Anda di halaman 1dari 32

Definisi

Stroke atau serangan otak adalahsindrom klinis yang awal timbulnya


mendadak, progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan sematamata di sebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.9
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang
berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih pada
umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan
cacat atau kematian.10
Stroke non hemoragik sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan
di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan
oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau
pembuluh atau organ distal. Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus.11

B.

Etiologi
Stroke non hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari dua mekanisme patogenik
yaitu trombosis serebri atau emboli serebri.12
Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis atau
cabangnya, biasanya karena arterosklerosis yang mendasari. Proses ini sering
timbul selama tidur dan bisa menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit
neurologi bisa timbul progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam
beberapa jam atau hari.12
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau

cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal,
seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis
biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai
trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak sendiri.
Embolisme serebri sering di mulai mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri
kepala berdenyut.12
C.

Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular
serebral, dapat di bagi dalam :

Stroke non hemoragik yang mencakup


a.

TIA (Transient Ischemic Attack)

b.

Stroke in-evolution

c.

Stroke trombotik

d.

Stroke embolik

e.

Stroke akibat komperesi terhadap arteri oleh proses di luar arteri seperti
tumor, abses, granuloma.

D.

Berdasarkan subtipe penyebab


a.

Stroke lakunar

b.

Stroke trombotik pembuluh besar

c.

Stroke embolik

d.

Stroke kriptogenik

Faktor risiko
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan
yang dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2006) di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto mengenai gambaran faktor-faktor risiko

penderita stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%,


diikuti dengan diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97%.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :

Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan
hampir 13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2002),
dari penelitianya terhadap 45 kasus stroke didapatkan yang mengalami stroke
non hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65 tahun.

Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria
lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan
angka kematianya masih belum jelas.Penelitian yang di lakukan oleh Indah
Manutsih Utami (2002) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran
faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa
jumlah kasus terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya
terhadap 197 pasien stroke non hemoragik.

Heriditer
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi,
penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan riwayat
stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah
mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko
terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-

2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar
29,3%.
4. Rasa atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih. Data
sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku
Jawa (khususnya Yogyakarta).
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu lima
tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai
42%.
2. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai
enam kali ini sering di sebut the silent killerdan merupakan risiko utama
terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik.Berdasarkan
Klasifikasi menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggai
apabila tekanan darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi tekanan
darah kemungkinan stroke makin besar karena mempermudah terjadinya
kerusakan pada dinding pembuluh darah, sehingga mempermudah terjadinya
penyumbatan atau perdarahan otak.
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung, paska
oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering

menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya


pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh
darah otak.

4. (DM) Diabetes melitus


Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel
pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Menurut penelitian
Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan desain case
control, penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke 3,39 kali
dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus.
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat
akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan
tingkat penyembuhan berfariasi tapi biasanya 24 jam. Satu dari seratus orang
dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur
hidup mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan
mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3
akan terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama.11,20

Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas.
Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna
klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam
plasma sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor
dalam serum, ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu

kilomikron, lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas


rendah (LDL), dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat lipo
protein LDL yang paling tinggi kadar kolesterolnya, VLDL paling tinggi
kadar

trigliseridanya,

kadar

protein

tertinggi

terdapat

pada

HDL.

Hiperlipidemia menyatakan peningkatan kolesterol dan atau trigliserida serum


di atas batas normal, kondisi ini secara langsung atau tidak langsung
meningkatkan risiko stroke, merusak dinding pembuluh darah dan juga
menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar kolesterol total >200mg/dl,
LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl, trigliserida >150mg/dl dan trigliserida
>150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di jantung
maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari penelitianya 43 pasien,
di dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida 4,7%, HDL yang
rendah 53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8%.21,16,22

Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas
merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur
adanya obesitas dengan cara mencari body mass index (BMI) yaitu berat
badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Normal
BMI antara 18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99 kg/m2
selebihnya adalah obesitas.

Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan
perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan
karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding
pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah

sehingga mempermudah terjadinya proses gumpalan darah. Berdasarkan


penelitian Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan
merokok meningkatkan risiko terkena stroke sebesar empat kali.
E.

Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal
darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60ml per 100 gram jaringan otak per
menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak

adalah 700-840

ml/menit, dari jumlah darah itu di salurkan melalui arteri karotis interna yang
terdiri dari arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian
depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah
vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior
bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus
Willisi.
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri
yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau
kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu
menyebabkan infark di daerah otak yang di perdarahi oleh arteri tersebut
dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam

pembuluh darah yang memperdarhai otak diantaranya dapat berupa :


1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjani kelainan di system motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang
terkena.
F.

Gejala klinis
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di
otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi
tempat gangguan peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak mengalami
penurunan, menurut penelitian Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non
hemoragik tidak terdapat hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran,
kesadaran seseorang dapat di nilai dengan menggunakan skala koma Glasgow
yaitu :
Tabel 2.1. Skala koma Glasgow.
Buka mata (E)
1.
Tidak ada
respons
Respons
dengan rangsangan

Respon motorik (M)


1.
Tidak ada
gerakan
2.
Ekstensi
abnormal

Respon verbal (V)


Tidak ada suara
Mengerang

nyeri
Buka mata

Fleksi abnormal

3.

Bicara kacau

Buka mata

Menghindari

4.

Disorientasi

spontan

nyeri

dengan perintah

Melokalisir

tempat dan
waktu
5.
Orientasi baik

nyeri

dan sesuai

Mengikuti
perintah

Penilaian skor skala koma Glasgow :


a. Koma (GCS = 3-8)
b. Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)
c. Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)
Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik (hemiparese),
sensorik

(anestesia,

hiperestesia,

parastesia/geringgingan,

gerakan

yang

canggung serta simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan
miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi, memori, emosi) yang
merupakan sifat khas manusia, dan gangguan koordinasi (sidrom serebelar) :5,13
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat
seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri

2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya.


Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan suatu
corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik dimana
dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter atau
reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesistidak biasa gerak cepat
yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan supinasi. Dismetria,
terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan
kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam
hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap
sehingga bergoyang-goyang.
Tabel 2.2. Gangguan nervus kranial.
Nervus kranial

Fungsi

Penemuan

klinis

I: Olfaktorius

Penciuman

dengan lesi
Anosmia (hilangnya daya

II: Optikus
III:

Penglihatan
Gerak mata; kontriksi

penghidu)
Amaurosis
Diplopia (penglihatan

Okulomotorius

pupil; akomodasi

kembar), ptosis;
midriasis; hilangnya

IV: Troklearis
V: Trigeminus

VI: Abdusen
VII: Fasialis

akomodasi
Gerak mata
Diplopia
Sensasi umum wajah, kulit mati rasa pada wajah;
kepala, dan gigi; gerak

kelemahan otot rahang

mengunyah
Gerak mata
Pengecapan; sensasi

Diplopia
Hilangnya kemampuan

umum pada platum dan

mengecap pada dua

telinga luar; sekresi

pertiga anterior lidah;

kelenjar lakrimalis,

mulut kering; hilangnya

submandibula dan

lakrimasi; paralisis otot

VIII:

sublingual; ekspresi wajah


Pendengaran;

wajah
Tuli; tinitus(berdenging

Vestibulokokleari

keseimbangan

terus menerus); vertigo;

s
IX:

Pengecapan; sensasi

nitagmus
Hilangnya daya

Glosofaringeus

umum pada faring dan

pengecapan pada

telinga; mengangkat

sepertiga posterior lidah;

palatum; sekresi kelenjar

anestesi pada farings;

parotis
Pengecapan; sensasi

mulut kering sebagian


Disfagia (gangguan

umum pada farings, laring

menelan) suara parau;

dan telinga; menelan;

paralisis palatum

X: Vagus

fonasi; parasimpatis untuk


jantung dan visera
XI: Asesorius

abdomen
Fonasi; gerakan kepala;

Suara parau; kelemahan

Spinal

leher dan bahu

otot kepala, leher dan

Gerak lidah

bahu
Kelemahan dan pelayuan

XII: Hipoglosus

lidah

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana Pendeita
stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri akan
mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula
sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non
hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya

kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai


mengakibatkan kelumpuhan.26
Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2008) terhadap 281 pasien
stroke di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan hemiparese sinistra yaitu 46,3%,
diikuti oleh hemiparese dekstra 31,7%, tidak tercatat sebanyak 14,2% dan
hemiparesese dupleks 7,8%. Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan
insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan dengan pengelompokan gejala dan
tanda berikut yang tercantum dan disebut sindrom neurovaskular:5,11
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi
arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
a. Hemipareseatau monoparesekontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasiaglobal (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi
yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)

a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai


b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral

c. Afasia visualatau buta kata (aleksia)


d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis.
G. Pemeriksaan fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami, pemeriksaan neurologik
terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini :
1. Status mental
a. Tingkat kesadaran
b. Bicara
c. Orientasi
d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e. Pertimbangan
f. Abstraksi
g. Kosakata
h. Respons emosional
i. Daya ingat
j. Berhitung
k. Pengenalan benda
l. Praksis (integrasi aktivitas motorik).
2. Nervus kranial
a. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang
hidung pasien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada lubang
hidung kemudian di suruh membedakan bau.
b. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan
pemeriksaan oftalmoskopi.

c. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan akomodasi.


d. Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas, bawah,
kiri, kanan, lateral, diagonal.
e. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea
dengan menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya pasien akan
menutup mata, Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi,
pemeriksaan cabang motorik pada pipi.
f. Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi mata ke
samping kiri dan kanan.
g. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua
pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.
h.

Nervus

vestibulokoklearis

yang

di periksa

adalah

pendengaran,

keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.


i. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga posterior
lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian.
j. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.
k. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus
sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai tahanan
yang di berikan si pemeriksa.
l. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan ke
luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.
3. Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan
tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan
yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan
yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan
melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi

dengan tahanan penuh (normal).


C. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan
dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus
tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan
penurunan tonus otot.
4. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu reflek
biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan
sekala 0-4+

yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+:

meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit


traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidismedan kelainan
metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan
sel kornu anteriordan miopati. Reflek superfisial yang abnormal yaitu reflek
babinski, reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji
radiks saraf pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian
telapak kaki bagian lateral dari tumit

ke arah pangkal jari-jari kaki

melengkung ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan
penyebaran jari-jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika
sisi lateral kaki di gores. Reflek openheimdengan penekanan tulang kering
yang akan menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki.
5. Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil.
6. Fungsi serebelar

a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati
sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas
bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai
dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang
dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Rombergdengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa,
dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling
bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus
memindahkan kakinya untuk keseimbangan.
e.

Gaya

berjalan.

Hemiplegi

cenderung

menyeret

kakinya.

parkinsoncenderung berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala


membungkuk dengan punggung membungkuk dan tergesa-gesa. Ataksia
serebelum berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya
sangat jauh terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan
seperti menampar yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan
langkah-langkah yang tinggi.
H.

Pemeriksaanlaboratorium dan teknik pencitraan


Pemeriksaan laboratorium standar biasanya di gunakan untuk menentukan
etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia darah, dan serologi.
Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan etiologi yaitu pemeriksaan
kadar gula darah, dan pemeriksaan lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia :
1.

Gula darah
Tabel 2.3. Kadar glukosa darah.9

Kriteria diagnostik DM
Bukan
Belum pasti
DM

DM

DM (mg/dl)

(mg/dl)

(mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma Vena
Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa

<110
<90

110 199
90 199

>200
>200

Plasma vena
Darah

<110
<90

110 125
90 109

>126
>110

Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat
hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke aterotrombotik di
jumpai 30% dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus mampu menebalkan
pembuluh darah otak yang besar, menebalnya pembuluh darah otak akan
mempersempit diameter pembuluh darah otak dan akan mengganggu
kelancaran aliran darah otak di samping itu, diabetes melitus dapat
mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang
lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke.
2.

Profil lipid
Tabel 2.4. Kadar Lipid Serum Normal.
Kolesterol Total
Optimal
Diinginkan
Tinggi
LDL

(mg/dl)
< 200
200 239
240

Optimal
Mendekati optimal
Diinginkan
Tinggi
Sangat tinggi

< 100
100 129
130 159
160 189
190

HDL
Rendah
Tinggi

< 40
60

Trigliserida
Optimal
Diinginkan
Tinggi
Sangat tinggi

< 150
150 199
200 449
500

LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung kolesterol. LDL


merupakan komponen utama kolesterol serum yang menyebabkan peningkatan
risiko aterosklerosis, HDL berperan memobilisasi kolesterol dari ateroma yang
sudah ada dan memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke empedu , oleh
karena itu kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif dan dengan cara
inilah kolesterol dapat di turunkan, namun penurunan kadar HDL merupakan
faktor yang meningkatkan terjadinya aterosklerosis dan stroke.
Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan menggunakan teknik
pencitraan diantaranya yaitu :
1.

CT scan
Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang peka untuk
mendeteksi stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap paling awal.
CT scan dapat memberi hasil tidak memperlihatkan adanya kerusakan hingga
separuh dari semua kasus stroke non hemoragik.

2.

MRI (magnetic resonance imaging)


Lebih sensitif dibandingkan dg CT scan dalam mendeteksi stroke non
hemoragik rigan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak pada setiap kasus.

Alat ini kurang peka dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi


perdarahan intrakranium ringan.
3.

Ultrasonografidan MRA (magnetic resonance angiography)


Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi (menggunakan
gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA digunakan untuk mencari
kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di arteri utama, MRA
khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi aneurisma intrakranium dan
malformasi pembuluh darah otak.

4.

Angiografi otak
Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra sinar-X ke
dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat
memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.

I.

Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non
hemoragik yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari
stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang
peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan.
1.

Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik


a.

Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)


menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan
hasil CT scannormal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di
lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.

b.

Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam


yang diantaranya yaitu :
1)

Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi


dengan manitol dan hindari cairan hipotonik.

2)

Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat


mencegah trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan
tekanan darah yang dapat menyerupai kegagalan perfusi.

3)

Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga


faktor utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan
hipertensi akut, ini tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam
pertama, bila ada hipertensi beri obat antihipertensi.

c.

Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke
terapi dengan heparin.

2.

Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut


a.

Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg)


10% di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1
jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan
infrak yang luas.

b.

Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau


iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat
diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg
intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.

c.

Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat


memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan
hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
1)

Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi


neurologis seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik,
hipertensi maligna (retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.

2)

Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik
>120 mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.

3)

Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana

tekanan darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.


Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan
darahnya sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di
turunkan maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml
dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10
mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif
lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di jumpai
tekanan darah yang rendah pada stroke maka harus di naikkan dengan
dopamin atau debutamin drips.
d.

Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda


klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun,
gangguan pernafasan atau stroke dalam evolusi.

e.

Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.

f.

Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke


vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada
CT scan.

g.

Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam,


20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam,
sampai masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
1)

Kemungkinan besar stroke kardioemboli

2)

TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis

3)

Stroke dalam evolusi

4)

Diseksi arteri

5)

Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien


stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium,
penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan

antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.


Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang
adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga
pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus di nilai (perhatikan
saat pasien mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di
berikan melalui selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti
bermanfaat untuk pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat
dikelompokkan atas tiga kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat
trombosit dan trombolitika :
1.

Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di


gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.
Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin.

2.

Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi


trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang
terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan
ini

adalah

aspirin,

dipiridamol,

tiklopidin,

idobufen,

epoprostenol,

clopidogrel.
3.

Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus


diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan
perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,
alteplase, urokinase, dan reteplase.
Pengobatan juga di tujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi

yang muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu melakukan
pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali, di samping
melakukan pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan bantuan anggota

keluarga dan ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani (2008) terhadap
281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan 60% berobat jalan,
23,8% meninggal dan sisanya pulang atas permintaan sendiri.

J.

Komplikasi
Kebanyakan morbiditas dan mortilitas stroke berkaitan dengan komplikasi
non neurologis yang dapat di minimalkan dengan perawatan umum, komplikasikomplikasi tersebut yaitu :
1.

Demam, yang dapat mengeksaserbasi cedera otak iskemik dan harus di obati
secara agresif dengan antipiretik atau kompres dingin. Penyebab demam
biasanya adalah pneumonia aspirasi, kultur darah dan urin kemudian beri
antibiotik intravena sesuai hasil kultur.

2.

Kekurangan nutrisi, bila pasien sadar dan tidak memiliki risiko aspirasi
maka dapat dilakukan pemberian makanan secara oral, tetapi jika pasien tidak
sadar atau memiliki risiko aspirasi beri makanan secara enteral melalui pipa
nasoduodenal ukuran kecil dalam 24 jam pertama setelah onset stroke.

3.

Hipovolemia, dapat di koreksi dengan kristaloid isotonis. Cairan hipotonis


(dekstrosa 5% dalam air, larutan NaCl 0,45 %) dapat memperberat edema
serebri dan harus di hindari.

4.

Hiperglikemi dan hipoglikemi, ini dapat lakukan terapi setiap 6 jam selama
3-5 hari sejak onset stoke :
a.

< 50 mg/dl

: dekstrosa 40% 50 ml bolus intravena

b.

50-100 mg/dl

: dekstrosa 5 % dalam NaCl 0,9 %, 500 ml dalam 6

jam
c.

100-200 mg/dl

: pengobatan (-), NaCl 0,9 % atau Ringer laktat

d.

200-250 mg/dl

: insulin 4 unit intravena

e.

250-300 mg/dl

: insulin 8 unit intravena

f.

300-350 mg/dl

: insulin 12 unit intravena

g.

350-400 mg/dl

: insulin 16 unit intravena

h.

> 400 mg/dl

: insulin 20 unit intravena

5.

Atelektasis paru, dapat di cegah dengan fisioterapi dada setiap 4 jam

6.

Dekubitus, dicegah dengan perubahan posisi tubuh setiap 2 jam, kontraktur


dilakukan latihan gerakan sendi anggota badan secara pasif 4 kali sehari,
pemendekan tendo achiles di lakukan splin tumit untuk mempertahankan
pergelangan kaki dalam posisi dorsofleksi.

7.

Defisit sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta visuospasial harus di


lakukan neurorestorasi dini.

8.

Trombosis vena dalam, di cegah dengan pemberian heparin 5000 unit atau
fraksiparin 0,3 cc setiap 12 jam selama 5-10 hari.

9.

Infeksi vesika, pembentukan batu, gangguan sfingter vesika biasanya di


karenakan pemasangan kateter urin menetap, latihan vesika harus segera di
lakukan sedini mungkin bila pasien sudah sadar.

K.

Pencegahan
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan menghindari rokok, stres mental,
alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebih, obat-obat golongan amfetamin,
kokain dan sejenisnya. Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan.
Menggendaliakan hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit
vaskular aterosklerotik lainya. Perbanyak konsumsi gizi seimbang dan olahraga
teratur.
Pencegahan skunder dengan cara memodifikasi gaya hidup yang berisiko
seperti hipertensi dengan diet dan obat antihipertensi, diabetes melitus dengan diet
dan obat hipoglikemik oral atau insulin, penyakit jantung dengan antikoagulan
oral, dislipidemia dengan diet rendah lemak dan obat antidislipidemia, berhenti
merokok, hindari kegemukan dan kurang gerak.

L.

Prognosis
Prognosis stroke dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan defisit
neurologis yang dihasilkan. usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis yang
terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, kurang dari
80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan
tingkat kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. pasien yang selamat dari
periode akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi
independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional. Di
Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan
stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami
cacat ringan atau berat. Sebanyak 28,5% penderita stroke meninggal dunia,
sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15% saja yang
dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Irdawati. Perbedaan Pengaruh Latihan Gerak Terhadap


Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke Non-Hemoragik Hemiparese
Kanan Dibandingkan Dengan Hemiparese Kiri. Media Medika
Indonesia. Surakarta, 2008.

2.

Rambe AS. Sekilas Tentang Definisi, Penyebab, Efek,Dan


Faktor

Risiko.

Departemen

Neurologi

FK-USU.

Medan

2009.http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18925. (4 januari
2012)

3.

Situmorang MH. Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap


Yang Meninggal di RSU Dr. Pirngadi Medan.FKM USU. Medan.
2009.

4.

Utami DN. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya


Stroke Pada Penderita Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas
Seputih Banyak Lampung Tengah Tahun 2009. PSIK-UNIMAL.

Bandar Lampung, 2009.

5.

Sinaga SA. Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap Di


Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2002-2006.FKM USU. Medan.
2008.http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16617. (3 januari
2012).

6.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen


Kesehatan

Republik

Indonesia.Riset

kesehatan

dasar

2007.Jakarta.2008.

7.

Hudak, Gallo. Modified National Institute of Health Stroke


Scale for Use in Stroke Clinical Trials. USU Digital Library. 2006.

8.

RSUD Abdul Moloek. Rekam Medik RSUD Abdul Moeloek


2010. Lampung, 2010.

9.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W.


Kapita Selekta Kedokteran FKUI Jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.
2000: 17-8.

10.

Widjaja AC. Uji Diagnostik Pemeriksaan Kadar DdimerPlasma Pada Diagnosis Stroke Iskemik. UNDIP. Semarang.
2010.
http://eprints.undip.ac.id/24037/1/Andreas_Christian_Widjaja.pdf
(1 januari 2012)

11.

Price SA & Wilson LM. Patofisiologi.Konsep Klinis ProsesProses Penyakitjilid 2. EGC. Jakarta. 2006: 1110-19.

12.

Sabiston. Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC. Jakarta.


1994.hal:579-80.

13.

Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit


Dian Rakyat. Jakarta. 2010: 290-91.

14.

Noeryanto M. Masalah-masalah Dalam Stroke Akut, Temu


Regional Neurologi, Universitas Diponegoro. Semarang, 2002.dalam
Standard Pelayanan Minimal Tatalaksana Stroke Non Hemoragik Fase
Akut Dan Pfevensi Skunder.2011. http://standar-pelayanan-minimaltatalaksana.html (1 januari 2012).

15.

Rismanto. Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke


Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto

Tahun

2006.FKM

UNDIP.Semarang.2006.http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?
action=4&idx=3745. (1 februari 2012).

16.

Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke &


Serangan Jantung Pada Usia Muda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2003.hal:3-11.

17.

Ritarwan K.Pengaruh Suhu Tubuh Terhadap Outcome


Penderita Stroke YangDirawat Di Rsup H. Adam Malik Medan.FK
USU.medan.2003.

18.

Utami IM.Gambaran Faktor - Faktor Risiko Yang Terdapat


Pada

Penderita

Stroke

Di

Rsud

Kabupaten

Kudus.FK

UNDIP.Semarang.2002.http://eprints.undip.ac.id/4021/1/2042.pdf

(3

februari 2012)

19.

Sudoyo AW. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pusat Penerbitan


Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2006.

20.

Feigin V. Panduan bergambar tentang pencegahan dan


pemulihan stroke.PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta. 2011: 29-30.

21.

Price SA & Wilson LM. Patofisiologi , Konsep Klinis ProsesProses Penyakitjilid 1. EGC. Jakarta. 2006: 580-81.

22.

Kristofer D. Gambaran Profil Lipid Pada Penderita Stroke Di


Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009.FK
USU.medan.2010. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21421
(1 januari 2012)

23.

Andaka D. Normalkah Body Mass Index (BMI)


Anda?.2008.http://www.andaka.com/normalkah-body-mass-index-bmianda.php.(1 januari 2012)

24.

Lamsudin R. Algoritma Stroke Gajah Mada Penyusunan Dan


Validasi Untuk Membedakan Stroke Perdarahan Intraserebral Dengan
Stroke Iskemik Akut Atau Stroke Infark. FKUGM. Yogyakarta. 1996.

25.

Swartz MH, Buku Ajar Diagnostic Fisik,EGC, Jakarta,2002:


359-98.

26.

Januar R. Karakteristik Penderita Stroke Non Hemorage Yang


Di

Rawat

Inap

Di

RSU

Herna

Medan

Tahun

200.FKM

USU.Medan.2002. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14569
(1 januari 2012)

27.

Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi


Ke 6,Penerbit Erlangga. Jakarta. 2005: 98-99.

Anda mungkin juga menyukai