Anda di halaman 1dari 9

Manajemen Cedera Jalan Napas

Cedera jalan napas merupakan penyebab kematian palin umum


terjadi dalam bidang traumatology. Insidensi trauma jalan napas
masih terbilang rendah namun terus meningkat tajam. Sebaliknya,
kematian akibat trauma pada jalan napas sangatlah tinggi yang
muncul pada sebagian besar kasus trauma tumpul dan trauma
tusuk pada jalan napas. Pasien pasien dengan cedera derajat berat
memiliki kecenderungan untuk mengalami mortalitas. Suatu studi
retrospektif yang melibatkan 12.187 pasien yang sedang menjalani
terapi di pusat penanganan trauma di Toronto sejak tahun 1989
hingga 2005, didapatkan data sebanyak 0.3% mengalami trauma
tumpul pada jalan napas dengan skor Injury Severity 33 dan
mortalitas 36%, sedangkan angka insidensi trauma tusuk sekitar
0.6% dengan skor Injury Severity 24 dan mortalitas 16%. Dari
sekitar 24 kematian, cedera jalan napas merupakan penyebab
paling tinggi pada 10 kematian. Sedangkan 12 pasien lainnya
memiliki

cedera

jalan

napas

pada

bagian

thorakalis

dan

menyebabkan kematian pada 9 pasien. Studi lain melibatkan


sebanyak 44.684 sampel pasien trauma bertempat di Texas sejak
tahun 1996 hingga 2003, data menjelaskan sebanyak 12 dari 19
pasien tewas setelah mengalami trauma tumpul pada jalan napas
dan terdapat 52 pasien yang mengalami trauma tusuk pada bagian
laringo-trakeal.
Studi kali ini merupakan review bagaimana pendekatan klinisi
terhadap pasien pasien dengan trauma jalan napas khususnya pada
bagian wajah mencakup maxila dan mandibula serta leher dan area
glottis.
Trauma Jalan Napas
Dapat dibagi menjadi tiga bagian; maxilofacial, leher, dan laryngeal
Trauma Maxilofacial

Trauma tumpul atau tajam pada wajah dapat merusak jaringan


hingga

mencapai

intrakranial.

Trauma

maxilofacial

dapat

mengancam jiwa akibat berbagai permasalahan perdarahan yang


mungkin

terjadi

pada

nasal

serta

memungkinkan

terjadinya

disfungsi temporomandibular joint. Manajemen perdarahan dapat


dimanipulasi

dengan

menelan

darah

dalam

keadaan

duduk,

meskipun dapat berisiko terjadinya regurgitasi dan kemudian


menjadi aspirasi. Perdarahan pada vena dapat dikendalikan dengan
cara reduksi bagian yang mengalami fraktur. Perdarahan arteri
dapat

ditatalaksana

dengan

angiografi

emboli

atau

dengan

intervensi pembedahan.
Pada keadaan fraktur mandibula parasimfisial posisi lidah
tidak lagi mengarah kedepan. Posisi lidah cenderung mengarah ke
posterior dan periglotis menyebabkan obstruksi jalan napas. Walau
bagaimanapun, obstruksi jalan napas dapat dikurangi dengan
memposisikan upright meskipun dapat memperburuk kondisi cedera
spinal jika memang ada dicurigai cedera spinal.
Cedera mid facial dapat menyebabkan terjadinya Le Fort I, II,
dan III. Le fort II dan III dapat disertai dengan basis kranii dan
bocornya cairan cairan serebrospinal. Sinus sphenoid dan lamina
kribiformis dapat mengalami gangguan pada pasien dengan fraktur
noorbitoetmoid, fraktur Le Fort II dan III, serta fraktur panfasial.
Fraktur midfasial secara umum berhubungan dengan cedera kepala
dan

servikal,

berhubungan

sedangkan
cedera

fraktur

mata.

zigoma

Fraktur

basis

dan

orbita

kranii

dapat

melibatkan

temporal, occipital, sphenoid, ethmoid. Pasien dengan gangguan


tersebut dapat menjadi Raccoon Eyes dan Battles sign,
rhinorrea dan parese nervus kranial.
Trauma Leher
Trauma tajam maupun trauma tumpul dapat melibatkan
hampir seluru struktur vital termasuk organ pernapasan, vaskular,
digestif, endokrin, dan organ neurologi. Cedera artei setelah trauma

tajam dilaporkan sebanyak 12 hingga 13% sedangkan insidensi


cedera vena ditemukan pada 18 hingga 20%. Kematian dini paling
umum disebakan oleh asfiksia akibat gangguan airway atau
hipotensi arteri akibat syok hemoragik.
Bagian leher dibagi menjadi 3 bagian dan merupakan suatu
acuan klinisi dalam mempertimbangkan diagnosis banding dari
trauma tajam dan menentukan manajemen jalan napas, kontrol
perdarahan, dan pendekatan pembedahan. Jalan napas dapat
terjadi karena kompresi dan obstruksi dari gangguan jaringan
sekitar, edema, dan hematoma. Jejas pada leher tidak boleh terlalu
diperiksa secara invasif ditakutkan dapat menyebabkan terjadinya
tromboemboli yang berakibat perdarahan yang tak terkontrol.
Cedera

cervikal

dapat

menyebabkan

retrofaringeal

hematom

sehingga berakibat menjadi kompresi jalan napas dan sulit untuk


dilakukan pemeriksaan laringoskop. Cedera servikal pada C4 hingga
C5 dapat menyebabkan terjadinya edema laring, apnea akibat
gangguan inervasi pada diafragma, dan syok neurogenik akbiat
penurunan tonus simpatetik. Gangguan traktus digestivus dapat
dicurigai jika muncul gejala disfagia, udara retrofaringeal, atau
pneumomediastinum.
Trauma Laring
Gejala dan tanda bisa saja tidak sebanding dengan beratnya cedera
yang dialami. Cedera dapat menjalar ke basis kranii, intrakranial,
leher, cervical spine, esophagus, dan pharynx. Cedera vaskular
pada cervicotorakal dapat ditemui pada 25% kasus. Trauma tumpul
pada laring biasanya melibatkan trakea. Beberapa pasien dengan
trauma tumpul pada bagian anterior leher dapat bernapas normal
namun dapat mengalami gangguan jalan napas selama beberapa
jam akibat peningkatan disrupsi pada laring, edema, dan hematom.
Keputusan untuk bertindak melakukan intubasi ataupun observasi
ditentukan dari onset terjadi nya trauma. Beberapa pasien memiliki
mekanisme

self

limiting

terhadap

cedera,

sehingga

tidak

memerlukan tindakan intubasi maupun operasi laring. Gangguan


pada trakea akibat kompresi atau trauma yang langsung mencapai
trakea harus dicurigai jika adanya tanda tanda obstruksi jalan napas
seperti stridor, ataupun trauma pada leher, sternum dan klavikula.
Pemisahan laringotrakeal mungkin saja terjadi. Insersi endotracheal
tube (ETT) dapat menyebabkan pemisahan trakea terhadap laring.
Deselarasi segera menyebabkan terjadinya fleksi-ekstensi pada
leher sehingga berakibat pada sobeknya jaringan, paling sering
pada daerah cricoid dan carina. Trauma tumpul dapat merusak
trakea

bagian

yang

berseberangan

dengan

tulang

vertebrae

memungkinkan terjadinya clothesline injury. Penyebab lain trauma


tumpul jalan napas adalah terbenturnya bagian dada pada bagian
stir mobil.
Penatalaksanaan awal
Jika oksigenasi dan ventilasi stabil maka tak perlu dilakukan
penatalaksanaan
penderita.

pre-hospital,

Penatalaksanaan

bahkan

cedera

dapat

pada

membahayakan

organ

dan

kontrol

perdarahan sangatlah terbatas jika tidak dilakukan di rumah sakit.


Oleh karena itu, suatu intervensi jalan napas yang tak terlalu
penting

pada

prehospital

tidak

seharusnya

memperlama

transportasi pasien ke rumah sakit. Jika personel prehospital


dianggap sudah terlatih terhadap manajemen jalan napas dan
memiliki fasilitas yang cukup, maka tindakan intervensi jalan napas
dapat

dilakukan

sesegera

mungkin

tanpa

harus

menunggu

transportasi ke rumah sakit.


Manajemen jalan napas
Evaluasi Pada bagian yang terkena
Mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik dapa membantu untuk
menentukan derajat syok yang dialami serta cedera lainnya yang
mungkin dapat terjadi. Perdarahan yang berlebihan pada daerah
jalan napas dan sekitarnya dapat terjadi akibat konsumsi obat

antikoagulan. Efek beberapa obat NOAC (Newer Oral Anti Coagulant)


agak sulit untuk dikurangi. Jalan napas harus di evaluasi ulang
secara beraturan paling tidak dalam setiap jam karena ditakutkan
adanya perburukan pada jalan napas. Jika pasien dapat menjawab
pertanyaan

sederhana

yang

diajukan,

maka

dapat

diambil

kesimpulan bahwa patensi pernapasan pada pasien masih ada. Jika


ada waktu, dapat dilakukan analisa mekanisme trauma dan
pemeriksaan fisik pada pasien sebelum dilakukan manajemen jalan
napas serta intervensi oleh ahli anestesi. Advanced Trauma Life
Support memberikan tiga konsep pada manajemen jalan napas,
diantaranya; 1) Atasi permasalahan yang paling mengancam jiwa,
2)

kurangnya

data

dalam

menegakkan

diagnosis

tidaklah

menghalangi para ahli untuk melakukan tindakan pertolongan, 3)


data mendetail tidak lah penting untuk memulai pemeriksaan pada
pasien pasien dengan cedera akut jalan napas. Evaluasi dapat
dilakukan

dengan

menggunakan

laringoskop

direct,

videolaringoskop, fiberoptic bronkoskopi, atau USG, dengan atau


tanpa penggunaan sedasi dan anestesia topikal. Pemeriksaan
radiologi lainnya seperti MRI dan CT Scan dapat dilakukan dengan
syarat intubasi tidak harus langsung dilakukan pada pasien.
Pencitraan radiologi dapat memberikan informasi yang lebih banyak
mengenai gangguan jalan napas dan struktur sekitarnya dan
penilaian risiko kompresi jalan napas.

Pendekatan Umum
Masih kurang bukti terkait manajemen jalan napas pada pasien
dengan trauma jalan napas. Terapi awal dengan pemberian 100%
oksigen, jalan napas harus dibersihkan dari berbagai material yang
mengganggu seperti gigi yang longgar, darah, dan muntahan) dan
manuver dasar harus dilakukan seperti suction, chin lift, jawthrust,

oralairway,danbaggingventilation.Jikadicurigaiadanyacederaservikal,
semuamaneuverharusdilakukansertadigunakancollarneck.Jalannapaspada

nasalharusdilancarkanjikaadakemungkinanterjadinyafrakturnasaldanbasis
kranii.Jikaditemukanadanyacederapadapembuluhdarahbesar,disarankan
untukdilakukanposisiTredelenburgdanposisiterlentanguntukminimalisasi
resikoemboliudara.Padapasienpasiendenganfrakturfasial,ventilasipositif
pada jalan napas dapat memungkinkan terjadinya berpindahnya fragmen
fragmen tulang yang fraktur sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas, mencetuskan terjadinya emfisema subkutis, pneumoensefali,
pneumomediastinum, dan penumotorax. Cedera laring dapa diperparah oleh
penekanancricoid,laringoskopi,danintubasi.
Beberapapasiendenganketerbatasanjalannapastidakmembutuhkan
tindakan intubasi. Suatu studi menyatakan bahwa intubasi emergensi hanya
dilakukanpada 50%kasus traumatajampada jalannapas dan80%trauma
tumpul. Sedangkan pada studi lainnya, hanya sekitar sepertiga tindakan
intubasidilakukandiruangoperasiyangmerupakantindakannonemergensi.
Oleh karena itu, manajemen konservatif dapat dilakukan selama tidak ada
penurunan fungsi jalan napas. Jika intubasi tak dilakukan, maka perlu
dilakukanpenilaianberulangpadapasiensecarateratur.
Berikut adalah indikasi untuk mengamankan jalan napas diantaranya
adalah; trauma berat, cardiac arrest, syok, distress pernapasan, hipoksia,
kecemasanberat,dansuatukeadaanyangtidakmemungkinkanuntukproteksi
jalannapassepertipadapasiendenganGCS<9danperubahanstatusmental
padapasien.Cederaesophagusdapatdialamipada10%pasiendengantrauma
laringotrakea khususnya pada pasien pasien yang mengalami trauma tajam.
Pasien dengan cedera esophagus harus dilakukan tindakan intubasi urgensi.
Kontroljalannapasdinijugadapatdipertimbangkanpadakasushematomadi
jalan napas dan sekitarnya serta cedera akibat zat biokimia, agen inhalasi
termasuk rokok dan asap kebakaran yang menyebabkan terjadinya edema
mucus.Pembedahanpadajalannapasmerupakanindikasipadapasienhipoksia

ataupunhipotensiyangtidakbisadilakukantindakanintubasi.Berbagaiteknik
intubasi diantaranya adalah laringoskop direk, video laringoskop, dan fiber
optic bronkoskopi cocok untuk dilakukan. Intubasi dalam keadaan ventilasi
spontan dapat dilakukan pada pasien yang koperatif dan dapat digunakan
anestesitopical,sedasi,evakuasidarah,debris,sertavomitus.RapidSequence
Induction(RSI)danintubasidenganmenggunakanstabilisasiakialdarikepala
danleherdapatmenjadialternative.RSIdapatditerapkanpadapasiendengan
traumatajampadaleher.SuatustudimelaporkanbahwaRSItelahditerapkan
pada70%dari12.187pasientrauma.
Intubasiselamaventilasispontanpadapasiensadarpenuhmaupunpada
pasienyangtelahdisedasi,membutuhkanwaktulebihuntukintubasisebelum
desaturasioksigen,danmemungkingkanjalannapasyanglebihkomplit.Pada
pasienyangkoperatif,jauhlebihamandilakukanpadagangguanjalannapas
yangtidakdiketahuidanpadakesulitanintubasi.RSIseringlebihcepatdan
praktispadapasienyangtidakkoperatifatauhemodinamiktakstabildengan
cederamayorpadaorganlainnya.PeralatandanpersonelyangmelakukanRSI
lebih siap di seluruh lokasi. Pemilihan apakah pasien dilakukan intervensi
invasivepadajalannapasataudiintubasidalamkeadaansadaratautaksadar
merupakansuatupilihanyangdiambilklinisiyangbergantungpadakondisi
pasien, jenis dan derajat keparahan jalan napas dan cedera sistemik, serta
personil yang terlatih dan peralatan yang lengkap. Video laringoskop (VL)
dapatdikombinasikandenganfiberopticbronkoskopi(FOB)ataukateterjalan
napas. VL dapat dilakukan guiding dengan FOB melalui visualisasi pada
laring.FOBmerupakanpilihanpadapasiendengankesulitanventilasisama
sepertisulitnyaintubasi,traumafasialisdankondisilainnya.FOBmerupakan
pilihanpadapasiendenganakses jalannapas yangterbatasselama intubasi
pada posisi pronasi atau lateral atau dengan adanya fiksasi neurosurgical
dengan surgicalhalodevice.PenggunaanFOBtidakbisadilakukanbilaada
darah,mukosa,danketidakmampuanmemindahkandebris.

Ketidakmampuan intubasi membutuhkan tindakan pembedahan jalan


napasdandirekomendasioleh AmericanSocietyofAnesthesiologistDifficult
AirwayAlgorithm.

KeadaanKhusus
FacialTrauma
Cedera pada arkus mandibular dan zigoma dapat menyebabkan
terjadinya trismus. Trismus dapat dicegah dengan blockade neuromuscular.
Frakturcondylerdapatmenghambatpembukaanmulutakibatadanyafragmen
tulang yang fraktur. Intervensi pembedahan dibutuhkan untuk evakuasi
fragmen fragmen tulang yang fraktur. Fraktur mandibular bilateral dapat
mempermudahretraksilaringoskop.Frakturmidfasialisdengangangguanjalan
napas membutuhkan tindakan pembedahan jalan napas. Intubasi submental
dapatdilakukansebagaitindakanalternativedengancarainsersiETTmelalui
insisi pada dasar mulut. Gigi gigi yang mengalami avulsi harus ditanam
kembalipadagusisetelahintubasi.
Intubasinasaljarangdilakukankarenapertimbanganpadaresikocedera
basiskranii.Sebagaicontohpadakasusfrakturbasiskranii,nasalkanuldan
pemberian highflow oxygen viaFOBdapatmeningkatkanresikoterjadinya
infeksiintracranial.Intubasipadanasaldigunakanpadapembedahanoraldan
maksilofasialnonemergensi.IntubasinasalmenggunakanFOBapabilafraktur
tidakmencapaimidlinedanlaminakribiformismasihutuhpadaCTscan.Pada
kasus dengan fraktur frontobasal disertai fistel CSF, intubasi nasal tidak
memilikihubungandenganinsidensimeningitis.
TraumaLeherdenganKompresiJalanNapasEkstrinsik
Manipulasi jalan napas mungkin dapat merusak hematoma dan

meningkatkan perdarahan dan edema jaringan. Pengambilan secara


pembedahan dapat mengurangi kompresi namun meningkatkan reisko
perdarahan. RSI dapat mengurangi resiko ekspansi hematoma akibat batuk
namunmemungkinkannterjadinyaperburukanobstruksijalannapas.Intubasi
selama ventilasi spontan dapat juga dilakukan. Pembedahan jalan napas
dibutuhkanapabilaRSIgagaldilakukan.

GangguanLaringotrakeal
Apabiladitemukancederajalannapasmeluasataumencapaisubglotis,
maka dapat dilakukan pembedahan sebagai penatalaksanaan awal. Pada
beberapa pasien, memungkinkan insersi ETT hingga pada luka pada jalan
napas.

Anda mungkin juga menyukai