PENDAHULUAN
Post traumatic stress disorder atau gangguan stres pasca trauma adalah
suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan
suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma seperti perang militer,
serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius peristiwa trauma ini
menyebabkan reaksi ketakutan. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan
yang muncul pertama kali berulang-ulang sangat mendalam dan mengganggu
akibat peristiwa tersebut berusaha menghindari keadaan- keadaan yang
mengingatkan pada peristiwa tersebut menjadi mati rasa secara emosional dan
suka menyendiri, sulit tidur, dan konsentrasi, ketakutan. Bila gejala-gejala
gangguan stres pasca trauma menjadi parah gangguan tersebut berkembang
menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama.
Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana
anda terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Semetara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Kemungkinan lain
adalah dilepaskannya hormon- hormon tertentu oleh otak seperti kortisol dan zatzat kimia lainnya sebagai respon terhadap rasa takut, hormonhormon dan zat
kimia ini akan membangkitkan kenangan- kenangan tersebut.1,2,3,4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan
pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau
menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau
ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan
seseorang untuk beradaptasi. Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang
mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa
orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa:1,2
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi,
banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh
diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal
attack seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual,
penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan
dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan perisiwa penembakan atau
tertembak oleh orang lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara
yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang
atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban
penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau
mengalami kekerasan.
4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti
kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple
sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.
2.2
Epidemiologi
Pada Studi community-based yang dilakukan di AS mendokumentasikan
prevalensi seumur hidup pada PTSD sekitar 8% dari populasi orang dewasa.
Menurut National Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %.
Kejadian PTSD muncul paling tinggi terutama pada orang yang mengalami
trauma (muncul pada 1/3 hingga dari mereka yang mengalami pemerkosaan,
perang, penculikan, pengasingan dengan alasan politik, dan genosida. 6
Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali kronik, dengan jumlah
orang yang secara signifikan bergejala beberapa tahun setelah kejadian awal.
Untuk menegaskan pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi.
Sebagai contohnya,studi dari the National Vietnam Veterans Readjustment
menemukkan prefalensi seumur hidup, 30,9% hingga 15,2 % pada pria dan 26,9%
hingga 8,5% pada perempuan. Pada populasi korban perkosaan, illpatrick dan
colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan prevalensi 39,4%.
Pada studi oleh Pynoos and associates pada anak-anak menunjukkan tingkat
prevalensi 58,4% pada anak-anak yang mendapat serangan sniper di AS dan
70,2% pada mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and
colleagues mendokumentasikan 1/3 dari mereka yang terdiagnosis PTSD gagal
sembuh setelah beberapa tahun. 6
Epidemiologi
dari
PTSD
berdasarkan
studi
Community-based
Kejadian
traumatik
didefinisikan
dengan
kejadian
yang
menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi
keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons
perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat
berperan besar. Amigdqala akan mengaktivasi beberapaq neurotransmitter serta
bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik
yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahdapi peristiwa
tersebut. Dalamwaktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut,
amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda
darurat kepada: 2,5
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Kondisi ini disebutflight or fight reaction. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga
membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika
mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi
sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja
secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf
simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada
waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan
mengeluarkan
memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang.
Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan
perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam
bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.2
Faktor Biologi
Pasien dengan PTSD kronis mengalami peningkatan norepinephrine di
sirkulasi dan peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors. Perubahan ini
dihipotesiskan sesuai gejala somatik yang muncul pada individu dengan PTSD.
Studi neuroanatomi mengaitkan perubahan pada amygdala dan hippocampus pada
pasien dengan PTSD, MRI fungsional dan positron-emmision tomography yang
menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan anterior paralimbic
region ke stimulus yang berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai respon yang
beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan reaktifitas dari anterior cingulate
dan
orbitofontal
areas.
Perubahan
biologis
ini
menunjukkan
gejala
assosiasi
positif
antar
diagnosis
PTSD
dan
akitivitas
cardiovascular, terutama individu yang telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang
tinggi pada saat istirahat yang berkaitan dengan individu yang terpapar trauma
tanpa diagnosis PTSD dan kontrol yang tidak terpapar trauma, hal ini
Faktor Neuroendokrin
Pada
individu
yang
mengalami
PTSD
terjadi
upaya
untuk
neurohormon,
seperti
cortisol,
epinephrine,
norepinephrine,
vasopressin,
10
bila terlihat peningkatan aktivitas metabolik hanya di bagian hemisfer kanan saja,
yang secara spesifik, pada area emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal
medial, selama pemaparan kejadian traumatik terjadi juga penurunan aktivasi area
frontal inferior-Broca, yang mempengaruhi motor speech, dapat pula ditemukan
aktivasi pada cingulate cortex pada respon trauma related stimuli, pada individu
PTSD. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis mempengaruhi
respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi dengan
respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan neutral, gembira,
atau ekspresi wajah lain, peranan hippocampus pada PTSD menunjukkan fungsi
declarative memory, context dependent memory, terjadi penurunan volume
hippocampus pada pasien PTSD dan depresi, diperkirakan karena pengalaman
negative, emosi ekstrim dan reaksi biologi yang mengingatkan mereka pada
trauma, sehingga individu yang mengalami kerusakan hippocamus, cenderung
menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai konteks. Pada individu dengan
PTSD terjadi penurunan kemampuan aktivasi Anterior Cingulate Cortex sehingga
terjadi penurunan kemampuan mengerjakan tugas kognitif dan penguasaan emosi,
pada inidividu dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke otak
sehingga terjadi perubahan struktur pada left inferior prefrontal cortex atau Broca
area dan dorsolateral prefreontal cortex, juga terjadi penurunan akitvasi
thalamus, medial frontal gyrus (Brodmanns area), berbeda pada perempuan
dengan childabuse menunjukkan peningkatan aliran darah pada anterior
prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi penurunan aktivasi pada
dorsolateral frontal cortex sehingga pasien dengan PTSD kembali mengingat
11
12
Gambar 1. Sirkuit dari noradrenergic pada respon trauma, respon akut: fight or
flight, rasa takut, konsolidasi memori, gejala ASD/ PTSD: hypervigilience,
arousal, fear, startle, flashback, intrusive recollections.10
Locus coeruleus: pigmented area pada regio rostrolateral pontine dari fourth
ventricle floor dan memanjang hingga mesencephalon pada lateral portion dari
periaqueductal gray substance; cell dari nukleus yang mengandung melanin.
13
Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress response. Respon akut: fight
or flight, kemarahan, melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan
dengan gejala aggression/violence, anger, impulsivity, anxiety, depression.10
3. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan
perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang
di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua
merupakan prediktor perkembangan PTSD.3
Faktor Psychological
Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan
PTSD, 3 fase stress itu antara lain: (1) Fase Initial yaitu fase dengan realisasi
14
15
yang
realistis
dan
aman,
dengan
harapan
pasien
dapat
16
menemukan
bahwa
mempengaruhi
penggunaan
kerentanan
alkohol
terhadap
berkaitan
pertarungan
dengan
langsung
gen
yang
yang
juga
terhadap
konsumsi
alkohol,
secara
keseluruhan
kejadian
ini
17
seseorang
Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun
personal)
Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa
kehidupan
2.3
18
Gejala
Klien dengan PTSD dapat saja tidak menunjukkan gejala-gejala khas
PTSD secara kontinu dan dalam kurun waktu yang tentu. Gejala dapat timbul
sewaktu-waktu bergantung pada stimuli yang diterima klien. Gejala PTSD,
meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas. Terdapat tiga tipe gejala,
flight, fight, dan freeze. Ansietas dan penghindaran merupakan gejala flight.
Meningkatnya amarah dan perilaku kekerasan merupakan gelaja fight, sedangkan
kekebasan, disasosiasi, dan alterasi dalam persepsi diri merupakan karakteristik
freeze .Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah:1,2,3
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan:
selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah
dialami
flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan
terulang kembali)
nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang
membuatnya sedih)
reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh
19
Akibat
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah
4. Gangguan perilaku :4
20
21
sendiri atau orang lain, respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.4
Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin
akan meningkatkan gaangguan stress pasca trauma, yaitu:5
1. Kekerasan personaal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan
perampokan)
2. Penculikan
3. Penyanderaan
4. Serangan militer
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan
2.6
Diagnosis banding
Gejala stres pasca traumatik sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik
Penatalaksanaan
Psikoterapi ada dua tipe yaitu psikoterapi utama yang dapat digunakan
adalah
kelompok dan terapi keluarga, serta modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat
mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya.4,5
Farmakoterapi dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI),
seperti sertralin dan paroxetin, karena cukup efektif, dan aman. SSRI mengurangi
semua gejala pada gangguan stres pasca traumatik berupa gejala kecemasan dan
depresi. Golongan buspirone juga dapat digunakan seperti imipramin dan
amitriptilin. Dosis yang digunakkan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obat
lain yang digunakkan seperti monoamine oxidaseinhibitors (MAOIS), trazodone
dan anticonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik
akut.4
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan : 5
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa
serius lainnya.
2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk
kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial
terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.
Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan
menjadi lima jenis yaitu:
1. Psychodynamic Approaches
Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase stress bila terjadi
kegagalan dalam adaptasi 3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini
23
24
pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase
coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk menghambat negative
rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif
mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban
pemerkosaan.11
5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata
terbuka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma,
diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fearantagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization.11
Komorbiditas
Pada beberapa studi pasien dengan PTSD juga mengalami disproprtionate
degree of medical illness, yaitu neurologis, musculoskeletal, kardiovaskuler, dan
masalah pernapasan. Juga terjadi gangguan tidur yaitu gangguan untuk memulai
dan mempertahankan tidur.11
2.7
Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40 % terus menderita gejala
ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau
memburuk. Umumnya orang yang sanagt muda atau sangat tua lebih mengalami
kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi gangguan stres pasca
traumatik muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang
baik, dukungan sosial yang baikdan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat. Tingkat
25
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kecemasan yang timbul
setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwaperistiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius.
Perempuan lebih beresiko mengalami gangguan stres pasca trauma,
meskipun pemaparan kejadian traumatik lebih sering pada laki-laki, terdapat
penurunan fungsi untuk menyelesaikan tugas pada pasien dengan gangguan ini,
yang berpengaruh pada activity daily living, yaitu terputusnya social group,
karena
pasien
merasa
hubungan
sosial
diantaranya
merenggang,
yang
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta:
Cendika. EGC; 2009
2. Kaplan HI, Sadock BJ dan Grebb J. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Tangerang:
Binarupa Aksara; 2007 h: 68-75.
3. Mansjoer T, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius; 2008
4. David A. Buku saku psikiatri PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2004
5. Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam:
Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2010 h: 254-264
6. Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders.
Dalam: Kay J dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John
Wiley & Sons; 2006 h: 627-638.
7. Van der Kolk B. Psychobiology of Post Traumatic Stress Disorder. Dalam:
Panksepp J ed. Textbook of Biological Psychiatry, Wiley-Liss, Inc. New
Jersey; 2004 h: 319-344.
27
8. Fairbank JA, Ebert L, dan Caddell JM. Post Traumatic Stress Disorder.
Dalam: Sutker PB dan Adams HE. Comprehensive Handbook of
Psychopathology 3ed. New York: Kluwer Academic Publishers; 2002 h:
183-209.
9. First MB dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders.
Dalam: First MB dan Tasman A. Clinical Guide to the Diagnosis and
Treatment of Mental Disorders. Tottenham: John Wiley & Sons; 2006 h:
326-334.
10. Benedek DM. Acute Stress Disorder and Post Traumatic Stress Disorder
in the Disaster Environment. Dalam: Ursano RJ, Fullerton CS, Wiesaeth L,
dan Raphael B. Textbook of Disaster Psychiatry. New York: Cambdrige
University Press; 2007 h: 140-163.
11. Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Post Traumatic Stress Disorder
Dalam: Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Current Diagnosis &
Treatment in Psychiatry. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 h:
Ch.23.
28