Case Efusi Pleura
Case Efusi Pleura
Oleh:
Ahmad Syaukat, S.Ked
04054821618109
04054821618021
04084821618194
Pembimbing:
Dr. H. Hadhimuljono, Sp.PD, FINASIM
Dr. H. Ahmar Kurniadi, Sp.PD-KKV, FINASIM
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
04054821618109
04054821618021
04084821618194
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii
KATA PENGANTAR ......................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................1
BAB II. LAPORAN KASUS .................................................................2
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 21
BAB IV. ANALISIS KASUS................................................................40
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................43
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang
diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.
Efusi pleura selalu abnormal dan mengindikasikan terdapat penyakit yang
mendasarinya. Efusi pleura dibedakan menjadi eksudat dan transudat berdasarkan
penyebabnya. Rongga pleura dibatasi oleh pleura parietal dan pleura visceral. Pada
keadaan normal, sejumlah kecil (0,01 mL/kg/jam) cairan secara konstan memasuki
rongga pleura dari kapiler di pleura parietal. Hampir semua cairan ini dikeluarkan
oleh limfatik pada pleura parietal yang mempunyai kapasitas pengeluaran sedikitnya
0,2 mL/kg/jam. Cairan pleura terakumulasi saat kecepatan pembentukan cairan pleura
melebihi kecepatan absorbsinya. Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari
berbagai penyakit.
Penelitian yang pernah dilakukan di rumah sakit Persahabatan, dari 229 kasus
efusi pleura pada bulan Juli 1994-Juni 1997, keganasan merupakan penyebab utama
diikuti oleh tuberkulosis, empiema toraks dan kelainan ekstra pulmoner. Penyakit
jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab tersering efusi transudatif
sedangkan keganasan dan tuberkulosis (TB) merupakan penyebab tersering efusi
eksudatif. Mengetahui karakteristik efusi pleura merupakan hal penting untuk dapat
menegakkan penyebab efusi pleura sehingga efusi pleura dapat ditatalaksana dengan
baik.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identifikasi
Nama
: Ny. M
Usia
: 45 tahun
Pekerjaan
: Guru
Agama
: Islam
Status
: Menikah
MRS
: 10 Agustus 2016
No Registrasi : 00140242
Dirawat di
: Anggrek 2.2
Os bekerja sebagai Petani karet, dan suami os bekerja sebagai petani kebun.
Os tinggal bersama suami dan ketiga orang anaknya.
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 36.2oC
BB
: 53 kg
TB
: 158 cm
IMT
: 21,23 kg/m2
Kesan
: Normoweight
Keadaan Spesifik
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
: Bibir pucat (-), bibir kering (-), chelitis angularis (-), lidah
kering (-), atrofi papil lidah (-), stomatitis (-)
Telinga
Leher
Thoraks
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas Superior : Deformitas (-), warna kulit tampak ikterik (-), pitting edema
(-), pucat (-/-), akral sianosis (-), akral hangat (+), pembesaran
KGB aksilla (-), palmar eritema (-/-), clubbing finger (-)
Ekstremitas Inferior : Deformitas (-), warna kulit tampak ikterik (-), edema pretibial
(-/-), pucat (-/-), akral sianosis (-), akral hangat (+)
2.4 Daftar Masalah
Sesak napas
Batuk Berdahak
Interpretasi
- Sudut Costofrenikus kanan menghilang
- Terdapat meniskus sign di kanan
- Batas jantung kanan sulit dinilai
- Terdapat kavitas di apex paru kanan
Kesan: Efusi Pleura dextra ec Tuberkulosis Paru
Pemeriksaan Sputum BTA (9/8/2016)
BTA I (sewaktu)
: - (negatif)
BTA II (pagi)
: - (negatif)
BTA III (sewaktu)
: - (negatif)
2.6 Diagnosis Sementara
Efusi Pleura Dextra ec Tuberkulosis Paru kasus baru + Dispepsia
10
Bedrest
Edukasi
02 4L/m via nasal kanul
Diet TKTP
2.8.2 Farmakologis
: Dubia
Quo ad fungsionam
: Dubia ad malam
Quo ad sanationam
: Dubia ad malam
Laboratorium darah: Darah Rutin, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati (SGOT,
SGPT)
Analisa cairan pleura
Kultur sputum dan cairan pleura
Thorax Foto ulang setelah pemasangan WSD
11
S
O
Keadaan umum
Kesadaran
Compos mentis
Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
Pernapasan
24 x/m
Temperatur
36,3 0C
Keadaan spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor
Abdomen
12
Aspirasi Cairan
A
P
Bedrest
Edukasi
02 3L/m via nasal kanul
Diet TKTP
Farmakologis
Sesak Napas
Keadaan umum
Kesadaran
Compos mentis
Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
Pernapasan
24 x/m
Temperatur
36,3 0C
13
Keadaan spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor
Abdomen
Ekstremitas
A
P
hangat (+)
Efusi Pleura Dextra ec Tuberkulosis Paru + dispepsia
Non Farmakologis
Bedrest
Edukasi
02 3L/m via nasal kanul
Diet TKTP
14
Farmakologis
Sesak Napas
Keadaan umum
Kesadaran
Compos mentis
Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
Pernapasan
24 x/m
Temperatur
36,3 0C
Keadaan spesifik
Kepala
Leher
Thorax
15
Abdomen
Ekstremitas
A
P
hangat (+)
Efusi Pleura Dextra ec Tuberkulosis Paru + dispepsia
Non Farmakologis
Bedrest
Edukasi
02 3L/m via nasal kanul
Diet TKTP
Farmakologis
16
Keadaan umum
Kesadaran
Compos mentis
Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
Pernapasan
24 x/m
Temperatur
36,3 0C
Keadaan spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor
17
Ekstremitas
Cairan WSD
A
P
Bedrest
Edukasi
02 3L/m via nasal kanul
Diet TKTP
Farmakologis
18
O
Keadaan umum
Kesadaran
Compos mentis
Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
Pernapasan
24 x/m
Temperatur
36,3 0C
Keadaan spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor
19
edema pretibial (-/-), pucat (-/-), akral sianosis (-), akral hangat
(+)
WSD
Rontgen Foto
Thorax
A
P
Bedrest
Edukasi
02 3L/m via nasal kanul
Diet TKTP
Farmakologis
20
Keadaan umum
Kesadaran
Compos mentis
Tekanan darah
130/80 mmHg
Nadi
Pernapasan
24 x/m
Temperatur
36,3 0C
Keadaan spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Cor
21
Ekstremitas
WSD
A
P
Bedrest
Edukasi
02 3L/m via nasal kanul
Diet TKTP
Farmakologis
22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
23
Diantara celah - celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Seterusnya
dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat jaringan kolagen dan serat-serat
elastik. Pada lapisan terbawah terdapat jaringan intertitial subpleura yang sangat
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari Arteri Pulmonalis dan Arteri
Brankialis serta pembuluh getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini
menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru. Pleura parietalis mempunyai
lapisan jaringan lebih tebal dan terdiri dari sel-sel mesotelial juga dan jaringan ikat
(jaringan kolagen dan serat-serat elastik). Dalam jaringan ikat, terdapat pembuluh
kapiler dari A. Interkostalis dan A. Mammaria interna, pembuluh getah bening dan
banyak reseptor saraf-saraf sensorik yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperatur. Sistem persarafan ini berasal dari nervus intercostalis dinding dada.
Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tapi juga mudah
dilepaskan dari dinding dada di atasnya. Di antara pleura terdapat ruangan yang
disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan
permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada saat ventilasi.
Cairan tersebut dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara paru dan thoraks.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dengan pleura
viseralis sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas pleura
hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah
daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru. Jumlah normal cairan
pleura adalah 10-20 cc. 2
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang
akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu
dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan
normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura
kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Hal ini disebabkan karena
24
25
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal
juga dengan nama pleuritis TB.2 Peradangan rongga pleura pada umumnya secara
klasik berhubungan dengan infeksi TB paru primer.Berbeda dengan bentuk TB di luar
paru, infeksi TB pada organ tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase basilemia
primer. Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan
melalui pleura viseral sebagai proses hipersensitiviti tipe lambat. Mekanisme ini
berlaku pada beberapa kasus tetapi data epidemiologi terbaru pleuritis TB
mengarahkan mekanisme patogenik lain pada sebagian besar proporsi kasus. Pada
pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura berhubungan dengan reaktivasi TB
paru.Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran infeksi sebenarnya ke ruang
pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap Ag M. TB.2
3.3 Epidemiologi
TB masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian utama khususnya di
negara-negara berkembang.1 Karena itu TB masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini.Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB
sebagai Global Emergency.2 Menurut data yang dilaporkan WHO tahun 2008
diperkirakan sebanyak 9.2 juta kasus baru TB yang terjadi di seluruh dunia pada
tahun 2006 (139 per 100.000), termasuk sekitar 4.1 juta (62 per 100.000) kasus baru
dengan apusan BTA positif.3 Diantara kasus baru itu diperkirakan 709 000 (7.7%)
dengan HIV-positif.28 Asia mencapai 55% dari seluruh kasus di dunia, dan Afrika
sekitar 31%.3
Menurut laporan WHO tahun 2004 diperkirakan angka kematian akibat TB
adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun di seluruh dunia, dimana jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortalitas tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensinya meningkat seiring dengan
peningkatan kasus HIV.4
Indonesia masih menempati urutan ke-3 setelah India, dan China dengan
angka insiden TB tertinggi di dunia.2,3 Di Indonesia setiap tahun terdapat 250.000
kasus baru dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia TB adalah
26
pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernafasan akut pada seluruh kalangan usia.2
TB sering bermanifestasi ke organ-organ lain. Manifestasi ke pleura berupa
pleuritis atau efusi pleura merupakan salah satu manifestasi TB ekstraparu yang
paling sering terjadi selain limfadenitis TB.4,5 Sekitar 30% infeksi aktif M. TB
bermanifestasi ke pleura.6 Menurut Jing dkk efusi pleura TB terjadi pada 10%
penderita yang tidak diobati, dimana hasil tes tuberkulin positif dan sebagai
komplikasi dari TB paru primer.9 Menurut Siebert dkk efusi pleura dapat terjadi pada
5% pasien dengan TB.14 Biasanya efusi pleura yang disebabkan oleh TB selain
bersifat eksudatif juga bersifat limfositik.29,30
Frekuensi TB sebagai penyebab efusi pleura tergantung kepada prevalensi TB
pada populasi yang diteliti. Penelitian di Spanyol terhadap 642 penderita efusi pleura
ditemukan TB menjadi penyebab terbanyak efusi pleura; insidennya mencapai 25%
dari seluruh kasus efusi pleura. Penelitian di Saudi Arabia terhadap 253 kasus
dijumpai 37% disebabkan oleh TB.Di US insiden efusi pleura yang disebabkan TB
diperkirakan mencapai 1.000 kasus. Atau sekitar 3-5% pasien dengan TB akan
mengalami efusi pleura TB. Kelihatannya jumlah ini rendah, diakibatkan banyak
pasien efusi pleura TB cenderung tidak terlaporkan karena sering sekali kultur M. TB
hasilnya negatif.5 Di UK infeksi TB yang melibatkan pleura < 10% kasus.31
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Rwanda pada 127 penderita efusi pleura
dijumpai sekitar 86% penyebabnya adalah TB.32
Sedangkan efusi pleura pada penderita HIV dengan TB insidennya bisa lebih
tinggi.33 Penelitian di Carolina Selatan dijumpai insidennya mencapai 11% penderita
efusi pleura TB dengan HIV positif sedangkan pada HIV negatif dijumpai sekitar
6%.32 Penelitian di Burundi dan Tanzania ditemukan 60% penderita efusi pleura TB
dengan HIV positif.35 Sedangkan pada penelitian di Afrika Selatan ditemukan bahwa
38% penderita efusi pleura TB dengan HIV positif sedangkan pada penderita efusi
pleura TB dengan HIV negatif hanya 20%. Indonesia menempati urutan ke-3 dari
antara negara-negara dengan prevalensi TB tertinggi, dimana penyebab utama efusi
pleuranya adalah TB paru (30,26%) dengan umur terbanyak adalah 21-30 tahun.3,7
27
3.4 Patofisiologi
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling
bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan
ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler
dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan
pembentukannya .1
Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan
proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara
patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya
efusi pleura yaitu 5;
1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi
kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura.
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu
keadaan dimana terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura.5
Mekanisme
radiologi toraks. Ini merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi
pleura TB biasanya terjadi 6-12 minggu setelah infeksi primer, pada anakanak dan orang dewasa muda. Efusi pleura TB ini diduga akibat pecahnya
fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkijuan dan kuman M.
TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang
akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan
melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi
28
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih
PATHWAY
infeksi
Penghambatatan
Tekanan Osmotik
drainase limfatik
Koloid Plasma
Peradangan
Transudasi
permukaan pleura
meningkat
cairan
Permeabilitas Vascular
Tekanan
Edema
intravaskular
Hisdrostatik
Transudasi
Cavum Pleura
Efusi Pleura
29
Penyebab
pleuritis
eksudativa
yang
paling
sering
adalah
karena
3.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan
fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.
Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan radiologi torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairan
pleura dan jaringan pleura, uji tuberkulin, biopsi pleura dan analisis cairan pleura.
Diagnosis dapat juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN-, dan PCR
30
cairan pleura. Hasil darah perifer tidak bermanfaat; kebanyakan pasien tidak
mengalami lekositosis. Sekitar 20% kasus efusi pleura TB menunjukkan gambaran
infiltrat pada foto toraks.
Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada
banyaknya penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi dada bisa dilihat
kelainan berupa bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada dada yang terlibat,
sela iga melebar, pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat. Pada palpasi stem
fremitus melemah sampai menghilang, perkusi dijumpai redup pada daerah yang
terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler melemah sampai
menghilang, suara gesekan pleura.
Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria American
Thoracic Society (ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi
minimal, lesi sedang, dan lesi luas.46 Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan
radiologis toraks posisi Posterior Anterior (PA) akan menunjukkan gambaran
konsolidasi homogen dan meniskus, dengan sudut kostophrenikus tumpul,
pendorongan trakea dan mediastinum ke sisi yang berlawanan.
Diagnosis pasti dari efusi pleura TB dengan ditemukan basil TB pada sputum,
cairan pleura dan jaringan pleura.30 Pemeriksaan apusan cairan pleura secara ZiehlNielsen (ZN) walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitinya rendah
sekitar 35%. Pemeriksaan apusan secara ZN ini memerlukan konsentrasi basil
10.000/ml dan pada cairan pleura pertumbuhan basil TB biasanya sejumlah kecil.
Sedangkan pada kultur cairan pleura lebih sensitif yaitu 11-50% karena pada kultur
diperlukan 10-100 basil TB. Akan tetapi kultur memerlukan waktu yang lebih lama
yaitu sampai 6 minggu untuk menumbuhkan M.TB.
3.5.1 Biopsi Pleura
Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan suatu
pengalaman dan keahlian yang baik karena pada banyak kasus, pemeriksaan
histopatologi dari biopsi spesimen pleura sering negatif dan tidak spesifik. Akan
31
tetapi, diagnosis histopatologis yang didapat dari biopsi pleura tertutup dengan
dijumpainya jaringan granulomatosa sekitar 60-80%. Sementara pemeriksaan yang
dilakukan oleh A. H. Diacon dkk sensitiviti histologis, kultur dan kombinasi
histologis dengan kultur secara biopsi jarum tertutup mencapai 66%, 48%, 79% dan
pemeriksaann secara torakoskopi sensitivitinya 100, 76%, 100% dan spesifisitinya
100%.
3.5.2 Analisis Cairan Pleura
Analisis cairan pleura ini bermanfaat dalam menegakkan diagnosis efusi
pleura TB. Sering kadar protein cairan pleura ini meningkat > 5 g/dl. Pada pasien
kebanyakan hitung jenis sel darah putih cairan pleura mengandung limfosit > 50%.
Pada sebuah penelitian dengan 254 pasien dengan efusi pleura TB, hanya 17 (6,7%)
yang mengandung limfosit < 50% pada cairan pleuranya. Pada pasien dengan gejala
< 2 minggu, hitung jenis sel darah putih menunjukkan PMN lebih banyak. Pada
torakosentesis serial yang dilakukan, hitung jenis lekosit ini menunjukkan adanya
perubahan ke limfosit yang menonjol.30 Pada efusi pleura TB kadar LDH cairan
pleura > 200 U, kadar glukosa sering menurun.
Analisis kimia lain memberi nilai yang terbatas dalam menegakkan diagnostik
efusi pleura TB. Pada penelitian-penelitian dahulu dijumpai kadar glukosa cairan
pleura yang menurun, namun pada penelitian baru-baru ini menunjukkan kebanyakan
pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar glukosa diatas 60 mg/dl. Kadar pH
cairan pleura yang rendah dapat kita curigai suatu efusi pleura TB.Kadar CRP cairan
pleura lebih tinggi pada efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif
lainnya.
3.6
Manifestasi Klinis3,4
3.6.1 Gejala Utama.
Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya
masih sedikit dan sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang
32
dilakukan untuk tujuan tertentu. Namun jika cairan efusi dalam jumlah
sedang sampai banyak maka akan memberikan gejala dan kelainan dari
pemeriksaan fisik.
Efusi pleura TB biasanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi
berupa gejala respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas. Gejala
umum berupa demam, keringat malam, nafsu makan menurun, penurunan
berat badan, rasa lelah dan lemah juga bisa dijumpai. Gejala yang paling
sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya tidak berdahak, nyeri dada
(~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14% yang subfebris,
penurunan berat badan dan malaise.
Walaupun TB merupakan suatu penyakit yang kronis akan tetapi efusi
pleura TB sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut.30
Sepertiga penderita efusi pleura TB sebagai suatu penyakit akut yang
gejalanya kurang dari 1 minggu. Pada suatu penelitian terhadap 71
penderita ditemukan 31% mempunyai
durasinya dan 62% dengan gejala kurang dari satu bulan. Umur penderita
efusi pleura TB lebih muda daripada penderita TB paru. Pada suatu
penelitian yang dilakukan di Qatar dari 100 orang yang menderita usia ratarata 31.5 tahun, sementara di daerah industri seperti US usia ini cenderung
lebih tua sekitar 49.9 tahun. Efusi pleura TB paling sering unilateral dan
biasanya efusi yang terjadi biasanya ringan sampai sedang dan jarang
massif.48 Pada penelitian yang dilakukan Valdes dkk pada tahun 1989
sampai 1997 terhadap 254 penderita efusi pleura TB ditemukan jumlah
penderita yang mengalami efusi pleura di sebelah kanan 55,9%, di sebelah
kiri 42,5% dan bilateral efusi 1,6% penderita serta 81,5% penderita
mengalami efusi pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks.
3.6.2 Pemeriksaan Fisik.
a. Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
b. Palpasi
: Penurunan fremitus vocal atau taktil
33
34
permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak
sudut kostrofrenikus menumpu. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi.
35
maligna).
Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
Sel giant: pada arthritis rheumatoid
Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
Sel maligna: pada paru/metastase.
3.7.4 Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering
pneumokokus, E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.
2.7.5 Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan
tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks,
penyebaran infeksi atau tumor pada dinding dada.4
3.8
Diagnosis Banding
Differential Diagnosis Efusi Pleura 2:
1. Tumor paru
- Sinus tidak terisi
- Permukaan tidak concaf tetapi sesuai bentuk tumor
- Bila tumor besar dapat mendorong jantung
2. Pneumonia
- Batas atas rata / tegas sesuai dgn bentuk lobus
- Sinus terisi paling akhir
- Tidak tampak tanda pendorongan organ
- Air bronchogram ( + )
3. Pneumothorak
4. fibrosis paru
3.9
Penatalaksanaan
Perjalanan alamiah dari efusi pleura TB yang tidak diterapi akan terjadi
36
berulang tidak diperlukan ketika diagnosis telah dapat ditegakkan dan terapi telah
dimulai, tapi thorakosintesis mungkin diperlukan untuk mengurangi gejala.
Penggunaan kortikosteroid menurut review metaanalisis Cochrane menunjukkan
kurangnya data yang mendukung bahwa kortikosteroid efektif pada Pleuritis TB.2
Tujuan utama pengobatan TB adalah: 3
1. Membunuh sebagian besar bakteri dengan cepat untuk mencegah
2. perkembangan penyakit dan penularan
3. Menghasilkan kesembuhan permanen dengan membunuh bakteri
4. yang tidak aktif sehingga tidak akan menimbulkan kekambuhan
5. Mencapai 2 tujuan di atas dengan efek samping seminimal mungkin
6. Mencegah terbentuknya bakteri yang resisten terhadap obat
TB dengan
Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan
untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat.
Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase
lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh
sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi
kecil.3
Berdasarkan pedoman tata laksana DOTS, pasien dengan sakit berat yang luas
atau adanya efusi pleura bilateral dan sputum BTA positif, diberikan terapi kategori I
(Fase Intensif dengan 4 macam obat : INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol
selama 2 bulan dan diikuti dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan 2 macam
oabat : INH dan Rifampisin). Pada pasien dengan pleuritis TB soliter harus diterapi
dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid selama 2 bulan diikuti dengan terapi INH
dan rifampin selama 4 bulan.2
3.9.1 Torakosentesis
37
aspirasi.
Untuk
mencegah
terjadinya
edema
paru
akibat
38
Bila cairan serosa mungkin berupa transudat (cairan putih jernih) atau
eksudat (cairan kekuningan). 9
Indikasi pungsi pleura9 :
1.
Adanya gejala subyektif seperti sakit atau nyeri, dipsneu, rasa berat
2.
dalam dada.
Cairan melewati sela iga ke-2, terutama bila dihemithoraks kanan,
3.
39
Prognosa
Tergantung penyakit yang mendasari, pada kasus tertentu, dapat sembuh
40
BAB IV
ANALISIS KASUS
Seorang wanita berinsial M datang ke Rs dr Sobirin dengan keluhan sesak
hebat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat perjalanan penyakit
didapatkan os sudah mengeluh sesak sejak bulan yang lalu disertai dengan batuk
berdahak berwarna putih kehijauan banyaknya 1 sendok teh. Batuk tidak bercampur
darah. Pada saat itu sesak yang dialami tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca atau emosi.
Sesak tidak disertai mengi. Terbangun di malam hari karena sesak (-). Sesak
berkurang dengan istirahat. Demam (-) mengi (-) nyeri dada (-), mual (-), muntah (-).
Keringat malam (+), penurunan nafsu makan (-). Penurunan berat badan (+)
dirasakan dari celana os yang melonggar. BAB dan BAK tidak ada masalah. Os lalu
ke Puskesmas terdekat dikatakan sakit batuk biasa. Os lalu diberi obat batuk. Keluhan
batuk hilang namun timbul lagi.
Dari riwayat keluhan tersebut diketahui bahwa sesak nafas yang dialami os
merupakan sesak nafas kronik dan progresif. Keluhan sesak nafas yang kronik dan
progresif dapat berasal dari gangguan paru, jantung, dan ginjal. Sesak nafas yang
diakibatkan oleh gangguan paru seperti asma biasanya bersifat episodik, didahului
gejala lain seperti batuk, disertai bunyi nafas tambahan yaitu mengi, serta dipengaruhi
oleh cuaca dan emosi. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda dan gejala asma dan
tidak ada riwayat asma pada pasien.
Sesak nafas yang disebabkan gangguan ginjal dan jantung dicirikan dengan
sesak yang tidak dipengaruhi aktivitas. Sedangkan pada pasien ini menyangkal sesak
yang dipengaruhi oleh aktivitas, tidak ada riwayat darah tinggi pada pasien dan
keluarga pasien yang bisa menyingkirkan sesak nafas karena gangguan jantung.
Pasien mengeluh adanya keluhan batuk, keringat malam, dan penurunan berat badan,
yang merupakan ciri sesak nafas karena tuberkulosis.
41
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kepala dan leher tidak ditemukan adanya
kelainan (pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat). Pada pemeriksaan thorax
didapatkan statis dan dinamis tertinggal pada bagian kanan, Stem fremitus kanan
melemah pada palpasi, pada perkusi didapatkan redup pada lapang paru kanan, nyeri
ketok (-/-) dan Vesikuler melemah pada lapang paru kanan, rhonki basah halus (+),
wheezing (-). Berdasarkan teori pada tinjauan pustaka, Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat disimpulkan untuk sementara terdapat efusi pleura di bagian
kanan paru Ny M.
Untuk menegakkan diagnosis maka diperlukan pemeriksaan foto rontgen
thorax. Pada foto rontgen thorax didapatkan kesan efusi pleura dextra disertai TB
ektraparu (pleuritis TB). Pada pemeriksaan sputum BTA negatif pada semua hasil
sputum (BTA I, II, III). Dapat ditegakkan diagnosis pada Ny. M adalah efusi pleura ec
TB ekstraparu (Pleuritis TB). Rencana pemeriksaan pada pasien adalah analisa cairan
paru untuk mengetahui etiologi pasti efusi pleura
Batuk produktif yang dialami merupakan inhalasi droplet asing oleh penderita
menyebabkan adanya respon pada imun non spesifik dan merangsang terbentuknya
mucus karena adanya infeksi membrane mukosa karena basil tuberkel. Hipersekresi
mucus menyebabkan proses pembersihan tidak efektif lagi sehingga mucus tertimbun
dan membrane mukosa terangsan, mucus pun dibatukkan keluar dan mucus yang
dibatukkan keluar ini disebut sputum.
Terpapar infeksi bakteri menyebabkan aktivasi neutrofil & makrofag. Aktivasi
tersebut menyebabkan pelepasan mediator inflamasi ( TNF , IL-1, IL-6, dan IL-12).
Dalam perjalanannya, TNF masuk ke aliran darah lalu sampai ke otak, hipotalamus
sehingga menekan pusat makan, sedangkan IL-12 yang dihasilkan oleh makrofag
berubah menjadi IL-3 yang dapat mengaktivasi sel mast. Sel mast teraktivasi
melepaskan histamin yang akan menempel pada reseptornya di lambung. Terjadi
peningkatan asam lambung menyebabkan mual dan tentunya menurunkan nafsu
42
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Lorraine W. Penyakit Paru Restriktif. Dalam : Price, Sylvia A, Lorraine W, et al.
2005. Editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Ed. 6. Jilid.2.
Jakarta: Kedokteran EGC.
2. Slamet H. Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H.2002. Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press.
3. Sudoyo AW. Kelainan Paru. Dalam: Halim H. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam
Vol 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
4. Jeremy, et al. 2008. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. Jakarta :
EMS.
5. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009
6. Djojosubroto RD. 2009. Respirologi : penyakit parenkim paru. Jakarta : EGC p
151-60
7. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Robbins Buku Ajar Patologi : Paru dan
Saluran Napas Atas. Jakarta : EGC p 544-60
8. B.K Mandal, E.G.L Wlkins, E.M. Dunbar. R.T.Mayon-White.2006. Lecture
Notes : Penyakit Infeksi. Jakarta : Erlangga.
44