JUDUL.............................................................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG..................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.ANATOMI DAN FISIOLOGI.....................................................................................................
B.DEFINISI GLAUKOMA.............................................................................................................
C.KLASIFIKASI GLAUKOMA.....................................................................................................
D.ETIOLOGI.................................................................................................................................
E.PATOFISIOLOGI.......................................................................................................................
F.GLAUKOMA STEROID-INDUCE............................................................................................
G.MANIFESTASI KLINIS...........................................................................................................
H.DIAGNOSIS..............................................................................................................................
I.PENATALAKSANAAN.............................................................................................................
J.KOMPLIKASI............................................................................................................................
K.PROGNOSIS.............................................................................................................................
L.KORTIKOSTEROID.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Glaukoma disebut sebagai Pencuri Penglihatan sebab pada sebagian
besar kasus glaukoma, gejala sering tidak dirasakan oleh penderita. Pada tahap
awal, kerusakan terjadi pada tepi lapangan pandang sehingga penderita tidak
menyadarinya, penderita akan merasa terganggun jika kerusakan sudah mengenai
lapangan pandang sentral dan pada saat itu penyakit sudah terlanjur parah. Proses
kerusakan saraf optik berjalan secara perlahan sampai akhirnya terjadi kebutaan
total. Akhirnya penderita menjadi benar-benar buta.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan peringkat kedua di Indonesia
setelah katarak. Kebutaan yang terjadi pada glaukoma bersifat menetap, tidak
seperti katarak yang bisa dipulihkan dengan pembedahan. Maka hal yang penting
pada terapi glaukoma adalah deteksi dini sehingga tidak terjadi kerusakan saraf
optik yang semakin parah. Terapi glaukoma ialah dengan menurunkan TIO ke
tingkat aman. Aman disini berarti mencapai TIO yang tidak lagi merusak saraf
optik. Penurunan TIO dapat dilakukan antara lain dengan cara menurunkan
produksi atau menambah pembuangan cairan akuos, atau keduanya. Pada tekanan
yang aman tersebut diharapkan tidak terjadi kerusakan saraf optik lebih lanjut
sehingga kebutaan dapat dicegah.1
Diperkirakan hampir 45 juta orang menderita glaukoma sudut terbuka di
seluruh dunia pada 2010.
Pada
meningkat menjadi 58,5 juta orang. Hampir separuhnya (47%) dari seluruh
populasi tersebut adalah ras Asia, sedangkan 24% merupakan ras Eropa. Rerata
prevalensi diperkirakan 1,96% dari penduduk dunia. Menurut Riskesdas (2007)
prevalensi nasional glaukoma adalah 0,5% dan prevalensi di Indonesia adalah 4,6
%.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konfigurasi
Kesempatan Struktur
untuk
pada
Gonioskopi
menutup
IV
35-45
Terbuka lebar
Nihil
III
20-35
Terbuka
Nihil
SL, TM, SS
II
20
Sempit
Mungkin
SL, TM
(moderate)
I
10
Sangat sempit
Tinggi
Hanya SL
Tertutup
Tertutup
tidak
tampak
struktur
membentuk bagian tengah yang lebar dan meluas dari taji skleral sampai dinding
lateral sulkus skleral. Jalinan jukstakanalikular membentuk bagian luar, dan terdiri
dari lapisan jaringan konektif. Bagian ini merupakan bagian sempit trabekular
yang menghubungkan jalinan korneoskleral dengan kanal Schlemm. Sebenarnya
lapisan endotel luar jalinan jukstakanalikular berisi dinding dalam kanal Schlemm
yang berfungsi mengalirkan aqueous ke luar.3
Kanal Schlemm merupakan suatu saluran yang dilapisi endotel, tampak
melingkar pada sulkus skleral. Sel-sel endotel pada dinding dalam ireguler,
berbentuk spindle, dan terdiri dari vakuol-vakuol besar. Pada dinding bagian luar
terdapat sel-sel otot datar datar dan mempunyai pembukaan saluran pengumpul.3
Saluran pengumpul disebut juga pembuluh aqueous intraskleral,
jumlahnya sekitar 25-35, meninggalkan kanal Schlemm pada sudut oblik dan
berakhir di vena-vena episkleral. Vena ini dibagi menjadi dua sistem. Sistem
langsung, yakni dimana pembuluh besar melalui jalur pendek intraskleral dan
langsung ke vena episkleral. Sedangkan saluran pengumpul yang kecil, sebelum
ke vena episkleral, terlebih dahulu membentuk pleksus intraskleral.4
2.2.
Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan
intraokular (TIO) yang (relatif) tinggi, yang ditandai oleh kelainan lapangan
pandang yang khas dan atrofi papil saraf optik. Pada keadaan ini TIO tidak harus
selalu (absolut) tinggi, tetapi TIO relatif tinggi untuk individu tersebut. Misal
untuk populasi normal TIO sebesar 18 mmHg masih normal, tetapi pada individu
tertentu tekanan sebesar itu sudah dapat menyebabkan glaukoma yang disebut
glaukoma normotensi atau glaukoma tekanan rendah.1
2.3.
Klasifikasi Glaukoma
Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi :
1. Glaukoma primer
Etiologi
Glaukoma terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara pembentukan
dan pengaliran humor akuous. Pada sebagian besar kasus, tidak terdapat penyakit
mata lain (glaukoma primer). Sedangkan pada kasus lainnya, peningkatan tekanan
intraokular, terjadi sebagai manifestasi penyakit mata lain (glaukoma sekunder).3,5
2.5.
Patofisiologi
Glaukoma merupakan se-kelompok penyakit kerusakan saraf optik
(neuropati optik) yang biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan okular
pada papil saraf optik. Iskemia pada papil saraf optik juga penting. Hilangnya
akson menyebabkan defek lapangan pandang dan hilangnya ketajaman
penglihatan jika lapangan pandang sentral terkena.1,2,10
Ada dua teori utama mengenai mekanisme kerusakan serabut saraf oleh
peningkatan tekanan intraokular yaitu teori mekanik dan teori vaskular: 7,9
Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan kerusakan mekanik pada akson
saraf optik dan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina, iris dan
korpus siliar juga menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi
hialin sehingga terjadi penurunan penglihatan.
Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan iskemia akson saraf akibat
berkurangnya aliran darah pada papil saraf optik. Diskus optikus menjadi atrofi
disertai pembesaran cekungan optikus.
Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka primer adalah
proses degeneratif di jaringan trabekular berupa penebalan lamella trabekula yang
mengurangi ukuran pori dan berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas. Juga
termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan
endotel kanalis Schlemm. Hal ini berbeda dengan proses penuaan normal.
Akibatnya adalah penurunan drainase humor akueous yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuler.2,7
Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik
yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian
tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga terjadi
cekungan pada papil saraf optik. 5
2.6.
Glaukoma Steroid-Induced
Armaly dan Becker
masing-masing
antara 20 dan 31 mm Hg, atau kenaikan tekanan 6-15 mmHg dari nilai TIO awal;
(3) Tidak repon: pada dua pertiga populasi yang tersisa, memiliki tekanan intra
okuler yang meningkat kurang dari 6 mm Hg dan TIO kurang dari 20 mmHg.
Rute yang paling umum memicu hipertensi okuler atau glaukoma adalah
topikal dan intraokular atau pemberian periokular. Hal ini juga dapat terjadi
setelah menerima steroid sistemik, penggunaan untuk kulit, intranasal, atau yang
melalui inhalasi.
10
intravitreal triamsinolon
saat menerima
kortikosteroid.
2. Rute Pemberian
11
3. Mekanisme Kerja
Anyaman trabekular berperan hampir 90% pada proses drainase humor akuos
dari mata. Meskipun mekanisme elevasi TIO yang diinduksi kortikosteroid
adalah peningkatan resistensi terhadap aliran air melalui rute ini, namun
mekanisme yang tepat masih dapat belum diketahui.
Berdasarkan pemeriksaan histopatologis, perubahan ultrastruktur di anyaman
trabekular mirip dengan glaukoma setelah pengobatan kortikosteroid topikal.
Beberapa studi observasional dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a) Anyaman trabekula matriks ekstraseluler
Efek steroid pada anyaman trabecular
matriks
ekstraseluler
karena
12
anyaman
steroid. Myocilin adalah produk gen, yang dikenal sebagai myocilin atau
protein Trabecular Meshwork-inducible Glucocorticoid Response (TIGR),
di distribusikan secara intraseluler serta dalam matriks ekstraseluler pada
anyaman trabekular normal atau glaukomatus. mutasi gen Myocilin
bertanggung jawab pada remaja yang mengalami glaukoma sudut terbuka
dan 3-5% dari kasus POAG. Mutasi gen ini muncul untuk menghasilkan
disfungsional sekresi dari protein yang diterjemahkan dalam sel anyaman
trabekula, yang memicu penurunan pengeluaran aquos humor. Terdapat
lebih dari 100 kali lipat peningkatan ekspresi gen myocilin telah dilaporkan
setelah paparan deksametason. Namun, baru-baru ini penelitian pada sel
anyaman trabekular manusia yang di kulturkan yakni steroid tetes mata
tidak menunjukkan bahwa overekspresi gen myocilin dikaitkan dengan
peningkatan TIO. Lebih banyak penelitian dibutuhkan untuk menjelaskan
variasi dalam gen myocilin dan mereka yang berperan dalam steroidinduced glaucoma
c) Sel Anyaman Trabekula
Sel anyaman trabekular memiliki reseptor glukokortikoid, dan aktivasi pada
reseptor ini oleh steroid mengganggu struktur dan ekspresi protein pada sel
anyaman trabecular. Steroid telah menunjukkan bagaimana mengubah
morfologi sel
13
di mana perikatan yang kuat dan distribusi yang ketat mempengaruhi laju aliran
humor akuos. F-aktin juga dibuat untuk merespon kontraksi sel dan untuk
berperan dalam menghasilkan pemeliharaan tekanan bola mata. Telah terbukti
bahwa deksametason menginduksi ekspresi F-aktin dan meningkatkan kontraksi
melalui sel trabecular meshwork. Kontraksi trabecular meshwork mengurangi
ruang-ruang interseluler dan dengan demikian mengurangi arus keluar humor
akuous.
Perubahan mikrostruktur pada anyaman trabekula dan aktivitas sel dapat
memicu penurunan proliferasi, migrasi dan fagositosis pada sel anyaman
trabekula. Semua ini menyebabkan berkurangnya kemampuan seluler pada
anyaman trabecular yang terlihat pada pasien dengan glaukoma steroid-induced
dan akumulasi progresif debris ekstraseluler dan akhirnya terdapat peningkatan
resistensi aliran keluar humor akuous.11
2.7.
Manifestasi Klinis
Gejalanya tidak ada atau sangat ringan, biasanya keluhannya hanya rasa
tidak nyaman atau pegal di mata: penglihatan tetap jelas pada fase awal; karena
penglihatan sentral belum terlibat. Selanjutnya lapangan pandang mulai
menyempit. Gejala lain adalah kesulitan berjalan, misalnya sering tersandung
kalau naik-turun tangga atau tidak tahu benda disampingnya karena hilangnya
lapang pandang perifer.
Pemeriksaan pada mata didapatkan mata tampak normal, konjungtiva
tidak merah, kornea jernih, bilik mata depan dalam, dan pupil normal. Funduskopi
menunjukan atrofi papil saraf optik (C/D 0,6). Semakin luas lekukan (semakin
besar rasio C/D), menandakan atrofi semakin parah. Dapat ditemukan tanda-tanda
papil glaukomatosa yang lain yaitu lamina kribosa nampak jelas, atrofi retina
peripapil, gambaran bayonet, nasalisasi pembuluh darah dan penipisan bingkai
saraf optik. Tekanan intraokular lebih dari 21 mmHg.
Pada
pemeriksaan
neurooftalmologis
menggunakan
perimeter
menunjukkan adanya kelainan lapang pandang dan atau skotoma yang khas yaitu
skotoma di daerah Bjerrum, defek arkuata, nasal step dan pinhole vision pada fase
akhir.1
14
2.8.
Diagnosis
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan hasil yang didapat dari
15
16
3. Slit-lamp biomikroskopi
Pada pasien dengan dugaan kuat glaukoma, secara umum dapat ditemukan
tanda-tanda berikut;
Flare dan sel akuos dapat diiihat seteiah edema kornea dapat dikurangi.
Pupil oval vertikal, tetap pada posisi semi-dilatasi dan tidak ada reaksi terhadap
cahaya dan akomodasi.
Dilatasi pembuluh darah iris.
18
19
Mata miopia yang besar memiliki sudut lebar, dan mata hiperopia kecil
memiliki sudut sempit. Pembesaran lensa seiring dengan usia mempersempit
sudut ini dan berperan pada beberapa kasus glaukoma sudut tertutup.1
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut (gonio-lens) di
dataran depan kornea setelah diberikan lokal anestetikum. Lensa ini dapat
dipergunakan untuk melihat sekeliling sudut bilik mata dengan memutarnya 360
derajat.5
6. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus normal memiliki cekungan di bagian tengahnya (depresi
sentral) cawan fisiologik yang ukurannya tergantung pada jumlah relatif serat
penyusun nervus optikus terhadap ukuran lubang sklera yang harus dilewati oleh
serat-serat tersebut.
Atrofi optikus akibat glaukoma menimbulkan kelainan-kelainan diskus
khas yang terutama ditandai oleh berkurangnya substansi diskus yang terdeteksi
sebagai pembesaran cawan diskus optikus, disertai dengan pemucatan diskus di
daerah cawan. Bentuk-bentuk lain atrofi optikus menyebabkan pemucatan luas
tanpa peningkatan pencekungan diskus optikus.
Pada glaukoma, mungkin terdapat pembesaran konsentrik cawan optik
atau pencekungan (cupping) superior dan inferior dan disertai pembentukan takik
(notching) fokal di tepi diskus optikus.5
Kelainan optik-disk dapat dievaluasi dengan menggunakan oftaimoskop
direk, slit-lamp biomikroskopi yang menggunakan lensa +90 Dioptri, Hruby lens,
atau lensa kontak Goldmann dan oftaimoskop indirek. Gambaran fundus pada
glaukoma akut sering ditemukan optic disk edema dan hiperemis.8
Uji Lain Pada Glaukoma
1) Uji Kopi
Penderita meminum 1-2 mangkok kopi pekat, bila tekanan bola mata naik 1520 mmHg sesudah minum 20-40 menit menunjukkan adanya glaukoma.5
2) Uji Minum Air
Minum air banyak akan mengakibatkan turunnya tekanan osmotik sehingga air
akan banyak masuk ke dalam bola mata, yang akan menaikkan tekanan bola
mata. Sebelum makan pagi tekanan bola mata diukur dan kemudian pasien
disuruh minum dengan cepat 1 liter air. Tekanan bola mata di ukur setiap 15
menit. Bila tekanan bola mata naik 8-15 mmHg dalam waktu 45 menit pertama
20
22
TIO,
23
hyperemia
bola
mata
konjungtiva,
dan
hiperpigmentasi
penggelapan
iris
yang
kulit
periorbita,
permanen.
Obat
24
Komplikasi
Kontrol tekanan intraokular yang jelek akan menyebabkan semakin
rusaknya nervus optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadi kebutaan.9
2.11.
Prognosis
Apabila terdeteksi dini, sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani
dengan baik secara medis. Tanpa pengobatan, glaukoma sudut terbuka dapat
berkembang secara perlahan sehingga akhirnya menimbulkan kebutaan total.
25
Apabila obat tetes anti-glaukoma dapat mengontrol tekanan intraokular pada mata
yang belum mengalami kerusakan glaumatosa luas, prognosis akan baik
(walaupun penurunan lapangan pandang dapat terus berlanjut).2,9
3.
1.
Kortikosteroid
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan
26
2.
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid
dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.
3.
Efek Kortikosteroid
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya
gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini
umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat
radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu
edema, deposit fibrin, dilatasi perifer, migrasi leukosit ke tempat radang dan
aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang
telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan
pembentukan sikatriks.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti-inflamasi merupakan terapi
paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap
ada. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk
berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang
menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan karena gejala inflamasi ini sering
digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan
27
28
jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat
selama tidak ada kontraindikasi spesifik.12
4.
pada mata yang disebabkan karena alergi, trauma, atau infeksi. Inflamasi yang
terjadi pada mata dapat diterapi dengan pengobatan topikal dengan injeksi lokal
atau sistemik.
a)
Glukokortikoid
Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses
inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada injeksi
subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk terapi kasus
seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi pada mata. Terapi sistemik
steroid digunakan untuk terapi penyakit sistem imun seperti inflamasi pada mata
yang berat yang sudah resisten dengan terapi topikal. Metil-prednisolon intravena
menjadi pilihan pada terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma
pada saraf optik. Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit,
makrofag, polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel
lainnya.
5.
29
mencegah terjadinya formasi simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas.
Pengurangan scar (bekas luka dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang
lebih jernih setelah pemberian kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi
proliferasi fibroblast dan vaskularisasi.
6.
Indikasi
Pada keadaan inflamasi, kondisi pengobatan dengan menggunakan steroid
responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar, kelopak mata, kornea,
dan segmen anterior bolamata seperti : konjungtivitis alergi, keratitis superficial
nonspesifik, keratitis superficial punctata, keratitis herpes zoster, iritis, siklitis,
konjungtivitis akibat infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan resiko yang
tidak bisa dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema dan inflamasi.
Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi yang mengikuti
pada operasi bola mata. Serta digunakan pada cedera kornea akibat bahan kimia,
radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing. Dapat juga digunakan dalam
menekan reaksi penolakan transplantasi setelah keratopati.
7.
Kontraindikasi
Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan oleh
jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang
disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada
mata (contoh tuberculosis mata), penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme,
hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial
kornea. Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji
coba.
8.
Efek Samping
Kortikosteroid dapat menyebabkan terjadinya glaukoma. Pada glaukoma
terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) dengan kerusakan saraf optik. Pada
pemakaian kortikosteroid topikal biasanya meningkatkan TIO dalam waktu 2
sampai 6 minggu, sedangkan penggunaan sistemik dapat meningkatkan TIO
dalam durasi yang lebih lama yang belum diketahui waktu pastinya. Hal ini
30
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Last
updated
june
2005.
Available
from :http://www.glaucomatoday.com/art/0505/clinstrat.pdf.
5.
Ilyas HS. Pemeriksaan Anatomi dan Fisiologi Mata serta Kelainan pada
Pemeriksaan Mata.. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
6.
7.
h.65-70
James B, Chew C, Bron A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Lecture
8.
9.
10.
11.
12.
Rhee
D,
MD.
Glaucoma,
Drug-Induce.
Diperoleh
dari:
13.
www.emedicine.medscape.com/article1205298. 2009
BAIG Nafees DR. Drug-Induce Glaukoma. Medical bulletin. Hongkong.
2010
33