Anda di halaman 1dari 100

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemberian obat melalui mulut merupakan cara pemberian yang paling utama
untuk memperoleh efek sistemik. Besar kemungkinan lebih dari 90% obat untuk efek
sistemik diberikan melalui mulut (Lachman, et al., 1994). Akan tetapi, masalah
utama dalam pemberian obat melalui mulut adalah rasa pahit yang tidak dapat
diterima oleh pasien terutama anak-anak dan usia lanjut. Masalah ini dapat diatasi
dengan menutup kepahitan obat baik dengan menurunkan kelarutan obat dimulut
pada saat menelan atau menurunkan interaksi partikel obat terhadap indra
pengecap/lidah (Madaan, et al., 2012).
Kompleksasi adalah salah satu cara yang menguntungkan untuk
meningkatkan sifat fisiko-kimia senyawa obat. Pembedaan kompleks biasanya
didasarkan pada jenis interaksi dan senyawa yang terlibat sebagai kompleks logam,
kompleks inklusi dan kompleks pertukaran ion. Ketika kompleks inklusi terbentuk,
parameter fisiko-kimia menghasilkan peningkatan kelarutan, stabilitas, rasa,
keamanan dan bioavailabilitas (Loftsson & Brewster, 1996).
Siklodekstrin merupakan oligosakarida berbentuk ember yang dihasilkan dari
pati

dengan

permukaan

luar

hidrofilik

dan

permukaan

dalam

lipofilik.

Siklodekstrin memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks inklusi dengan


berbagai substrat. Siklodekstrin akan bertindak sebagai wadah molekul dengan
penjebakan molekul tamu dalam rongga dalamnya. Pembuatan kompleks inklusi
dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain: metode dispersi padat (solid

dispersion), metode penggilingan bersama (co-grinding method), dan metode


adonan (kneading method) (Loftsson & Brewster, 1996). Kompleks inklusi
siklodekstrin telah banyak dimanfaatkan dalam bidang farmasi untuk berbagai
aplikasi, salah satunya menutup rasa pahit obat (Wade & Weller, 1994).
Penggunaan siklodekstrin sebagai polimer penutup rasa dilaporkan secara
luas. Namun, penerapan siklodekstrin (terutama -siklodekstrin) untuk menutup rasa
umumnya terbatas pada obat yang membentuk kompleks dengan daya ikat yang
kuat/stabilitas konstan. Sedangkan, obat yang membentuk kompleks dengan daya
ikat lemah/stabilitas konstan yang rendah akan menyebabkan pelepasan cepat dari
obat bebas dalam rongga mulut, sehingga tidak efisien menutup rasa (Wade &
Weller, 1994).
Ibuprofen adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAIDs) yang berkhasiat
sebagai analgesik, antipiretik serta antiradang. Ibuprofen digunakan pada kasus nyeri
yang disertai pembengkakan atau radang yang menimbulkan demam. Ibuprofen
merupakan obat NSAIDs golongan propionat termasuk ketoprofen, flurbiprofen,
naproksen dan tiaprofenat. Ibuprofen memiliki rasa yang pahit sehingga tingkat
kepatuhan pasien rendah dan efek terapi sulit tercapai maka perlu formulasi yang
tepat untuk menutupinya (Tjay & Rahardja, 2007).
Berdasarkan hal di atas, maka dalam penelitian ini akan dicoba
memformulasikan ibuprofen yang rasanya pahit dalam bentuk kompleks inklusi
ibuprofen--siklodekstrin, sehingga diharapkan rasa pahit dalam sediaan ibuprofen
akan tertutupi.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah -siklodekstrin dapat menutupi rasa pahit ibuprofen melalui sistem
kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh -siklodekstrin
terhadap penutupan rasa pahit ibuprofen melalui sistem kompleks ibuprofen-siklodekstrin.

1.4 Hipotesis Penelitian


Penambahan -siklodekstrin diduga dapat menutupi rasa pahit ibuprofen
melalui sistem kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk menghasilkan sediaan ibuprofen yang
tertutupi rasa pahitnya melalui sistem kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Monografi Zat

2.1.1

Ibuprofen
Ibuprofen memiliki nama kimia yaitu asam 2-(-4-isobutilfenil) propionat

yang berbentuk serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah.
Memiliki berat molekul 206,28 dengan rumus molekul (C13H18O2) sebagai berikut :
COOH
CH
H3C
CH

CH3

CH2

H3C
Gambar 1. Rumus bangun Ibuprofen (Depertemen Kesehatan RI, 1995)
Pemerian
Kelarutan

: Serbuk hablur, putih hingga hampir putih, berbau khas lemah.


: Ibuprofen praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam
etanol, dalam metanol, dalam aseton, dalam eter, dan dalam
kloroform, sangat mudah larut dalam larutan basa alkali

Identifikasi

hidroksida dan sukar larut dalam etil asetat.


: A. Spektrum serapan IR zat yang didispersikan dalam minyak
mineral P menunjukkan maksimum hanya pada panjang
gelombang yang sama seperti pada ibuprofen BPFI.
B. Spektrum serapan UV larutan (1 dalam 4000) dalam NaOH
0,1 N menunjukkan maksimum dan minimum pada panjang
gelombang yang sama seperti pada ibuprofen BPFI, daya

serap masing-masing dihitung terhadap zat anhidrat pada


panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 264 nm
dan 273 nm berbeda tidak lebih dari 3,0 %.
C. Waktu retensi relatif puncak utama terhadap baku internal
dari
Jarak lebur
Penyimpana

larutan uji sesuai dengan larutan baku yang

diperoleh pada
penetapan kadar.
0
: Jarak lebur 75 C sampai 780C
: Dalam wadah tertutup rapat.

n
2.1.2

Tinjauan Farmakologi
Ibuprofen merupakan obat golongan antiinflamasi non steroid yang memberi

efek analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Obat ini bersifat analgesik dengan daya
antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Indikasi ibuprofen antara lain reumatik
arthtritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan sendi, dan pembengkakan. Ibuprofen
digunakan untuk mengobati arthritis rematik bekerja dengan cara memasuki ruang
sinovial secara lambat dan terakumulasi dalam konsentrasi tinggi. Untuk mengatasi
rasa nyeri seperti Dysmenorrhea dan antipiretik diberikan dalam dosis 400 mg
setiap 4-6 jam. Pengobatan arthritis rematik dan arthritis tulang dapat mencapai
2.400 mg walaupun dosis lazim sehari hanya 1.200-1.600 mg (Katzung, 1997).
Efek samping terhadap saluran cerna lebih ringan. Namun demikian, 5%
sampai 15% dari pasien mengalami efek samping gastrointestinal. Ibuprofen
dianggap lebih baik ditoleransi daripada aspirin dan indometasin dan telah digunakan
pada pasien dengan riwayat intoleransi gastrointestinal untuk NSAID lainnya.
Dampak merugikan lainnya dari ibuprofen jarang dilaporkan, yaitu trombositopenia,

ruam, sakit kepala, pusing, penglihatan kabur, dan dalam beberapa kasus amblyopia
beracun, retensi cairan, dan edema. Pasien dengan gangguan mata harus
menghentikan penggunaan ibuprofen. Ibuprofen tidak dianjurkan diberikan pada ibu
hamil dan menyusui, tetapi dapat digunakan sesekali oleh wanita hamil, namun
kekhawatiran mengenai efek pada trimester ketiga, termasuk penundaan kelahiran.
Ekskresi ibuprofen dalam Air Susu Ibu (ASI) dianggap minim, sehingga ibuprofen
juga dapat digunakan dengan hati-hati oleh wanita yang sedang menyusui (Katzung,
1997).
2.1.3

Tinjauan Farmakokinetik
Ibuprofen diserap dengan cepat dan mudah pada dinding saluran pencernaan.

Ibuprofen mengalami metabolisme dihati (90% dimetabolisme untuk hydroxylate


atau turunan karboksilat) dan ekskresi metabolit diginjal. Kadar puncak dalam darah
dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral, dengan waktu paruh eliminasi
selama dua jam. Ekskresi ibuprofen terjadi dengan cepat dan sempurna. Lebih dari
90% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui urin sebagai metabolit asam
konjugatnya. Equilibrium lambat pada ruang sinovial berarti bahwa efek antiartritik
yang dapat bertahan setelah kadar plasma menurun. Pada hewan percobaan,
ibuprofen dan metabolitnya mudah melewati plasenta (Katzung, 1997).
2.1.4

Tinjauan Interaksi Obat


Penggunaan ibuprofen dapat menurunkan efek dari antihipertensi, beta

bloker, diuretik, dan hidralazin, serta dapat meningkatkan konsentrasi digoksin


dalam serum, metrotreksat, juga meningkatkan level lithium karena penurunan kliren

lithium pada ginjal. Hal ini menyebabkan pendarahan pada gastrointestinal dan
meningkatkan resiko pendarahan setelah pemberian antikoagulan (Katzung, 1997).
2.1.5

Tinjauan Dosis dan Sediaan


Dosis ibuprofen pada berbagai kasus sebagai berikut (Katzung, 1997) :

Arthritis rematoid dan

: Dewasa : 300-800 mg dan tidak boleh lebih dari

osteoarthritis
Nyeri sedang sampai berat

3,2 g/hari.
: Dewasa : 400 mg hingga 6 hari jika perlu.

Dismenorrhea primer
Arthritis pada anak-anak
Menurunkan demam

: Dewasa : 400 mg hingga 4 hari jika perlu.


: Anak-anak : 30-40 mg/kgbb/hari.
: Anak 1-12 tahun 39,20C : 5 mg/kgbb/hari dan
jika 39,20C : 5 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 40
mg/kgbb/hari .

2.2

-Siklodekstrin
Siklodekstrin merupakan senyawa oligosakarida siklis yang terdiri atas

beberapa unit D-(+)-glukopiranosa dengan ikatan -1,4 glikosida. Siklodekstrin


dihasilkan dari bacillus macerans pada medium yang mengandung pati/amilum yang
dikonversi oleh enzim siklodekstrin glikosiltransferase (CGT-ase) pada pH netral
(6.0-7.0). Enzim CGT-ase yang digunakan dapat diperoleh dari alam atau terbentuk
secara genetik oleh mikroorganisme (Bekers, et al., 1991).
Derivat siklodekstrin yang umum antara lain , dan -siklodekstrin yang
masing-masing terdiri atas enam, tujuh dan delapan unit glukopiranosa. Derivatderivat siklodekstrin ini memiliki perbedaan diameter rongga yang menyebabkan
kemampuan pembentukan kompleks yang berbeda pula terhadap molekul tamu.

Gambar 2. Struktur , , siklodekstrin (Loftsson & Brewster, 1996)


Derivat siklodekstrin yang paling umum digunakan adalah -siklodekstrin.
Walaupun kelarutannya didalam air cenderung lebih rendah dibanding derivat
lainnya (1,85 g/100 ml pada suhu 250C), -siklodekstrin relatif lebih murah, tersedia
secara komersial dan mampu membentuk kompleks inklusi dengan sejumlah molekul
tamunya. -siklodekstrin jarang digunakan karena diameter rongga bagian dalamnya
lebih kecil dibanding -siklodekstrin sehingga dibutuhkan jumlah lebih besar untuk
membentuk kompleks dengan molekul tamu dan pemakaiannya juga terbatas hanya
untuk molekul tamu tertentu. -siklodekstrin juga jarang digunakan karena kendala
dalam proses isolasinya yang sangat mahal sehingga dibutuhkan biaya yang sangat

besar dalam produksi skala industri. Oleh karena itu, umumnya penggunaan
-siklodekstrin ini terbatas pada skala laboratorium sekalipun diameter rongga dan
kelarutannya dalam air lebih besar dibandingkan -siklodekstrin. Saat ini telah
dikembangkan turunan -siklodekstrin seperti hidroksipropil dan dimetil-siklodekstrin yang kelarutannya lebih tinggi dibandingkan -siklodekstrin (Loftsson
& Brewster, 1996).
-siklodekstrin merupakan suatu senyawa oligosakarida siklik yang
mengandung 7 unit D-(+)-glukopiranosa yang terikat dengan ikatan -1,4.
-siklodekstrin mempunyai kemampuan membentuk kompleks inklusi dengan
berbagai macam molekul. Bentuk molekul -siklodekstrin tidak silindris melainkan
berbentuk toroidal dengan bagian dalam senyawa bersifat hidrofob sedangkan bagian
luar bersifat hidrofil (Loftsson & Brewster, 1996; Chowdary & Buchi, 2000; Challa,
et al., 2005).

a.

b.

Gambar 3. a. Struktur -siklodekstrin b. Bentuk toroidal


(Loftsson & Brewster, 1996)
-siklodekstrin memiliki nama lain yaitu -cycloamylos; betdex; -dextrin;
cycloheptaamylose; cyclomaltoheptose dan kleptose. Pemeriannya serbuk putih,

tidak berbau, memiliki rasa manis. -siklodekstrin memiliki berat molekul 1.135.
Kelarutan -siklodekstrin adalah 1 bagian larut dalam 200 bagian propilen glikol,
1 bagian dalam 50 bagian air pada suhu 20o C, praktis tidak larut dalam aseton,
etanol (95%) dan metilen klorida. -siklodekstrin dapat digunakan untuk membentuk
kompleks inklusi dengan berbagai molekul obat terutama dalam memperbaiki
peningkatan kelarutan, stabilitas, rasa, keamanan dan bioavailabilitas serta
meningkatkan stabilitas kimia dan fisika (Wade & Weller, 1994).
-siklodekstrin ini cenderung stabil dalam bentuk padat jika terlindung dari
kelembaban yang tinggi. Jumlah air yang diserap tergantung dari kandungan
kelembaban, suhu dan kelembaban relatif dari udara sekitar. Untuk itu
-siklodekstrin sebaiknya disimpan di dalam kemasan yang tertutup rapat pada
tempat yang sejuk dan kering (Rowe, et al., 2009).
Penggunaan siklodekstrin sebagai polimer yang dapat menutup rasa
dilaporkan secara luas. Namun, penerapan siklodekstrin (terutama -siklodekstrin)
untuk menutup rasa umumnya terbatas pada obat yang mampu membentuk kompleks
dengan daya ikat yang kuat/stabilitas konstan yang tinggi karena stabilitas konstan
yang rendah akan menyebabkan pelepasan cepat dari obat bebas dalam rongga
mulut, sehingga tidak efisien menutup rasa. Laporan mengklaim bahwa pelepasan
obat dari kompleks inklusi tergantung pada dua faktor (Ashok & Pradeep, 2008):
1. Konstanta stabilitas kompleks (yang mengatur asosiasi/disosiasi kompleks)
2. Pengenceran di lokasi pelepasan obat.
Dengan demikian, kompleks dengan stabilitas konstan tinggi biasanya akan
memerlukan pengenceran yang lebih besar untuk mempengaruhi pelepasan obat

10

sedangkan, kompleks dengan stabilitas konstan rendah akan melepaskan obat bahkan
pada pengenceran rendah (Ashok & Pradeep, 2008).
2.3

Kompleks inklusi
Kompleks inklusi merupakan bentuk unik dari kompleks kimia yang

digambarkan sebagai suatu molekul yang terkurung dalam struktur molekul yang
lain. Molekul tamu (guest) atau molekul yang terkurung ini harus memiliki ukuran
dan bentuk yang sesuai untuk dapat memasuki rongga dalam struktur padat yang
dibentuk oleh molekul tuan rumah (host). Ruang berongga yang dibentuk molekul
tuan rumah dapat berupa saluran, sangkar atau lapisan. Berdasarkan susunan
senyawa inklusi dengan struktur dan sifat-sifatnya, senyawa inklusi dibagi menjadi
beberapa macam yaitu senyawa inklusi polimolekuler (dengan ruang seperti saluran
atau

sangkar),

senyawa

inklusi

monomolekuler

dan

senyawa

inklusi

makromolekuler. Kompleks inklusi dengan menggunakan senyawa siklodekstrin


termasuk ke dalam kategori senyawa inklusi monomolekuler (Frank, 1975).
Proses pembentukan kompleks inklusi terutama dipengaruhi oleh sifat
hidrofob senyawa obat (guest) yang berinteraksi dengan bagian dalam rongga
siklodekstrin. Selain itu interaksi juga dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran senyawa
obat. Sifat fisiko-kimia senyawa obat dapat berubah karena terbentuk kompleks
inklusi. Kompleks yang terbentuk dapat meningkatkan kelarutan, laju disolusi, rasa,
keamanan, bioavailabilitas dan stabilitas fisiko-kimia obat (Bekers, et al., 1991).

11

K 1:1

-Siklodekstrin bebas

Obat bebas

Kompleks Inklusi
Obat--Siklodekstrin

Gambar 4. Ilustrasi kompleks inklusi obat -siklodekstrin


(Stella & Rajewski, 1997)

Gambar 5. Pemodelan molekul dari ibuprofen pada rongga 2-hidroksi


propil--siklodekstrin dalam fase gas dilihat dari ujung sempit
(a), sisi yang lebih luas (b) dan dari samping (c) dari molekul
siklodekstrin (Loftsson, et al., 2002)

Tabel I. Pembagian dan sifat fisik siklodekstrin.

Tipe

Jumlah Unit

Siklodekstrin

Glukosa

Diameter

Tinggi

Volume

Rongga

Rongga

Rongga

(A)

(A)

(A)

4.7-5.3

7.9

174

12

6.0-6.5

7.9

262

7.5-8.3

7.9

427

Keterangan : 1 A = 0,1 nm
Struktur tiga dimensi yang paling stabil dari siklodekstrin adalah toroidal
yang lebih besar dan bukaan yang lebih kecil menyajikan gugus hidroksil pada
bagian luar dan gugus yang hidrofobik melapisi rongga dalam (Gambar 5). Ini
adalah konfigurasi unik yang memberikan siklodekstrin sifat menarik dan
menciptakan kekuatan pendorong termodinamika diperlukan untuk membentuk
kompleks host-tamu dengan molekul polar (Abhishek, et al., 2013).

Gambar. 6 Struktur tiga dimensi siklodekstrin (Loftsson & Brewster, 1996).


2.3.1

Syarat pembentukan kompleks inklusi

a. Kompatibilitas geometri
Syarat minimum yang harus dimiliki oleh molekul tamu agar dapat
membentuk kompleks inklusi dengan siklodekstrin adalah kesesuaian geometri
molekul tamu secara keseluruhan atau sebagian dengan siklodekstrin. Jika molekul

13

tamu terlalu kecil, maka kompleks tidak akan stabil karena molekul tamu tersebut
akan mudah keluar dari rongga siklodekstrin. Begitu pula jika molekul tamu terlalu
besar, kompleks inklusi juga tidak akan terbentuk, kecuali jika gugus-gugus atau
rantai-rantai samping tertentu dari molekul besar tersebut dapat masuk kerongga
siklodekstrin dan membentuk kompleks. Pada umumnya perbandingan komposisi
siklodekstrin dengan molekul tamu yang digunakan dalam pembentukan kompleks
adalah 1:1. Akan tetapi, jika molekul tamu terlalu panjang untuk mendapatkan
akomodasi yang sempurna didalam rongga dan jika ujung lainnya juga bertanggung
jawab dalam pembentukan kompleks, maka digunakan perbandingan yang lebih
besar antara siklodekstrin dan zat aktif (Bekers, et al., 1991).
b. Polaritas dan muatan
Polaritas dan muatan molekul tamu juga dapat mempengaruhi pembentukan
kompleks inklusi dengan siklodekstrin. Pada umumnya, molekul hidrofobik memiliki
afinitas yang lebih besar terhadap rongga siklodekstrin didalam larutan berair
dibandingkan molekul hidrofilik. Oleh karena itu, molekul tamu yang cenderung
hidrofobik akan lebih mudah membentuk kompleks inklusi dengan siklodekstrin
(Bekers, et al., 1991).
2.3.2

Mekanisme pembentukan kompleks inklusi


Mekanisme pembentukan kompleks inklusi antara molekul tamu dengan

siklodekstrin di dalam larutan berawal dari molekul tamu dan molekul siklodekstrin
yang saling mendekati, kemudian terjadi pemecahan struktur air dari cincin tersebut.
Setelah itu, terjadi pemecahan struktur air disekeliling molekul tamu yang akan
diinklusi kedalam siklodekstrin dan perpindahan beberapa molekul ke dalam larutan.

14

Substituen/gugus fungsi molekul tamu berinteraksi dengan gugus pada sisi atau
bagian siklodekstrin dan terjadi pembentukan ikatan hidrogen antara molekul tamu
dengan siklodekstrin. Setelah itu, struktur air disekeliling bagian yang terbuka dari
molekul tamu setelah proses inklusi terbentuk kembali (Bekers, et al., 1991).
2.3.3

Manfaat kompleks inklusi dalam bidang farmasi


Sifat fisiko-kimia molekul tamu dapat diubah jika membentuk kompleks

inklusi dengan siklodekstrin dengan cara memasuki rongga siklodekstrin yang


bersifat hidrofobik. Perubahan ini dapat menentukan formulasi untuk obat-obat yang
potensial. Suatu obat akan memiliki ketersediaan hayati yang lebih baik, efek
samping yang lebih sedikit dan bersifat lebih stabil (Bekers, et al., 1991).
Peningkatan Bioavailabilitas
- Meningkatkan laju disolusi dan
kelarutan.
- Mengurangi rekristalisasi zat aktif

Mengurangi iritasi pada :


-gastrointestinal
-dermal
-okular

Peningkatan kepatuhan pasien


- Mengurangi bau yang tidak
menyenangkan
- Menutup rasa tidak enak

KOMPLEKS
INKLUSI

Stabilisasi zat aktif dari


:
- Cahaya, radiasi UV
- Suhu
- Oksidasi
- Hidrolisis
Pencegahan interaksi bahan
- Obat-obat,
- Obat-aditif

Penanganan Sederhana
- Mengurangi volatibility.
- Mengkonversi minyak/cairan
menjadi bubuk.

Gambar. 7 Aplikasi dalam bidang farmasi kompleks inklusi -siklodekstrin


(Loftsson & Brewster, 1996).

15

Pemanfaatan kompleks inklusi siklodekstrin dalam bidang farmasi antara lain


sebagai berikut :
a. Peningkatan kelarutan dan kecepatan disolusi
Kompleks inklusi obat yang awalnya sukar larut dalam air akan menghasilkan
suatu kompleks yang sifatnya hidrofil karena kompleks akan lebih mudah
terbasahi dan melarut lebih cepat. Peningkatan kecepatan disolusi kompleks
inklusi ini dapat disebabkan oleh adanya penurunan kristalinitas kompleks dari
bentuk kristal menjadi bentuk amorf. Oleh karena adanya perbaikan dalam hal
keterbasahan, peningkatan kelarutan, dispersi molekul dan luas permukaan yang
lebih besar, hal ini yang menjadi dasar peningkatan kecepatan disolusi molekul
obat yang diinklusi siklodekstrin (Bekers, et al., 1991).
b. Peningkatan bioavailabilitas
Pembentukan kompleks inklusi obat dengan siklodekstrin dapat meningkatkan
bioavaibilitas obat karena obat menjadi lebih mudah larut. Bioavailabilitas obat
pada pemberian oral tergantung pada beberapa faktor seperti kecepatan disolusi,
kelarutan dan kecepatan absorpsi gastrointestinal. Obat yang diberikan secara oral
harus dapat melarut dalam medium berair pada saluran pencernaan sebelum
diabsorpsi, maka tahap pertama peningkatan bioavailabilitas obat tersebut adalah
meningkatkan kelarutan dan disolusinya. Jika obat sukar larut dalam air, maka
kelarutan merupakan tahap penentu kecepatan absorpsi dan kelarutan ini dapat
ditingkatkan oleh pembentukan kompleks inklusi obat dengan siklodekstrin
(Bekers, et al., 1991). Absorpsi pada rute rektal dan dermal dapat diperbaiki
dengan mengurangi hidrofobisitas obat agar pelepasan obat tersebut dari

16

pembawanya atau bentuk sediaannya lebih mudah karena disolusi yang cepat.
Pada rute dermal, pembentukan kompleks inklusi dapat meningkatkan permeasi
obat dan penetrasi perkutan dengan mengurangi fungsi barrier kulit. Kompleks
inklusi -siklodekstrin banyak diaplikasikan pada beberapa rute pemberian,
aplikasi untuk rute parenteral cukup terbatas. Hal ini disebabkan kelarutan
-siklodekstrin yang tidak mencukupi untuk sediaan injeksi dan kemungkinan
toksisitasnya jika diberikan secara parenteral. Hidroksipropil--siklodekstrin lebih
aman dan dapat berfungsi sebagai solubilisasi. Selain itu, dimetil--siklodekstrin
merupakan pembawa obat rute parenteral yang aman karena kurang nefrotoksik
dibanding -siklodekstrin (Bekers, et al., 1991).

c.

Peningkatan stabilitas fisika dan kimia


Kandungan obat dari berbagai formulasi dapat menurun akibat adanya proses
deagregasi seperti hidrolisis, penguapan, sublimasi dan reaksi dengan komponen
lain. Untuk meminimalisasi dan mencegah reaksi tersebut, obat dapat
dimodifikasi dengan pembentukan kompleks inklusi siklodekstrin. Molekul obat
yang membentuk kompleks inklusi menunjukkan efek perlambatan terjadinya
reaksi-reaksi tersebut. Kecepatan hidrofilik sangat tergantung pada jumlah bebas
dalam larutan yang dihasilkan dari disosiasi kompleks (Bekers, et al., 1991).

d. Penurunan efek samping


Molekul obat yang terinklusi didalam rongga siklodekstrin yang hidrofil pada
bagian luarnya dapat mengurangi kontak langsung dan penetrasi obat dalam

17

membran biologi. Kompleks inklusi juga mempermudah eliminasi obat sehingga


menurunkan toksisitas obat (Bekers, et al., 1991).
e. Penutupan rasa

Jumlah unit glukosa siklodekstrin menentukan diameter internal rongga dan


volumenya. Berdasarkan dimensi ini, kompleks -siklodekstrin adalah molekul
dengan berat molekul rendah atau senyawa dengan rantai samping alifatik,
-siklodekstrin kompleks aromatik dan -siklodekstrin dapat menampung molekul
yang lebih besar seperti steroid. Siklodekstrin memiliki kemampuan unik untuk
bertindak sebagai wadah molekul dengan penjebakan molekul tamu dalam rongga
dalamnya. Kemampuan dari siklodekstrin untuk membentuk kompleks inklusi
dengan molekul tamu adalah fungsi dari dua faktor :
i . Tergantung pada ukuran relatif siklodekstrin terhadap ukuran molekul tamu.
ii . Interaksi termodinamika antara komponen yang berbeda dari sistem.
Untuk membentuk kompleks harus ada energi yang menarik tamu ke dalam
rongga siklodekstrin. Dengan terbentuknya kompleks inklusi antara obat-siklodekstrin maka rasa pahit obat tertutupi dengan baik (Abhishek, et al., 2013).
2.3.4 Pendekatan untuk pembuatan kompleks inklusi
Ada beberapa teknik/metode yang dapat dilakukan untuk membuat sediaan
kompleks inklusi obat-siklodekstrin sehingga dihasilkan formula dengan tujuan yang
dikehendaki, yaitu (Loftsson & Brewster, 1996):
1.

Metode campuran fisik

2.

Metode kneading

18

3.

Metode ko-presipitasi

4.

Metode penguapan pelarut

5.

Metode presipitasi netral

6.

Metode co-grinding/penggilingan

7.

Metode spray drying/atomisasi

8.

Metode freeze drying/liopilisasi

9.

Metode irradiasi microwave

10. Metode superkritik antisolvent


2.3.5

Metode kneading
Metode ini didasarkan pada peresapan/impregnasi campuran -siklodekstrin

bersama zat aktif dengan sejumlah kecil air atau hidroalkohol untuk diubah menjadi
pasta. Campuran ini diaduk diatas mortar hingga menjadi masa setengah kering ( 40
menit), kemudian masa dikeringkan dan melewati ayakan mesh 70. Masa kompleks
inklusi yang sudah jadi disimpan dalam desikator. Dalam skala laboratorium adonan
dapat dicapai dengan menggunakan mortir dan stamfer. Dalam skala besar
mengaduk dapat dilakukan dengan memanfaatkan extruders dan mesin lainnya.
Metode ini adalah yang paling umum dan sederhana yang digunakan untuk
mempersiapkan kompleks inklusi dengan biaya produksi yang sangat rendah
(Birhade, et al., 2010).
2.4

Spektrofotometri Ultraviolet dan Visibel (UV-Vis)


Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

19

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektrum ini sangat
berguna untuk pengukuran secara kuantitatif, konsentrasi dari analit di dalam larutan
bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).
Kebanyakan molekul obat menyerap radiasi dalam daerah ultraviolet
spektrum tersebut, meskipun sebagian diwarnai sehingga menyerap radiasi dalam
daerah visibel, misalnya suatu zat berwarna biru menyerap radiasi pada daerah merah
spektrum tersebut. Serapan radiasi UV-Vis terjadi melalui eksitasi elektron-elektron
di dalam struktur molekular menjadi keadaan energi yang lebih tinggi. Transisi dari
suatu energi keadaan dasar ke salah satu dari sejumlah keadaan tereksitasi
memberikan lebar pada spektrum UV (Watson, 2009).
Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan
sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Spektrofotometer UV-Vis
pada umumnya digunakan untuk (Dachriyanus, 2004) :
1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjungasi dari suatu
senyawa organik.
2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum
suatu senyawa.
3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan
hukum lambert-Beer.
2.5

Spektrofotometri inframerah
Cahaya tampak terdiri dari beberapa range frekuensi elektromagnetik yang

berbeda dimana setiap frekuensi dilihat sebagai warna yang berbeda. Radiasi

20

inframerah mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak dapat dilihat oleh
mata. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya
inframerah tengah yaitu pada panjang gelombang 2,5-50 m atau bilangan
gelombang 4000-400 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan
menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorbsi inframerah sangat
khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia/gugus fungsi. Metode ini berguna
untuk mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik (Dachriyanus, 2004).
Uji terhadap sampel dilakukan dengan menggerus sampel menjadi serbuk
dengan serbuk KBr, lalu dipindahkan kecetakan die dan sampel tersebut kemudian
dikempa ke dalam suatu cakram pada kondisi hampa udara. Dan spektrum serapan
direkam pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1 (Watson, 2009).
2.6

Scanning Electron Microscope (SEM)


SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan jenis mikroskop elektron

yang menghasilkan gambar sampel dengan memindai dengan sinar terfokus elektron.
Elektron yang berinteraksi dengan elektron dalam sampel, menghasilkan berbagai
sinyal yang dapat dideteksi dan mengandung informasi tentang permukaan sampel
topografi dan komposisi.
Berkas elektron umumnya dipindahkan dalam pemindahan raster pola dan
posisi balok yang dikombinasikan dengan sinyal yang terdeteksi untuk menghasilkan
gambar. Dalam SEM, berkas elektron yang dipancarkan dilengkapi dengan tungstren
filament katoda berkas elektron, yang biasanya memiliki energi berkisar antara 0,2
keV sampai 40 keV, difokuskan oleh satu atau dua lensa kondensor ke tempat sekitar

21

0,4 nm sampai 5 nm diameter. Ketika berkas elektron primer berinteraksi dengan


sampel elektron kehilangan energi dengan hamburan acak (Gennaro, 1985).

Gambar 8. Mekanisme Kerja SEM (Reimer, 1998)


Jika seberkas elektron ditembakkan pada permukaan sampel, maka sebagian
dari elektron tersebut akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi akan diteruskan.
Apabila permukaan sampel tidak rata, banyak lekukan atau berlubang, maka tiap
bagian dari permukaan sampel tersebut akan memantulkan elektron dengan jumlah
dan arah yang berbeda, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dari permukaan
sampel tersebut dalam bentuk tiga dimensi. Sampel yang dianalisis harus mempunyai
permukaan

dengan

konduktivitas

yang

tinggi.

Sampel

yang

mempunyai

konduktivitas rendah harus dilapisi dengan bahan konduktor yang tipis. Bahan
konduktor yang biasa digunakan adalah emas atau campuran emas dan paladium
(Gennaro, 1985).
2.7 Difraksi sinar X

22

Sinar-X merupakan salah satu bentuk radiasi elektromagnetik yang


mempunyai energi antara 200 eV-1 MeV dengan panjang gelombang antara 0,5-2 A.
Panjang gelombang hampir sama dengan jarak antara atom dalam kristal. Apabila
suatu bahan dikenai sinar-X, maka intensitas sinar-X yang ditransmisikan lebih kecil
dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh bahan dan
juga penghamburan oleh atom-atom material tersebut. Berkas sinar yang dihantarkan
tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasenya berbeda dan ada juga yang
menguatkan karena fasenya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan disebut
sebagai berkas difraksi (Gennaro, 1985).
2.8

Differential Thermal Analysis (DTA)


Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan metoda

analisa termal

material yang berbasis pada pengukuran perbedaan suhu antara referensi inert
dengan sampel ketika suhu lingkungan berubah dengan laju pemanasan konstan.
Ketika struktur kristal atau ikatan kimia dari suatu material berubah, perubahan
tersebut akan berimbas kepada perubahan penyerapan atau pelepasan panas yang
mengakibatkan perubahan suhu material yang tidak linier atau tidak sebanding
dengan referensi inert. Dengan menganalisa data rekam perubahan tersebut, dapat
diketahui suhu dimana suatu struktur kristal atau ikatan kimia berubah, perhitungan
kinetik energi, enthalpi energi dan lain-lain (Wismogroho dan Widayanto, 2012).
2.9 Evaluasi Rasa
Evaluasi rasa dilakukan dengan uji sensorik terhadap sukarelawan sehat
dengan persetujuan mereka/informed consent (Madaan, et al., 2012).
1. Pemilihan sukarelawan

23

Sebuah panel dari 30 sukarelawan sehat yang dipilih secara acak dari kelompok
usia 20 sampai 30 tahun dan formulir persetujuan diisi dan ditandatangani oleh
sukarelawan.
2. Uji rangsangan
Sampel yang akan diuji/evaluasi rasanya.
3. Metode pengujian
Setiap sukarelawan menerima semua formulasi dari satu batch 1 jam setelah
sarapan pagi.
4. Skala pengukuran
Evaluasi rasa dimulai segera setelah pemberian sampel dan dibiarkan 15 detik
dalam rongga mulut. Skala digunakan dengan sistem peringkat (Skala Hedonik) :
1. (1) sangat pahit sekali,
2. (2) sangat pahit,
3. (3) pahit,
4. (4) agak pahit,
5. (5) tidak pahit.

24

III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2014 di
Laboratorium Teknologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang,
Laboratorium

Sentral

Farmasi

Universitas

Andalas

(UNAND)

Padang,

Laboratorium Instrumen Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Padang dan


Laboratorium Instrumen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Padang.
3.2 Metodologi Penelitian
3.2.1

Alat
Peralatan gelas standar laboratorium, Timbangan digital analitik (Ohaus

Carat series), Spektrofotometer UVVIS (Shimadzu UV Mini-1240), Difraktometer


sinar-X (Xpert PRO PAN analytical), Scanning Electron Microscopy atau SEM
(Phenom world), Fourier transformation infra red spectrophotometer (Thermo
Scientific), Desikator, Ayakan, dan alat-alat lain yang menunjang penelitian.
3.2.2

Bahan
Bahan baku Ibuprofen (PT. Indo Farma), -siklodekstrin (PT. Signa

Husada), Kalium dihidrogen fosfat (Brataco), Natrium Hidroksida (Brataco), Etanol


96% (Brataco) dan Aquadest (Brataco).
3.2.3

Prosedur Penelitian

3.2.3.1 Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen


Pemeriksaan bahan baku ibuprofen dilakukan menurut metode yang
tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi IV, meliputi : pemerian, kelarutan dan
identifikasi.

25

3.2.3.2 Pemeriksaan Bahan Baku -siklodekstrin


Pemeriksaan -siklodekstrin meliputi : pemerian, kelarutan dan identifikasi
(Wade & Weller, 1994).
3.2.3.3 Pembuatan Kompleks Inklusi Metode Kneading dan Campuran Fisik
Ibuprofen--siklodekstrin
Campuran fisika dan kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin dibuat
dengan berbagai perbandingan.
Tabel II. Perbandingan Formula Campuran Fisika dan Kompleks Inklusi dalam
Rasio Mol (Madaan, et al., 2012).
FORMULA

RASIO MOL

CAMPURAN FISIK

KOMPLEKS INKLUSI

CF 1

KI 1

1:0,5

CF 2

KI 2

1:1

CF 3

KI 3

1:2

1. Pembuatan serbuk campuran fisika


Masing-masing formula ditimbang sesuai dengan komposisi. Ibuprofen dan
-siklodekstrin dicampur dan dihomogenkan kemudian diayak dengan ayakan
mesh 70, disimpan di dalam desikator.
2. Pembuatan kompleks inklusi
Masing-masing formula ditimbang sesuai dengan komposisi. Kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin dibuat dengan metode kneading. Serbuk
-siklodekstrin dan ibuprofen dimasukkan ke dalam mortir, dihomogenkan dan
diresapi dengan sejumlah kecil air lalu diaduk dengan stamfer hingga menjadi
masa setengah kering ( 40 menit), kemudian masa dikeringkan dan melewati
ayakan mesh 70. Masa kompleks inklusi yang sudah jadi disimpan dalam

26

desikator. Dalam skala laboratorium adonan dibuat menggunakan mortir dan


stamfer (Birhade, et al., 2010).
3.2.3.4 Evaluasi Pembentukan Kompleks Inklusi ibuprofen--siklodekstrin
1. Analisa Spektrofotometer Inframerah
Uji dilakukan terhadap senyawa tunggal ibuprofen murni, -siklodekstrin,
campuran fisik dan kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin, sekitar 1-2 mg
serbuk sampel dicampur dengan 10 mg Kbr didalam lumpang kemudian digerus
hingga homogen lalu dipindahkan kecetakan die dan sampel tersebut kemudian
dikempa ke dalam suatu cakram pada kondisi hampa udara dengan tekanan 800 kPa.
Spektrum serapan direkam pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1. Analisis ini
akan memperlihatkan spektrum yang menggambarkan gugus fungsional dari
senyawa tunggal ibuprofen murni, -siklodekstrin, campuran fisik dan kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin (Watson, 2009).
2. Scanning Electron Microscope
Tujuan dari penggunaan Scanning Electron Microscope adalah untuk
memperoleh karakterisasi topografi farmasi melalui penggunaan mikroskop elektron.
Wadah alumunium yang digunakan untuk SEM pertama kali dilapisi dengan cat
logam, kemudian dibilas dengan etanol dan dilapisi dengan lapisan tipis perekat.
Sampel kemudian ditabur diatas wadah kemudian dilapisi dengan selapis tipis logam
mulia atau emas. Analisis dilakukan terhadap ibuprofen murni, -siklodekstrin,
campuran fisik dan kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin (Reimer, 1998).

27

3. Analisa Difraksi Sinar X


Analisis difraksi sinar-X serbuk sampel dilakukan pada suhu ruang dengan
menggunakan difraktometer sinar-X (Philips XPert Powder). Kondisi pengukuran
sebagai berikut : target logam Cu, filter K, voltase 40 kV, arus 30 mA, analisis
pengukuran pada rentang 2 theta 5-35. Sampel diletakkan pada sampel holder (kaca)
dan diratakan untuk mencegah orientasi partikel selama penyiapan sampel. Analisis
dilakukan terhadap ibuprofen murni, -siklodekstrin, campuran fisik dan kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin. (Chiou & Riegelman, 1971).
3.2.3.5 Penetapan Kadar Ibuprofen
1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ibuprofen (Depertemen
Kesehatan RI, 1995)
Jika dilihat dari strukturnya ibuprofen memiliki gugus kromofor yang
dapat menyerap radiasi pada daerah ultraviolet sehingga penetapan kadar
ibuprofen dalam sampel dapat ditetapkan secara Spektrofotometer UV-Vis.
Ibuprofen ditimbang sebanyak 25 mg dilarutkan dengan NaOH 0,1 N sampai 100
mL lalu dikocok hingga homogen. Larutan ibuprofen dengan konsentrasi
250 g/mL (1 dalam 4000) dalam NaOH 0,1 N diukur serapannya dengan
Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200-400 nm. Panjang
gelombang serapan

maksimum lebih kurang 264 nm dan 273 nm berbeda

tidak lebih dari 3,0 %. Kemudian dibuat kurva serapan terhadap panjang
gelombang maksimum.

28

2. Penentuan kurva kalibrasi ibuprofen (Ebeshi, 2009)


Penetapan kurva kalibrasi ibuprofen dalam NaOH 0,1 N dibuat dengan
mengukur serapan larutan tersebut dengan konsentrasi 150, 200, 250, 300 dan
350 g/mL pada panjang gelombang maksimumnya. Absorbansi yang diperoleh
dari pengukuran konsentrasi di atas di catat dan cari persamaan garis y = bx + a
serta nilai r.
3. Penetapan kadar ibuprofen dalam sampel (Ebeshi, 2009)
Sampel ditimbang setara 100 mg ibuprofen, dilarutkan dalam

NaOH

0,1 N sampai 100 mL. Larutan tersebut dipipet sebanyak 2,5 mL, lalu dicukupkan
dengan NaOH 0,1 N sampai 10 mL, kocok homogen. Absorban diukur pada
panjang gelombang maksimumnya.
3.2.3.6 Penetapan Persentase Ibuprofen dalam Kompleks Inklusi (Sukmadjaja,
et al., 2009).
1. Persentase total ibuprofen
Ibuprofen total adalah ibuprofen bebas dan ibuprofen yang terinklusi
-siklodekstrin dalam sistem biner. Persentase total ibuprofen ditetapkan dengan
cara menimbang kompleks inklusi padat setara 100 mg ibuprofen, kemudian
dilarutkan dalam air sampai 100 mL. Larutan tersebut dipipet sebanyak 2,5 mL,
lalu dicukupkan dengan air sampai 10 mL, kocok homogen. Serapan diukur
dengan spektrofotometri pada panjang gelombang () maksimum ibuprofen.
2. Persentase ibuprofen yang terinklusi -siklodekstrin
Kompleks inklusi setara 100 mg ibuprofen, dicuci dengan etanol 96%
diatas kertas saring untuk menghilangkan ibuprofen bebas dan dikeringkan,

29

kompleks yang sudah dikeringkan dilarutkan dalam 100 mL air. Larutan tersebut
dipipet sebanyak 2,5 mL, lalu dicukupkan dengan air sampai 10 mL, kemudian
kocok homogen. Serapan diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang
gelombang () maksimum ibuprofen. Persentase ibuprofen yang terinklusi
-siklodekstrin dalam kompleks dihitung terhadap ibuprofen total.
3.2.3.7 Disolusi (Departemen Kesehatan RI, 1995)
1. Pembuatan larutan dapar fosfat pH 7,2.
Kalium dihidrogen posfat ditimbang sebanyak 27,218 g dilarutkan dalam
aquadest bebas CO2 dalam labu ukur 1000 mL. NaOH 0,2N ditimbang sebanyak
8 g dilarutkan dalam aquadest bebas CO2 dalam labu ukur 1000 mL, dari larutan
kalium dihidrogen posfat 0,2 M 1000 mL diambil 250 mL dan dari larutan NaOH
0,2N 1000 mL diambil 173,5 mL kemudian dikocok homogen dalam labu ukur
1000 mL. Medium disolusi diukur dengan pHmeter sampai pH 7,2, kemudian
dicukupkan dengan aquadest bebas CO2 hingga 1000 mL.
2. Penentuan panjang gelombang maksimum ibuprofen dalam larutan dapar
fosfat pH 7,2 dengan spektrofotometer UV 200-400 nm.
Larutan induk ibuprofen dibuat dengan melarutkan 50 mg ibuprofen
dalam 100 ml larutan dapar fosfat pH 7,2 di dalam labu ukur 100 ml dan
didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 500 g/mL. Larutan induk dipipet
18 mL dimasukkan kedalam labu ukur 25 mL dilarutkan dengan larutan dapar
fosfat pH 7,2 cukupkan sampai tanda batas labu ukur sehingga diperoleh larutan
dengan konsentrasi 360 g/mL. Serapan maksimum ibuprofen dalam larutan

30

dapar diukur pada panjang gelombang 200-400 nm, diperoleh panjang gelombang
maksimum ibuprofen 262,5 nm.
3. Pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH 7,2.
Larutan induk ibuprofen dalam dapar posfat dibuat seri larutan dengan
berbagai konsentrasi 120, 200, 240, 280, 320 dan 360 g/mL. kemudian diukur
serapan pada panjang gelombang maksimum 262,5 nm.
4. Penentuan profil disolusi ibuprofen
Penentuan profil disolusi dari kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin
dengan menggunakan alat disolusi tipe I dengan medium larutan dapar fosfat pH
7,2 sebanyak 900 mL dan suhu diatur 37 oC 0,5 oC kemudian kompleks inklusi
setara dengan 200 mg dimasukkan ke dalam wadah keranjang yang diputar
dengan kecepatan 150 rpm. Larutan disolusi dipipet 5 mL pada menit ke 5, 10, 15,
30, 45 dan 60. Pada setiap pemipetan diganti dengan medium disolusi (volume
dan suhu yang sama saat pemipetan). Serapan larutan yang telah dipipet dari
medium disolusi diukur pada panjang gelombang maksimum 262,5 nm. Kadar
ibuprofen yang terdisolusi pada setiap waktu dapat dihitung dengan menggunakan
kurva kalibrasi.
3.2.3.8 Evaluasi Rasa
1. Usia dan gender responden (Madaan, et al., 2012).
Responden yang akan dipilih mempunyai rentang usia antara 20-30 tahun
dan berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

31

2. Metode pemilihan responden (Madaan, et al., 2012).


Responden dipilih dengan metode acak/random sampling sebanyak 30
orang sukarelawan, dimana semua sampel mempunyai kesempatan yang sama
untuk dipilih didalam sebuah populasi. Responden wajib mengisi lembar
persetujuan/inform consent.
3. Prosedur evaluasi rasa (Abhishek, et al., 2013)
Prosedur uji secara lisan dijelaskan kepada para responden sebelum
memulai evaluasi rasa. Adapun prosedur uji yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut :
a.

Pemilihan sukarelawan
Sebuah panel dengan 30 sukarelawan sehat dipilih secara acak (semua sampel
mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih) dari kelompok usia 20
sampai 30 tahun, laki-laki dan perempuan serta formulir persetujuan/informed
consent diisi dan ditandatangani oleh sukarelawan.

b.

Uji rangsangan yang digunakan adalah ibuprofen murni dan kompleks inklusi.

c.

Penandaan sampel menggunakan tanda yang ditentukan.

d.

Sampel sebanyak 50 mg disiapkan untuk dicicipi.

e.

Setiap sukarelawan menerima sampel 1 jam setelah sarapan pagi.

f.

Sampel dicicipi dengan indera pengecap/lidah dan dibiarkan 15 detik dalam


rongga mulut.

g.

Isi mulut kemudian diludahkan ke baskom pencuci.

h.

Rongga mulut dibilas dengan 200 mL air minum sampai rasa obat hilang.

i.

Rasa yang terasa pada indera pengecap/lidah dikonversikan pada skala hedonik.

32

j.

Jeda waktu antara pengujian sampel I dan sampel II adalah 5 menit.


Prosedur yang sama dilakukan terhadap sampel yang lain. Para responden

diminta untuk menilai/evaluasi rasa masing-masing sampel segera setelah pemberian


hingga sampai 15 detik dan diubah dalam skala angka 1 sampai 5 dengan sistem
peringkat/Hedonic Test (David, 1998).
4. Analisa Data
Data yang diperoleh dari evaluasi rasa pada masing-masing sampel dianalisa
dengan menggunakan uji Wilcoxon.

33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Pemeriksaan Bahan Baku
1. Hasil pemeriksaan bahan baku ibuprofen pada sertifikat analisis sesuai dengan
persyaratan yang tercantum dengan Farmakope Indonesia edisi IV. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada (Lampiran 1, Tabel III) beserta sertifikat
analisisnya pada (Lampiran 1, Gambar 10).
2. Hasil pemeriksaan bahan baku -siklodekstrin sesuai dengan Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th edition pada (lampiran 1, Tabel IV) beserta
sertifikat analisisnya pada (Lampiran 1, Gambar 13-15).
4.1.2

Karakterisasi Kompleks Inklusi Ibuprofen--Siklodekstrin

1. Hasil analisis spektroskopi infra merah ibuprofen, -siklodekstrin, kompleks


inklusi dan campuran fisika dapat dilihat pada (Lampiran 1, Gambar 16-20).
2. Hasil analisis Scanning Electron Microscope (SEM) ibuprofen, -siklodekstrin,
kompleks inklusi dan campuran fisika dapat dilihat pada (Lampiran 1, Gambar
21-28).
3. Hasil analisis difraksi sinar-X ibuprofen, -siklodekstrin, kompleks inklusi dan
campuran fisika dapat dilihat pada (Lampiran 1, Gambar 29-33).
4.1.3 Penetapan Kadar
1. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum ibuprofen dalam larutan NaOH
0,1N diperoleh panjang gelombang maksimum ibuprofen 262,0 nm dapat dilihat
pada (Lampiran 1, Gambar 34).

34

2. Pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen dalam larutan NaOH 0,1N diperoleh


persamaan garis y = 0,0019x-0,029 dengan nilai koefisien regresi 0,997. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada (Lampiran 1, Gambar 35 dan Tabel V).
3. Hasil penetapan kadar ibuprofen dapat dilihat pada (Lampiran 1, Tabel VII).
4. Hasil penetapan kadar persentase ibuprofen terkompleks dapat dilihat pada
(Lampiran 1, Tabel VII)
4.1.4 Disolusi
1. Hasil penentuan panjang gelombang maksimum ibuprofen dalam larutan dapar
fosfat pH 7,2 diperoleh panjang gelombang maksimum ibuprofen 262,5 nm. Hasil
pemeriksaan dapat dilihat pada (lampiran 1, gambar 36).
2. Pembuatan kurva kalibrasi ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH 7,2 diperoleh
persamaan garis y = 0,002x + 0,0395 dengan nilai koefisien regresi 0,998. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada (lampiran 1, gambar 37, tabel VIII).
3. Hasil disolusi ibuprofen, campuran fisika dan serbuk kompleks inklusi dalam
larutan dapar fosfat pH 7,2 dapat dilihat pada (lampiran 1, tabel IX, gambar 38).
4. Hasil penentuan model kinetika pelepasan obat berdasarkan model kinetika
orde 0, orde 1, Higuchi dan Korsemeyer-Peppas. Hasil selengkapnya dapat dilihat
pada (lampiran1, tabel XI-XIV, gambar 42-45).
5. Hasil efisiensi disolusi ibuprofen, kompleks inklusi dan campuran fisika dapat
dilihat pada (lampiran 1, tabel X).
4.1.5 Hasil Kuesioner Responden
1. Hasil kuesioner responden pada uji evaluasi rasa ibuprofen dapat dilihat pada
(Lampiran 1, Tabel XVI)
4.2

Pembahasan

35

Pada penelitian ini digunakan ibuprofen sebagai zat aktif, ibuprofen secara
luas digunakan untuk pengobatan antiinflamasi non steroid yang memberi efek
analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi. Obat ini bersifat analgesik dengan daya
antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Senyawa ini memiliki rasa yang pahit sehingga
tingkat kepatuhan pasien rendah dan efek terapi sulit tercapai maka perlu formulasi
yang tepat untuk menutupinya (Tjay & Rahardja, 2007). Berdasarkan permasalahan
diatas peneliti mencoba melakukan pembentukan kompleks inklusi ibuprofen-siklodekstrin menggunakan metode kneading. Dengan pembentukan kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin ini diharapkan dapat meningkatkan penutupan rasa
pahit ibuprofen sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan efek terapi dapat
tercapai.
Penelitian diawali dengan pemeriksaan bahan baku yang akan digunakan.
Pemeriksaan bahan baku ibuprofen meliputi pemerian, kelarutan dan identifikasi
(Departemen Kesehatan RI, 2009; British Pharmacopoeia, 2009). Pengamatan yang
diperoleh bentuk serbuk hablur berwarna putih hingga hampir putih, berbau khas
lemah. Pada pengujian kelarutan diperoleh 50 mg ibuprofen praktis tidak larut 500
mL dalam air sedangkan 2 g ibuprofen mudah larut dalam 2,9 mL etanol 96%. Ini
dapat disimpulkan bahwa ibuprofen praktis tidak larut di dalam air dan mudah larut
dalam etanol 96%. Pemeriksaan bahan baku didukung dengan sertifikat analisis yang
tertera pada lampiran 2, gambar 10. Identifikasi ibuprofen dengan spektrum serapan
inframerah sesuai dengan spektrum serapan inframerah ibuprofen pembanding yang
terdapat pada British Pharmacopoeia 2009 lampiran 1, gambar 11-12.

36

Pemeriksaan bahan baku -siklodekstrin meliputi pemerian dan kelarutan


(Rowe, et al., 2009). Kelarutan -siklodekstrin agak sukar larut dalam air dan sukar
larut dalam etanol 96%. Pemeriksaan bahan baku -siklodekstrin juga didukung
dengan sertifikat analisisnya yang tertera pada lampiran 1, gambar 13-15.
Setelah pemeriksaan bahan baku, dilakukan pembuatan campuran fisika dan
kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin dengan perbandingan mol 1:0,5, 1:1 dan
1:2. Pembentukan kompleks inklusi dilakukan dengan menggunakan metode
kneading. Metode kneading merupakan salah satu metode yang sedang berkembang
pada industri farmasi. Metode kneading merupakan metode yang paling umum dan
sederhana yang digunakan untuk mempersiapkan kompleks inklusi dengan biaya
produksi sangat rendah serta ramah lingkungan karena, tidak memerlukan pelarut
organik (Birhade, et al., 2008). Metode kneading dalam pembuatan kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin diharapkan mampu membungkus molekul zat
aktif/ibuprofen (molekul guest) didalam rongga molekul -siklodekstrin (molekul
host) sehingga tujuan kompleks inklusi untuk menutupi rasa pahit ibuprofen tercapai.
Proses pembentukan kompleks inklusi disebabkan oleh adanya interaksi
hidrofobik, interaksi van der walls, ikatan hidrogen dan ikatan dipol-dipol. Interaksi
hidrofobik terjadi karena adanya kekuatan yang mendorong terjadinya asosiasi atau
agregrasi antara molekul hidrofobik dalam air. Interaksi hidrofobik pada
pembentukan kompleks inklusi ketika molekul siklodekstrin yang rongga dalam
cincin bersifat hidrofobik berdekatan dengan molekul ibuprofen yang juga bersifat
hidrofobik. Ikatan van der walls

adalah ikatan antara partikel yang sama atau

berbeda yang dipengaruhi kepolaran (makin kecil kepolaran maka ikatan van der

37

walls makin kecil). Ikatan van der walls pada pembentukan kompleks inklusi terjadi
ketika molekul siklodekstrin dan molekul ibuprofen saling berdekatan dan terjadi
tarik menarik antara kedua molekul. Ikatan hidrogen terjadi saat atom hidrogen
berikatan dengan atom elektronegatif (N, O, F). Ikatan hidrogen pada pembentukan
kompleks inklusi terjadinya ketika atom H (yang bermuatan positif) dari
-siklodekstrin berikatan dengan atom O (elektronegatifitas yang besar) pada
ibuprofen. Selain itu, pembentukan kompleks inklusi juga dipengaruhi oleh bentuk
dan ukuran senyawa obat. Ibuprofen memiliki kemampuan untuk membentuk
kompleks dengan -siklodekstrin. Ibuprofen memiliki berat molekul 206,28 g/mol
dimana senyawa ini memiliki kesesuaian dengan kapasitas dari -siklodekstrin yang
dapat mengompleks senyawa obat yang memiliki berat molekul 200-800 g/mol
(Zingone & Rubesa, 2005). Selain itu, polaritas dan muatan molekul tamu juga dapat
mempengaruhi pembentukan kompleks inklusi dengan -siklodekstrin. Pada
umumnya, molekul hidrofobik memiliki afinitas yang lebih besar terhadap rongga
-siklodekstrin didalam larutan berair dibandingkan molekul hidrofilik. Oleh karena
itu, molekul tamu yang cenderung hidrofobik akan lebih mudah membentuk
kompleks inklusi dengan siklodekstrin (Bekers, et al., 1991). Dengan kata lain, sifat
hidrofobik dari ibuprofen akan lebih mudah terbentuk kompleks inklusi dengan
-siklodekstrin.
Hasil campuran fisika dan kompleks inklusi yang terbentuk kemudian
dikarakterisasi untuk melihat sifat atau karakter dari kompleks inklusi yang
dihasilkan dan juga dibandingkan dengan ibuprofen murni. Karakterisasinya meliputi
spektroskopi inframerah, Scanning electron microscope dan analisis difraksi sinar-X.

38

Setelah itu dilakukan penetapan kadar ibuprofen dalam kompleks inklusi dan
penetapan persentase ibuprofen dalam kompleks inklusi.
Analisis spektroskopi inframerah dilakukan untuk mengidentifikasi gugus
fungsi pada suatu senyawa. Setiap pita serapan pada bilangan gelombang tertentu
menggambarkan adanya suatu gugus fungsi spesifik. Hasil analisa berupa signal
kromatogram hubungan persentase transmitan terhadap bilangan gelombang. Hasil
karakterisasi pada spektrum inframerah serbuk ibuprofen (Lampiran 1, Gambar 16),
terlihat adanya gugus fungsi O-H pada bilangan gelombang 3300-2500 cm-1 (dengan
pita absorbansi lebar), gugus fungsi C-H pada bilangan gelombang 2955,71 cm-1,
gugus fungsi C=O pada bilangan gelombang 1721,11 cm-1 dan gugus fungsi C-O
pada bilangan gelombang 1230,94 cm-1. Spektrum FT-IR -siklodekstrin (Lampiran
1, Gambar 17), menunjukkan puncak yang lebar pada bilangan gelombang 3432,96
cm-1 yang menunjukkan adanya gugus fungsi O-H pada molekul kompleks seperti
selulosa, sakarida dan molekul lain yang mempunyai gugus yang mengabsorbsi
sangat kuat. Puncak lain pada bilangan gelombang 2922,64 cm-1 menunjukkan
adanya ikatan C-H, pada bilangan gelombang 1034,43 cm -1 menunjukkan adanya
ikatan C-O dari alkohol sekunder. Pada hasil karakterisasi campuran fisik (Lampiran
1, Gambar 19), terdapat puncak yang menunjukkan adanya gugus fungsi dari
ibuprofen yaitu pada bilangan gelombang 2922,42; 1720,51 dan 1231,54 cm -1, juga
terdapat puncak yang menunjukkan adanya gugus fungsi dari -siklodekstrin yaitu
adanya puncak yang lebar pada bilangan gelombang 3365,31 cm -1, puncak lainnya
pada bilangan gelombang 1419,96; 937,18 dan 864,78 cm-1. Munculnya puncakpuncak yang menunjukkan adanya gugus fungsi yang dimiliki ibuprofen dan

39

-siklodekstrin menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara ibuprofen dengan


-siklodekstrin.

Karakterisasi

kompleks

inklusi

ibuprofen--siklodekstrin

menunjukkan adanya gugus fungsi dari -siklodekstrin yang lebih dominan


(Lampiran 1, Gambar 18), adanya puncak yang lebar pada bilangan gelombang
3439,96 cm-1, juga puncak pada bilangan gelombang 2064,59; 1646,97; 1032,17;
939,21 dan 865,18 cm-1. Puncak ibuprofen hanya terlihat pada bilangan gelombang
1720,95 cm-1 tetapi puncak lebih lebar, tidak tajam dan makin berkurang. Hilangnya
sebagian besar puncak ibuprofen menunjukkan adanya interaksi antara ibuprofen
dengan -siklodekstrin yang berarti telah terjadi pembentukan kompleks inklusi
antara ibuprofen dengan -siklodekstrin yang dibuat dengan metode kneading.
Scanning Electron Microscope (SEM) digunakan untuk melihat morfologi
permukaan dari suatu sampel secara mikroskopik dan memberikan informasi tentang
tekstur permukaan sampel. Morfologi dari suatu sampel dapat dilihat dari tiga sisi,
yaitu: permukaan atas, permukaan samping, dan permukaan ruang dalam (Whalley &
Langway, 1980).
Berdasarkan analisis bentuk partikel dengan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM) dengan berbagai perbesaran memperlihatkan karakteristik dari
ibuprofen, -siklodekstrin, campuran fisik, dan kompleks inklusi. Pada hasil SEM
perbesaran 500 dan 1000 kali, ibuprofen terlihat berupa padatan kristal dengan
bentuk batang (Lampiran 1, Gambar 21-22). -siklodekstrin terlihat berbentuk
seperti bongkahan besar dengan tekstur permukaan yang kasar (Lampiran 1, Gambar
23-24). Pada campuran fisik pada perbesaran 500 dan 1000 kali morfologi ibuprofen
dan -siklodekstrin masih dapat dibedakan (Lampiran 1, Gambar 25-26). Pada

40

kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin metode kneading perbesaran 500 dan


1000 kali terlihat secara jelas bahwa zat aktif ibuprofen terbungkus/terinklusi
sempurna oleh -siklodekstrin (Lampiran 1, Gambar 27-28). Hal ini menunjukkan
bahwa kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin menghasilkan senyawa ibuprofen
sebagai zat aktif (molekul guest) yang masuk kedalam rongga toroidal
-siklodekstrin sebagai polimer pembawa (molekul host).
Analisis difraksi sinar-X digunakan untuk mengevaluasi pengaruh perubahan
derajat kristalinitas senyawa padat obat ibuprofen pada serbuk kompleks inklusi yang
dibuat dengan metode kneading dan campuran fisika. Pada pemeriksaan difraksi
sinar-X ibuprofen murni terlihat puncak sangat tinggi yaitu 18.948, setelah
terbentuk serbuk kompleks inklusi dan campuran fisika maka puncaknya berubah
(Lampiran 1, Gambar 29). Difraktogram serbuk ibuprofen murni pada daerah 2 theta
22,331 terdapat puncak yang tajam yaitu 18.948 setelah penambahan polimer
-siklodekstrin pada kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin (Lampiran 1,
Gambar 32) dan campuran fisika (Lampiran 1, Gambar 31) maka puncak
difraktogramnya makin turun yaitu pada kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin
4.954 dan 4.897 dan campuran fisika 3.827 dan 3.256. Penurunan puncak yang
sangat tajam dari puncak ibuprofen menunjukkan bahwa molekul ibuprofen telah
masuk kedalam struktur rongga dari -siklodekstrin. Ibuprofen dan -siklodekstrin
saling tarik menarik dan membentuk ikatan hidrogen dengan polimer (Colombo,
et al., 2009). Dengan kata lain, substituent/gugus fungsi molekul tamu berinteraksi
dengan gugus pada sisi atau bagian -siklodekstrin dan terjadi pembentukan ikatan
hidrogen antara molekul tamu dengan -siklodekstrin (Bekers, et al., 1991).

41

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum ibuprofen dalam larutan


NaOH 0,1 N dengan konsentrasi 250 g/ml diperoleh panjang gelombang
maksimum ibuprofen 262,0 nm dengan absorban 0,442 sesuai yang tertera pada
Farmakope Indonesia Edisi IV 1995 yaitu 264,0 nm berbeda tidak lebih dari 3,0 %
(Lampiran 1, Gambar 34). Hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dengan literatur
berarti hasil yang didapat dari penelitian sesuai dan memenuhi syarat. Kurva
kalibrasi ibuprofen dalam larutan NaOH 0,1 N dibuat dengan konsentrasi 150, 200,
250, 300 dan 350 g/ml. diperoleh persamaan garis y = 0,0019x-0,029 dengan nilai
r = 0,997 (Lampiran 1, Tabel VI, Gambar 35).
Penetapan kadar ibuprofen diperoleh 100,06 % sesuai rentang persyaratan
yang tercantum dalam Farmakope Indonesia Edisi IV 1995 yaitu, kadar ibuprofen
tidak kurang 97,0 % dan tidak lebih dari 103,0 %. Sedangkan, hasil penetapan kadar
ibuprofen dalam campuran fisika (CF) dan kompleks inklusi (KI) diperoleh
CF 1 = 100,20 %, CF 2 = 100,97 %, CF 3 = 100,24 %, KI 1 = 103,50 %,
KI 2 = 105,47 %, KI 3 = 101,82 %. Hasil penetapan kadar sesuai dengan persyaratan
yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi IV 1995 dimana, kadar ibuprofen tidak
kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 110,0 % (Lampiran 1, Tabel VII).
Penetapan persentase ibuprofen terbanyak dalam 3 formula kompleks inklusi
yang ada perlu dilakukan untuk mendapatkan formula mana yang mengandung
ibuprofen terkompleks paling banyak. Formula kompleks inklusi dengan
perbandingan 1:1 merupakan formula dengan ibuprofen terkompleks paling besar
yaitu 77,41% sedangkan formula kompleks inklusi perbandingan 1:0,5 dan 1:2
adalah 59,11% dan 58,93%. Formula kompleks inklusi perbandingan 1:1 merupakan

42

formula kompleks inklusi yang paling baik, karena pada perbandingan ini
-siklodekstrin lebih banyak mengompleks ibuprofen. Kemudian formula kompleks
inklusi 1:1 ini dipilih untuk dijadikan sampel uji evaluasi rasa kepada responden.
Penentuan profil disolusi dari ibuprofen, campuran fisika, dan kompleks
inklusi dilakukan dengan menggunakan medium dapar fosfat pH 7,2. Penentuan
panjang gelombang serapan maksimum ibuprofen didalam medium dapar fosfat pH
7,2 menggunakan larutan dengan konsentrasi 360 g/mL diperoleh panjang
gelombang serapan maksimum ibuprofen 262,5 nm dan diperoleh persamaan garis
y = 0,002x + 0,0395 dengan nilai r = 0,998 (lampiran 1, gambar 40).
Pada penentuan profil disolusi ibuprofen sesuai menurut persyaratan yang
tercantum dalam Farmakope Indonesia Edisi IV tahun 1995 dalam waktu 30 menit
terdisolusi tidak kurang dari 70%. Persentase disolusi pada menit ke-5 ibuprofen,
campuran fisika dan kompleks inklusi berturut-turut adalah 22,31%; 30,638%;
26,66%. Pada menit ke-30 adalah 34,96%; 43,84%; 70,98% (lampiran 1, tabel IX).
Dari hasil disolusi menunjukkan ibuprofen tunggal memiliki laju disolusi yang
paling lambat bila dibandingkan dengan campuran fisik dan kompleks inklusi
ibuprofen--siklodekstrin. Pada campuran fisik ibuprofen--siklodekstrin memiliki
laju disolusi yang lebih cepat dibandingkan ibuprofen tunggal walaupun pada
campuran fisik tidak terbentuk kompleks inklusi antara ibuprofen dengan
-siklodekstrin. Tetapi, bila dibandingkan dengan serbuk kompleks inklusi laju
disolusi campuran fisik lebih lambat dibandingkan dengan kompleks inklusi.
Campuran fisik antara obat yang sukar larut atau yang tidak larut dalam air seperti
ibuprofen dengan -siklodekstrin memiliki laju disolusi yang lebih cepat

43

dibandingkan dengan laju disolusi obat tunggal karena pencampuran sederhana


antara obat yang sukar terbasahi seperti ibuprofen dengan -siklodekstrin akan
mempermudah obat terbawa secara pasif ke dalam media disolusi sebagaimana
matriksnya melarut dan mempermudah pembasahan partikel-partikel obat oleh media
disolusi, sehingga laju disolusinya menjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan laju
disolusi obat tunggal (Bekers, et.al., 1991). -Siklodekstrin mempunyai kemampuan
untuk membentuk kompleks inklusi secara in situ dalam media disolusi sehingga
dapat meningkatkan laju disolusi obat walaupun pada keadaan padat tidak terbentuk
kompleks inklusi (Challa, et.al., 2005). Peningkatan laju disolusi tersebut disebabkan
obat terkompleks dalam suatu matriks yang berbentuk rongga dimana bagian dalam
rongga bersifat hidrofobik dan bagian luar -siklodekstrin bersifat hidrofilik.
Kompleks inklusi suatu obat yang awal nya sukar larut dalam air akan menghasilkan
suatu kompleks yang sifatnya hidrofil dari obat itu sendiri karena kompleks akan
lebih mudah terbasahi dan obat juga melarut lebih cepat. Peningkatan kecepatan
disolusi kompleks inklusi ini dapat disebabkan oleh adanya penurunan kristalinitas
kompleks tersebut dari bentuk kristal menjadi bentuk amorf. Oleh karena adanya
perbaikan dalam hal keterbasahan dan peningkatan kelarutan, maka hal inilah yang
menjadi dasar peningkatan kecepatan disolusi molekul obat yang diinklusi
-siklodekstrin (Bekers, et al., 1991).
Hasil disolusi ini mengkonfirmasi hasil analisa FT-IR, difraksi sinar-X, SEM,
dan lain-lain. Selain itu reduksi kristalinitas juga berperan dalam peningkatan laju
disolusi (Challa, et al., 2005) sebagaimana terlihat pada hasil difraksi sinar-X. Jadi,
peningkatan laju disolusi ibuprofen setelah dibentuk kompleks inklusi dengan

44

-siklodekstrin selain karena masuknya bagian hidrofobik dari molekul ibuprofen


ke dalam rongga -siklodekstrin juga disebabkan karena terjadinya reduksi
kristalinitas ibuprofen.
Selanjutnya, dilakukan penetapan model kinetika pelepasan obat pada
kompleks inklusi ibuprofen--siklodekstrin berdasarkan model kinetika orde nol,
orde satu, Higuchi dan Korsemeyer-peppas. Dari keempat model kinetika tersebut,
koefisien korelasi dari persamaan model kinetika korsemeyer-peppas lah yang paling
mendekati satu. Harga koefisien korelasi r dari ibuprofen, campuran fisika, kompleks
inklusi secara berturut-turut adalah 0,9561; 0,9708 dan 0,9960 (lampiran 1, tabel
XIII, gambar 44). Berdasarkan tinjauan dari aspek kinetika tersebut maka kinetika
pelepasan obat pembentukan kompleks inklusi mengikuti model kinetika
korsemeyer-peppas yang mengindikasikan mekanisme pelepasannya mengikuti
hukum difusi Ficks. Menurut Ficks kecepatan disolusi dikontrol oleh kecepatan
difusi dari membran yang sangat tipis dari larutan jenuh yang terbentuk seketika
di sekitar partikel padat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh berdifusi kedalam
pelarut dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah dengan konsentrasi obat
yang rendah (Abdou, 1989).
Efisiensi disolusi merupakan parameter yang cocok untuk evaluasi disolusi
in-vitro. Nilai efisiensi disolusi merupakan nilai AUC (Area Under Curve) jumlah
dari jumlah obat yang terdisolusi per satuan waktu (Abdou, 1989). Efisiensi disolusi
digunakan untuk membandingkan jumlah ibuprofen yang terlarut dalam media
disolusi dari ibuprofen tunggal, campuran fisik dan kompleks inklusi ibuprofen
-siklodekstrin pada waktu yang sama (menit ke-60). Perhitungan rata-rata efisiensi

45

disolusi adalah perbandingan antara luas daerah dibawah kurva disolusi pada waktu
(t) dengan luas persegi empat pada waktu zat aktif terdisolusi mencapai 100%. Nilai
efisiensi disolusi ibuprofen murni diperoleh 36,60%, campuran fisika 43,27%,
kompleks inklusi 64,85% (lampiran 1, tabel X). Dari data efisiensi disolusi
memperlihatkan peningkatan nilai efisiensi disolusi ibuprofen setelah pembentukan
kompleks inklusi dibandingkan dengan campuran fisika dan ibuprofen tunggal.
Analisis statistik data kuesioner responden terhadap penutupan rasa pahit
ibuprofen dengan -siklodekstrin dilakukan dengan uji Wilcoxon menggunakan
program SPSS 17. Uji Wilcoxon dipilih karena data yang dihasilkan berupa data non
parametrik untuk dua sampel yang berhubungan dan berupa data ordinal. Hasil uji
Wilcoxon dengan nilai statistik hitung dilihat dari output pada kolom sum of ranks,
maka statistik hitung uji Wilcoxon (T) adalah 0,00 lebih kecil dari nilai statistik tabel
151 dan nilai probabilitas/asymp sig (2-tailed) adalah 0,000 lebih kecil dari 0,005,
maka Ho ditolak, atau terdapat perbedaan rasa ibuprofen antara sebelum dan setelah
terkompleks. Sampel yang diujikan kepada responden memiliki rasa yaitu ibuprofen
terasa pahit dan kompleks inklusi terasa tidak pahit. Dengan kata lain, kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin mampu menutupi rasa pahit dari ibuprofen.

46

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pembuatan kompleks inklusi
ibuprofen--siklodekstrin dengan metode kneading, dapat diambil kesimpulan :
1. Analisa uji Wilcoxon terhadap data kuesioner responden terdapat perbedaan rasa
ibuprofen antara sebelum dan setelah terkompleks. Dengan kata lain, kompleks
inklusi ibuprofen--siklodekstrin mampu menutupi rasa pahit dari zat aktif
ibuprofen.
2. Persentase ibuprofen terkompleks formula kompleks inklusi dengan perbandingan
1:0,5, 1:1 dan 1:2 secara berurutan adalah 59,11% ; 77,41% dan 58,93. Formula
kompleks inklusi dengan perbandingan 1:1 merupakan formula dengan ibuprofen
terkompleks paling besar yaitu 77,41%.
5.2 Saran
Disarankan pada peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian lebih lanjut
tentang pembentukan kompleks inklusi menggunakan bahan obat lain dengan metode
yang lain terhadap penutupan rasa pahit dari bahan obat.

47

DAFTAR PUSTAKA

Abdou, H. M. (1989). Dissolution, bioavaibility and bioequivalence. Pennsylavania:


Mark Publishing Company Easton
Abhishek, Y. K., Pratibha, C., & Vinkra, V. P. (2013). Enhancement of solubility and
taste masking of Lafutidine by inclusion complexation method. World J.
Pharm. Res. Vol. 3, No. 1, 319-332.
Ashok, R. P., & Pradeep, R, P. (2008). Preparation and evaluation of taste masked
Famotidine formulation using drug/-CDs/Polymer ternary complexation
approach. Pharm. Sci. Tech. Vol. 9, No. 2, 544-550.
Bekers, O., Uitjtendaal, E. V., Beijnen, J. H., Bult, A., & Undenberg, W. J. M. (1991).
Cyclodextrin in pharmaceutical field. Drug Dev. Ind. Pharm,
Vol. 17,
No. 11, 1503-1549.
Birhade, S. T., Bankar, V. H., Gaikwad, P.D., & Pawar, S. P. (2010). Preparation and
evaluation of cyclodextrin based binary systems for taste masking.
Int.
J. Pharm. Sci. and Drug Research. Vol. 2, No. 3, ISSN 0975-248X.
Challa, R., Ahuja, A., Ali, J., & Khar, R. K. (2005). Cyclodextrins in drug delivery :
an updated review. Pharm. Sci. Tech. Vol. 6, No.2, E329-E357.
Charumanee, S. (2004). Amorphization and dissolution studies of Acethaminophen
--cyclodextrin inclusion complexes. Dep. Pharm. Sci. Vol. 3, No. 1, 13-21.
Chiou, W. L., & Riegelman, S. (1971). Pharmaceutical applications of solid
dispersion system, J. Pharm. Sci. Vol. 60, No. 9, 1281-1302.
Chowdary, K. P. R., & Buchi, N. N. (2000). Nimesulide and -cyclodexstrin
inclusions complexes : physicochemical, characterization and dissolution
rate studies. Drug Dev. Ind. Pharm. Vol. 26, No.11, 1217-1220.
Colombo., G. G., & Grasi, M. (2009). Drug mechanochemical activation.
J. Pharm. Sci. Vol. 98, No. 11, 3961-3986.
Dachriyanus. (2004). Analisis struktur senyawa organik secara spektroskopi.
Padang: Andalas University Press.

48

David, R. (1998). The 9-point hedonic scale. Chicago : Peryam and Kroll Research
Corporation.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi-III,
Sub Unit Direktorat Jenderal, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi
IV, Jakarta.
Ebeshi, U. B. (2009). Comparative utilization of visual, potentiometric titrations and
uv spectrophotometric methods in the determination of ibuprofen. African
Journal of Pharmacy And Pharmacology. Vol.3, No.9, 426-431.
Frank, S. G. (1975). Inclusion compound. J. Pharm. Sci, Vol. 64, No.10, 1585-1601.
Gennaro, A. R. (1985). Remington pharmaceutical sciences. (17th ed). Easton: Mack
Publishing Company.
Jug, M., Becirevic, L. M., & Cetina, C., B. (2005). Influence of Cyclodextrin
Complexation on Piroxicam Gel Formulations, Acta. Pharm. Vol. 55, No.2,
223-236.
Katzung, G, B. (1997). Farmakologi dasar dan klinik (Edisi VI). Penerjemah: Staf
dosen farmakologi fakultas kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lachman, L., Lieberman, H. A., & Kanig, J. L. (1994). Teori dan praktek farmasi
industri I (Edisi II). Penerjemah : S. Suryatmi. Jakarta : Universitas
Indonesia Press.
Loftsson, T., Magnusdottir, A., Masson, M., & Sigurjonsdottir, J. F. (2002). Selfassociation and Cyclodextrin solubilization of drugs. J. Pharm. Sci.
Vol. 91, No. 2, 2307-2316.
Loftsson, T., & Brewster, M. E. (1996). Pharmaceutical applications of
- Cyclodextrin drug solubilization and stabilization. J. Pharm. Sci.
Vol. 85, No. 10, 1017-1024
Madaan, S., Atul, K, G., & Vipin, S. (2012). Improvement in taste and solubility of
Atenolol by solid dispersion system. The Pharma Journal. Vol. 1, No. 8,
211-217
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., & Quinn, M. E. (2009). Handbook of pharmaceutical
exipients (6th ed). London: Pharmaceutical Press.

49

Reimer, L. (1998). Scanning electron microscopy : physics of image formation and


microanalysis (Edisi 2). London : Springer
Sukmadjaja, A., Soendani, N, S., & Revi, Y. (2007). Pengaruh pembentukan
kompleks inklusi ketoprofen dalam -siklodekstrin terhadap laju disolusi
ketoprofen. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 57, No. 1, 1-9.
Stella, V. J., & Rajewski, R. A. (1997). Cyclodextrins : Their future in drug
formulation and delivery. Pharm. Ress. Vol. 14, No.5, 557-567.
The Department Of Health. (2009). British Pharmacopoeiea.
Stationery Office.

London: The

Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat-obat penting, khasiat, penggunaan, dan
efek sampingnya (edisi VI). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Kelompok Kompas-Gramedia.
Wade, A., & Weller, P. J. (1994). Handbook of pharmaceutical excipient, 2nd ed,
The Pharmaceutical Press London.
Watson, D. G. (2010). Analisis farmasi, Edisi 2. Penerjemah : Winny R. Syarief.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Whalley, W. B., & Langway, C. C. (1979). A scanning electron microscope
examination of subglacial quartz grains from camp century core. Journal of
Glaciology, Vol. 25, No. 91, 171-207.
Wismogroho, S. A., & Widayatno, W. B. (2012). Pengembangan alat differential
thermal analysis untuk analisa termal material Ca(OH)2. Jurnal Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi, Vol. 30, No. 1, 7-12.
Zingone, R., & Rubessa, F. (2005). Preformulation study of the inclusion complex
warfarin--cyclodextrin. Int. J. Pharm. Vol. 291, No. 2, 3-10.

50

Lampiran 1. Data dan Hasil Penelitian


Bahan Baku

-siklodekstrin

Ibuprofen

Pemeriksaan Bahan Baku

Pembuatan campuran
fisik

Pembuatan Kompleks
Inklusi Padat

Penetapan kadar Ibuprofen


Penetapan %-tase Kompleks
Inklusi Ibuprofen terbanyak
Evaluasi Kompleks Inklusi
Padat

SEM

FT-IR

XRD

Analisa Data
Gambar 9. Skema Kerja

51

Evaluasi Rasa

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel III. Hasil pemeriksaan bahan baku ibuprofen
Persyaratan

No
.
1.

2.

3.

Pemeriksaan

(Departemen Kesehatan RI,


1995)

Pengamatan

Pemerian

Bentuk

Serbuk hablur

Serbuk hablur

Warna

Putih hingga hampir putih

Bau

Bau khas lemah

Putih atau hampir


putih
Bau khas lemah

Kelarutan
a. Dalam air

Praktis tidak larut dalam air

50 mg tidak larut
dalam 500 mL air

b. Dalam etanol

Mudah larut dalam etanol

2 g larut dalam 3 mL
etanol 96%

Identifikasi

Spektrum serapan ultraviolet Diperoleh panjang


larutan (1 dalam 4000) dalam gelombang 262,0 nm.
natrium hidroksida 0,1 N
menunjukkan maksimum dan
minimum
pada
panjang
gelombang yang sama pada
ibuprofen BPFI. Daya serap
masing
masing dihitung
terhadap
zat anhidrat pada
panjang
gelombang
serapan
maksimum lebih
kurang 264 nm dan 273
berbeda tidak lebih dari 3,0%.
Spektrum serapan inframerah
zat yang didispersikan dalam
minyak mineral P menunjukkan
maksimum hanya pada panjang
gelombang yang sama pada
ibuprofen BPFI.

52

Spektrum serapan
inframerah yang
diperoleh sama
dengan spektrum
Ibuprofen pemban
ding.

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 10. Sertifikat analisis ibuprofen

53

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 11. Spektrum FT-IR ibuprofen pembanding


(British Pharmacopoeia, 2009)

Gambar 12. Spektrum FT-IR ibuprofen

54

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel IV. Hasil pemeriksaan bahan baku -siklodekstrin
No
.
1.

2.

Pemeriksaan

Persyaratan
(Rowe, et al., 2009)

Pengamatan

Pemerian

Bentuk

Serbuk kristal

Serbuk kristal

Warna

Putih

Putih

Bau

Tidak berbau

Tidak berbau

Manis

manis

Agak sukar larut

1 g larut dalam 70 mL

rasa
Kelarutan
a. Dalam air

air
b. Dalam etanol

Sukar larut

10 mg tidak larut
dalam 100 mL etanol
96%

55

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 13. Sertifikat analisis -siklodekstrin (halaman 1)

56

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 14. Sertifikat analisis -siklodekstrin (halaman 2)

57

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 15. Sertifikat analisis -siklodekstrin (halaman 3)

58

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 16. Spektrum FT-IR ibuprofen murni

Gambar 17. Spektrum FT-IR -siklodekstrin

59

Lampiran 1. (lanjutan)

Gambar 18. Spektrum FT-IR kompleks inklusi 1:1 ibuprofen--siklodekstrin

Gambar 19. Spektrum FT-IR campuran fisik 1:1 ibuprofen--siklodekstrin

60

Lampiran 1. (lanjutan)

a.

b.
c.

d.

Gambar

20. Spektrum FT-IR gabungan ibuprofen, -siklodekstrin, kompleks


inklusi dan campuran fisik.

Keterangan :
a. Spektrum FT-IR ibuprofen
b. Spektrum FT-IR -siklodekstrin
c. Spektrum FT-IR kompleks inklusi
d. Spektrum FT-IR campuran fisik

61

Lampiran 1. (lanjutan)

Ibuprofen

Gambar 21. Scanning electron microscope ibuprofen perbesaran 500x

Ibuprofen

Gambar 22. Scanning electron microscope ibuprofen perbesaran 1000x

62

Lampiran 1. (lanjutan)

-siklodekstrin

Gambar 23. Scanning electron microscope -siklodekstrin perbesaran 500x

-siklodekstrin

Gambar 24. Scanning electron microscope -siklodekstrin perbesaran 1000x

63

Lampiran 1. (lanjutan)

-siklodekstrin
Ibuprofen

Gambar 25. Scanning electron microscope campuran fisik 1:1 ibuprofen-siklodekstrin perbesaran 500x

-siklodekstrin
Ibuprofen

Gambar 26. Scanning electron microscope campuran fisik 1:1 ibuprofen-siklodekstrin perbesaran 1000x

64

Lampiran 1. (lanjutan)

Ibuprofen

-siklodekstrin
membungkus
Ibuprofen

Gambar 27. Scanning electron microscope kompleks inklusi 1:1 ibuprofen-siklodekstrin perbesaran 500x

Ibuprofen
-siklodekstrin
membungkus
Ibuprofen

Gambar 28. Scanning electron microscope kompleks inklusi 1:1 ibuprofen-siklodekstrin perbesaran 1000x

65

Lampiran 1. (lanjutan)

Ga
mbar 29. Difraktogram sinar-X ibuprofen

66

Ga
mbar 30. Difraktogram sinar-X -siklodekstrin
Lampiran 1. (lanjutan)

67

Gambar 31. Difraktogram sinar-X campuran fisik 1:1 ibuprofen-siklodekstrin

Gambar 32. Difraktogram sinar-X kompleks inklusi 1:1 ibuprofen-siklodekstrin


Lampiran 1. (lanjutan)

68

a.

b.

c.

d.

Gambar 33.

Difraktogram sinar-X gabungan -siklodekstrin


kompleks inklusi dan campuran fisik.

Keterangan :
a. Difraktogram sinar-X -siklodekstrin
b. Difraktogram sinar-X ibuprofen
c. Difraktogram sinar-X kompleks inklusi
d. Difraktogram sinar-X campuran fisik
Lampiran 1. (lanjutan)

69

ibuprofen,

Gambar 34. Panjang gelombang ibuprofen dalam NaOH 0,1 N ( maks = 262,0 nm)
dengan konsentrasi 250 g/mL
Lampiran 1. (lanjutan)

70

Tabel V. Data serapan larutan standar ibuprofen dalam larutan NaOH 0,1N pada
panjang gelombang 262,0 nm.
Konsentrasi (g/mL)
150
200
250
300
350

Serapan
0,237
0,351
0,438
0,529
0,615

0.7
0.6
0.5
0.4
Absorban

0.3
0.2
0.1
0
100

150

200

250

300

350

400

konsentrasi

Gambar 35. Kurva kalibrasi ibuprofen dalam larutan NaOH 0,1N (maks = 262,0 nm)
Persamaan garis : Y = 0,0019x 0,029 r = 0,997

Lampiran 1. (lanjutan)

71

Tabel VI. Hasil penetapan kadar ibuprofen pada sampel

Formula
IBUPROFEN

CF 1

CF 2

CF 3

KI 1

KI 2

KI 3

Serapan
0,452
0,445
0,442
0,436
0,455
0,45
0,451
0,437
0,464
0,445
0,439
0,448
0,472
0,453
0,463
0,478
0,475
0,454
0,463
0,454
0,447

Kadar/setara
(mg)

Penetapan kadar (%)


SD

100

100,06 1,195

100

100,2 1,198

100

100,97 1,218

100

100,24 1,182

100

103,50 1,284

100

105,47 1,319

100

101,82 1,240

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel VII. Hasil penetapan kadar persentase ibuprofen terkompleks

72

KOMPLEKS
INKLUSI

KADAR
TOTAL
IBUPROFEN
(g/mL)

KADAR IBUPROFEN
SETELAH DICUCI
(g/mL)

PERSENTASE
IBUPROFEN
TERKOMPLEKS (%)

KI 1

251,052

148,421

59,11

KI 2

256,315

198,421

77,41

KI 3

247,368

145,789

58,93

Lampiran 1. (lanjutan)

73

Gambar 36.

Panjang gelombang ibuprofen dalam dapar pospat pH 7,2 ( maks =


262,5 nm) pada konsentrasi 360 g/mL

Lampiran 1. (lanjutan)

74

Tabel VIII. Data serapan larutan ibuprofen dalam dapar pospat pH 7,2 pada
panjang gelombang 262,5 nm.
Konsentrasi (g/mL)

Serapan

120

0,210

200

0,349

240

0,416

360

0,682

400

0,749

0.8
0.7

f(x) = 0x - 0.04
R = 1

0.6
0.5
Absorban

0.4
Absorban

0.3

Linear (Absorban)

0.2
0.1
0
100 150 200 250 300 350 400 450
konsentrasi

Gambar 37. Kurva kalibrasi ibuprofen dalam larutan dapar pospat pH 7,2
Persamaan garis : Y = 0,002x 0,0395 r = 0,998

Lampiran 1. (lanjutan)

75

Tabel IX. Hasil disolusi ibuprofen, campuran fisik dan kompleks inklusi pada
medium dapar fosfat pH 7,2.
Ibuprofen
t

10

15

30

45

60

abs
0,02
7
0,06
7
0,08
5
0,04
2
0,07
6
0,09
6
0,06
2
0,11
0,10
2
0,10
2

%
terdisolusi

Campuran Fisik 1:1


%
terdisolusi
rata-rata
SD

14,96
23,96

22,31

28,01

6.680

18,42

0,12
8
0,09
8
0,06
4
0,14
7

%
terdisolus
i rata-rata
SD

37,68

0,056

21,48

30,93

30,63

0,080

26,88

26,66

23,28

7.205

0,101

31,61

5.066

0,126

37,35

42,17

26,12

25,06

0,119

35,83

37,70

0,149

42,56

43,08

30,64

6.180

0,116

35,11

3.883

0,179

49,33

6.008

0,164

46,11

33,91

29,70

0,15
5
0,13

32,16

5.849

0,15

23,02

32,14

0,12

36,35

34,96

0,12

36,38

2.437

0,15

43,12

0,15
8
0,12
8
0,19
8
0,21
2
0,25
3

abs

%
terdisolusi

Kompleks Inklusi 1:1


%
%
terdisolusi
abs
terdisolus
rata-rata
i
SD

45,10

42,20

38,38

3.450

54,16

0,16
2
0,13
6
0,16
0,18
6
0,15
7
0,18
3
0,23
1

44,20
38,50

41,89

0,167

46,84

51,04

42,96

2.996

0,226

60,18

7.921

0,241

63,69

46,02
40,06

43,84

0,282

72,98

70,98

45,44

3.284

0,296

76,26

6.522

0,313

80,24

51,67
45,01

49,18

0,335

85,30

85,32

50,87

3.636

0,357

90,41

5.084

0,36

91,25

62,08

57,03

59,30

0,16

45,93

77,66

0,362

91,85

91,63

66,72

6.581

0,25
8

68,02

11.466

0,361

91,80

0.330

76

Lampiran 1. (lanjutan)
100
90
80
70
60
% Terdisolusi

50

ZA
CF1:1

40

KI 1:1

30
20
10
0
-

10

20

30

40

50

60

70

Waktu

Gambar 38. Kurva profil disolusi ibuprofen dalam larutan dapar fosfat pH 7,2
Keterangan :
ZA

= Zat aktif ibuprofen

CF 1:1

= Campuran fisika perbandingan 1:1

KI 1:1

= Kompleks inklusi perbandingan 1:1

77

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel X.

Efisiensi disolusi ibuprofen, campuran fisik dan kompleks inklusi pada


medium dapar fosfat pH 7,2
IBUPROFEN

t
0
5
10
15
30
45
60

ED

% ZAT
TERDISOLUSI
0
22.313
25.061
29.700
34.964
42.205
59.307

AUC
0
55
.781
118.
435
136.
904
484.
977
578.
767
761.
341

CF 1:1
% ZAT
TERDISOLUS
I
0
30.638
37.708
41.891
43.847
49.187
58.681

AUC
0
76.
594
170.
863
198.
997
643.
036
697.
755
809.
008

KI 1:1
% ZAT
TERDISOLUS
I
0
26.663
43.086
51.049
70.981
85.321
91.639

AUC
0
66.
656
174.
370
235.
337
915.
223
1.172.
264
1.327.
205

2.136.20
4

2.596.253

3.891.056

35.603

43.271

64.851

78

IBUPROFEN
70
60
50
40
30
20
10
0
0

10

15

30

45

60

Gambar 39. Kurva % zat terdisolusi dari ibuprofen


Lampiran 1. (lanjutan)

CF 1:1
70
60
50
40
30
20
10
0
0

10

15

30

45

Gambar 40. Kurva % zat terdisolusi dari campuran fisik

79

60

KI 1:1
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0

10

15

30

45

60

Gambar 41. Kurva % zat terdisolusi dari kompleks inklusi


Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel XI. Kinetika pelepasan obat berdasarkan model kinetika orde 0 (Ct = Co + Kt),
% terdisolusi vs waktu.
Formula

Persamaan regresi

Koefesien regresi

Ibuprofen

y = 616,73x + 18631

0,9785

CF 1:1

y = 429,79x + 31839

0,9643

KI 1:1

y = 1136,6x + 30200

0,9672

80

Orde 0
100
ZA

Linear (ZA)

80

CF1:1

Linear (CF1:1)

KI 1:1

60
% Terdisolusi
Linear (KI 1:1)

40
20
-

10

20

30

40

50

60

70

Waktu

Gambar 42. Kurva % zat terdisolusi dari ibuprofen, campuran fisik dan kompleks
inklusi berdasarkan model kinetika orde 0 (Ct = Co + Kt), % terdisolusi
vs waktu
Keterangan :
ZA

= Zat aktif ibuprofen

CF 1:1

= Campuran fisika perbandingan 1:1

KI 1:1

= Kompleks inklusi perbandingan 1:1

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel XII. Kinetika pelepasan obat berdasarkan model kinetika orde 1(log ct/log co =
k1.t), waktu vs log % terdisolusi.

Formula

Persamaan regresi

Koefesien regresi

Ibuprofen

y = 0,0071x + 4,3307

0,9898

CF 1:1

y = 0,0042x + 4,5149

0,9456

KI 1:1

y = 0,0086x + 4,515

0,9136

81

Orde 1
5.2
Log ZA

5
Linear
(Log ZA)

LOG CF1:1

Linear (LOG CF1:1)

30

50

4.8
% Terdisolusi

4.6
4.4

LOG KI 1:1

4.2
Linear (LOG KI 1:1)
4
0

10

20

40

60

70

Waktu (menit)

Gambar 43. Kurva % zat terdisolusi dari ibuprofen, campuran fisik dan kompleks
inklusi berdasarkan model kinetika orde 1 (log ct/log co = k 1.t), waktu
vs log % terdisolusi
Keterangan :
ZA

= Zat aktif ibuprofen

CF 1:1

= Campuran fisika perbandingan 1:1

KI 1:1

= Kompleks inklusi perbandingan 1:1

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel XIII. Kinetika pelepasan obat berdasarkan model kinetika korsemeyerpeppas (log ct = log k + n log t), log waktu vs log % terdisolusi.

Formula

Persamaan regresi

Koefesien regresi

Ibuprofen

y = 0,3615x + 4,0581

0,9561

CF 1:1

y = 0,2275x + 4,3361

0,9708

KI 1:1

y = 0,491x + 4,1151

82

0,9960

KORSMEYER-PEPPAS
5.2
Log ZA

Linear (Log ZA)

4.8
LOG % TERDISOLUSI

Linear (Log ZA)

4.6

LOG CF1:1

4.4

Linear (LOG CF1:1)


LOG KI 1:1

4.2

Linear (LOG KI 1:1)

4
0.5

1.5

LOG WAKTU

Gambar 44. Kurva % zat terdisolusi dari ibuprofen, campuran fisik dan kompleks
inklusi berdasarkan model kinetika korsemeyer-peppas (log ct = log k +
n log t), log waktu vs log % terdisolusi
Keterangan :
ZA

= Zat aktif ibuprofen

CF 1:1

= Campuran fisika perbandingan 1:1

KI 1:1

= Kompleks inklusi perbandingan 1:1

Lampiran 1. (lanjutan)
Tabel XIV. Kinetika pelepasan obat berdasarkan model kinetika Higuchi (Ct = k.

t ), waktu vs % terdisolusi.
Formula

Persamaan regresi

Koefesien regresi

Ibuprofen

y = 6070,5x + 6045,8

0,9526

83

CF 1:1

y = 4360,1x + 22438

KI 1:1

y = 11801x + 4019,7

0,9675
0,9932

Higuchi
100
ZA

80

Linear (ZA)

60
% Zat Terdisolusi

CF1:1
Linear (CF1:1)

40

KI 1:1
20

Linear (KI 1:1)

0
1

Waktu (Menit)

Gambar 45. Kurva % zat terdisolusi dari ibuprofen, campuran fisik dan kompleks
inklusi berdasarkan model kinetika Higuchi (Ct = k. t ), waktu vs
% terdisolusi
Keterangan :
ZA

= Zat aktif ibuprofen

CF 1:1

= Campuran fisika perbandingan 1:1

KI 1:1

= Kompleks inklusi perbandingan 1:1

Lampiran 2. Contoh perhitungan


Contoh 1. Perhitungan kadar ibuprofen dalam sampel (kompleks inklusi 1:1)

y = 0,0019x 0,029
absorban = 0,478

84

X=

0,478+ 0,029
=271,578 g /mL = 271 x 10-3 mg/mL
0,0019

Kadar Ibuprofen

= 271x10-3 mg/mL

% Kadar Ibuprofen =

271 x 10 mg/mLx 100 mLx 10/2,5


x 100% = 108,63%
100 mg

Contoh 2. Perhitungan kadar persentase ibuprofen terkompleks dalam kompleks


inklusi.
Persentase ibuprofen yang terkompleks dalam kompleks inklusi formula 2 :

KI 2 =

Kadar ibuprofendalam KI 2 setelah dicuci


x 100%
Kadar total ibuprofendalam KI 2

KI 2 =

198,421 g/mL
256,315 g/mL x

100%

77,41%

Lampiran 2. (lanjutan)
Contoh 3. Perhitungan persen zat terdisolusi pada medium dapar fosfat pH 7,2

85

Untuk kompleks inklusi perbandingan 1:1 (KI 1:1)


Absorban menit ke 5 = 0,101
Persamaan regresi : y = 0,002x - 0,0395
0,101 = 0,002x - 0,0395
0,002x = 0,101 + 0,0395
x = 0,101 + 0,0395
0,002
x = 70,25 g/mL = 70,25. 10-3 mg/mL
Faktor Pengenceran =
Kadar = 70,25. 10-3 mg/mL x 1 x 900 mL
= 63,225 mg
% terdisolusi

= 63,225 mg / 200 mg x 100%


= 31,612 %

Absorban menit ke 10 = 0,179


Persamaan regresi : y = 0,002x - 0,0395
0,179 = 0,002x - 0,0395
0,002x = 0,179 + 0,0395
x = 0,179 + 0,0395
0,002
x = 109,25 g/mL = 109,25. 10-3 mg/mL
Faktor koreksi = 5 mL / 900 mL x 63,225 mg = 0,35125 mg
Kadar = 109,25. 10-3 mg/mL x 1 x 900 mL
= 98,325 mg
% terdisolusi

= (98,325 mg + 0,35125 mg) / 200 mg x 100%


= 49,338 %

Absorban menit ke 15 = 0,226


Persamaan regresi : y = 0,002x - 0,0395
0,226 = 0,002x - 0,0395
0,002x = 0,226 + 0,0395
x = 0,226 + 0,0395
0,002
x = 132,75 g/mL = 132,75. 10-3 mg/mL
Faktor koreksi = 5 mL / 900 mL x 98,325 mg = 0,54625 mg
Kadar = 132,75. 10-3 mg/mL x 1 x 900 mL
= 119,475 mg

86

% terdisolusi

= (119,475mg+0,54625mg+0,35125 mg)/200 mg x 100%


= 60,18 %

Absorban menit ke 30 = 0, 296


Persamaan regresi : y = 0,002x - 0,0395
0,296 = 0,002x - 0,0395
0,002x = 0,296 + 0,0395
x = 0,296 + 0,0395
0,002
x = 167,75 g/mL = 167,75. 10-3 mg/mL
Faktor koreksi = 5 mL / 900 mL x 119,475 mg = 0,66375 mg
Kadar = 167,75. 10-3 mg/mL x 1 x 900 mL
= 150,975 mg
% terdisolusi

= (150,975 + 0,66375+0,54625+0,35125)/200 mg x100%


= 76,62%

Absorban menit ke 45 = 0,357


Persamaan regresi : y = 0,002x - 0,0395
0,357 = 0,002x - 0,0395
0,002x = 0,357 + 0,0395
x = 0,357 + 0,0395
0,002
x = 198,25 g/mL = 198,25. 10-3 mg/mL
Faktor koreksi = 5 mL / 900 mL x 150,975mg = 0,83875 mg
Kadar = 198,25. 10-3 mg/mL x 1 x 900 mL
= 178,425 mg
% terdisolusi

= (178,425+0,83875+ 0,66375+0,54625+0,35125) / 200 mg x


100%
= 90,41 %

Absorban menit ke 60 = 0,361


Persamaan regresi : y = 0,002x - 0,0395
0,361 = 0,002x - 0,0395
0,002x = 0,361 + 0,0395
x = 0,361 + 0,0395
0,002
x = 200,25 g/mL = 200,25. 10-3 mg/mL
Faktor koreksi = 5 mL / 900 mL x 178,425 mg = 0,99125 mg

87

Kadar = 200,25. 10-3 mg/mL x 1 x 900 mL


= 180,225 mg
% terdisolusi

= (180,225+ 0,99125+0,83875+ 0,66375+0,54625+0,35125) /


200 mg x 100%
= 91,80%

Lampiran 2. (lanjutan)
Contoh 4. Perhitungan efisiensi disolusi
Untuk kompleks inklusi perbandingan 1:1 (KI 1:1)

88

Efisiensi Disolusi (ED)

Daerah 1 (t=0 sampai t= 5)

luas daerah di bawah kurva


100
waktu x 100

(0+26662,5)
x (50)=66,655
2

Daerah 2 (t=5 sampai t=10)

(6662,5+43085,625)
x (105)=274,275
2

Daerah 3 (t=15 sampai t=10)

(43085,625+51049,16)
x (1510)=235,335
2

Daerah 4 (t=30 sampai t=15)

(51049,16+70980,62)
x (3015)=914,617
2

Daerah 5 (t=45 sampai t=30)

(70980,62+ 85321,25)
x(4530)=1172,257
2

Daerah 6 (t=60 sampai t=45)

(85321,25+91639,375)
x (4530)=1327,2
2

Luas daerah bawah kurva = 66,655 + 274,275 + 235,335 + 914,617 +


1172,257 + 1327,2
= 3891,055

Efisiensi Disolusi (ED)

4 3891,055
100
60 x 100

64,851 %

89

Lampiran 3. Analisa Statistika

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah membaca dan memahami penjelasan serta tujuan dari penelitian ini, saya
yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama

No. BP

Universitas :
Alamat

No. Telp

Menyatakan bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian berjudul


Penutupan rasa pahit ibuprofen melalui pembentukan kompleks inklusi
ibuprofen--Siklodekstrin yang dilakukan oleh Pri Hendi Yanto mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang. Demikian pernyataan ini saya
buat dengan sesungguhnya dan tanpa paksaan dari pihak manapun.

Padang, Juni 2014


Responden,

90

Lampiran 3. (lanjutan)
Tabel XV. Skala Hedonik untuk evaluasi rasa (Hedonic-Scale rating test)
Nama :
No Responden :
Intruksi :
1. Amati sampel ibuprofen
2. Hasil pengamatan diisikan pada organoleptis ibuprofen.
I

Formula :
Tanggal :

Organoleptis sampel ibuprofen


1. Bentuk
:
2. Bau
:
3. Warna
:
Instruksi :
1. Sampel dicicipi dengan lidah dan dibiarkan 15 detik dalam rongga mulut.
2. Isi mulut diludahkan ke baskom pencuci, bilas rongga mulut dengan 200 mL
air minum sampai rasa obat hilang.
Rasa yang terasa pada lidah dikonversikan dalam skala angka 1 sampai 5
3.
dengan sistem peringkat/Hedonic Test.
Letakkan tanda X pada angka skala yang paling menggambarkan
4.
perasaanmu.
5. Jeda waktu antara pengujian sampel I dan sampel II adalah 5 menit.
Ibuprofen Murni
II
Tingkat Pilihan Rasa
Kompleks Inklusi terbanyak
(1) Sangat pahit sekali
(2) Sangat pahit
(3) Pahit
(4) Agak pahit

91

(5) Tidak pahit


Responden,
(.)

Lampiran 3. (lanjutan)
Tabel XVI. Hasil kuesioner responden terhadap penutupan rasa pahit ibuprofen
NO. RESPONDEN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

IBUPROFEN SEBELUM
TERKOMPLEKS
3
3
4
4
3
3
3
3
4
3
3
3
3
4
3
4
3
3
4
4
4
3
3
4
3
3
4
3

92

RASA
IBUPROFEN SETELAH
TERKOMPLEKS
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
5
5

29
30

4
3

4
5

Keterangan : 1 : Sangat pahit sekali

4 : Agak pahit

2 : Sangat pahit

5 : Tidak pahit

3 : Pahit
Lampiran 3. (lanjutan)
Tabel XVII. Tabel uji Wilcoxon dengan SPSS 17.
Wilcoxon Signed Ranks Test
Descriptive Statistics
N

Mean

Std.
Deviation

Minimum Maximum

Ibuprofen Sebelum
Terkompleks

30

3.37

.490

Ibuprofen Sesudah
Terkompleks

30

4.90

.305

Ranks
N
Ibuprofen Sesudah
Terkompleks - Ibuprofen
Sebelum Terkompleks

Negative
Ranks
Positive Ranks

Mean Rank
0a

.00

.00

28b

14.50

406.00

Ties

2c

Total

30

a. Ibuprofen Sesudah Terkompleks < Ibuprofen Sebelum Terkompleks


b. Ibuprofen Sesudah Terkompleks > Ibuprofen Sebelum Terkompleks
c. Ibuprofen Sesudah Terkompleks = Ibuprofen Sebelum Terkompleks

93

Sum of
Ranks

Test Statisticsb
Ibuprofen Sesudah Terkompleks Ibuprofen Sebelum Terkompleks
-4.802a

Z
Asymp. Sig. (2-tailed)

.000

a. Based on negative ranks.


b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Lampiran 3. (lanjutan)
Langkah-langkah Pengujian Hipotesis :
1. Rumusan hipotesis.
Ho : tidak terdapat perbedaan rasa ibuprofen antara sebelum dan setelah
terkompleks.
Ha : terdapat perbedaan rasa ibuprofen antara sebelum dan setelah terkompleks
2. Penganbilan keputusan
a. Dengan membandingkan statistik hitung dengan statistik tabel.
Jika statistik hitung < statistik tabel, maka Ho ditolak
Jika statistik hitung > statistik tabel, maka Ho diterima
Statistik hitung
Statistik hitung dilihat dari output pada kolom sum of ranks, maka statistik
hitung uji Wilcoxon (T) adalah 0,00.
Statistik tabel
Dengan melihat tabel Wilcoxon, untuk jumlah data (n) = 30, uji satu sisi dan
tingkat signifikan () = 5%, maka statistik tabel adalah 151.

94

Keputusan :
Ho ditolak karena statistik hitung < statistik tabel.
b. Pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas.
Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak
Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima
Keputusan :
Ho ditolak karena nilai probabilitas/asymp sig (2-tailed) adalah 0,000 lebih
kecil dari 0,05 atau terdapat perbedaan rasa ibuprofen antara sebelum dan
setelah terkompleks.

95

Lampiran 4. Foto dan dokumentasi

Gambar 46. Alat FT-IR (Thermo Scientific)

96

Gambar 47. Alat Difraktometer Sinar X

Lampiran 3. (lanjutan)

Gambar 48. Alat scanning electron microscope

97

Gambar 49. Pemeriksaan bahan baku

Gambar 50. Pembuatan kompleks inklusi dengan metode kneading

98

Gambar 51. Kompleks inklusi

Gambar 52. Penetapan persentase ibuprofen terkompleks

99

Gambar 53. Penentuan panjang gelombang maksimum ibuprofen

PRI HENDI YANTO


NO. BP : 1201114
TRANSFER 2012

BERKAS KOMPRE

100

Anda mungkin juga menyukai