Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
Post traumatic stress disorder atau gangguan stres pasca trauma adalah
suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan
suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma seperti perang militer,
serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius peristiwa trauma ini
menyebabkan reaksi ketakutan. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan
yang muncul pertama kali berulang-ulang sangat mendalam dan mengganggu
akibat peristiwa tersebut berusaha menghindari keadaan- keadaan yang
mengingatkan pada peristiwa tersebut menjadi mati rasa secara emosional dan
suka menyendiri, sulit tidur, dan konsentrasi, ketakutan. Bila gejala-gejala
gangguan stres pasca trauma menjadi parah gangguan tersebut berkembang
menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama.
Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena
banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana
anda terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya reaksi. Semetara itu penyebab
sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma tidak diketahui. Kemungkinan lain
adalah dilepaskannya hormon- hormon tertentu oleh otak seperti kortisol dan zatzat kimia lainnya sebagai respon terhadap rasa takut, hormonhormon dan zat
kimia ini akan membangkitkan kenangan- kenangan tersebut.1,2,3,4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder adalah Gangguan kejiwaan

pada seseorang yang dialami dan berkembang setelah pengalaman traumatik, atau
menyaksikan suatu kejadian yang mengancam jiwa, mencederai luka, atau
ancaman terhadap integritas dari tubuh, biasanya diiringi dengan ketidakmampuan
seseorang untuk beradaptasi. Pengertian lain dari PTSD (Post Traumatic Stress
Disorder) adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang
mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa
orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa:1,2
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi,
banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh
diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal
attack seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual,
penyerangan atau penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan
dengan kekerasan), penculikan, menyaksikan perisiwa penembakan atau
tertembak oleh orang lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara
yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang
atau yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban
penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau
mengalami kekerasan.

4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti
kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple
sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.
2.2

Epidemiologi
Pada Studi community-based yang dilakukan di AS mendokumentasikan

prevalensi seumur hidup pada PTSD sekitar 8% dari populasi orang dewasa.
Menurut National Comorbidity Survey Replication gambaran ini sekitar 6,8 %.
Kejadian PTSD muncul paling tinggi terutama pada orang yang mengalami
trauma (muncul pada 1/3 hingga dari mereka yang mengalami pemerkosaan,
perang, penculikan, pengasingan dengan alasan politik, dan genosida. 6
Studi epidemiologi menunjukkan PTSD seringkali kronik, dengan jumlah
orang yang secara signifikan bergejala beberapa tahun setelah kejadian awal.
Untuk menegaskan pandangan ini, data epidemiologis menunjukkan frekuensi.
Sebagai contohnya,studi dari the National Vietnam Veterans Readjustment
menemukkan prefalensi seumur hidup, 30,9% hingga 15,2 % pada pria dan 26,9%
hingga 8,5% pada perempuan. Pada populasi korban perkosaan, illpatrick dan
colleagues menemukan prevalensi seumur hidup 75,8% dan prevalensi 39,4%.
Pada studi oleh Pynoos and associates pada anak-anak menunjukkan tingkat
prevalensi 58,4% pada anak-anak yang mendapat serangan sniper di AS dan
70,2% pada mereka yang terkena gempa bumi di Armenia. Kessler and
colleagues mendokumentasikan 1/3 dari mereka yang terdiagnosis PTSD gagal
sembuh setelah beberapa tahun. 6
Epidemiologi

dari

PTSD

berdasarkan

studi

Community-based

epidemiological menunjukkan 70% dari individu yang mengalami trauma, yang


3

dipengaruhi oleh kejadian traumatik, faktor predisposisi dan faktor lingkungan


peritraumatik dalam memahami etiologi dari PTSD, terutama pada gangguan
interaksi dari 3 grup faktor. Perkembangan dari PTSD berhubungan dengan
kejadian yang dialami pasien, yang secara konsisten memiliki keterkaitan erat
dengan stress yang dialami dan resiko perkembangan PTSD. Keterkaitan ini
terdapat pada populasi orang yang mengalami trauma. 6
Respon kognitif dan afektif juga penting dalam menentukkan PTSD yang
dikembangkan.

Kejadian

traumatik

didefinisikan

dengan

kejadian

yang

melibatkan pengalaman atau menyaksikan kejadian nyata yang mengancam jiwa,


cedera berat, atau mengatahui kematian yang mengenaskan yang melibatkan
ketakutan yang mendalam, ketidakberdayaan, atau kejadian mengerikan. 6
1. Psikodinamika
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan sebagai ancaman
terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini menyebabkan ansietas berat yang
tidak dapat dikendalikan oleh ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku
simtomatik. Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan
menyebabkan individu merasa bersalah terhadap kejadian traumatik tersebut.
dapat menjadi dominan, menyebabkan perilaku impulsif tidak terkendali.1,2
2. Biologis
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena
aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan
takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan

menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi
keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons
perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat
berperan besar. Amigdqala akan mengaktivasi beberapaq neurotransmitter serta
bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik
yang mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahdapi peristiwa
tersebut. Dalamwaktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut,
amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda
darurat kepada: 2,5
1. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
2. Sistem saraf parasimpatis
3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Kondisi ini disebutflight or fight reaction. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga
membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika
mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi
sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja
secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf
simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada
waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan
mengeluarkan

Cortico-Releasing Factor (CFR)

dan beberapa neuropeptida

regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi

pengeluaran adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi


pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal.2,5
Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran ke dua
zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin
berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh
dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam
menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang
bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami
oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses
terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon
kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.2, 5
Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung
untuk mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di
otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat
ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika
hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan
tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan
dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami.2,5
Dari hasil penelitian, abnormalitas dalam penyimpanan, pelepasan, dan
eliminasi katekolamin yang memengaruhi fungsi otak di daerah lokus seruleus,
amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus seruleus dapat
menyebabkan seseorang tidak dapat belajar. Amigdala sebagai penyimpan

memori. Hipokampus menimbulkan koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang.
Hiperaktivitas dalam amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan
perasaan dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam
bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.2
Faktor Biologi
Pasien dengan PTSD kronis mengalami peningkatan norepinephrine di
sirkulasi dan peningkatan reaktifitas alpha-2-adrenergic receptors. Perubahan ini
dihipotesiskan sesuai gejala somatik yang muncul pada individu dengan PTSD.
Studi neuroanatomi mengaitkan perubahan pada amygdala dan hippocampus pada
pasien dengan PTSD, MRI fungsional dan positron-emmision tomography yang
menunjukkan peningkatan pada aktifitas amygdala dan anterior paralimbic
region ke stimulus yang berhubungan dengan trauma. Maka, sebagai respon yang
beerhubungan dengan trauma, terjadi penurunan reaktifitas dari anterior cingulate
dan

orbitofontal

areas.

Perubahan

biologis

ini

menunjukkan

gejala

neuroanatomical substrate untuk gejala yang termasuk karakteristik dari PTSD


(intrusive recollections dan gangguan kognitif lainnya). Bagaimanapun tidak
diketahui perubahan sebelumnya sebagai hasil terpaparnya trauma atau karena
menderita PTSD. 6, 7, 8, 9
Sympathetic Nervous System Alterations.
Terdapat

assosiasi

positif

antar

diagnosis

PTSD

dan

akitivitas

cardiovascular, terutama individu yang telah didiagnosis PTSD dengan nadi yang
tinggi pada saat istirahat yang berkaitan dengan individu yang terpapar trauma
tanpa diagnosis PTSD dan kontrol yang tidak terpapar trauma, hal ini

menunjukkan studi dengan sampel PSTD kronis terdapat peningkatan urin


cathecolamine 24 jam, selain itu terdapat peningkatan aktivitas simpatis. Terdapat
demonstrasi berulang terhadap peninggian sympathetic arousal pada pasien
dengan PTSD yang direkonstruksi ulang saat trauma. 6, 7, 8, 9
Meskipun kondisi ini dapat dijelaskan dengan keterkaitan trauma dengan
respon fisiologis yang meningkat pada pasien dengan PTSD, namun tidak
menjelaskan individu yang mengalami seseorang individu dapat mengalami
perkembangan PTSD, sementara individu yang lain tidak. Dapat dihipotesiskan
terdapat perbedaan suskeptibilitas untuk membentuk PTSD pada masing-masing
variasi individu dibandingkan dengan individu lain, maka individu yang
mengalami kejadian traumatik lebih sering mengalami PTSD. 6, 7, 8, 9
Terdapat disfungsi otak pada individu dengan PTSD, dimana terdapat
pembangkitan potensial yang abnormal. Pada ERP dapat menggagaskan pasien
dengan PTSD mengalami penghambatan kortikal pada stimulus dengan intensitas
tinggi, gangguan pada memori dan konsentrasi, defisit auditorik dan peningkatan
perhatian pada stimulus yang berkaitan dengan trauma. Bagaimanapun perlu
dilakukan studi lanjutan pada PSTD. 6, 7, 8, 9
Respon psychophsiological pada pemaparan trauma yang akut dapat
memprediksi perkembangan PTSD, individu yang selamat setelah kejadian
traumatik mengalami peningkatan nadi selama 1 minggu. 6, 7, 8, 9

Faktor Neuroendokrin
Pada

individu

yang

mengalami

PTSD

terjadi

upaya

untuk

mempertahankan homeostasis, terjadi perubahan endogen, stress-responsive


8

neurohormon,

seperti

cortisol,

epinephrine,

norepinephrine,

vasopressin,

oxytocin, pada stress awal terjadi perubahan The hypothalamic-pituitary-adrenal


yaitu hypothalamic dan extrahypothalamic corticotropin-releasing hormon,
monoaminergic, dan gamma-amniobutyric acid/ benzodiazepine systems, stress
juga menunjukkan perubahan struktural dan fungsional pada otak seperti depresi,
dari data terlihat kelainan terutama pada The hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) axis secara ekstensif dipelajari dalam sistem neuroendokrin pada pasien
dengan PTSD. Penemuan penting yaitu: berkurangnya ekskresi cortisol urin 24
jam, supersuppresion pada cortisol setelah pemberian low-dose dexamethasone,
menumpulnya respon corticotropin pada corticotropin releasing-hormone dan
peningkatan reseptor glukokortikoid, hal ini menunjukkan PTSD kronis diikuti
oleh supersuppresion pada emergency HPA response pada stress akut. Hal ini
dapat terjadi karena proteksi diri individu pada toksisitas tingginya corticosteroid
yang muncul pada pemaparan berulang stress yang mengingatkannya terhadap
trauma. Selain itu perubahan aksis HPA terhadap perubahan reseptor
glukokortikoid berkaitan dengan beratnya gejala PTSD, tetapi tidak dengan less
specific anxiety dan depressive symptoms, pada penelitian dengan sampel veteran
AS perang vietnam yang bertarung langsung yang mengalami PTSD memiliki
cortisol yang lebih rendah dibandingkan veteran AS perang Vietnam yang tidak
bertarung langsung yang mengalami PTSD 6, 7, 8, 9
Jadi faktor neuroendokrin pada PTSD menunjukkan abnormalitas yang
spesifik, dibandingkan gangguan jiwa lainnya, pada pasien dengan PTSD
menunjukkan negative feedback inhibiton dengan berlebihannya respon cortisol

terhadap dexamethasone, disertai peningkatan reseptor glukokortikoid dan


cortisol basal, penemuan ini kontras terhadap pasien dengan depresi mayor yaitu
wanita dengan childhood abuse dengan didiagnosis current major depression
menunjukkan 6 kali lipat respon adrenocorticotropic hormone terhadap stress
terjadi penumpulan respon cortisol terhadap dexamethasone disertai pengurangan
jumlah reseptor glukokortikoid dan cortisol basal pada studi biologi longitudinal
terdapat penurunan kortisol 15 g/dL hingga ke 30 g/dL, selain itu efek ini juga
dipengaruhi fight-or-flight reactions. 6, 7, 8, 9
Sleep Studies
Pada studi didapatkan dua kriteria jelas yang berhubungan dengan keluhan
tidur pada individu dengan PTSD:nightmare dengan kejadian traumatik,
kegagalan untuk memulai dan mempertahankan tidur, data selanjutnya
menggagaskan kesulitan tidur pada individu dengan PTSD dengan aktivitas
motorik yang berlebih dan awakening with somatic anxiety symptoms. Terdapat
juga komplain pada penggunaan polysomnography pada studi, terutama pada
pasien dengan waktu tidur yang kurang atau efisiensi, dan peningkatan kesadaran
pada pasien PTSD. Terdapat juga dokumentasi pada pasien dengan PTSD dengan
gangguan nafas akibat tidur. PTSD juga dikaitkan dengan REM yang
terfragmentasi. 6
Faktor Struktural dan Fungsional Pada Otak
Pada pemeriksaan MRI bila ditemukan white matter lesion dan penurunan
volume hippocampal, abnormalitas ini menunjukkan kerentanan pretrauma untuk
berkembang menjadi PTSD bila mendapat pengalaman traumatik, pada PET scan

10

bila terlihat peningkatan aktivitas metabolik hanya di bagian hemisfer kanan saja,
yang secara spesifik, pada area emosi yaitu: amygdala, insula, dan lobus temporal
medial, selama pemaparan kejadian traumatik terjadi juga penurunan aktivasi area
frontal inferior-Broca, yang mempengaruhi motor speech, dapat pula ditemukan
aktivasi pada cingulate cortex pada respon trauma related stimuli, pada individu
PTSD. Pada proyeksi amygdala ke reticularis pontis caudalis mempengaruhi
respon terkejut, rasa takut, bahaya dan ancaman, amygdala diaktivasi dengan
respon ekspresi wajah terhadap rasa takut, dibandingkan dengan neutral, gembira,
atau ekspresi wajah lain, peranan hippocampus pada PTSD menunjukkan fungsi
declarative memory, context dependent memory, terjadi penurunan volume
hippocampus pada pasien PTSD dan depresi, diperkirakan karena pengalaman
negative, emosi ekstrim dan reaksi biologi yang mengingatkan mereka pada
trauma, sehingga individu yang mengalami kerusakan hippocamus, cenderung
menunjukkan perubahan perilaku yang tidak sesuai konteks. Pada individu dengan
PTSD terjadi penurunan kemampuan aktivasi Anterior Cingulate Cortex sehingga
terjadi penurunan kemampuan mengerjakan tugas kognitif dan penguasaan emosi,
pada inidividu dengan PTSD dapat terjadi penurunan aliran darah ke otak
sehingga terjadi perubahan struktur pada left inferior prefrontal cortex atau Broca
area dan dorsolateral prefreontal cortex, juga terjadi penurunan akitvasi
thalamus, medial frontal gyrus (Brodmanns area), berbeda pada perempuan
dengan childabuse menunjukkan peningkatan aliran darah pada anterior
prefrontal cortex, pada pasien dengan PTSD terjadi penurunan aktivasi pada
dorsolateral frontal cortex sehingga pasien dengan PTSD kembali mengingat

11

trauma dengan kesadaran yang terbatas, sehingga hanya mengingat sebagian


unsur trauma, selain itu ditemukan juga hemispheric lateralization pada pasien
dengan PTSD yang terpapar memori negatif, pada bagian hemisfer kanan
mengembangkan terlebih dahulu dibandingkan hemisfer kiri, yang melibatkan
ekspresi emosi nonverbal yaitu intonasi, ekspresi wajah, komunikasi visual atau
spasial, dengan kata lain hemisfer kanan khusus mempengaruhi emosi, yang
berlawanan dengan hemisfer kiri yang memediasi komunikasi verbal dan
mengorganisasi penyelesaian masalah, pada (gambar 1.) dapat dilihat peranan
neurotransmitter pada respon fight or flight pada pengaktifan HPA terjadi
peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan kerusakan
hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam gejala
PTSD. Pada (gambar 2.) dapat dilihat peranan serotonin pada respon fight or
flight melalui komunikasi secara langsung dengan limbik dan struktur kortikal
terjadi peningkatan cortisol, tingginya tingkat cortisol diasosiasikan dengan
kerusakan hippocampus dan mengubah fungsi hippocampus yang berperan dalam
gejala PTSD, kejadian trauma dapat menyebabkan otak gagal memproses
informasi, memori episodik menetap di sistem limbik, yang menghasilkan
gambaran kejadian traumatik. 6, 7, 8, 9, 10

12

Gambar 1. Sirkuit dari noradrenergic pada respon trauma, respon akut: fight or
flight, rasa takut, konsolidasi memori, gejala ASD/ PTSD: hypervigilience,
arousal, fear, startle, flashback, intrusive recollections.10
Locus coeruleus: pigmented area pada regio rostrolateral pontine dari fourth
ventricle floor dan memanjang hingga mesencephalon pada lateral portion dari
periaqueductal gray substance; cell dari nukleus yang mengandung melanin.

13

Gambar 2. Jalur serotonergic pada traumatic stress response. Respon akut: fight
or flight, kemarahan, melemahkan rasa takut, ASD/ PTSD; yang berkaitan
dengan gejala aggression/violence, anger, impulsivity, anxiety, depression.10
3. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan
perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD. Keberhasilan dalam pendidikan yang
di bawah rata-rata, perilaku orang tua yang negatif, dan kemiskinan orang tua
merupakan prediktor perkembangan PTSD.3
Faktor Psychological
Bila terjadi kegagalan dalam adaptasi 3 fase stress dapat menyebabkan
PTSD, 3 fase stress itu antara lain: (1) Fase Initial yaitu fase dengan realisasi

14

kejadian yang menyakitkan yang meenyebabkan kemarahan, kesedihan, dan


penyesalan, (2) Fase Denial yaitu fase dengan karakterisitik defense againt
intrusion of memories pada kejadian traumatik, dimana pasien menunjukkan
kegagalan memori pada kejadian, yang mengingatkan mereka pada kejadian
traumatik, dan menggunakan fantasi mereka untuk melawan persepsi yang
realistis pada kejadian, (3) Fase Intrusive yaitu fase dengan karakteristik
hypervigilance, terkejut yang berlebihan, tidur, gangguan mimpi, intrusive dan
repetitive trauma-related thoughts, dan kebingungan.11
Model Perilaku
Teori kondisi dapat membantu dalam menjelaskan proses dengan stimulus
yang berkaitan dengan kejadian traumatik dengan respon emosi pada individu
yang mengalami PTSD. Kondisi-kondisi penyerta yang terjadi saat kejadian
traumatik selain kejadian traumatik itu sendiri dapat direspon pasien sebagai
kejadia traumatik, dengan respon pasien berupa takut, ketidakberdayaan dengan
respon emosi yang kuat, sebagai contoh, perempuan yang diperkosa
(unconditioned stimulus) di lorong gelap (conditioned stimulus) oleh laki-laki
(conditioned stimulus) memiliki respon rasa takut pada conditioned stimulus dan
unconditioned stimulus, dapat merasa ketakutan ketika berada di lorong gelap atau
diikuti seorang laki-laki. Perilaku menghindar dapat berkembang dengan anxietas
yang berkaitan dengan conditioned stimulus. Sebagai contoh perempuan yang
diperkosa takut keluar ketika gelap atau diikuti laki-laki. Terapi perilaku dapat
menggunakan prinsip pemaparan yang memerlukan konfrontasi pada situasi yang
ditakuti dan dapat mengurangi anxietas. 6, 7, 8, 9

15

Proses Kognitif dan Informasi


Pemaparan terhadap kejadian traumatik yang berat atau tidak dapat
diprediksi, mengakibatkan kegagalan proses dan asimilasi dengan pengalaman
yang cukup untuk secara efektif menerima akibatnya, selain itu bila periode
traumatiknya berkepanjangan, kesulitan dan asimilasi yang tidak lengkap dapat
terjadi. Pengalaman dipertahankan pada memori aktif, mengakibatkan seseorang
dengan kesadaran saat siang atau malam. Pada pengalaman yang menyakitkan
terjadi penghindaraan untuk mengingat kejadian traumatik. 6,7
Rasa takut dapat dijelaskan dengan struktur kognitif dengan tiga unsur:
stimulus, respon dan arti. Untuk mengurangi rasa takut, memori terhadap rasa
takut harus diaktifkan kemudian informasi baru diberikan untuk merubah struktur
rasa takut. Intervensi kognitif dapat digunakan untuk mengenali dan merubah
maladaptive cognitions dan menggantikan interpretasi dari bahaya dengan
interpretasi

yang

realistis

dan

aman,

dengan

harapan

pasien

dapat

mengintegrasikan informasi baru pada struktur rasa takut, mengakibatkan


pemikiran realistis terhadap derajat bahaya. 5, 6, 7, 8, 9,10, 11
Faktor Genetic-Familial
Dari literatur yang ada, dibuat berdasarkan pertarungan langsung pada
veteran AS laki-laki, dengan survey populasi umum dan pemerkosaan traumatik
yang berkaitan dengan PTSD, didapatkan hasil berdasarkan genetik dengan
kluster tiga gejala (intrusive, avoidant, dan gejala hyperarousal) pada pemeriksaan
terhadap pengaruh genetik dan lingkungan pada pertarungan langsung, post
traumatic stress disorder, dan penggunaan alkohol pada kembar identik laki-laki,

16

menemukan

bahwa

mempengaruhi

penggunaan

kerentanan

alkohol

terhadap

berkaitan

pertarungan

dengan

langsung

gen

yang

yang

juga

mempengaruhi kerentanan terhadap gejala PTSD dan konsumsi alkohol.


Merupakan catatan penting, untuk mengetahui faktor lingkungan yang unik pada
kembar tidak lebih penting dari pengaruh genetik terhadap pertarungan langsung
dan gejala PTSD, dimana pengaruh lingkungan terlihat setara dengan pengaruh
genetik

terhadap

konsumsi

alkohol,

secara

keseluruhan

kejadian

ini

menggagaskan pada riwayat psychiatric, baik personal maupun pada anggota


keluarga, meningkat dengan terpaparnya trauma dan perkembangan PTSD setelah
terpapar, dengan kata lain orang tuan dengan PTSD berkaitan dengan rendahnya
kadar cortisol pada anak-anakya, yang menunjukkan kerentanan yang berkaitan
dengan gejala akut atau kronik dari PTSD. 6, 7, 8, 9, 10, 11
Faktor Lainnya
Meskipun penelitian sistematis telah dilakukan, individu yang mengalami
trauma berulang dan berkelanjutan, terutama yang berasal dari interpersonal, lebih
mungkin mengalami PTSD. Trauma yang melibatkan berkurangnya community
atau support structures. Karena social support memiliki efek buffering,
berkurangya support dapat menjadi faktor kerentanan. Perempuan memiliki resiko
PTSD yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. 6
Pada umumnya individu yang mempunyai karakter extrovert atau lebih
berpikir positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini.
Karakteristik dari peristiwa traumtik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis
reaksi psikologis yang bakan terjadi, seperti :5

17

Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami


Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap

seseorang
Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun

personal)
Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa

kehidupan

traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang


lain pada saat kejadiaan itu atau dia hanya menyelamatkan dirinya
sendiri.
Setelah mengalami peristiwa traumatik, maka sistem keyakinan dan latar belakang
budaya yang dianut oleh individu yang bersangkutan, serta dukungan sosial dari
lingkungan sekelilingnya akan memegang peranan yang penting bagi individu
untuk menyesuaikan dirinya kembali.5

2.3

Faktor Resiko PTSD 5 ,6, 7, 8, 9


1. Jenis kelamin perempuan, 2 hingga 4 kali lipat dibandingkan pada lakilaki meskipun laki-laki lebih cenderung mengalami kejadian traumatik.
2. Gangguan jiwa sebelumnya (preexisting anxiety disorder atau preexisting
major depression) beresiko 2 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak
mengalami gangguan jiwa.
3. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutaan maupun keluarganya.
4. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual.
5. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial.
6. Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya
problem menyesuaikan diri.
7. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna.

18

8. Terpapar oleh kejadian-kejadian dalam kehidupan yang luar biasa


sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif
oleh suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi
dirinya.
2.4

Gejala
Klien dengan PTSD dapat saja tidak menunjukkan gejala-gejala khas

PTSD secara kontinu dan dalam kurun waktu yang tentu. Gejala dapat timbul
sewaktu-waktu bergantung pada stimuli yang diterima klien. Gejala PTSD,
meskipun tidak spesifik, meliputi indikasi yang khas. Terdapat tiga tipe gejala,
flight, fight, dan freeze. Ansietas dan penghindaran merupakan gejala flight.
Meningkatnya amarah dan perilaku kekerasan merupakan gelaja fight, sedangkan
kekebasan, disasosiasi, dan alterasi dalam persepsi diri merupakan karakteristik
freeze .Tiga tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD adalah:1,2,3
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan:
selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah

dialami
flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan

terulang kembali)
nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang

membuatnya sedih)
reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh

kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.


2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan:
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau

percakapan yang berhubungan dengan trauma.


kehilangan minat terhadap semua hal
perasaan terasing dari orang lain

19

emosi yang dangkal.


3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan:
susah tidur
mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah
susah berkonsentrasi
kewaspadaan yang berlebih
respon yang berlebihan atas segala sesuatu
2.5

Akibat
Gangguan stress pascatraumatik ternyata dapat mengakibatkan sejumlah

gangguan fisik, kognitif,emosi,behavior (perilaku),dan sosial. 2,3


1. Gejala gangguan fisik:4
pusing
gangguan pencernaan
sesak napas
tidak bisa tidur
kehilangan selera makan,
impotensi, dan sejenisnya.
2. Gangguan kognitif:4
gangguan pikiran seperti disorientasi,
mengingkari kenyataan,
linglung, melamun berkepanjangan, lupa,
terus menerus dibayangi ingatan yang tak diinginkan,
tidak fokus dan tidak konsentrasi
tidak mampu menganalisa dan merencanakan hal-hal yang
sederhana,
tidak mampu mengambil keputusan.
3. Gangguan emosi :4
halusinasi dan depresi (suatu keadaan yang menekan, berbahaya,

dan memerlukan perawatan aktif yang dini),


mimpi buruk,
marah,
merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut,
kecemasan dan ketakutan.

4. Gangguan perilaku :4
20

menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal.

Contoh, duduk berjam-jam dan perilaku repetitif (berulang-ulang).


5. Gangguan sosial:4
memisahkan diri dari lingkungan,
menyepi,
agresif, prasangka,
konflik dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat
dominan.
Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti
bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar
biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya
waktu antara terjadinya peristiwa dan onset melebihi waktu lebih dari 6 bulan,
asalkan manifestasi klinisnya khas dan disertai bukti adanya trauma yang selalu
ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara
berulang-ulang, seringkali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan
perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin akan mengingatkan
kembali akan traumanya, gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan
kelainan perilaku semuanya. Kriteria diagnostik untuk gangguan stress
pascatraumatik (Tabel dari DSM IV) diagnostik dan stastitical manual of mental
dsorder ed 4 : Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana
terdapat kedua dari berikut ini, orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan
dengan sesuatu kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri

21

sendiri atau orang lain, respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.4
Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin
akan meningkatkan gaangguan stress pasca trauma, yaitu:5
1. Kekerasan personaal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan
perampokan)
2. Penculikan
3. Penyanderaan
4. Serangan militer
5. Serangan teroris
6. Penyiksaan
7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang
8. Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia
9. Kecelakaan mobil yang berat
10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan

2.6

Diagnosis banding
Gejala stres pasca traumatik sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik

dan gangguan cemas menyeluruh. Hal ini dikarenakngan ketiganya berhubungan


dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. Pada gangguan stres pasca
traumatik relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala dan selalu teringat
akan trauma yang terjadi.3,4
2.7

Penatalaksanaan
Psikoterapi ada dua tipe yaitu psikoterapi utama yang dapat digunakan

adalah

terapi paparan, pasien dihadapkan pada keadaan traumatik secara

perlahan- lahan dan bergradasi untuk mencapai desentisasi. Kedua yaitu


manajemen stres dengan cara mengajari pasien cara menangani stres termasuk
teknik relaksai, seperti dengan teknik-teknik mengatur pernafasan serta
mengontrol pikiran-pikiran. Pendekatan kognitif untuk mengatasi masalah. Terapi
22

kelompok dan terapi keluarga, serta modifikasi pola hidup, seperti diet yang sehat
mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya.4,5
Farmakoterapi dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI),
seperti sertralin dan paroxetin, karena cukup efektif, dan aman. SSRI mengurangi
semua gejala pada gangguan stres pasca traumatik berupa gejala kecemasan dan
depresi. Golongan buspirone juga dapat digunakan seperti imipramin dan
amitriptilin. Dosis yang digunakkan sama seperti pada pasien depresi. Obat-obat
lain yang digunakkan seperti monoamine oxidaseinhibitors (MAOIS), trazodone
dan anticonvulsan. Haloperidol dapat digunakan pada kondisi agitasi atau psikotik
akut.4
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan : 5
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa
serius lainnya.
2. Anti depressan golongan SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk
kasus ini.
3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial
terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.
Penatalaksaan pada psychology pada pasien dengan PTSD dikategorikan
menjadi lima jenis yaitu:
1. Psychodynamic Approaches
Pada terapi ini dilakukan melalui pendekatan 3 fase stress bila terjadi
kegagalan dalam adaptasi 3 fase ini akan menyebabkan PTSD, sehingga terapi ini

23

bertujuan agar pasien dapat beradaptasi melalui reinterpretasi dari kejadian


traumatik, mengubah atribut kerusakan dan mengembangkan intrepretasi yang
realistis.11
2. Cognitive-behavioral Approaches
Terapi ini diadaptasi dari teknik penatalaksaan untuk gangguan anxiety
lain, pada learning theory model mengemukakan incorporate classical dan
operant conditioning untuk menjelaskan perkembangan dan menetapnya gejala
PTSD. Teori Kognitif diajukan untuk menambahkan learning theory untuk
menjelaskan kenapa perceived threat lebih kuat dalam memicu gejala PTSD,
sehingga inti dari penatalaksaan ini adalah repetitive exposure to trauma-relevant
fear stimuli unuk mengurangi anxiety, terapi ini menekankan pada intensive
exposure namun tidak diikuti pengaturan pada fear-antagonistic state,
penatalaksaan ini dilakukan pada in vivo kembali ke lokasi kejadian traumatik,
atau berimajinasi, sehingga anxiety teratasi dan hilang potensinya.11
3. Flooding Techniques
Pada penatalaksanaan ini dilakukan exposure, desensitization atau teknik
exposure terarah, terapi ini dapat mengatasi gejala intrusive dan hyperarousal,
kelemahan terapi ini adalah tidak dapat menatalaksana avoidance symptom, dan
dapat memperberat gejalanya.11
4. Training in Coping Skills
Pada penatalaksaan ini dilakukan untuk meningkatkan self-control
symptom dan meningkatkan adaptive respone pada anxiety, yang terbagi menjadi
2 fase yaitu: fase edukasi dan fase coping skill, fase edukasi, memberikan

24

pemahaman yang rasional untuk menjaga kepercayaan diri, sedangkan pada fase
coping skill, diajarkan cara melakukan relaksasi diri, untuk menghambat negative
rumination dan mempertahankan rasa percaya diri, penatalaksaan ini efektif
mengurangi reexperiencing, intrusive, dan avoidance symptom pada korban
pemerkosaan.11
5. Eye Movement Desensitization Reprocessing (EMDR)
Pada terapi ini dilakukan exposure pada kejadian traumatik dengan mata
terbuka, selama verbalisasi kognisi dan emosi yang berkaitan dengan trauma,
diikuti dengan visual saccadic eye movements agar menghasilkan fearantagonistic state sehingga menghasilkan relaksasi dan systemic desensitization.11

Komorbiditas
Pada beberapa studi pasien dengan PTSD juga mengalami disproprtionate
degree of medical illness, yaitu neurologis, musculoskeletal, kardiovaskuler, dan
masalah pernapasan. Juga terjadi gangguan tidur yaitu gangguan untuk memulai
dan mempertahankan tidur.11

2.7

Prognosis
Kira-kira 30% pasien pulih dengan sempurna, 40 % terus menderita gejala

ringan, 20% terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau
memburuk. Umumnya orang yang sanagt muda atau sangat tua lebih mengalami
kesulitan. Prognosis yang baik dapat dicapai bila kondisi gangguan stres pasca
traumatik muncul dalam waktu singkat, durasinya singkat, fungsi premorbid yang
baik, dukungan sosial yang baikdan tidak ada kondisi penyalahgunaan zat. Tingkat
25

pemulihan tertinggi pada 12 bulan setelah gejala, 33-50% menjadi chrnoic


psychiatric disorder. 2,3,11

BAB III
KESIMPULAN
Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kecemasan yang timbul
setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwaperistiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius.
Perempuan lebih beresiko mengalami gangguan stres pasca trauma,
meskipun pemaparan kejadian traumatik lebih sering pada laki-laki, terdapat
penurunan fungsi untuk menyelesaikan tugas pada pasien dengan gangguan ini,
yang berpengaruh pada activity daily living, yaitu terputusnya social group,
karena

pasien

merasa

hubungan

sosial

diantaranya

merenggang,

yang

menghambat proses pemulihan.

26

Peristiwa ini menyebabkan reaksi ketakutan, tak berdaya. Stresor adalah


penyebab utama terjadinya gangguan stres psca trauma. Stresor berupa kejadian
yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada
anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara. Penatalaksanaan
gangguan stres pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi berupa terapi
individu maupun terapi kelompok dan farmakoterapi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hibbert A, Godwin A, dan Dear F. Rujukan cepat psikiatri. Jakarta:
Cendika. EGC; 2009
2. Kaplan HI, Sadock BJ dan Grebb J. Sinopsis Psikiatri, Jilid 2. Tangerang:
Binarupa Aksara; 2007 h: 68-75.
3. Mansjoer T, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius; 2008
4. David A. Buku saku psikiatri PPDGJ III. edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2004
5. Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Gangguan Stres Pasca Trauma Dalam:
Elvira, Sylvia D, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia;2010 h: 254-264
6. Kay J dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders.
Dalam: Kay J dan Tasman A Essentials of Psychiatry. Tottenham: John
Wiley & Sons; 2006 h: 627-638.
7. Van der Kolk B. Psychobiology of Post Traumatic Stress Disorder. Dalam:
Panksepp J ed. Textbook of Biological Psychiatry, Wiley-Liss, Inc. New
Jersey; 2004 h: 319-344.

27

8. Fairbank JA, Ebert L, dan Caddell JM. Post Traumatic Stress Disorder.
Dalam: Sutker PB dan Adams HE. Comprehensive Handbook of
Psychopathology 3ed. New York: Kluwer Academic Publishers; 2002 h:
183-209.
9. First MB dan Tasman A. Anxiety Disorders: Traumatic Stress Disorders.
Dalam: First MB dan Tasman A. Clinical Guide to the Diagnosis and
Treatment of Mental Disorders. Tottenham: John Wiley & Sons; 2006 h:
326-334.
10. Benedek DM. Acute Stress Disorder and Post Traumatic Stress Disorder
in the Disaster Environment. Dalam: Ursano RJ, Fullerton CS, Wiesaeth L,
dan Raphael B. Textbook of Disaster Psychiatry. New York: Cambdrige
University Press; 2007 h: 140-163.
11. Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Post Traumatic Stress Disorder
Dalam: Ebert MH, Loosen PT, dan Nurcombe B. Current Diagnosis &
Treatment in Psychiatry. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 h:
Ch.23.

28

Anda mungkin juga menyukai