase kampanye kerap menjadi satu titik krusial
yang memengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu, terutama hubungannya
dengan pendidikan politik warga masyarakat. Hal kunci yang sering menjadi
persoalan dalam fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan
menjalankan kesepakatan aturan main.
Batasan waktu kampanye seharusnya dihormati semua kontestan. Terlebih
untuk media penyiaran, spektrum frekuensi itu jelas-jelas sumber daya alam
terbatas sebagaimana diatur dalam pertimbangan UU No 32/2002. Jadi, kekeliruan
besar jika frekuensi yang terbatas semena-mena dimanfaatkan segelintir
pengusaha-politisi untuk kepentingan partai mereka.
Hal

tersebut

menjadi

upaya

besar

dalam

upaya

mengurangi

tingginya/mahalnya biaya kampanye di Indnesia, mengingat dalam dua pemilu


sebelumnya, partai politik disulitkan dengan tingginya biaya kampanye, sehingga
hanya partai-partai yang punya modal banyak yang mampu menampilkan
wajahnya di depan publik lewat fasilitas media massa, sedangkan partai-partai
kecil mengalami kesulitan.5

D. Batasan Alat Peraga


KPU akhir-akhir ini sibuk mensosialisasikan beberapa aturan main kampanye
diantaranya yakni soal batasan alat peraga. Regulasinya adalah pemasangan
baliho hanya diperuntukkan untuk parpol untuk satu unit disetiap desa di
Indonesia. Tercatat ada 81 ribu desa yang ada di seluruh wilayah nusantara.
Sedangkan bagi caleg, hanya diperkenan untuk membuat spanduk dalam sebuah
4 http://www.kpu.go.id
5 Buhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014, Jakarta Noura Book, 2013

zona yang ditentukan oleh KPUD. Bila ada yang melanggar, maka aka nada
sanksi yang dijatuhkan, yakni berupa teguran dan sanksi administratif.
Ada dua hal yang kita batasi dalam alat peraga yakni, pertama adalah alat
peraga berbentuk baliho itu hanya diperuntukan hanya untuk partai politik peserta
Pemilu, satu partai satu pemilu di setiap desa, kedua adalah tentang spanduk untuk
satu caleg satu spanduk untuk setiap zona. Zona itu nantinya ditentukan oleh KPU
dan Pemerintah Daerah.
Sebagian kalangan menilai pembatasan bagi caleg untuk memasang alat
peraga seperti billboard, baliho, dan spanduk akan menyulitkan para caleg untuk
memperkenalkan diri ke publik. Namun tidak sedikit juga yang setuju dengan
KPU karena pembatasan tersebut justru menghemat biaya politik.
Selain itu untuk saat ini, berdasarkan keputusan dari KPU, kampanye pemilu
menggunakan media sosial termasuk dalam kampanye media massa. Karena itu,
penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye belum diperbolehkan. Dikutip
dari Harian kompas, 09/10/2013 "(Media sosial) termasuk dalam media massa
online. Undang-Undang (Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif) dan
PKPU (Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tahapan, Program, dan
Jadwal Pemilu Legislatitf) sudah mengatur, kampanye dalam bentuk rapat umum
dan kampanye melalui media masa cetak, online, dan elktronik. Hanya bisa
dilakukan 21 hari sebelum dimulainya masa tenang," tegas Komisioner KPU Arif
Budiman saat ditemui di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (8/10/2013).
Pemberian sanksi bagi peserta pemilu yang sudah menggunakan media
tersebut tergantung pada penilaian dan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu). Jika Bawaslu merekomendasikan ada pelanggaran administrasi dalam
penggunaan media sosial untuk kampanye, maka KPU yang akan menindak.
Namun atas beberapa pandangan dan pengamatan penulis, beberapa parpol dan
caleg sudah mulai mencuri start melakukan kampanye melalui media sosial. Di
halaman Twitter dan Facebook ditemukan beberapa akun milik parpol dan caleg
yang membubuhkan nama parpol pengusung, nomor urut ,dan daerah pemilihan
(dapil) pencalonan

10

E. Kampanye Media Massa serta Dampaknya Bagi Demokrasi


Perihal kampanye politik, peraturan dan perundang-undangan yang menjadi
acuan bukan hanya terbatas pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, melainkan juga merujuk pada UU No.
32/2002 tentang Penyiaran serta UU No.40/1999 tentang Pers. Terlebih apabila itu
menyangkut media massa.
Dalam upayanya untuk mewujudkan kebebasan pers dan tinjauan positif atas
pelaksanaan kampanye di media massa, maka sudah semestinya Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Pers untuk
duduk bersama menyiapkan beberapa aturan tentang batasan kampanye di media
massa.
Di bulan oktober 2013,

keempat lembaga tersebut sedang berusaha

merumuskan regulasi kampanye tersebut, saat ditemui di kantor Komisi Penyiaran


Indonesia (KPI), Moch. Nur Huda, selaku asisten ahli KPI pusat mengatakan
bahwa tujuan utama dari adanya pertemuan ini adalah untuk membahas aturan
agar mengarahkan kampanye Pemilu 2014 di media massa bisa sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku."
Sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa kembali mengemuka
menjelang Pemilu 2014. Peranan media massa baik cetak maupun elektronik
yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan
politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa. Persoalannya, tidak
semua partai politik memiliki tokoh yang menguasai media massa terutama
private ownership media, sehingga dikhawatirkan masuknya para pemilik media
massa ke kancah politik akan menimbulkan situasi yang tidak fair dan menjadi
ancaman bagi kualitas demokrasi akibat monopoli media massa untuk
kepentingan politik partai atau tokoh tertentu.
Fenomena ini tidak lepas dari terjunnya sejumlah pebisnis media dalam politik
kepartaian seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV,
Global TV) yang bergabung ke partai Hanura, Aburizal Bakrie pemilik TVOne
dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar,

11

maupun Surya Paloh sang pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia)
yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem.
Munculnya kekhawatiran itu bukanlah tanpa alasan. Dalam sistem demokrasi,
media massa dapat menjadi kekuatan sosial yang menjalankan fungsi pengawasan
sosial jika dikelola dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang ketat. Namun, besar
pula kemungkinan media massa menjadi kekuatan yang mengabdi kepada
kepentingan ideologi politik modal yang menggerakannya sekaligus tunduk pada
mekanisme pasar guna menggapai keuntungan yang maksimum. Dalam konteks
itu, konglomerasi media massa di Indonesia memperlihatkan bagaimana media
massa didominasi oleh kepentingan politik pemiliknya sekaligus menjadi
instrumen bisnis meraup keuntungan melalui komodifikasi informasi dalam pasar
yang oligopolistik.
Potensi konflik kepentingan dalam konglomerasi media massa ini secara
faktual dapat dilihat dari munculnya sikap media massa yang cenderung partisan
dan tidak netral dalam pemberitaan. Lihat saja keberadaan Aburizal Bakrie
sebagai pemilik TV One dan ANTV sekaligus ketua umum Golkar yang sedikit
banyak memberi insentif politik tersendiri baik bagi kepentingan politik Aburizal
Bakrie maupun Golkar. Meski tahapan kampanye pemilu 2014 belum dimulai,
mereka sudah dapat memanfaatkan media massa yang dikuasai guna sosialisasi,
pencitraan, meng-counter opini sekaligus propaganda politik dengan menseleksi
informasi yang akan diberitakan pada publik melalui media mereka. Begitu pula
dengan MNC Group yang kini gencar menopang pencitraan politik Hanura
maupun Wiranto dan Hary Tanoesudibyo yang telah mendeklarasikan diri sebagai
pasangan Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2014. Hal serupa terjadi dengan
media massa di bawah kendali Media Group yang sulit untuk menghindari
tudingan sebagai mesin kampanye dan pencitraan Surya Paloh maupun partai
Nasdem.
Meski secara formal media massa di Indonesia seperti MNC Group, Bakrie
Group maupun Media Group tidak pernah menyatakan bahwa mereka memiliki
hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan politik. Namun relasi antara
pemilik modal yang merangkap politisi membuat para pengelola media massa

12

tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik modalnya. Sehingga konflik
kepentingan antara media massa yang harus tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik
dalam menyajikan informasi kepada publik dengan kepentingan politik dari
pemilik media tersebut menjadi tidak terhindarkan. Apabila hal tersebut terjadi
secara intensif dan mengabaikan kode etik jurnalistik maka dikhawatirkan
konglomerasi media massa akan mampu merusak kualitas demokrasi.
Oleh karena itu untuk menghindari kekhawatiran tersebut, KPI, KPU,
Bawaslu dan Dewan Pers sedang berusaha menyusun draft buku panduan untuk
dijadikan pedoman partai politik menghadapi kampanye menuju pemilu 2014.
Pada saat kami datangi dikantornya sedang terjadi rapat tertutup membahas
persoalan tersebut.
F. Pengawasan Penyiaran
Guna memperbaiki kualitas kampanye di media penyiaran, ada beberapa
faktor yang harus menjadi perhatian bersama. Pertama, faktor struktural, harus
adanya koordinasi yang lebih intensif, fungsional, dan komplementer antar
penyelenggara pemilu; dalam hal ini KPU dan Bawaslu dengan Komisi Penyiaran
Indonesia dan Dewan Pers. KPU telah menetapkan peraturan No 1/2013 tentang
Pedoman

Pelaksanaan

Kampanye

Legislatif.

(telah

mengalami

perubahan/penambahan ayat pada peraturan KPU No. 15/2013)


Apa yang sudah disusun KPU ini tentu harus dikoordinasikan dengan KPI,
terutama menyangkut aturan kampanye di media penyiaran, karena setahu penulis
KPI juga sedang dalam proses akhir penyusunan peraturan program pemilu.
Jangan sampai aturan main yang disusun kedua lembaga ini berbenturan sehingga
menjadi pintu masuk bagi para kontestan untuk mencari celah memainkannya.
Termasuk penjelasan soal persepsi program siaran pemilu selain iklan,
kewenangan antar lembaga KPU dan KPI, sanksi atas pelanggaran oleh lembaga
penyiaran dan partai kontestan, serta sejumlah aturan teknis operasional KPI.
MOU kelembagaan jangan semata seremonial dan formalistik, atau lebih
menunjukkan ego kelembagaan, tetapi harus dalam koridor kebersamaan
mengawal kualitas kampanye.

13

Kedua, faktor substansial, yakni menyangkut sejumlah aturan yang


memerlukan ketatnya sistem pengawasan di lapangan. Sebenarnya, dalam UU No
08/2012 ini ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan
banyak problematika. Misal, Pasal 96 mengatur soal larangan: menjual blocking
segment dan blocking time, menerima program sponsor dalam format atau segmen
apa pun yang dapat dikategorikan iklan kampanye pemilu, serta menjual spot
iklan yang tidak dimanfaatkan oleh peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.
Pasal 97, batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara
kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun
televisi setiap hari pada masa kampanye. Di radio, 10 spot berdurasi paling lama
60 detik.
Soal durasi ini, KPI tentu harus melengkapinya dengan aturan tentang waktu
siaran iklan kampanye pemilu ditambah dengan iklan komersial ataupun iklan
layanan masyarakat lain, maksimal 20 persen dari seluruh waktu siaran per hari
selama masa kampanye di lembaga penyiaran yang bersangkutan. Ini penting
dilakukan agar tidak menabrak UU penyiaran.
KPI juga perlu mengatur secara lebih operasional tentang beberapa hal, antara
lain berapa kali diperbolehkannya running text dan superimpose dalam sehari,
penyiaran jajak pendapat, dialog/talkshow, dan jenis siaran lain yang sangat
mungkin menjadi kampanye terselubung para kontestan pemilu.
Menurut Gun Gun Heryanto saat ditemui di ruangannya, Intinya, regulasi
kampanye di media penyiaran harus dibuat jelas, tegas, dan operasional
sehingga turut menyumbang perbaikan kualitas pemilu

G. Tanggapan Partai Politik Terhadap Aturan Main Kampanye


Saat dikunjungi di kantor DPP Partai Nasdem, Jakarta Pusat, Ketua Badan
Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai NasDem yang juga sebagai mantan kader
partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan mengatakan Bagaimana bisa KPU
sebagai penyelenggara pemilu, yang UU nya mengatur calon terpilih ditetapkan
berdasar suara terbanyak, namun membatasi para caleg untuk menggunakan alat

14

peraga sebagai media sosialisasi menurutnya peraturan Komisi Pemilihan


Umum (KPU) soal pembatasan alat peraga kampanye bagi calon anggota legislatif
disebut sebagai keputusan yang irasional. Alat peraga adalah salah satu modal
caleg untuk lebih dikenal masyarakat.
Hal tersbeut merujuk pada PKPU No 15/2013 atas perubahan PKPU No
1/2013. Menurutnya saat ditanya, sepertinya KPU kembali menunjukkan sikap
'main-main' dalam penyelenggaraan pemilu legislatif 2014, setelah dua keputusan
penting dan strategis seperti penetapan peserta pemilu dan keterwakilan
perempuan dianulir begitu saja.
Lanjut saat diwawancara, Ferry mengatakan Tanpa pertahanan, tanpa
sanggahan dan tanpa argumentasi mempertahankannya. Kali ini dalam hal
pengaturan kampanye, khususnya yang mengatur dan membedakan partai
dengan caleg dalam penggunaan alat peraga".
Berbeda dengan Nasdem, Kader partai Golkar, Agun Gunanjar Sudarsa justru
menilai alat peraga sudah tidak efektif lagi untuk meraup dukungan suara.
Menurutnya masyarakat tidak lagi memilih orang karena politik uang atau
karena kekuasaan. Justru yang terpilih adalah orang-orang yang blusukan dan
mampu mendekati rakyat sehingga alat peraga seperti spanduk dan baliho tidak
menjadi faktor penentu, bahkan menurutnya juga alat peraga hanyalah merusak
lingkungan dan keindahan kota.
Karena itu, dia mengapresiasi KPU atas aturan baru tersebut. Pasalnya,
orientasi Pemilu 2014 adalah pemilu berkualitas sehingga pemilih bisa
memperoleh informasi utuh tentang caleg.

H. Kampanye Terbatas
Dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2012, pelaksanaan kampanye yang diperbolehkan
hanyalah kampanye melalui pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka,
penyebaran bahan kampanye kepada umum, dan pemasangan alat peraga.
Sedangkan kampanye melalui rapat terbuka dan rapat umum, serta menggunakan
media massa cetak dan elektronik baru diperbolehkan selama 21 hari menjelang

15

pemungutan suara, yaitu pada 16 Maret 2014 sampai 5 April 2014. Tata tertib
kampanye oleh parpol sejatinya benar-benar dipatuhi guna menghadirkan modus
informasi politik yang elegan dan penuh pencerahan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan guna melaksanakan pemilu secara
berkualitas adalah dengan memperbanyak kampanye yang bersifat dialogis yakni
melaksanakan pendekatan sesuai kapasitas anggota masyarakat yang dituju- sebab
tidak semua masyarakat memiliki pemahaman yang seragam tentang arti agenda
kampanye.
Sementara kampanye yang berbentuk konvoi yang lebih banyak mengerahkan
massa tanpa menyampaikan program harus mulai dibatasi dan dikurangi, selain
wasting time, program arak-arakan itu memboroskan dana, menimbulkan
kegaduhan serta dapat memicu konflik horizontal. Model kampanye yang kreatif
inovatif tentu dapat saja beragam tergantung kecerdasan tim kampanye masingmasing parpol yang mengusungnya. Rakyat tentu semakin kritis dan cerdas dalam
menilai kinerja parpol yang akan mereka pilih kelak.
Proses pembelajarannya sudah berlangsung baik selama ini, terutama sejak era
reformasi dimulai. Esensi kampanye jelas erat kaitannya dengan gelanggang
politik. Arnold Steinberg dalam bukunya, Political campaign management: a
systems approach. Lexington Books mengatakan, pengertian kampanye politik
adalah cara yang digunakan para warga negara dalam demokrasi untuk
menentukan siapa yang akan memerintah mereka. Dan kalau ditarik dalam
konteks Indonesia, model kampanye yang dianggap merakyat adalah kampanye
terbuka atau sering kali disebut kampanye monologis, walau sebenarnya masih
banyak model lain-salah satunya adalah model dialogis yang efektif dan efisien.
Selama ini, hanya kampanye terbuka saja yang kita kenal di mana kampanye
itu menekankan adanya komunikasi tatap muka di depan khalayak massa. Dalam
konteks ini pemilu tujuannya adalah untuk mengantongi legitimasi dari
masyarakat Indonesia dalam menuju kursi kekuasaan- ini senada dengan apa yang
dikemukakan Jurgen Habermas dalam teori tindakan komunikatif.
Pemilu sebagai jalan untuk memulai sebuah kekuasaan karena dari sanalah
pilihan rakyat banyak ditentukan. Intinya, pemilu merupakan upaya untuk

16

memenangkan hati rakyat. Dalam konteks memenangkan hati rakyat, banyak cara
yang dapat dilakukan, diantaranya melakukan pendekatan dialogis, bertatap muka
dengan

agenda

pendidikan

politik

yang

mencerahkan.

Dalam

artian

menghindarkan diri dari gejala konflik horizontal yang mungkin timbul, tidak
menyerang lawan politik dengan kampanye-kampanye negatif yang mengadu
domba serta menyesatkan. Kreatifitas dalam menentukan bentuk-bentuk
kampanye dialogis tentunya terpulang kepada parpol masing-masing.
Urgensi atas kampanye dialogis tidak dapat diragukan lagi, mendidik,
transparan atas program-program partai kedepan, sekaligus mencerahkan bagi
masyarakat konstituen- kampanye simpatik yang digelar niscaya juga akan
mampu meningkatkan elektabiltas terhadap partai politik sekaligus kader partai
yang bersangkutan, ini juga sesuai dengan Sesuai arahan Ketua KPU Pusat Husni
Kamil Malik, bahwa kampanye pemilu 2014 diharapkan dapat mengedepankan
prinsip efisien, ramah lingkungan, akuntabel, nondiskriminasi, dan tanpa
kekerasan.
I. Contoh-Contoh Pemberitaan Politik di Media
Contoh 1 :
Untuk mendapatkan pemilu yang berkualitas dan bersih dari personal calon
anggota legislatif (caleg), Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus berani buat
terobosan pelaporan dana caleg. Terutama terobosan yang menjadi perhatian
publik adalah soal pelaporan rekening untuk masing-masing caleg. KPU diminta
berani keluar dari aturan formal yang membatasi harapan pemilu bersih.
"Ini soal asas kepatutan. Bukan lagi bicara diwajibkan atau tidak diwajibkan
oleh Undang-Undang (UU). Banyak kok peraturan KPU yang tidak diwajibkan
oleh UU tapi mereka atur," kata Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi
Indonesia (SIGMA) Said Salahuddin, saat dihubungi, Rabu (11/12/2013).
Imbauan tersebut disampaikan Said menanggapi permintaan dari Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada KPU RI, untuk memfasilitasi

17

para Caleg dan bendahara partai untuk menyerahkan nomor rekeningnya masingmasing.
Permintaan itu disampaikan langsung oleh Kepala PPATK Muhammad Yusuf,
dengan tujuan agar PPATK bisa menelusuri transaksi keuangan dari rekeningrekening tersebut, sehingga dapat mencegah adanya praktik politik uang
menjelang Pemilu 2014. Akan tetapi, pihak KPU menegaskan bahwa di dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan
DPRD, para Caleg tidak diwajibkan untuk melaporkan rekening mereka masingmasing ke KPU. Begitu pula dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 17 Tahun
2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD. Yang diwajibkan hanyalah partai politik (Parpol) sebagai peserta
Pemilu.
Dilanjutkan Said, berkaca pada saat KPU menerapkan aturan bagi Caleg yang
diminta menyertakan curriculum vitae (CV) atau biodata yang ditampilkan dalam
daftar Caleg sementara (DCS) beberapa waktu lalu, kata dia, UU pun tak
mengatur hal itu. "Itu kan tidak diwajibkan oleh UU. Tapi KPU membuat
terobosan. CV Caleg itu sekalipun hanya diisi ala kadarnya oleh para Caleg,
tetapi cukup membantu bagi pemilih untuk lebih mengenali orang yang akan
mereka pilih," ujarnya. Lagipula, tegas Said, semestinya seorang pejabat publik
itu level pernyataannya sudah berbicara pada tingkatan asas, bukan lagi mengenai
aturan. Sebab menurutnya, aturan itu sebenarnya hanya untuk level masyarakat,
bukan pejabat publik. "Asas itu soal nilai-nilai yang harus menjadi prinsip
bertingkah laku para pejabat. Di dalamnya ada ukuran-ukuran kepantasan dan
kepatutan. Itulah standar hukum bagi para pejabat, karena mereka akan menjadi
panutan.

Kalau

aturan

normatif

itu

levelnya

masyarakat,"

paparnya.

Oleh karena itu, Said mendorong bahkan mendesak pihak KPU RI untuk segera
membuat terobosan baru terkait pelaporan rekening caleg ini, guna mencegah halhal yang tidak diinginkan, antara lain seperti timbulnya kecurigaan masyarakat
terhadap Caleg. "Yang dibutuhkan adalah itikad baik dari KPU. Apa sih ruginya
KPU terhadap data itu? Para Caleg itu kan calon pejabat publik. Sebelum

18

menjadi pemimpin dan wakil rakyat, mereka harus membuktikan bahwa mereka
transparan," imbuhnya.
Contoh 2 :
Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo Notodiprojo memprotes pencopotan
baliho bergambar dirinya yang terpasang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Calon legislator nomor urut 1 untuk daerah pemilihan DIY dari Partai Demokrat
itu mengatakan pencopotan balihonya bisa masuk kategori pelanggaran hukum.
"Saya masih tunggu sampai akhir pemilu. Aparat sudah catat nama-nama
oknumnya dan orang-orang itu akan kena sanksi hukum," kata Roy setelah
menghadiri seminar Bela Negara, Jauhi Narkoba di Auditorium Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis, 27 Maret 2014.

Sebelumnya, baliho

bergambar wajah Roy Suryo di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunungkidul


dicopot. Di Yogyakarta, Dinas Ketertiban mencopot baliho itu dengan alasan
baliho menabrak aturan reklame. Di Gunungkidul, Panwaslu menyatakan baliho
Roy Suryo melanggar Pasal 59 A Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013.
Namun Roy mengklaim dia tak melanggar aturan. Menurut Roy, baliho yang
berukuran jumbo itu dipasang dengan dana pribadi, tanpa logo Kementerian
Pemuda dan Olahraga, lambang Partai Demokrat, dan nomor urutnya sebagai
caleg. "Tak sepeser pun uang kementerian keluar untuk itu (baliho)," kata Roy.
Menurut Roy, Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 hanya melarang iklah
layanan masyarakat yang dipasang lembaga negara. "Itu iklan pribadi saya
sebagai warga Jogja," katanya. Roy mencontohkan baliho peringatan ke-86
Sumpah Pemuda bukan iklan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Alasan Roy,
hari Sumpah Pemuda ke-86 jatuh pada Oktober 2014, ketika masa jabatannya
sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga sudah selesai. "Cerdas dong KPU,"
katanya. Menurut Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Bantul Supardi,
baliho bergambar Roy Suryo bisa dianggap melanggar peraturan KPU meski
dipasang dengan dana pribadi dan tanpa logo kementerian maupun partai.
"Aturannya jelas, dia pejabat negara, dilarang jadi pemeran iklan layanan
masyarakat sejak enam bulan sebelum pemilu," kata Supardi.

19

Komisioner KPU DIY, Farid Bambang Siswantoro, menyarankan sebaiknya


Roy berjiwa besar menuruti rekomendasi Panwaslu dan tak malah berapologi.
Menurut dia, KPU DIY menyepakati keputusan Bawaslu DIY maupun Panwaslu
kabupaten/kota saat menilai baliho milik Roy Suryo melanggar peraturan KPU.
"Semua pihak mudah bersembunyi di balik hal abu-abu seperti ini," kata Farid.
Menurut dia, publik pasti paham baliho Roy Suryo itu dalam rangka iklan.
"Semua tahu, dia menteri sekaligus caleg. Silakan menyanggah, lihat saja publik
membela yang mana," ujarnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

20

Dinamika perjalanan partai politik di Indonesia bukan lagi soal positioning


ideologi, namun lebih mengarah pada populisme dan pengaruh opini. Bila diamati
sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pergeseran positioning ideologi partai
politik terus bergeser sampai garis tengah. Hal tersebut tidak lepas dari tingginya
peran media sebagai alat untuk menggiring opini publik dan jeritan rakyat yang
memberikan celah bagi partai politik untuk menerapkan strategi populis. Bila
kedua faktor telah merasuki kehidupan politik maka positioning ideologi tidak
lagi menentukan nasib partai.
Tingginya pengaruh media massa dalam menggiring opini publik membuat
ideologi partai politik tidak lagi menjadi sesuatu kekuatan yang mampu menarik
pemilih. Terlebih apabila kepemilikan media massa jatuh ketangan praktisi politik,
dalam hal ini permainan opini sudah tidak dapat dihindarkan. Media massa kini
sudah menjadi kendaraan perang dalam konstelasi politik. Media massa
digunakan sebagai ajang pencitraan publik, meruntuhkan popularias lawan politik,
dan mampu menjadi alat counter attack bagi serangan-serangan politis. keadaan
seperti ini membuat ideologi menjadi tersingkirkan dan secara tidak langsung
sudah tidak lagi berpengaruh bagi partai politik.
Ketika media massa sudah dijadikan alat perang dan ideologi sudah dianggap
tidak mampu memobilisasi massa, maka mereka yang mampu melakukan
pencitraan dan propaganda politik melalui media massa adalah dia yang akan
menang. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Lasswell (1972), the study of
politics is the study of influence and the influential (ilmu tentang politik adalah
ilmu tentang pengaruh dan kekuatan pengaruh). Tingginya pengaruh media massa
dalam menggiring opini dan memobilisasi massa tentu semakin membuah arah
kebijakan menjadi tidak jelas dan menimbulkan masa depan kebijakan politik
yang tidak menyehatkan. Karena apabila sudah seperti itu praktisi politik hanya
memikirkan bagaimana permainan opini untuk kedepannya, bukan untuk
memikirkan arah kebijakan suatu negara. Oleh karena itu wajib hukumnya bahwa
perlu adanya regulasi kampanye yang tegas untuk menghindari praktek-pkraktek
kecurangan dalam kampanye dan juga guna untuk mengurangi mahalnya ongkos
kampanye.

21

DAFTAR PUSTAKA

22

Buhanuddin Muhtadi. 2013. Perang Bintang 2014. Jakarta: Jakarta Noura Book
Gun Gun Heryanto. 2013. Komunikasi Politik Sebuah Pengantar. Bogor: penerbit
Ghalia Indonesia
Hafamira. 2014. Undang-Undang Pemilu. Klaten
Kansil C.S.T. 1974. Inti Pengetahuan Pemilihan Umum. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Mashudi. 1993. Pengertian-Pengertian Mendasar

Tentang Kedudukn Hukum

Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945.


Bandung: Penerbit Mandar Maju
http://www.kpu.go.id
Santoso Topo. 2006. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta : Sinar Grafika
Sindonews.com
Tempo.com
Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 15 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 17 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Wikipedia.org

23

Anda mungkin juga menyukai