Anda di halaman 1dari 33

DAFTAR ISI

JUDUL.............................................................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG..................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.ANATOMI DAN FISIOLOGI.....................................................................................................
B.DEFINISI GLAUKOMA.............................................................................................................
C.KLASIFIKASI GLAUKOMA.....................................................................................................
D.ETIOLOGI.................................................................................................................................
E.PATOFISIOLOGI.......................................................................................................................
F.GLAUKOMA STEROID-INDUCE............................................................................................
G.MANIFESTASI KLINIS...........................................................................................................
H.DIAGNOSIS..............................................................................................................................
I.PENATALAKSANAAN.............................................................................................................
J.KOMPLIKASI............................................................................................................................
K.PROGNOSIS.............................................................................................................................
L.KORTIKOSTEROID.................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Glaukoma disebut sebagai Pencuri Penglihatan sebab pada sebagian

besar kasus glaukoma, gejala sering tidak dirasakan oleh penderita. Pada tahap
awal, kerusakan terjadi pada tepi lapangan pandang sehingga penderita tidak
menyadarinya, penderita akan merasa terganggun jika kerusakan sudah mengenai
lapangan pandang sentral dan pada saat itu penyakit sudah terlanjur parah. Proses
kerusakan saraf optik berjalan secara perlahan sampai akhirnya terjadi kebutaan
total. Akhirnya penderita menjadi benar-benar buta.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan peringkat kedua di Indonesia
setelah katarak. Kebutaan yang terjadi pada glaukoma bersifat menetap, tidak
seperti katarak yang bisa dipulihkan dengan pembedahan. Maka hal yang penting
pada terapi glaukoma adalah deteksi dini sehingga tidak terjadi kerusakan saraf
optik yang semakin parah. Terapi glaukoma ialah dengan menurunkan TIO ke
tingkat aman. Aman disini berarti mencapai TIO yang tidak lagi merusak saraf
optik. Penurunan TIO dapat dilakukan antara lain dengan cara menurunkan
produksi atau menambah pembuangan cairan akuos, atau keduanya. Pada tekanan
yang aman tersebut diharapkan tidak terjadi kerusakan saraf optik lebih lanjut
sehingga kebutaan dapat dicegah.1
Diperkirakan hampir 45 juta orang menderita glaukoma sudut terbuka di
seluruh dunia pada 2010.

Pada

tahun 2020 jumlah ini diperkirakan akan

meningkat menjadi 58,5 juta orang. Hampir separuhnya (47%) dari seluruh
populasi tersebut adalah ras Asia, sedangkan 24% merupakan ras Eropa. Rerata
prevalensi diperkirakan 1,96% dari penduduk dunia. Menurut Riskesdas (2007)
prevalensi nasional glaukoma adalah 0,5% dan prevalensi di Indonesia adalah 4,6
%.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi dan Fisiologi

2.1.1. Anatomi Humor Akuos


Bola mata orang dewasa hampir mendekati bulat, dengan diameter
anteroposterior sekitar 24,5 mm. Bola mata terdiri dari konjungtiva, kapsula
tenon, sklera dan episklera, kornea, uvea, lensa, humor akuous, retina, dan
vitreus.2

Gambar 1. Anatomi Mata


Sudut Filtrasi
Sudut filtrasi merupakan bagian yang penting dalam pengaturan cairan
bilik mata. Sudut ini terdapat di dalam limbus kornea. Limbus adalah bagian yang
dibatasi oleh garis yang menghubungkan akhir dari membran Descemet dan
membran Bowman. Akhir dari membran Descemet disebut garis Schwalbe.2

Gambar 2. Anatomi Iris dan Pupil


Limbus terdiri dari 2 lapisan yaitu epitel dan stroma. Epitelnya 2 kali
ketebalan epitel kornea. Di dalam stromanya terdapat serat-serat saraf dan cabang
akhir dari arteri siliaris anterior.1
Bagian terpenting dari sudut filtrasi adalah trabekular, yang terdiri dari :2,3
1) Trabekula korneoskleral
Serabutnya berasal dari lapisan stroma kornea dan menuju ke belakang
mengelilingi kanalis Schlemm untuk berinsersi pada sklera.
2) Trabekula uveal
Serabutnya berasal dari lapisan dalam stroma kornea, menuju ke sclera spur
(insersi dari m.siliaris) dan sebagian ke m.siliaris meridional.
3) Serabut yang berasal dari akhir membran Descemet (garis Schwalbe)
Serabut ini menuju ke jaringan pengikat m.siliaris radialis dan sirkularis.
4) Ligamentum pektinatum rudimenter
Ligamentum ini berasal dari dataran depan iris menuju ke depan trabekula.

Trabekula terdiri dari jaringan kolagen, homogen, elastis dan seluruhnya


diliputi oleh endotel. Keseluruhannya merupakan spons yang tembus pandang,
sehingga bila ada darah di dalam kanalis Schlemm, dapat terlihat dari luar.

Kanalis Schlemm merupakan kapiler yang dimodifikasi, yang mengelilingi


kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel, diameternya 0,5 mm. Pada
dinding sebelah dalam, terdapat lubang-lubang sehingga terdapat hubungan
langsung antara trabekula dan kanalis Schlemm. Dari kanalis Schlemm keluar
saluran kolektor, 20-30 buah, yang menuju ke pleksus vena di dalam jaringan
sklera dan episklera dan vena siliaris anterior di badan siliar.2
Sudut kamera okuli anterior memiliki peran penting dalam drainase
akuous humor. Sudut ini dibentuk oleh pangkal iris, bagian depan badan siliaris,
taji skleral, jalinan trabekular dan garis Schwalbe (bagian ujung membran
descement kornea yang prominen). Lebar sudut ini berbeda pada setiap orang, dan
memiliki peranan yang besar dalam menentukan patomekanisme tipe glaukoma
yang berbeda-beda. Struktur sudut ini dapat dilihat dengan pemeriksaan
gonioskopi. Hasilnya dibuat dalam bentuk grading, dan sistem yang paling sering
digunakan adalah sisten grading Shaffer.3
Grade Lebar sudut

Konfigurasi

Kesempatan Struktur
untuk

pada

Gonioskopi

menutup
IV

35-45

Terbuka lebar

Nihil

SL, TM, SS, CBB

III

20-35

Terbuka

Nihil

SL, TM, SS

II

20

Sempit

Mungkin

SL, TM

(moderate)
I

10

Sangat sempit

Tinggi

Hanya SL

Tertutup

Tertutup

tidak

tampak

struktur

Tabel 1. Sistem Grading Shaffer4


Keterangan :

SL : Schwalbes line, TM : trabecular meshwork, SS : scleral spur, CBB : ciliary


body band.
2.1.2. Fisiologi humor akueus (Aqueous Humour)
Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera anterior
dan posterior mata, diproduksi di korpus siliaris. Volumenya sekitar 250 uL,
dengan kecepatan pembentukan sekitar 1,5-2 uL/menit. Tekanan osmotik sedikit
lebih tinggi dari plasma. Komposisi mirip plasma, kecuali kandungan konsentrasi
askorbat, piruvat dan laktat lebih tinggi dan protein, urea, dan glukosa lebih
rendah. Setelah memasuki kamera posterior, melalui pupil akan masuk ke kamera
anterior dan kemudian ke perifer menuju sudut kamera anterior.1,2
Jalinan/jala trabekular terdiri dari berkas-berkas jaringan kolagen dan
elastik yang dibungkus oleh sel-sel trabekular yang membentuk suatu saringan
dengan ukuran pori-pori semakin mengecil sewaktu mendekati kanalis Schlemm.
Kontraksi otot siliaris melalui insersinya ke dalam jalinan trabekula memperbesar
ukuran pori-pori di jalinan tersebut sehingga kecepatan drainase humor akuous
juga meningkat. Aliran aqueous humor ke dalam kanalis Schlemm bergantung
pada pembentukan saluran-saluran transeluler siklik di lapisan endotel. Saluran
eferen dari kanalis Schlemm (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena akuous)
menyalurkan cairan ke dalam sistem vena. Sejumlah kecil Aqueous humor keluar
dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat sela-sela sclera (aliran uveosklera).
Resistensi utama terhadap aliran Aqueous humor dari kamera anterior adalah
lapisan endotel saluran Schlemm dan bagian-bagian jalinan trabekular di
dekatnya, bukan dari sistem pengumpul vena. Tetapi tekanan di jaringan vena
episklera menentukan besar minimum tekanan intraokuler yang dicapai oleh terapi
medis.2
Sistem aliran drainase aqueous humor, terdiri dari jalinan trabekular, kanal
Schlemm, jembatan pengumpul, vena-vena aqueous dan vena episkleral. Adapun
jalinan trabekular terdiri dari tiga bagian yakni jalinan uveal, korneoskleral, dan
jukstakalanikular. Jalinan uveal merupakan jalinan paling dalam dan meluas dari
pangkal iris dan badan siliaris sampai garis Schwalbe. Jalinan korneoskleral

membentuk bagian tengah yang lebar dan meluas dari taji skleral sampai dinding
lateral sulkus skleral. Jalinan jukstakanalikular membentuk bagian luar, dan terdiri
dari lapisan jaringan konektif. Bagian ini merupakan bagian sempit trabekular
yang menghubungkan jalinan korneoskleral dengan kanal Schlemm. Sebenarnya
lapisan endotel luar jalinan jukstakanalikular berisi dinding dalam kanal Schlemm
yang berfungsi mengalirkan aqueous ke luar.3
Kanal Schlemm merupakan suatu saluran yang dilapisi endotel, tampak
melingkar pada sulkus skleral. Sel-sel endotel pada dinding dalam ireguler,
berbentuk spindle, dan terdiri dari vakuol-vakuol besar. Pada dinding bagian luar
terdapat sel-sel otot datar datar dan mempunyai pembukaan saluran pengumpul.3
Saluran pengumpul disebut juga pembuluh aqueous intraskleral,
jumlahnya sekitar 25-35, meninggalkan kanal Schlemm pada sudut oblik dan
berakhir di vena-vena episkleral. Vena ini dibagi menjadi dua sistem. Sistem
langsung, yakni dimana pembuluh besar melalui jalur pendek intraskleral dan
langsung ke vena episkleral. Sedangkan saluran pengumpul yang kecil, sebelum
ke vena episkleral, terlebih dahulu membentuk pleksus intraskleral.4

Gambar 3. Sudut Iridokornea


Sistem drainase aqueous humor terdiri dari dua jalur, yakni jalur
trabekular (konvensional) dan jalur uveoskleral. Jalur drainase terbanyak adalah
trabekular yakni sekitar 90% sedangkan melalui jalur uveoskleral hanya sekitar
10%.

Pada jalur trabekular, aliran aqueous akan melalui kamera posterior,


kamera anterior, menuju kanal Schlemm dan berakhir pada vena episkleral.
Sedangkan jalur uveoskleral, aqueous akan masuk ke ruang suprakoroidal dan
dialirkan ke vena-vena pada badan siliaris, koroid dan sclera.3

Gambar 4. Skema sirkulasi humor akuos

2.2.

Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah neuropati optik yang disebabkan oleh tekanan

intraokular (TIO) yang (relatif) tinggi, yang ditandai oleh kelainan lapangan
pandang yang khas dan atrofi papil saraf optik. Pada keadaan ini TIO tidak harus
selalu (absolut) tinggi, tetapi TIO relatif tinggi untuk individu tersebut. Misal
untuk populasi normal TIO sebesar 18 mmHg masih normal, tetapi pada individu
tertentu tekanan sebesar itu sudah dapat menyebabkan glaukoma yang disebut
glaukoma normotensi atau glaukoma tekanan rendah.1
2.3.
Klasifikasi Glaukoma
Berdasarkan etiologi, glaukoma dibagi menjadi :
1. Glaukoma primer

Adalah glaukoma yang tidak diketahui pasti penyebabnya atau idiopatik.


Terbagi menjadi :
a) Glaukoma primer sudut terbuka
Glaukoma primer sudut terbuka biasanya bersifat kronik, dan tekanan intra
okularnya bisa saja normal
b) Glaukoma primer sudut tertutup
Glaukoma primer sudut tertutup dapat bersifat akut, subakut, kronik, iris
plateu.
2. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan
TIO (Tekanan Intra Okular) tanpa adanya disfungsi trabekular meshwork.
Mekanisme peningkatan TIO merupakan penyebab utama glaukoma sekunder.
Beberapa jenis galukoma sekunder adalah :
a) Glauoma karena lensa (lens induced glaucoma)
b) Glaukoma pada uveitis (uveitic glaucoma)
c) Glaukoma pasca trauma (traumatic glaucoma)
d) Glaukoma karena steroid (corticosteroid induced glaucoma)
3. Glaukoma kongenital
4. Glaukoma absolut
5. Glaukoma stadium terakhir dimana sudah terjadi kebutaan total.
2.4.

Etiologi
Glaukoma terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara pembentukan

dan pengaliran humor akuous. Pada sebagian besar kasus, tidak terdapat penyakit
mata lain (glaukoma primer). Sedangkan pada kasus lainnya, peningkatan tekanan
intraokular, terjadi sebagai manifestasi penyakit mata lain (glaukoma sekunder).3,5
2.5.
Patofisiologi
Glaukoma merupakan se-kelompok penyakit kerusakan saraf optik
(neuropati optik) yang biasanya disebabkan oleh efek peningkatan tekanan okular
pada papil saraf optik. Iskemia pada papil saraf optik juga penting. Hilangnya
akson menyebabkan defek lapangan pandang dan hilangnya ketajaman
penglihatan jika lapangan pandang sentral terkena.1,2,10
Ada dua teori utama mengenai mekanisme kerusakan serabut saraf oleh
peningkatan tekanan intraokular yaitu teori mekanik dan teori vaskular: 7,9
Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan kerusakan mekanik pada akson
saraf optik dan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina, iris dan

korpus siliar juga menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi
hialin sehingga terjadi penurunan penglihatan.
Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan iskemia akson saraf akibat
berkurangnya aliran darah pada papil saraf optik. Diskus optikus menjadi atrofi
disertai pembesaran cekungan optikus.
Gambaran patologik utama pada glaukoma sudut terbuka primer adalah
proses degeneratif di jaringan trabekular berupa penebalan lamella trabekula yang
mengurangi ukuran pori dan berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas. Juga
termasuk pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan
endotel kanalis Schlemm. Hal ini berbeda dengan proses penuaan normal.
Akibatnya adalah penurunan drainase humor akueous yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraokuler.2,7
Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik
yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian
tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga terjadi
cekungan pada papil saraf optik. 5
2.6.

Glaukoma Steroid-Induced
Armaly dan Becker

masing-masing

melaporkankan bahwa populasi

normal dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan respon mereka terhadap


pemberian preparat topikal deksametason dan betametason: (1) respond yang
tinggi, 4-6% dari populasi, yang tekanan intraokular (TIO) meninggi sampai di
atas 31 mm Hg atau kenaikan lebih dari 15 mm Hg di atas nilai sebelumnya; (2)
respond sedang, terdapat pada

sekitar sepertiga dari populasi, memiliki TIO

antara 20 dan 31 mm Hg, atau kenaikan tekanan 6-15 mmHg dari nilai TIO awal;
(3) Tidak repon: pada dua pertiga populasi yang tersisa, memiliki tekanan intra
okuler yang meningkat kurang dari 6 mm Hg dan TIO kurang dari 20 mmHg.
Rute yang paling umum memicu hipertensi okuler atau glaukoma adalah
topikal dan intraokular atau pemberian periokular. Hal ini juga dapat terjadi
setelah menerima steroid sistemik, penggunaan untuk kulit, intranasal, atau yang
melalui inhalasi.
10

Penggunaan yang populer saat ini adalah

intravitreal triamsinolon

acetonide (IVTA) untuk berbagai penyakit vitreoretinal telah menyebabkan


peningkatan insiden Corticosteroid-Induced hipertensi okular atau glaukoma.
Kerangka waktu ketika dimulainya hipertensi okular tergantung pada obat
tertentu, dosis, frekuensi dan rute pemberian, dan kerentanan individu terhadap
obat. Kejadian steroid-induced iatrogenik glaukoma atau hipertensi okular pada
terapi sistemik jauh lebih sedikit daripada pemberian secara topikal . Meskipun
respon secara akut telah dilaporkan pada terapi steroid sistemik intensif, respon
pada TIO sering terjadi secara lambat. Bernstein dan Schwartz telah melaporkan
bahwa pasien yang telah memperoleh terapi steroid sistemik selama lebih dari 4
tahun secara signifikan memiliki TIO lebih tinggi daripada mereka yang telah
menerima steroid sistemik kurang dari satu tahun.
Meskipun sebagian besar studi melaporkan bahwa TIO naik 3-6 minggu
setelah awal penggunaan steroid topikal, beberapa peninggian tekanan dapat
ditemukan pada kebanyakan pasien lebih awal yakni: pada minggu pertama atau
minggu kedua.
1. Faktor risiko
Kemungkinan respon tinggi lebih besar berikut ini terjadi pada: pasien dengan
glaukoma primer sudut terbuka (POAG) atau tersangka glaukoma, kerabat
keluarga inti tingkat pertama dengan POAG , usia tua atau usia kurang dari 6
tahun, pasien yang mempunyai riwayat penyakit jaringan ikat, terutama
rheumatoid arthritis pada pria, miopia tinggi, diabetes mellitus tipe 1. Pasien
dengan faktor risiko tersebut harus dipantau lebih sering

saat menerima

kortikosteroid.
2. Rute Pemberian

11

Steroid topikal dalam kebanyakan kasus, glaukoma atau hipertensi okular


karena kortikosteroid disebabkan oleh tetes atau salep mata.

3. Mekanisme Kerja
Anyaman trabekular berperan hampir 90% pada proses drainase humor akuos
dari mata. Meskipun mekanisme elevasi TIO yang diinduksi kortikosteroid
adalah peningkatan resistensi terhadap aliran air melalui rute ini, namun
mekanisme yang tepat masih dapat belum diketahui.
Berdasarkan pemeriksaan histopatologis, perubahan ultrastruktur di anyaman
trabekular mirip dengan glaukoma setelah pengobatan kortikosteroid topikal.
Beberapa studi observasional dapat menyimpulkan sebagai berikut:
a) Anyaman trabekula matriks ekstraseluler
Efek steroid pada anyaman trabecular

matriks

ekstraseluler

karena

tergangggunya kecepatan sintesis protein, atau degradasi protein, atau


kombinasi dari keduanya. Hal ini menyebabkan peningkatan deposisi
glikosaminoglikan, elastin, fibronektin, laminin, dan kolagen tipe IV
sebagai bagian dari matriks ekstraselular sekunder untuk peningkatan
produksi dan penurunan kerusakan karena penghambatan beberapa matriks
metaloproteinase pada anyaman trabecular. Selain itu, deksametason

12

diketahui menghambat kemampuan fagositosis dari sel anyaman trabekular


sehingga debris terakumulasi dalam saluran drainase.
b) Genetik
Myocilin adalah gen glaukoma pertama (GLC1A) yang telah diidentifikasi
karena ekspresi genetik pada

anyaman

trabecular dan diinduksi oleh

steroid. Myocilin adalah produk gen, yang dikenal sebagai myocilin atau
protein Trabecular Meshwork-inducible Glucocorticoid Response (TIGR),
di distribusikan secara intraseluler serta dalam matriks ekstraseluler pada
anyaman trabekular normal atau glaukomatus. mutasi gen Myocilin
bertanggung jawab pada remaja yang mengalami glaukoma sudut terbuka
dan 3-5% dari kasus POAG. Mutasi gen ini muncul untuk menghasilkan
disfungsional sekresi dari protein yang diterjemahkan dalam sel anyaman
trabekula, yang memicu penurunan pengeluaran aquos humor. Terdapat
lebih dari 100 kali lipat peningkatan ekspresi gen myocilin telah dilaporkan
setelah paparan deksametason. Namun, baru-baru ini penelitian pada sel
anyaman trabekular manusia yang di kulturkan yakni steroid tetes mata
tidak menunjukkan bahwa overekspresi gen myocilin dikaitkan dengan
peningkatan TIO. Lebih banyak penelitian dibutuhkan untuk menjelaskan
variasi dalam gen myocilin dan mereka yang berperan dalam steroidinduced glaucoma
c) Sel Anyaman Trabekula
Sel anyaman trabekular memiliki reseptor glukokortikoid, dan aktivasi pada
reseptor ini oleh steroid mengganggu struktur dan ekspresi protein pada sel
anyaman trabecular. Steroid telah menunjukkan bagaimana mengubah
morfologi sel

trabecular meshwork dengan menyebabkan peningkatan

dalam ukuran dan konten DNA.


Deksametason meningkatkan kadar protein dari zonula occludens-1 dan
connexin 43 di sel trabecular meshwork, yang dianggap terkait erat dengan
hambatan aliran cairan . Deksametason juga mengubah arsitektur F-aktin dan
mendorong pembentukan jaringan aktin yang menyilang. F-aktin berinteraksi
dengan zonula occludens-1 untuk membantu memperkuat perikatan interseluler ,

13

di mana perikatan yang kuat dan distribusi yang ketat mempengaruhi laju aliran
humor akuos. F-aktin juga dibuat untuk merespon kontraksi sel dan untuk
berperan dalam menghasilkan pemeliharaan tekanan bola mata. Telah terbukti
bahwa deksametason menginduksi ekspresi F-aktin dan meningkatkan kontraksi
melalui sel trabecular meshwork. Kontraksi trabecular meshwork mengurangi
ruang-ruang interseluler dan dengan demikian mengurangi arus keluar humor
akuous.
Perubahan mikrostruktur pada anyaman trabekula dan aktivitas sel dapat
memicu penurunan proliferasi, migrasi dan fagositosis pada sel anyaman
trabekula. Semua ini menyebabkan berkurangnya kemampuan seluler pada
anyaman trabecular yang terlihat pada pasien dengan glaukoma steroid-induced
dan akumulasi progresif debris ekstraseluler dan akhirnya terdapat peningkatan
resistensi aliran keluar humor akuous.11
2.7.

Manifestasi Klinis
Gejalanya tidak ada atau sangat ringan, biasanya keluhannya hanya rasa

tidak nyaman atau pegal di mata: penglihatan tetap jelas pada fase awal; karena
penglihatan sentral belum terlibat. Selanjutnya lapangan pandang mulai
menyempit. Gejala lain adalah kesulitan berjalan, misalnya sering tersandung
kalau naik-turun tangga atau tidak tahu benda disampingnya karena hilangnya
lapang pandang perifer.
Pemeriksaan pada mata didapatkan mata tampak normal, konjungtiva
tidak merah, kornea jernih, bilik mata depan dalam, dan pupil normal. Funduskopi
menunjukan atrofi papil saraf optik (C/D 0,6). Semakin luas lekukan (semakin
besar rasio C/D), menandakan atrofi semakin parah. Dapat ditemukan tanda-tanda
papil glaukomatosa yang lain yaitu lamina kribosa nampak jelas, atrofi retina
peripapil, gambaran bayonet, nasalisasi pembuluh darah dan penipisan bingkai
saraf optik. Tekanan intraokular lebih dari 21 mmHg.
Pada

pemeriksaan

neurooftalmologis

menggunakan

perimeter

menunjukkan adanya kelainan lapang pandang dan atau skotoma yang khas yaitu
skotoma di daerah Bjerrum, defek arkuata, nasal step dan pinhole vision pada fase
akhir.1
14

2.8.

Diagnosis
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan hasil yang didapat dari

anamnesis dan pemeriksaan ofthamologi.


2.8.1. Anamnesis
Masalah utama dalam mendeteksi glaukoma sudut terbuka primer adalah
tidak adanya gejala sampai stadium akhir. Mulai timbulnya gejala glaukoma
primer sudut terbuka agak lambat yang kadang-kadang tidak disadari oleh
penderita sampai akhirnya berlanjut dengan kebutaan. Sewaktu pasien menyadari
ada pengecilan lapangan pandang, biasanya telah terjadi pencekungan
glaukomatosa yang bermakna. Mata tidak merah atau tidak terdapat keluhan, yang
mengakibatkan terdapat gangguan susunan anatomis dan fungsi tanpa disadari
oleh penderita.2
Pada glaukoma sudut terbuka, kerusakan lapangan pandang mata dimulai
dari tepi lapangan pandang dan lambat laun meluas ke bagian tengah. Dengan
demikian penglihatan sentral (fungsi macula) bertahan lama, walaupun
penglihatan perifer sudah tidak ada sehingga penderita tersebut seolah-olah
melihat melalui teropong (tunnel vision).
Diduga glaukoma primer sudut terbuka diturunkan secara dominan atau
resesif pada 50% penderita sehingga riwayat keluarga juga penting diketahui
dalam menggali riwayat penyakit.2,7
2.8.2. Pemeriksaan
Pengamatan atau pemeriksaan terhadap pasien dilakukan sejak pasien
mulai masuk ke dalam kamar pemeriksaan dokter. Pemeriksaan dapat dibedakan
dalam :
Pengamatan
Dilakukan sejak pasien masuk ruangan, dilihat apakah dibimbing keluarga, atau
dengan memegang satu sisi kepala, dan sebagainya.
Pemeriksaan
Gejala penyakit atau kelainan5
2.8.2.1. Pemeriksaan Fisik Mata
1. Pemeriksaan tajam penglihatan (pemeriksaan visus satu mata)

15

Pada pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar,


misalnya kartu baca Snellen yang setiap hurufnya membentuk sudut 5 menit pada
jarak tertentu sehingga huruf pada baris tanda 60, berarti huruf tersebut
membentuk sudut 5 menit pada jarak 60 meter; dan pada baris tanda 30, berarti
huruf tersebut membentuk sudut 5 menit pada jarak 30 meter. Huruf pada baris
tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut 5 menit pada jarak 6 meter, sehingga
huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas.
Dengan kartu Snellen ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti:
Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6
meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka
30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka
50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6
meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada
jarak 60 meter.
Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60.
Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60,
yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter. Dengan uji lambaian
tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk
daripada 1/60.
Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300
meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti
tajam penglihatannya adalah 1/300. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal
adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut
sebagai tajam penglihatan 1/-. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada
jarak tidak berhingga. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar
maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total. Bila seseorang

16

diragukan apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka


dilakukan uji pinhole. Bila dengan pinhole penglihatan lebih baik, maka berarti
ada kelainan refraksi yang masih dapat dikoreksi dengan kacamata.
Bila penglihatan berkurang dengan diletakkannya pinhole di depan mata
berarti ada kelainan organik atau kekeruhan media penglihatan yang
mengakibatkan penglihatan menurun.6
2. Pemeriksaan lapang pandang
Pemeriksaan lapangan pandang secara teratur berperan penting dalam
diagnosis dan tindak lanjut glaukoma. Penurunan lapangan pandang akibat
glaukoma itu sendiri tidak spesifik karena gangguan ini terjadi akibat defek berkas
serat saraf yang dapat dijumpai pada semua penyakit nervus optikus; namun, pola
kelainan lapangan pandang, sifat progresivitas, dan hubungannya dengan
kelainan-kelainan diskus optikus merupakan ciri khas penyakit ini. 2,4 Gangguan
lapangan pandang akibat glaukoma terutama mengenai 300 lapangan pandang
bagian sentral. Perubahan paling dini adalah semakin nyatanya bintik buta.
Daerah-daerah penurunan lapangan pandang yang lebih parah di dalam
daerah Bjerrum dikenal sebagai skotoma Seidel. Lapangan pandang perifer
ternporal dan 50-100 sentral baru terpengaruh pada stadium lanjut penyakit.
Ketajaman penglihatan sentral bukan merupakan petunjuk perkembangan
penyakit yang dapat diandalkan.7
Salah satu cara untuk memeriksa lapangan pandang pada glaukoma
dengan baik adalah dengan perimeter. Alat ini berbentuk setengah bola dengan
jari-jari 30 cm, dan pada pusat parabola ini mata penderita diletakkan untuk
diperiksa. Mata berfiksasi pada bagan sentral parabola perimeter. Obyek digeser
perlahan-lahan dari tepi ke arah titik tengah. Dicari batas-batas pada seluruh
lapangan pada saat mana benda mulai terlihat.5
Batas lapang pandangan perifer 90 derajat temporal, 70 derajat inferior, 60
derajat nasal, dan 50 derajat superior. Dikenal perimetri:
Perimeter kinetik yang disebutjuga perimeter isoptik dan topografik, dimana
pemeriksaan dilakukan dengan objek digerakkan dari daerah tidak terlihat
-

menjadi terlihat oleh pasien.


Perimeter statik atau perimeter profil dan perimeter curve differential
threshold, di mana pemeriksaan dengan tidak menggerak-kan objek akan tetapi
dengan menaikkan intensitas objek sehingga terlihat oleh pasien.5,7
17

3. Slit-lamp biomikroskopi
Pada pasien dengan dugaan kuat glaukoma, secara umum dapat ditemukan
tanda-tanda berikut;

Hiperemis siliar karena injeksi limbal dan pembuluh darah konjungtiva.

Edema kornea dengan vesikel epitelial dan penebalan struma.

Bilik mata depan dangkai dengan kontak indokorneal perifer

Flare dan sel akuos dapat diiihat seteiah edema kornea dapat dikurangi.

Pupil oval vertikal, tetap pada posisi semi-dilatasi dan tidak ada reaksi terhadap
cahaya dan akomodasi.
Dilatasi pembuluh darah iris.

Tekanan intraocular sangat meningkat (50-100 mmHg)8


4. Tonometri
Tonometri adalah suatu tindakan untuk melakukan pemeriksaan tekanan

intraokular dengan alat yang disebut tonometer. Ketebalan kornea berpengaruh


terhadap keakuratan pengukuran. Tekanan intraokular mata yang korneanya tebal,
akan ditaksir terlalu tinggi yang korneanya tipis, ditaksir terlalu rendah. Kesulitan
ini dapat diatasi dengan tonometer kontur dinamik Pascal.. Rentang tekanan
intraokular normal adalah 10-21 mm Hg.1,5
Pada usia lanjut, rerata tekanan intraokularnya lebih tinggi sehingga batas
atasnya adalah 24 mmHg. Pada glaukoma sudut terbuka primer, 32-50% individu
yang terkena akan memperlihatkan tekanan intraokuiar yang normal saat pertama
kali diperiksa. Sebaliknya, peningkatan tekanan intraokular semata tidak selalu
diartikan bahwa pasien mengidap glaukoma sudut terbuka primer; untuk
menegakkan diagnosis diperlukan bukti-bukti lain seperti adanya diskus optikus
glaukomatosa atau kelainan lapangan pandang. Apabila tekanan intraokuiar terusmenerus meninggi sementara diskus optikus dan lapangan pandang normal
(hipertensi okular), pasien dapat diobservasi secara berkala sebagai tersangka
glaukoma.1
Cara mengukur tekanan bola mata tersebut dikenal ada 4 macam, antara
lain yaitu:
a. Tonometer digital
Dasar pemeriksaannya adalah dengan merasakan reaksi lenturan bola mata
bola (balotement) dilakukan penekanan bergantian dengan kedua jari tangan.
Tekanan bola mata dengan cara digital dinyatakan dengan tanda 1, N+2, N+3, dan
sebaliknya N -1 dan seterusnya.Dengan cara ini pemeriksaan adalah sangat

18

subjektif dan memerlukan pengalaman yang banyak, sehingga kurang dapat


dipercaya.5
b. Tonometer Schiotz
Tonometer Schiotz merupakan alat yang praktis sederhana. Pengukuran
tekanan bola mata dinilai secara tidak langsung yaitu dengan teknik melihat daya
tekan alat pada komea. Bila suatu beban tertentu memberikan kecekungan pada
komea maka akan terlihat perubahan pada skala schiotz. Makin rendah tekanan
bola maata makin mudah bola mata ditekan, yang.pada skala akan terlihat angka
skala yang lebih besar. Hal ini juga berlaku sebaliknya.5
c. Tonometer aplanasi goldman
Alat ini mengukur tekanan bola mata dengan memberikan tekanan yang
akan membuat rata permukaan kornea dalam ukuran tertentu dan kecil. Alat ini
sangat baik karena membuat sedikit sekali perubahan pada permukaan kornea atau
bungkus bola mata. Alat ini merupakan alat yang paling sering digunakan.5,8
d. Tonografi
Dengan tonografi diukur derajat penurunan tekanan bola mata bila
diberikan tekanan dengan tonometer indentasi (seperti schiotz). Alat ini jarang
digunakan dan dipergunakan hanya untuk kasus glaukoma yang ragu-ragu.2
5. Gonioskopi
Sudut bilik mata depan dibentuk oleh pertemuan kornea perifer dengan
iris, yang di antaranya terdapat anyaman trabekular. Konfigurasi .sudut ini yakni
lebar (terbuka), sempit, atau tertutup memberi dampak penting pada aliran keluar
aqueous humor. Sudut bilik mata depan sebaiknya ditentukan dengan gonioskopi,
yang memungkinkan visualisasi langsung struktur-struktur sudut. Apabila
keseluruhan anyaman trabekular, taji sklera, dan processus iris dapat terlihat,
sudut dinyatakan terbuka. Apabila hanya garis Schwalbe atau sebagian kecil dari
anyaman trabekular yang dapat terlihat, sudut dinyatakan sempit. Apabila garis
Schwalbe tidak terlihat, sudut dinyatakan tertutup.1
Hal yang tidak kalah penting yaitu melakukan pemeriksaan mata kontralateral, yang biasanya ditemukan gambaran sudut tertutup laten. Dimana mata
yang mengalami glaukoma akut menunjukkan adanya kontak perifer irido-korneal
komplit.8

19

Mata miopia yang besar memiliki sudut lebar, dan mata hiperopia kecil
memiliki sudut sempit. Pembesaran lensa seiring dengan usia mempersempit
sudut ini dan berperan pada beberapa kasus glaukoma sudut tertutup.1
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meletakkan lensa sudut (gonio-lens) di
dataran depan kornea setelah diberikan lokal anestetikum. Lensa ini dapat
dipergunakan untuk melihat sekeliling sudut bilik mata dengan memutarnya 360
derajat.5
6. Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus normal memiliki cekungan di bagian tengahnya (depresi
sentral) cawan fisiologik yang ukurannya tergantung pada jumlah relatif serat
penyusun nervus optikus terhadap ukuran lubang sklera yang harus dilewati oleh
serat-serat tersebut.
Atrofi optikus akibat glaukoma menimbulkan kelainan-kelainan diskus
khas yang terutama ditandai oleh berkurangnya substansi diskus yang terdeteksi
sebagai pembesaran cawan diskus optikus, disertai dengan pemucatan diskus di
daerah cawan. Bentuk-bentuk lain atrofi optikus menyebabkan pemucatan luas
tanpa peningkatan pencekungan diskus optikus.
Pada glaukoma, mungkin terdapat pembesaran konsentrik cawan optik
atau pencekungan (cupping) superior dan inferior dan disertai pembentukan takik
(notching) fokal di tepi diskus optikus.5
Kelainan optik-disk dapat dievaluasi dengan menggunakan oftaimoskop
direk, slit-lamp biomikroskopi yang menggunakan lensa +90 Dioptri, Hruby lens,
atau lensa kontak Goldmann dan oftaimoskop indirek. Gambaran fundus pada
glaukoma akut sering ditemukan optic disk edema dan hiperemis.8
Uji Lain Pada Glaukoma
1) Uji Kopi
Penderita meminum 1-2 mangkok kopi pekat, bila tekanan bola mata naik 1520 mmHg sesudah minum 20-40 menit menunjukkan adanya glaukoma.5
2) Uji Minum Air
Minum air banyak akan mengakibatkan turunnya tekanan osmotik sehingga air
akan banyak masuk ke dalam bola mata, yang akan menaikkan tekanan bola
mata. Sebelum makan pagi tekanan bola mata diukur dan kemudian pasien
disuruh minum dengan cepat 1 liter air. Tekanan bola mata di ukur setiap 15
menit. Bila tekanan bola mata naik 8-15 mmHg dalam waktu 45 menit pertama

20

menunjukkan pasien menderita glaukoma, Biasanya bersamaan dengan


naiknya tekanan bola mata akan terjadi pengurangan outflow of facility.5
3) Uji Steroid (merupakan uji untuk glaukoma herediter)
Pada pasien yang dicurigai adanya glaukoma terutama dengan riwayat
glaukoma simpleks pada keluarga, diteteskan betametason atau (deksametason
0.1% 3-4 kali sehari. Tekanan bola mata diperiksa setiap minggu. Pada pasien
berbakat glaukoma maka tekanan bola mata akan naik setelah 2 minggu.5
4) Uji Variasi Diurnal
Pemeriksaan ini dilakukan karena diketahui tekanan bola mata bersifat
intermiten atau bervariasi dari waktu ke waktu. Perubahan tekanan ini akan
lebih jelas pada mata dengan gangguan outflow of facility. Tekanan bola mata
dapat normal pada waktu dilakukan pemeriksaan sedang penderita saat itu
menderita glaukoma. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah tekanan
bola mata penderita meninggi pada satu saat dalam satu hari yang
menimbulkan gejala glaukomanya.
Pemeriksaan dengan melakukan tonometri setiap 2-3 jam sehari penuh, selama
3 hari. Biasanya pasien dirawat. Nilai variasi harian pada mata normal adalah
antara 2-3 mmHg, sedang pada mata glaukoma sudut terbuka variasi dapat
mencapai 15- 20 mmHg. Perubahan 4-5 mmHg sudah dicurigai keadaan
patologik.
Biasanya tekanan bola mata naik di pagi hari. Bila terdapat perbedaan antara
kedua mata akan menambah kecurigaan. Turunnya tekanan bola mata waktu
pagi hari dapat disebabkan kontraksi otot dan akomodasi. Tekanan bola mata
terendah biasanya pada malam hari.5
5) Uji Kamar Gelap
Bila pasien dengan sudut tertutup berada di kamar gelap atau terdapat midriasis
pada pupilnya maka akan terjadi penutupan sudut bilik mata. Pada uji ini di
lakukan pengukuran tekanan bola mata dan kemudian pasien dimasukkan ke
dalam kamar gelap dan duduk dengan kepala terletak dengan muka menghadap
meja selama 60-90 menit. Pada akhir 90 menit tekanan bola mata diukur. 55%
pasien glaukoma sudut sempit akan menunjukkan hasil yang positif atau naik
tekanan bola mata setelah masuk kamar gelap 8 mmHg. Pada saat pemeriksaan
ini pasien tidak boleh tidur, pada akhir pemeriksaan dilakukan pemeriksaan
ulang keadaan sudut bilik mata atau gonioskopi. 5
21

2.8.2.2. Pemeriksaan Penunjang


1. Ultrasonografi
Ultrasonografi digunakan secara luas dalam bidang oftalmologi untuk
menyediakan informasi tentang vitreous, retina, dan lapisan posterior mata,
terutama bila tidak dapat divisualisasi dengan jelas (jika, sebagai contoh, terdapat
katarak padat atau pendarahan vitreous). 7
2. Keratometri
Bentuk kornea (radius kelengkungan) dapat diukur dari bayangan target
yang direfleksikan dari permukaannya. Hal ini penting dalam penilaian lensa
kontak, pembedahan refraktif, dan perhitungan kekuatan implan lensa artifisial
pada pembedahan katarak. Teknik fotokeratometri memungkinkan dilakukannya
pemetaan kontur kornea yang sangat akurat. 7
3. Teknik Pencitraan Radiologi
CT scan dan MRI telah banyak menggantikan rontgen tengkorak dan
orbita dalam pencitraan orbita dan jalur visual. Teknik diagnostik terbaru telah
meningkatkan diagnosis penyakit orbita (misal meningioma selubung saraf optik)
dan lesi jalur visual seperti tumor hipofisis. Teknik-teknik tersebut juga telah
menjadi pemeriksaan lini pertama pada trauma orbita.7
4. Teknik Pencitraan Digital dan Pemindaian (Scan) Laser
Teknik baru pencitraan retina sedang dikembangkan untuk memperbaiki
kualitas gambar retina dan lempeng optik dan untuk mendapatkan penilaian
kuantitatif beberapa hal seperti area lempeng optik dan mangkuk optik (Bab 10).
Teknik-teknik ini akan membantu penilaian pasien dengan penyakit kronis seperti
glaukoma dan diabetes di mana tatalaksana membutuhkan penilaian perubahan
pada lempeng maupun retina yang akurat.7
2.9.
Penatalaksanaan
2.9.1 Penanganan Non Bedah
Pengobatan non bedah menggunakan obat-obatan yang berfungsi
menurunkan produksi maupun sekresi dari humor akueous.2,5,7,9,10
Pengobatan yang paling efektif untuk glaukoma steroid-induced adalah
pencegahan melalui penggunaan yang tepat pada steroid. Dalam hal ini, edukasi
pasien dan dokter tentang potensi komplikasi okular pada steroid diperlukan.
Kegagalan elevasi TIO setelah 6 minggu terapi tidak menjamin bahwa seorang
individu tidak akan berkembang pada peningkatan TIO jika pemberian steroid

22

dilanjutkan. Untuk alasan ini, pasien yang menggunakan steroid, khususnya


bentuk topikal, harus memiliki tindak lanjut pemeriksaan rutin untuk mencegah
kerusakan saraf optik
1. Pemantauan TIO
Pengetahuan akan kondisi peningkatan TIO adalah yang langkah paling
penting dalam pengelolaan pasien. Ketika pasien diberikan steroid, terutama
dengan steroid topikal potensi kuat dan suntikan

periokular, dokter harus

memantau mereka sepenuhnya. Ini termasuk pengukuran nilai basal

TIO,

sebagian besar untuk menyingkirkan glaukoma yang sudah ada sebelumnya.


pemantauan TIO awalnya harus dimulai pada 2 minggu dan kemudian setiap 4-6
minggu selama 2-3 bulan, dan kemudian setiap 6 bulan setelah respon awal telah
diketahui. Dalam kasus injeksi ivta, selain pengukuran tersebut di atas, TIO harus
diperiksa pada hari saat injeksi dan minggu pertama.
2. Penghentian Steroid
Peningkatan TIO yang dipicu steroid biasanya dalam jangka waktu pendek
dan reversibel dengan penghentian terapi jika obat belum digunakan selama lebih
dari satu tahun. Elevasi TIO permanen terjadi jika terapi steroid telah dilanjutkan
selama 18 bulan atau lebih. TIO biasanya kembali normal dalam waktu 2-4
minggu setelah menghentikan steroid. Dalam kasus dengan injeksi steroid dan
TIO tinggi, penggunaan subconjunctival residual atau intraocular steroid dapat
dihilangkan.
3. Supresi pembentukan humor akueous
Penghambat beta adrenergik adalah obat yang paling luas digunakan.
Dapat digunakan tersendiri atau dikombinasi dengan obat lain. Preparat yang
tersedia antara lain Timolol maleat 0,25% dan 0,5%, betaksolol 0,25% dan 0,5%,
levobunolol 0,25% dan 0,5% dan metipranol 0,3%.
Apraklonidin (larutan 0,5% tiga kali sehari dan 1% sebelum dan sesudah
terapi laser) adalah suatu agonis alfa adrenergik yang baru berfungsi menurunkan
produksi humor akueous tanpa efek pada aliran keluar. Obat ini tidak sesuai untuk
terapi jangka panjang karena bersifat takifilaksis (hilangnya efek terapi dengan
berjalannya waktu) dan tingginya reaksi alergi. Epinefrin dan dipiferon juga
memiliki efek yang serupa.

23

Dorzolamid hydrochloride larutan 2% dan brinzolamide 1% (dua atau tiga


kali sehari adalah penghambat anhidrase topical yang terutama efektif bila
diberikan sebagai tambahan, walaupun tidak se-efektif penghambat anhidrase
karbonat sistemik. Dorzolamide juga tersedia bersama timolol dalam larutan yang
sama.
Fasilitasi aliran keluar humor akueous
Analog prostaglandin berupa larutan bimastoprost 0,003%, latanoprost
0,005% dan travoprost 0,004% masing-masing sekali setiap malam dan larutan
unoprostone 0,15% dua kali sehari yang berfungsi untuk meningkatkan aliran
keluar humor akuous melaului uveosklera. Semua analaog prostaglandin dapat
menimbulkan
pertumbuhan

hyperemia
bola

mata

konjungtiva,
dan

hiperpigmentasi

penggelapan

iris

yang

kulit

periorbita,

permanen.

Obat

parasimpatomimetik seperti pilocarpin meningkatkan aliran keluar humor akueous


dengan bekerja pada anyaman trabekular melalui kontraksi otot siliaris. Obat ini
diberikan dalam bentuk larutan 0,5-6% yang diteteskan hingga empat kali sehari
atau bentuk gel 4% yang diberikan sebelum tidur. Obat-obat parasimpatomimetik
menimbulkan miosis disertai penglihatan suram.
Obat-obatan sistemik
Inhibitor karbonat anhidrase sistemik asetozolamid digunakan apabila
terapi topikal tidak memberikan hasil memuaskan. Obat ini mampu menekan
pembentukan humor akuous sebesar 40-60%. Asetozolamid dapat diberikan
peroral dalam dosis 125-250 mg sampai empat kali sehari atau sebagai Diamox
sequels 500 mg sekali atau dua kali sehari, dapat diberikan secara intravena (500
mg). Penghambat anhidrase karbonat menimbulkan efek samping sistemik mayor
yang membatasi keguanaannya untuk terapi jangka panjang.

2.9.2. Penanganan Bedah dan Laser

24

Indikasi penanganan bedah pada pasien glaukoma sudut terbuka primer


adalah yaitu terapi obat-obatan tidak adekuat seperti reaksi alergi, penurunan
penglihatan akibat penyempitan pupil, nyeri, spasme siliaris dan ptosis.
Penanganan bedah meliputi: 2,9,10
Trabekuloplasti laser

Trabekuloplasti laser digunakan dalam terapi awal glaukoma sudut terbuka


primer. Jenis tindakan ini yaitu penggunaan laser untuk menimbulkan luka bakar
melalui suatu geniolensa ke jalinan trabekular sehingga dapat mempermudah
aliran keluar humor akuous karena efek luka bakar tersebut. Teknik ini dapat
menurunkan tekanan okular 6-8 mmHg selama dua tahun.
Trabekulektomi

Trabekulektomi adalah prosedur yang paling sering digunakan untuk


memintas saluran-saluran drainase normal sehingga terbentuk akses langsung
humor akueous dari bilik mata depan ke jaringan subkonjungtiva dan orbita.
Walaupun sulit untuk menentukan target tekanan intraokular, beberapa panduan
menyebutkan kontrol TIO sebagai berikut:
1. Pasien dengan kerusakan dini diskus optikus dan defek lapangan pandang atau
di bawah fiksasi sentral, TIO harus di bawah 18 mmHg.
2. Pasien dengan kerusakan moderat diskus optikus (CDR > 0,8) terdapat
skotoma arkuata superior dan inferior defek lapangan pandang, harus
dipertahankan TIO di bawah 15 mmHg.
3. Pasien dengan kerusakan dikus optikus lanjut (CDR > 0,9) dan defek lapangan
pandang yang meluas, harus dipertahankan TIO di bawah 12 mmHg.
2.10.

Komplikasi
Kontrol tekanan intraokular yang jelek akan menyebabkan semakin

rusaknya nervus optik dan semakin menurunnya visus sampai terjadi kebutaan.9
2.11.

Prognosis
Apabila terdeteksi dini, sebagian besar pasien glaukoma dapat ditangani

dengan baik secara medis. Tanpa pengobatan, glaukoma sudut terbuka dapat
berkembang secara perlahan sehingga akhirnya menimbulkan kebutaan total.

25

Apabila obat tetes anti-glaukoma dapat mengontrol tekanan intraokular pada mata
yang belum mengalami kerusakan glaumatosa luas, prognosis akan baik
(walaupun penurunan lapangan pandang dapat terus berlanjut).2,9
3.
1.

Kortikosteroid
Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan

dibagian korteks kelenjar adrenal sebagai respon atas hormon adrenokortikotropik


(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon
ini berperan pada banyak sistem fisiologis tubuh, dan pengaturan inflamasi,
metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah
laku.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas
biologis yang menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang
berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga
bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat
pula menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah
mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar
elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid
menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut dalam beberapa derajat, dan lainnya
hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar
adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim
golongan sitokrom P450. Dalam bidang farmasi, obat-obatan di sintesis sehingga
memiliki efek seperti hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup
penting. Deksametason dan turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan
prednison dan turunannya memiliki kerja mineralokotikoid. Obat-obat golongan
kortikosteroid seperti prednisone, dexamethason dan hidrokortison memiliki
potensi efek terapi yang cukup ampuh dalam pengobatan berbagai penyakit
seperti asma, lupus, rheumatoid arthritis dan berbagai kasus inflamasi lainnya.
Tapi kortikosteroid juga memiliki berbagai efek samping yang tidak
menyenangkan.

26

2.

Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.

Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid
dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.
3.

Efek Kortikosteroid
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya

gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik atau alergen. Gejala ini
umumnya berupa kemerahan, rasa sakit dan panas, pembengkakan di tempat
radang. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu
edema, deposit fibrin, dilatasi perifer, migrasi leukosit ke tempat radang dan
aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang
telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan
pembentukan sikatriks.
Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti-inflamasi merupakan terapi
paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap
ada. Sebenarnya hal inilah yang menyebabkan obat ini banyak digunakan untuk
berbagai penyakit, bahkan sering disebut life saving drug, tetapi hal ini juga yang
menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan karena gejala inflamasi ini sering
digunakan sebagai dasar evaluasi terapi inflamasi, maka pada penggunaan

27

glukokortikoid kadang-kadang terjadi masking effect, dari luar penyakit


nampaknya sudah sembuh tetapi infeksi di dalam masih terus menjalar. Konsep
terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan anti-inflamasi yang
selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara
fisiologis pun merupakan mekanisme protektif. Banyak mediator reaksi imun
yang terkait dengan reaksi inflamasi sesungguhnya akan menyebabkan kolapsnya
sistem kardiovaskuler bila tidak ada kortikosteroid yang melawannya. Hipotesis
ini ditunjang oleh tingginya produksi kortikosteroid dalam keadaan stress yaitu
bisa sampai 10 kali lipat. Juga ternyata semua efek farmakologi didapat melalui
mekanisme kerja di reseptor yang sama dengan yang terjadi secara fisiologis.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-respetor
glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid
berdifusi ke dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan
reseptor. Kompleks kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk
aktif, dan akan mengikat DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA
(mRNA). Messenger RNA ini akan menimbulkan sintesis protein yang baru.
Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel limfoid dengan penghambatan
uptake glukosa. Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah
penghambatan akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu
kortikosteroid juga menyebabkan berkurangnya aktivitas makrofag, baik yang
beredar dalam darah (monosit) maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel
Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan akibat penghambatan kerja faktor-faktor
limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada makrofag. Penghambatan
akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid mengurangi
daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat
penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada
kadar suprafarmakologik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan
untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.
Dosis ini ditentukan secara trial and error. Untuk keadaan yang tidak mengancam

28

jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu yang singkat
selama tidak ada kontraindikasi spesifik.12
4.

Penggunaan Steroid pada Mata


Kortikosteroid biasanya digunakan untuk mengobati bengkak dan gatal

pada mata yang disebabkan karena alergi, trauma, atau infeksi. Inflamasi yang
terjadi pada mata dapat diterapi dengan pengobatan topikal dengan injeksi lokal
atau sistemik.
a)

Glukokortikoid
Steroid digunakan secara topikal untuk mencegah atau menekan proses

inflamasi yang terjadi pada mata akibat trauma dan uveitis. Pada injeksi
subkonjungtiva dan injeksi retrobulbar, steroid digunakan untuk terapi kasus
seperti ini yang tergolong berat akibat terjadi inflamasi pada mata. Terapi sistemik
steroid digunakan untuk terapi penyakit sistem imun seperti inflamasi pada mata
yang berat yang sudah resisten dengan terapi topikal. Metil-prednisolon intravena
menjadi pilihan pada terapi demielinisasi saraf optik yang terinfeksi dan trauma
pada saraf optik. Glukokortikoid menginduksi efek sel spesifik dalam limfosit,
makrofag, polimorfonuklear leukosit, sel endotel vaskuler, fibroblast, dan sel-sel
lainnya.
5.

Farmakologi kortikosteroid topikal


Kortikosteroid topikal digunakan pada aksi anti-inflamasi. Aspek dari

proses inflamasi seperti hiperemia, infiltrasi seluler, vaskularisasi dan proliferasi


fibroblastik ditekan. Steroid menghambat respons inflamasi untuk merangsang
agen-agen mekanis, kimia atau imunologi alami. Kortikosteroid topikal efektif
digunakan pada kondisi inflamasi akut pada konjungtiva, sklera, kornea, kelopak
mata, iris, badan siliar, dan segmen anterior dari bola mata, dan dalam kondisi
alergi bola mata. Mekanisme dari aksi anti inflamasi diperkirakan untuk menjadi
potensi dari vasokonstriksi epinefrin, stabilisasi dari membran lisosom, retardasi
pergerakan makrofag, pencegahan dari pelepasan kinin, inhibisi dari limfosit dan
fungsi neutrofil, inhibisi dari sintesis prostaglandin dan pada penggunaan jangka
panjang menurunkan produksi antibodi. Hambatan proliferasi fibroblast dapat

29

mencegah terjadinya formasi simblefaron pada trauma kimia dan trauma panas.
Pengurangan scar (bekas luka dalam bentuk jaringan ikat) dengan kornea yang
lebih jernih setelah pemberian kortikosteroid topikal adalah hasil dari inhibisi
proliferasi fibroblast dan vaskularisasi.
6.

Indikasi
Pada keadaan inflamasi, kondisi pengobatan dengan menggunakan steroid

responsif inflamasi pada palpebra dan konjungtiva bulbar, kelopak mata, kornea,
dan segmen anterior bolamata seperti : konjungtivitis alergi, keratitis superficial
nonspesifik, keratitis superficial punctata, keratitis herpes zoster, iritis, siklitis,
konjungtivitis akibat infeksi bakteri ketika penggunaan steroid dengan resiko yang
tidak bisa dipisahkan diterima untuk mengurangi terjadinya edema dan inflamasi.
Rimexolone juga diindikasikan jika terjadi inflamasi post operasi yang mengikuti
pada operasi bola mata. Serta digunakan pada cedera kornea akibat bahan kimia,
radiasi atau trauma panas atau trauma benda asing. Dapat juga digunakan dalam
menekan reaksi penolakan transplantasi setelah keratopati.

7.

Kontraindikasi
Keratitis herpes simpleks superficial akut; penyakit yang disebabkan oleh

jamur pada struktur bola mata; vaksinasi, varisela dan banyak lagi penyakit yang
disebabkan oleh virus pada kornea dan konjungtiva, infeksi mikobakterium pada
mata (contoh tuberculosis mata), penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme,
hipersensitivitas, setelah pemindahan yang tidak utuh pada badan asing superficial
kornea. Medrysone tidak digunakan pada iritis dan uveitis; hasilnya belum di uji
coba.
8.

Efek Samping
Kortikosteroid dapat menyebabkan terjadinya glaukoma. Pada glaukoma

terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) dengan kerusakan saraf optik. Pada
pemakaian kortikosteroid topikal biasanya meningkatkan TIO dalam waktu 2
sampai 6 minggu, sedangkan penggunaan sistemik dapat meningkatkan TIO
dalam durasi yang lebih lama yang belum diketahui waktu pastinya. Hal ini

30

disebabkan karena pemakaian steroid sistemik meningkatkan TIO secara bertahap


dan tidak menimbulkan gejala, sehingga para pemakai steroid sistemik dalam
jangka waktu lama dapat terlambat terdiagnosis.13

31

DAFTAR PUSTAKA

1.

Suharjo SU, Sundari S, Sasongko MB. Kelainan Palpebra, Konjungtiva,


Kornea, Sklera dan Sistem Lakrimal. Dalam Suhardjo SU, Hartono. Ilmu
Kesehatan Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2012.
h.111-43.

2.

Vaughan, Daniel G, MD, Asbury, Taylor, MD, dan Riordan-Eva, Paul,


FRCS, FRCOphth. Editor; Diana Susanto. Oftalmologi Umum. EGC.

3.

Jakarta. 2009. hal; 12 dan 212-229.


Khurana, A.K. Comprehensive Opthalmology. 4th edition. New Age

4.

International (P) limited. New Delhi. 2007. Hal 205-208


Barbara C, Marsh, Louis B, Cantor. The speath Gonioscopic Grading
System.

Last

updated

june

2005.

Available

from :http://www.glaucomatoday.com/art/0505/clinstrat.pdf.
5.

Ilyas HS. Pemeriksaan Anatomi dan Fisiologi Mata serta Kelainan pada
Pemeriksaan Mata.. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai

6.

Penerbit FKUI; 2009. h.47-51


Ilyas HS. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna.
Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.

7.

h.65-70
James B, Chew C, Bron A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Lecture

8.

Notes: Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2005. h.18; 30-3


Amra AA. Penatalaksanaan Glaukoma Akut. Medan: Fakultas Kedokteran

9.

Universitas Sumatera Utara; 2007.


Kooner KS. Primary Open Angle Glaucoma. In : Clinical Pathway of

10.

Glaucoma. NewYork : Thieme; 2000.


Morrison JC, Pollack IP. Primary Open Angle Glaucoma. In : Glaucoma

11.

Science and Practice. NewYork : Thieme; 2003.


M. Reza Razeghinejad. Steroid-Induced Iatrogenic Glaucoma. Glaucoma
Service at Wills Eye Institute: Philadelphia. USA; 2011.
32

12.

Rhee

D,

MD.

Glaucoma,

Drug-Induce.

Diperoleh

dari:

13.

www.emedicine.medscape.com/article1205298. 2009
BAIG Nafees DR. Drug-Induce Glaukoma. Medical bulletin. Hongkong.
2010

33

Anda mungkin juga menyukai