Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENYAJIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. A
Usia : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kp. Parungseah RT 004/006
Tanggal Masuk : 22 Agustus 2016
Tanggal Pemeriksaan : 26 Agustus 2016

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan dengan metode autoanamnesis dan alloanamnesis pada anak pasi
en
serta mendapatkan data primer melalui data rekam medis Rumah Sakit R. Syamsudin
SH,
Sukabumi.

KELUHAN UTAMA
Pasien dirujuk dari RS Secapa untuk melakukan operasi.

KELUHAN TAMBAHAN
BAB berdarah sejak 1.5 tahun SMRS.
BAB tidak terkontrol sejak 1 tahun SMRS.
Nyeri perut dan nyeri pada anus saat BAB sejak 2 bulan SMRS.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang dengan keluhan BAB berdarah sejak 1.5 tahun SMRS. BAB berdarah
terjadi setiap kali pasien BAB. Kotoran bercampur dengan darah, berwarna merah k
ecoklatan,
terkadang disertai dengan lendir, ukuran kecil-kecil, konsistensi cair-kental, d
an tidak
menyemprot. Pada saat itu frekuensi BAB masih dalam batas normal dan keluhan nye
ri
disangkal. Pasien mengobati sendiri dengan Ambeven, namun gejala tidak membaik.

Satu tahun SMRS, pasien masih mengalami gejala BAB berdarah, namun saat ini BAB
menjadi tidak terkontrol. BAB keluar terus menerus sehingga pasien harus memakai
popok/kain.
BAB berwarna merah kecoklatan, konsistensi cair, terkadang disertai lendir. Pasi
en juga
mengalami penurunan nafsu makan, mual, namun tidak muntah. Pasien mengira penyak
it
tersebut hanya wasir, sehingga pasien tidakberobat.
Dua bulan SMRS, gejala yang dialami pasien semakin buruk dan pasien merasa nyeri
perut dan nyeri anus setiap kali pasien BAB. Pasien segera berobat ke RS Secapa,
dan pasien
didiagnosis tumor rectum. Pasien disarankan untuk menjalani operasi tetapi pasie
n menolak. Dua
minggu SMRS, nyeri perut yang dialami pasien semakin hebat, sehingga pasien memu
tuskan
untuk berobat ke RSUD Syamsudin SH. Sejak gejala pertama kali muncul hingga saat
ini pasien
mengalami penurunan berat badan 10 kg.

RIWAYAT KEBIASAAN
. Pasien memiliki riwayat merokok sejak 40 tahun yang lalu. Pasien dapat menghab
iskan
2 bungkus/hari. Pasien berhenti merokok sejak 2 bulan yang lalu.
. Riwayat minum alkohol disangkal.
. Pasien tidak suka mengonsumi buah dan sayur.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
.
.
.
.
.
.

Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat
Riwayat

keluhan sebelumnya serupa disangkal


hipertensi disangkal
diabetes melitus disangkal
TB disangkal
alergi disangkal
asma disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


. Riwayat keluhan serupa disangkal
. Riwayat keganasan disangkal
. Riwayat alergi dan asma disangkal

PEMERIKSAAN FISIK
.
.
.
.

Keadaan umum : tampak sakit sedang


Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5 = 15
Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah : 100/70 mmHg


Nadi : 120 kali/menit, teratur, kuat, penuh
RR : 22 kali/menit
Suhu : 36,2oC
. Pemeriksaan Antropometri
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : cm
IMT : kg/m2
. Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala : normocephali, deformitas (-)
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+),
pupil isokor 3 mm / 3mm
Telinga : meatus akustikus eksternus (+/+), sekret (-/-)
Hidung : deviasi septum (-), sekret (-/-)
Mulut : mukosa oral basah
Leher : trakea teraba di tengah, massa (-), pembesaran KGB (-)
Thoraks
. Paru I: gerak napas tampak simetris, retraksi (-)
P: gerak napas teraba simetris
P: sonor pada kedua lapang paru
A: bunyi napas vesikuler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
. Jantung I : iktus cordis tidak terlihat

P: iktus cordis teraba di intercostal IV linea midklavikularis


sinistra
A: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

. Abdomen I: a/r iliaca dekstra tampak drain terpasang tertutup


kassa, rembesan (-), produksi (-)
a/r lumbalis sinistra tampak segmen kolon post-op
kolostomi terbungkus plastic transparan, produksi (-)
A: bising usus (+) 6-7 kali/menit
P: supel, nyeri tekan (+) pada seluruh region abdomen
P: timpani di seluruh regio abdomen
Punggung : alignment vertebra baik
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)

. Pemeriksaan Neurologis
A. Kesadaran: Compos mentis
B. Rangsang meningeal:
Kaku kuduk (-), Tes kernig (-), Brudzinski 1 dan 2 (-)
C. Refleks
Refleks fisiologis: biceps ++/++, triceps ++/++,
patella ++/++, achilles ++/++
Refleks patologis: babinski -/-, chaddock -/-, schaeffer -/-, gordon -/D. Saraf kranialis
o N I : normosmia
o N II & III : pupil isokor 3 mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+,

refleks cahaya tidak langsung +/+


o N III, IV & VI : gerak bola mata baik
o N V : sensorik wajah kesan normal, kemampuan

mengunyah baik
o
o
o
o
o

N
N
N
N
N

VII : wajah tampak simetris


VIII : respon suara baik, keseimbangan baik
IX, X : saliva (+), refleks menelan baik
XI : tonus m. trapezius simetris
XII : lidah simetris, deviasi dan fasikulasi (-)

E. Motorik:

Kekuatan motorik tungkai dan lengan simetris


5
5
5
5

Spasme (-), rigiditas (-)


F. Sensorik: Respon terhadap nyeri dan perabaan (+)
G. Otonom: keringat (+), BAB (+), BAK (+)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 22 Agustus 2016 pk. 11.02
Jenis
Hasil
Normal
Satuan
Hemoglobin
6,3
13

17

g/dl
Leukosit
6.700
4.000

10.000

/l
Hematokrit
20
40

54

%
Eritrosit
2,5

4,4

6,6

juta/ l
MCV
80
80

100

fL
MCH
25
26

34

Pg
MCHC
32
32

36

g/dL
Trombosit
655.000
150.000

450.000

/l
Gula Darah Sewaktu
79
<140
mg/dl
BT
1
1

menit
CT
7
5

15

menit

Ureum
14
19

43

mg/dl
Kreatinin
1,26
0,66

1,25

mg/dl
Natrium
135
137

150

mmol/dl
Kalium
4,6
3,5

5,5

mmol/dl
Kalsium
7,4
8

10,4

mg/dl
Klorida
103
94

108

mmol/dl

Rontgen Thoraks 22 Agustus 2016

Kesan : dalam batas normal

Laboratorium 23 Agustus 2016 pk. 17.25


Jenis
Hasil
Normal
Satuan
Hemglobin
8,3
13

17

g/dl
Leukosit
10.600
4.000

10.000

/l
Hematokrit
25
40

54

%
Eritrosit
3,2
4,4

6,6

juta/ l
MCV
80
80
fL
MCH

100

26
26

34

Pg
MCHC
33
32

36

g/dL
Trombosit
439.000
150.000
/l

450.000

Laboratorium 23 Agustus 2016 pk. 14.37


Jenis
Hasil
Normal
Satuan
Hemoglobin
10
13

17

g/dl
Leukosit
16.600
4.000

10.000

/l
Hematokrit
30
40

54

%
Eritrosit
3,8
4,4

6,6

juta/ l
MCV
80
80

100

fL
MCH
26
26
Pg
MCHC

34

33
32

36

g/dL
Trombosit
446.000
150.000

450.000

/l
Gula Darah Sewaktu
102
<140
mg/dl

Laboratorium 24 Agustus 2016


Jenis
Hasil
Normal
Satuan
Hemoglobin
10,8
13

17

g/dl
Leukosit
15.800
4.000

10.000

/l
Hematokrit
31
40
%

54

Eritrosit
3,8
4,4

6,6

juta/ l
MCV
81
80

100

fL
MCH
28
26

34

Pg
MCHC
34
32

36

g/dL
Trombosit
357.000
150.000

450.000

/l
Gula Darah Sewaktu
77
<140
mg/dl

DIAGNOSIS
. Laki-laki, usia 65 tahun, dengan:
- Post MILES dan kolostomi atas indikasi Ca rectum 1/3 distal POD-3
- Malnutrisi

TATALAKSANA
Pro-op MILES dan kolostomi
Instruksi Post-Op
.
.
.
.
.

Puasa sampai dengan bising usus normal


Ceftriaxone 1 x 2 gram IV
Metronidazole 3 x 500 mg IV
Ranitidin 2 x 150 mg IV
Ketorolac 3 x 30 mg IV

PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
Adenokarsinoma pada kolon dan rectum merupakan kanker tersering pada traktus
gastrointestinal, juga kasus kanker baru tersering ke 3 di Amerika Serikat, sela
in itu juga menjadi
penyebab kematian oleh kanker ke 3 pada pria (setelah kanker prostat dan kanker
paru-paru) dan
wanita (setelah kanker payudara dan kanker paru-paru). Pada tahun 2015, diperkir
akan telah
terdiagnosa 106.100 kasus baru kanker kolon dan 40.870 kasus baru kanker rectum.
Sebagian
besar terdiagnosa pada laki-laki. Risiko kanker kolorektal di Amerika Serikat se
kitar 5,51 %
pada laki-laki (1 dari 18 laki-laki) dan 5,10% pada perempuan (1 dari 20 perempu
an). Risiko
meningkat seiring bertambahnya usia, 90% kasus baru terdiagnosa pada pasien beru
sia di atas 50
tahun. Walaupun demikian, terdapat peningkatan 5-year survival rate untuk kanker
kolon dan
rectum, dimana 5-year survival rate untuk kanker kolon menurun dari tahun 1975-1
977 (52%),
1984-1986 (59%), dan 1996-2004 (65%), sedangkan 5-year survival rate untuk kanke
r rectum
menurun dari tahun 1975-1977 (49%), 1984-1986 (57%), dan 1996-2004 (67%).1,2
Kanker kolorektal terjadi secara pola herediter, sporadic, dan familial. Kanker
kolorektal
yang herediter memiliki karakteristik pasien dengan riwayat keluarga, onset pada
usia muda, dan
memiliki tumor spesifik lainnya, seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) da
n Hereditary
Non-Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC). Kanker kolorektal sporadic memiliki kar
akteristik
pasien tanpa riwayat keluarga, biasanya onset pada usia lanjut (60-80 tahun), da
n lesi kanker /
tumor hanya pada kolorektal. Kanker kolorektal familial memiliki konsep dimana t
erjadi
peningkatan risiko kanker kolorektal pada pasien dengan riwayat keluarga kanker
kolorektal,
seperti kasus pertama pada keluarga dengan onset usia muda (< 50 tahun), hubunga
n kekerabatan
yang dekat (first degree relative), dan banyaknya anggota keluarga dengan kanker
kolorektal.2

Tabel 1. Peningkatan Risiko Kanker Kolorektal Familial2

2.2 Faktor Risiko1,3


. Usia
Insidensi kanker kolorektal meningkat pada usia di atas 50 tahun. Lebih dari 90%
kasus kanker kolorektal terjadi pada usia di atas 50 tahun. Hal ini mendasari ba
gi
individu berusia 50 tahun untuk memulai screening test. Walaupun demikian,
kanker kolorektal dapat terjadi di segala usia, sehingga individu dengan gejala
seperti perubahan bowel habit, perdarahan rectal, melena, anemia, dan penurunan
berat badan tanpa sebab yang jelas membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
. Herediter
Sebagian besar kanker kolorektal terjadi secara sporadic (sekitar 80%). Lainnya,
sekitar 20% terjadi pada pasien dengan riwayat kanker kolorektal pada keluarga.
Konseling genetic dapat dilakukan untuk mendeteksi secara dini adanya komponen
gen yang menyebabkan kanker kolorektal pada pasien dengan riwayat keluarga.

. Diet dan gaya hidup


Kanker kolorektal lebih umum terjadi pada populasi sosioekonomi menengah ke
atas yang tinggal di area perkotaan. Berdasarkan observasi, kanker kolorektal le
bih
banyak terjadi pada populasi dengan kebiasaan diet tinggi lemak hewani dan renda
h
serat. Hal ini menunjukkan faktor diet berkontribusi terhadap karsinogenesis. Di
et
tinggi lemak jenuh akan meningkatkan risiko, sedangkan diet tinggi asam oleat
(seperti minyak olive, minyak kelapa, dan minyak ikan) tidak meningkatkan risiko
.
Lemak hewani yang ditemukan pada daging merah menunjukkan adanya proporsi
bakteri anaerob pada flora usus, menyebabkan konversi asam empedu menjadi
karsinogen. Hipotesa tersebut didukung dengan adanya peningkatan bakteri anaerob
pada fese pasien dengan kanker kolorektal. Kolesterol yang tinggi juga berkaitan
dengan peningkatan risiko kanker kolorektal. Studi pada hewan menunjukkan
lemak dapat bersifat toksik terhadap mukosa kolon dan mungkin dapat
menginduksi proses keganasan, sebaliknya serat pada sayuran memiliki efek
protektif.
Selain itu, obesitas, gaya hidup yang tidak aktif, dan konsumsi alkohol
meningkatkan risiko. Resistensi insulin menyebabkan adanya peningkatan insulin
sehingga menyebabkan peningkatan insulin-like growth factor type I (IGF-1).
Faktor tersebut menstimulasi proliferasi mukosa intestinal. Konsumsi kalsium,
selenium, vitamin A, C, dan E, karotenoid, dan fenol nabati menurunkan risiko
kanker kolorektal. Hal-hal tersebut dapat menjadi pencegahan dasar terhadap
kanker kolorektal.
Merokok berkaitan dengan kanker kolorektal, terutama pada individu dengan
kebiasaan merokok lebih dari 35 tahun.
. Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Pasien dengan inflamasi kronis pada usus mengalami peningkatan risiko kanker
kolorektal. Hal ini dijelaskan dengan hipotesa bahwa inflamasi kronis merupakan
predisposisi untuk terjadinya keganasan pada mukosa. Durasi dan derajat inflamas
i
berkaitan dengan risiko keganasan. Kanker umumnya terjadi pada kolitis ulseratif
dibandingkan dengan Chron s disease. Risiko pasien dengan kanker kolorektal
dengan IBD relatif kecil pada 10 tahun pertama, namun meningkat 0,5-1% per

tahun. Kanker dapat terjadi pada 8-30% pasien setelah IBD terjadi selama lebih d
ari
25 tahun. Gejala seperti diare berdarah, keram abdomen, dan gejala obstruksi dap
at
menjadi tanda terbentuknya tumor, walaupun gejala tersebut sama dengan gejala
IBD yang eksaserbasi.
. Faktor lainnya seperti pasien dengan ureterosigmoidostomy, akromegali, dan
adanya terapi radiasi pelvis.

2.3 Patofisiologi dan Patogenesis


Sel kanker memiliki karakteristik adanya pertumbuhan yang tidak terkontrol, deng
an
kemampuan menghindar dari proses apoptosis, menginvasi, dan metastasis. Perubaha
n pada gen
(oncogenes dan tumor suppressor genes) menyebabkan transformasi selular. Tumor s
uppressor
genes memproduksi protein yang menghambat pembentukan tumor dengan cara meregula
si
aktivitas mitosis dan kontrol siklus sel. Pembentukan tumor terjadi ketika terja
di disregulasi
kontrol inhibisi siklus sel akibat mutasi. Oncogenes merupakan gen proto-oncogen
es yang
mengalami mutasi. Proto-oncogenes merupakan gen yang memproduksi protein yang be
rperan
dalam pertumbuhan sel dan proliferasi. Ekspresi gen oncogenes menyebabkan prolif
erasi yang
tidak terkontrol. Proses ini disebut sebagai kaskade adenoma-karsinoma . Observa
si klinis dan
epidemiologis menunjukkan bahwa adanya progresi dari polip jinak menjadi karsino
ma yang
invasive dan akumulasi perubahan / mutasi genetic dapat menjelaskan proses terse
but. Beberapa
data yang menunjang hipotesa tersebut : 1,2
. Kanker lebih banyak ditemukan pada adenoma yang besar dibandingkan dengan
adenoma yang kecil. Semakin besar adenoma, maka semakin besar risiko kanker.
Karakteristik selular polip juga berpengaruh, dimana villous adenoma memiliki
risiko yang lebih tinggi dibandingkan tubular adenoma.
. Ditemukan adanya sisa jaringan adenoma yang bersifat jinak pada kanker
kolorektal yang bersifat invasive. Hal ini mendukung untuk progresi kanker dari
sel
jinak ke sel ganas.
. Beberapa polip jinak telah diobservasi dapat berkembang menjadi keganasan.
. Adenoma kolon banyak ditemukan pada pasien kanker kolorektal. Sekitar sepertig
a
kasus pasien kanker kolorektal memiliki polip kolorektal yang jinak.

. Pengangkatan polip menurunkan insidensi kanker. Pasien dengan adenoma


memiliki risiko 2,3 kali lipat untuk terjadinya kanker setelah polipektomi,
sedangkan pada pasien yang tidak menjalani polipektomi memiliki risiko 8 kali
lipat.
. Hampir semua pasien dengan FAP akan berkembang menjadi kanker kolorektal
jika tidak ada intervensi operatif.
. Insidensi puncak ditemukannya polip kolorektal yaitu pada usia 50 tahun,
sedangkan untuk kanker kolorektal pada usia 60 tahun. Hal ini mendasari hipotesi
s
bahwa dibutuhkan waktu 10 tahun untuk progresi dari polip adenoma menjadi
kanker
. Studi biologi molecular mendokumentasikan adanya perubahan mukosa kolon
melewati beberapa tahap untuk berkembang menjadi kanker yang invasive. Sel
epitel kolon kehilangan proses normal untuk matur dan apoptosis, sehingga
berproliferasi secara tidak terkontrol. Sel terakumulasi pada permukaan lumen
kolon membentuk polip. Dengan proses proliferasi dan disorganisasi selular
berlanjut, maka sel menjadi karsinoma yang invasif, menginvasi hingga ke lapisan
muskularis, jaringan sekitar kolon, kelenjar limfa, dan metastasis. 1,2

Gambar 1. Kaskade adenoma-karsinoma

Beberapa jalur genetik yang mendasari proses pembentukan kanker kolorektal : 1,2
1. Instabilitas kromosom (80% kasus)
Instabilitas kromosom merupakan proses yang dihasilkan dari akumulasi inaktivasi
tumor
suppressor genes dan aktivasi proto-oncogenes. Perkembangan tumor melalui jalur
ini
diakibatkan mutasi dari gen Adenomatous Polyposis Coli (APC), p53, gen K-ras,
kehilangan allel 18q, dan aneuploidy. Gen APC merupakan tumor suppressor gene.
Mutasi kedua allel akan menyebabkan pembentukan polip. Inaktivasi gen APC saja t
idak
cukup untuk menyebabkan karsinoma. Selanjutnya, terjadi aktivasi gen K-ras (prot
ooncogenes). Mutasi satu allel gen K-ras dapat menyebabkan gangguan siklus sel ak
ibat

aktivasi G-protein secara permanen. Hal ini berujung pada proliferasi tidak terk
ontrol.
Selain itu, pada regio kromosom 18q terdapat 2 tumor suppressor genes, DCC dan
SMAD4. Delesi pada kromosom 18q dapat menyebabkan hilangnya salah satu atau kedu
a
tumor suppressor genes.
2. Instabilitas mikrosatelit (20% kasus)
Instabilitas mikrosatelit diakibatkan adanya kesalahan dalam repair DNA selama
replikasi DNA. Beberapa gen sudah teridentifikasi dalam perannya untuk mengenali
dan
memperbaiki kesalahan dalam replikasi DNA, mencakup MSH2, MLH1, PMS1, PMS2,
MSH6/GTBP. Akumulasi kesalahan dalam replikasi DNA menyebabkan proses
karsinogenesis. Tumor yang diakibatkan melalui jalur instabilitas mikrosatelit b
iasanya
menyebabkan kanker kolon kanan dan memiliki DNA diploid, memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan tumor yang disebabkan oleh jalur instabilitas kromosom
(biasanya pada kolon distal, prognosis lebih buruk).
3. Metilasi gen
Pada sel normal, proses metilasi penting dalam regulasi ekspresi gen. Pada kanke
r,
metilasi terjadi secara menyimpang (hiper / hipometilasi), biasanya pada regio p
romoter,
sehingga menyebabkan aktivasi / inaktivasi gen secara abnormal. Proses ini biasa
nya
berkaitan dengan serrated polyps.

2.4 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala dari kanker kolorektal sangat bervariasi, bergantung dari lokas
i dan
ukuran tumor, dan bersifat non-spesifik. Insidensi kanker kolon kanan meningkat
jika
dibandingkan dengan kanker kolon kiri dan rectum, sekitar 40% kasus membutuhkan
sigmoidoskopi untuk memvisualisasikan tumor. Keluhan non-spesifik pasien kanker
pada
umumnya seperti lemas, penurunan berat badan, dan penurunan nafsu makan yang tid
ak jelas
penyebabnya. 2,3
Kanker kolon kanan umumnya memiliki manifestasi klinis seperti melena, fatigue y
ang
berkaitan dengan anemia, dan nyeri abdomen (terutama jika tumor sudah berukuran
besar). Lesi
kanker kolon kanan dapat mengalami ulserasi berulang, menyebabkan perdarahan kro
nis dan
asimptomatik. Seringkali, perdarahan tidak terdeteksi (bersifat asimptomatik) da
n terdiagnosa
anemia defisensi besi. Anemia defisiensi besi pada laki-laki atau perempuan yang
tidak

menstruasi harus dievaluasi mengenai sumber perdarahan dari traktus gastrointest


inal. Namun,
hemoglobin yang normal dan occult blood test dapat negatif pada sepertiga kasus
kanker kolon.
Hal ini disebabkan perdarahan pada lesi tumor bersifat intermitten. Feses yang m
elewati katup
ileocecal sampai ke kolon kanan masih relatif cair, sehingga tumor dapat membesa
r tanpa
menyebabkan gejala obstruktif atau perubahan bowel habit. Tumor yang sudah membe
sar dapat
menyebabkan gejala obstruksi dan perubahan pada bowel habit. 2,3
Feses yang melewati kolon transversum dan kolon kiri relatif lebih padat. Kanker
kolon
kiri pada dasarnya bersifat konstriktif, sehingga kanker kolon kiri lebih umum m
enyebabkan
gejala obstruktif dan perubahan bowel habit. Pasien dapat mengeluhkan konstipasi
dan nyeri
abdomen. Perdarahan biasanya merah segar (hematochezia). Pemeriksaan radiografi
abdomen
yang khas menunjukkan lesi anular ( apple-core / napkin-ring ). 2,3

Gambar 2. Adenokarsinoma yang berbentuk anular dan konstriktif pada kolon kiri,
membentuk gambaran apple-core / napkin-ring .
Kanker yang berlokasi di rectosigmoid dapat bermanifestasi hematochezia, tenesmu
s,
nyeri pada saat defekasi, dan ukuran feses yang kecil-kecil. Anemia jarang ditem
ukan. Pasien

C:\Users\USER\Downloads\photo 1 (4).PNG
akan datang ke dokter dengan dugaan awal terjadinya hemorrhoid akibat terjadinya
hematochezia. Lesi lebih mudah dideteksi dengan melakukan pemeriksaan rectum dan
proctosigmoidoscopy. 2,3

2.5 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
. Fecal Occult Blood Test
Hasil positif harus diikuti dengan pemeriksaan kolonos
kopi.
. Tumor Marker: Carcinoembryonic Antigen (CEA) akan meningkat pada 60
90%
kasus karsinoma kolon.1
2. Barium Enema
Pemeriksaan barium enema pada karsinoma kolon akan tampak filling defect berbent
uk
anular atau apple core, dinding usus tampak rigid dan mukosa usus yang rusak. Ba
rium
enema sangat sensitif untuk mendeteksi polip ukuran > 1cm (sensitivitas 90%). Ke
kurangan
dari pemeriksaan ini adalah dibutuhkan bowel preparation terlebih dahulu dan per
lu
dilanjutkan dengan kolonoskopi bila ditemukan adanya lesi. 1

D:\COAS\Bedah\images (5).jpg
D:\COAS\Bedah\images (4).jpg
Gambar 3. Pemeriksaan Barium Enema

3. Endoskopi
A. Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis karsinoma kolon.
Kolonoskopi dapat memberikan gambaran seluruh kolon secara menyeluruh untuk
mendekteksi adanya polip (< 1 cm) atau kanker, memfasilitasi dilakukannya biopsi
untuk
mengkonfirmasi diagnosis, polipektomi, kontrol perdarahan, dan dilatasi striktur
.
Kolonoskopi dilakukan setelah kanker dideteksi dengan pemeriksaan barium enema,
dengan tujuan untuk melakukan biopsi serta mendeteksi sekaligus mengangkat polip
Kecil yang mungkin terlewat pada pemeriksaan kontras.1,2 Kekurangan dari kolonos
kopi
adalah dibutuhkan bowel preparation, membutuhkan sedasi karena tidak nyaman, mah
al,
dan membutuhkan ahli yang terlatih.1

Gambar 4. Kolonoskopi

C:\Users\USER\Downloads\photo 3 (5).PNG
B. Flexible/ rigid proctoscopy
Pemeriksaan ini dilakukan pada kanker rektum untuk menilai ukuran, lokasi, morfo
logi,
histologi, dan fiksaasi dari tumor.
C. Sigmoidoskopi dan anuskopi

4. Endorectal ultrasonography
Endorectal ultrasonography biasanya digunakan pada kanker rektum untuk memperkir
akan
stadium kanker (ultrasound stadium) saat preoperatif.

Gambar 5. Endorectal USG

karsinoma rektal T3

5. CT Scan dan MRI


Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk mengevaluasi metastasis jauh dan deraja
t invasi
tumor.

2.6 Staging

2.7 Tatalaksana
Karsinoma kolon
Tujuan terapi karsinoma kolon adalah untuk mengangkat tumor primer beserta denga
n
suplai limfovaskularnya (lifadenektomi regional), dan mengembalikan kontinuitas
saluran cerna
melalui anastomosis 1,2. Organ sekitar atau jaringan, seperti omentum, yang terl
ah terinvasi juga
harus direseksi secara en bloc bersama dengan tumor. Bila seluruh tumor tidak da
pat diangkat,
maka prosedur paliatif dapat dipertimbangkan. Berikut adalah tatalaksana karsino
ma kolon
sesuai dengan staging: 1

C:\Users\USER\Downloads\photo 1 (3).PNG
. Stadium 0 (Tis, N0, M0)
Polip dengan karsinoma in situ (high-grade dysplasia) tidak memiliki risiko meta
stasis ke
nodus limfe, namun memiliki risiko tinggi ditemukannya karsinoma invasif diantar
a polip
tersebut. Maka dari itu, polip sebaiknya di eksisi dan tepi patologis bebas dari
displasia.
Sebagian besar pedunculated polyp dan sessile polyp dapat dieksisi melalui endos
kopi.
Setelah dilakukan eksisi, pasien sebaiknya melakukan kolonoskopi untuk memastika
n tidak
terjadi rekurensi dan tidak terbentuk karsinoma invasif.

Gambar 6. Karsinoma invasif pada pedunculated dan sessile polyps

. Stadium I: The Malignant Polyp (T1, N0, M0)


Tatalaksanan polip malignan tergantung pada risiko rekurensi lokal dan risiko me
tastasis ke
nodus limfe. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan rekurensi lokal dan penyeba
ran
metastasis antara lain adalah terdapatnya invasi limfovaskular, histologi poor d
ifferentiated
dan tumor yang berada 1mm dari tepi reseksi. Pada keadaan ini merupakan indikasi
dilakukannya kolektomi segmental. 1
Hemikolektomi dekstra diindikasikan bila lesi terdapat di caecum, kolon ascenden
s, dan
fleksura hepatika. Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan usus dari 4
6 cm pro
ksimal
katup ileosekal hingga bagian kolon transversum yang diperdarahi oleh cabang kan
an dari
arteri kolik media. Anastomosis kemudian dibentuk antara ileum terminal dan kolo
n
transversum.2

C:\Users\USER\Downloads\photo 2 (4).PNG
Hemikolektomi sinistra merupakan prosedur pilihan untuk tumor pada kolon desende
ns.
Pada prosedur ini dilakukan resesksi dari fleksura splenika hingga rectosigmoid
junction. 2
Tumor pada kolon kiri seringkali menyebabkan obstruksi total, dimana pada keadaa
n ini
anastomosis primer cenderung dihindari karena risiko terjadinya kebocoran pada
anastomosis tersebut. Maka dari itu, pasien ini sebaiknya di terapi dengan resek
si segmen
kolon dimana terdapat kanker yang menyumbat, lalu distal sigmoid/rektum dijahit,
dan
dilakukan kolostomi ( Hartmann s operation).
Sigmoidektomi dilakukan bila tumor terdapat pada kolon sigmoid.
Abdominal kolektomi (subtotal colectomy/ total colectomy) merupakan prosedur
pengangkatan seluruh kolon dari ileum hingga rektum. Prosedut ini dapat dilakuka
n apabila
terdapat kanker yang mengobstruksi pada kolon sigmoid. Segmen kolon yang mengand
ung
tumor dan seluruh kolon proksimal dari tumor akan direseksi, lalu dilanjutkan de
ngan
pembentukan anastomosis antara ileum dan kolon sigmoid distal/rektum (subtotal
colectomy dan ileosigmoid/ileorectal anatomosis). 2

Gambar 7. Reseksi kolorektal

Gambar 8. Reseksi kolorektal

. Stadium I dan II: Localized Colon Carcinoma (T1-3, N0, M0)


Mayoritas pasien dengan karsinoma kolon stadium I dan II dapat disembuhkan denga
n
pembedahan reseksi. Kemoterapi adjuvant disarankan untuk pasien karsinoma kolon
stadium II terpilih (muda, temuan histologis risiko tinggi). 1
. Stadium III: Lymph Node Metastasis (Tany, N1, M0)
Pasien dengan keterlibatan nodus limfe memiliki risiko tinggi terjadinya rekuren
si lokal
maupun jauh, dan pemberian kemoterapi adjuvan secara rutin direkomendasikan pada
pasien ini. Penggunaan regimen 5-Fluorouracil (dengan leucovorin) dan oxaliplati
n
(FOLFOX) dapat mengurangi rekurensi dan meningkatkan survival pada populasi ini.
1
. Stadium IV: Distant Metastasis (Tany, Nany, M1)
Survival pada pasien dengan karsinoma kolon stadium IV terbatas. Lokasi metastas
is yang
tersering adalah hepar. Dua puluh persen pasien dengan metastasis ke hepar dapat
dilakukan reseksi hepar. Tindakan reseksi dapat meningkatkan angka survival (20
40% 5year survival) dibandingkan dengan pasien yang tidak dilakukan reseksi. Reseksi
hepar
pada pasien karsinoma kolon dapat dilakukan sebagai prosedur kombinasi atau deng
an 2

C:\Users\USER\Downloads\photo 2 (5).PNG
tahap. Semua pasien ini membutuhkan kemoterapi adjuvan. Lokasi tersering kedua u
ntuk
metastasis adalah paru, terjadi pada 20% pasien dengan karsinoma kolorektal. Nam
un
hanya sedikit dari pasien ini yang dapat dilakukan reseksi.
Selebihnya, pasien dengan karsinoma kolon stadium IV tidak dapat disembuhkan den
gan
terapi pembedahan, maka dari itu, terapi akan terfokus pada terapi paliatif. Beb
erapa
metode paliatif yang dapat dilakukan adalah stenting usus dan stoma/bypass untuk
mengatasi obstruksi, angiographic embolization untuk mengontrol perdarahan, dan
external beam radiation. 1

Intestinal Stoma
Stoma adalah artificial opening dari saluran intestinal atau saluran kemih ke di
nding abdomen.
1. Kolostomi
Kolostomi adalah anastomosis antara kolon dan kulit dinding abdomen. Kolostomi d
ata
bersifat sementara atau permanen, tergantung dari penyakit dan kondisi mengapa
kolostomi tersebut dibuat.
End Descending Colostomy. Secara umum, lokasi kolostomi lebih baik dilakukan pad
a
kolon descendens dibandingkan dengan sigmoid. Indikasi tersering dilakukannya en
d
descending colostomy adalah reseksi abdominoperineal pada kanker rektum. Pada te
knik
ini kolon dilepaskan dari dinding abdomen posterior dan fascia pre renal sehingg
a kolon
terletak di anterior usus halus. Kemudian close-end dari kolon desenden dibawa m
elalui
aperture dinding abdomen yang telah dibuat sebelumnya, lalu dinding kolon di
aproksimasi dengan kulit menggunakan jahitan interrupted absorbable sutures. 2

Gambar 9. Hartmann s operation

C:\Users\USER\Downloads\photo 3 (4).PNG
C:\Users\USER\Downloads\photo 3 (4).PNG
C:\Users\USER\Downloads\photo 4 (3).PNG

Gambar 10. End Colostomy

Loop Colostomy. Kolostomi loop yang umum dilakukan adalah transverse loop
colostomy. 2

Gambar 11. Loop Colostomy

2. Ileostomi
Ileostomi merupakan penggabungan ileum dengan kulit dinding abdomen. Seperti
kolostomi, ileostomi dapat dilakukan dengan end stoma atau loop. Ileostomi loop
sementara dapat digunakan untuk proteksi anastomosis distal seperti coloanal
anastomosis pada pasien kanker rektum yang menjalani kemoterapi preoperatif. Ile
ostomi
end diperlukan jika kolon dan rektum harus diangkat dan sfingter anus tidak dapa
t
dipreservasi. Indikasi tersering dari end ileostomy permanen adalah Chron s diseas
e
dengan keterlibatan anorektum yang berat. 2

C:\Users\USER\Downloads\photo 5 (3).PNG
C:\Users\USER\Downloads\photo 5 (3).PNG
Gambar 12. Ileostomi

C:\Users\USER\Downloads\photo 5 (2).PNG
Karsinoma rektum

Gambar 13. Algoritma karsinoma rektum

1. Eksisi lokal transanal


Eksisi lokal dapat dilakukan pada karsinoma yang kecil, terletak di distal rektu
m, dan
tidak menembus ke lapisan muskularis. Eksisi lokal dilakukan melalui pendekatan
transanal
dan biasanya dinding rektum dibawah tumor akan ikut di eksisi. Indikasi dilakuka
n eksisi
lokal :
.
.
.
.
)
.
.

Diameter tumor < 4 cm


Melibatkan < 40% dinding rektum
Terletak diantara 6 cm dari anal verge
Stadium T1 (terbatas pada submukosa), atau T2 (terbatas pada muskularis propia
Well/ moderately differentiated
Tidak terdapat invasi ke vascular atau limfe

Eksisi lokal juga dapat dilakukan sebagai terapi paliatif pada pasien stadium la
njut
dengan penyakit komorbid, dimana operasi yang ekstensif dapat menyebabkan pening
katan

morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari eksisi lokal adalah eksisi seluruh karsin
oma dengan
tepi bebas massa tumor. Eksisi lokal bukan terapi yang adekuat untuk karsinoma r
ektal T2,
sehingga dibutuhkan terapi tambahan seperti radioterapi adjuvant plus kemoterapi
atau eksisi
radikal (reseksi abdominoperineal atau reseksi anterior rendah). 2

2. Transanal Endoscopic Microsurgery


Transanala Endoscopic Microsurgery (TEM) merupakan salah satu teknik eksisi loka
l
dengan menggunakan proktoskop yang dilengkapi dengan kamera pembesar (magnifying
camera). Teknik ini secara khusus dapat digunakan untuk tumor rektum T1 dan sess
ile
polyps. Teknik ini menggunakan alat endosurgical berupa proktoskop yang memiliki
empat
fungsi
insuflasi karbondioksida, irigasi iar, suction, dan monitor tekanan intra
rektum.
Endoskop akan dimasukkan melalui anus dan diposisikan untuk memperoleh visualisa
si
dan akses ke tumor. Endoskop sendiri berifat tertutup, sehingga rektum akan berd
istensi
ketika dilakukan insuflasi karbondioksida. Distensi rektum akan memfasilitasi vi
sualisasi
melalui lensa binocular pada sistem. Setelah itu, instrument operasi akan dimasu
kkan melalui
port dan tumor dieksisi.
Kelebihan dari teknik ini adalah didapatkannya paparan tumor yang sempurna pada
area dengan akses sulit. Namun kekurangannya adalah memiliki kesulitan yang ting
gi,
peralatan yang mahal, dan jumlah lesi yang dapat dieksisi dengan teknik ini rela
tif kecil.
Dilatasi sfingter anus dengan endoskop yang besar seringkali berkaitan dengan in
kontinensia
feses sementara. 2

3. Fulgerasi
Fulgerasi merupakan teknik yang menggunakan alat elektrokauter untuk mengeradika
si
tumor. Arus listrik akan menyebabkan terbentuknya full-thickness eschar pada are
a tumor.
Prosedur ini hanya dapat digunakan pada lesi dibawah peritoneal reflection. Pada
teknik ini
tidak dapat dilakukan pemeriksaan histopatologik.
Prosedur ini digunakan pada penderita yang beresiko tinggi untuk menjalani
pembedahan dan harapan hidup yang terbatas. Komplikasi yang dapat timbul antara
lain

adalah demam dan perdarahan yang masih dapat terjadi hingga 10 hari setelah oper
asi.

Fulgerasi telah banyak digantikan dengan eksisi transanal, yang memungkinkan


dilakukannya staging yang lebih adekuat dari spesimen yang dapat diambil. 2,4
4. Reseksi abdominoperineal
Reseksi abdominoperineal pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Miles, sehingga
disebut juga prosedur Miles. Pada reseksi abdominoperineal, rektum dan sigmoid d
engan
mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperitoneal.
Kemudian
anus dieksisi melalui insisi perineal dan dikeluarkan seluruhnya bersama rektum
melalui
abdomen, serta dilakukan kolostomi permanen.4
Reseksi abdominoperineal diindikasikan apabila tumor telah menginvasi sfingter a
nus
atau terlalu dekat dengan sfingter untuk mendapatkan tepi yang bebas massa tumor
, pada
pasien yang tidak mungkin dilakukan tindakan preservasi sfingter anus (unfavorab
le body
habitus, poor preoperative sphincter control). 2

5. Reseksi anterior rendah (low anterior resection)


Reseksi anterior (anterior proctosigmoidectomy with colorectal anastomosis)
merupakan reseksi rektum proksimal atau rektosigmoid diatas peritoneal reflectio
n. Reseksi
anterior rendah adalah reseksi rektum dibawah peritoneal reflection melalui abdo
men.
Kontinuitas intestinal kembali dibentuk melalui anastomosis kolon desendens deng
an
distal rektum atau anus. Anastomosis ini akan menyebabkan perubahan bowel habits
karena
hilangnya kapasitas rektal. Pasien akan mengalami frequent small bowel movements
(low
anterior resection syndrome/ clustering). Hal ini dapat diatasi dengan membentuk
J pouch
pada proksimal anastomosis. 2

C:\Users\USER\Downloads\photo 4 (2).PNG
C:\Users\USER\Downloads\photo 3 (3).PNG
Gambar 14. Anastomosis kolon desendens dan rektum, teknik J pouch
2.8 Follow-Up
Pasien karsinoma kolorektal yang telah diterapi akan tetap berisiko terjadinya r
ekurensi
(lokal atau sistemik) atau metastasis. Secara teoritis, metastasis kanker dapat
dicegah dengan
kolonoskopi surveillance untuk mendeteksi dan mengangkat polip sebelum polip ter
sebut
berkembang menjadi karsinoma invasif. Kolonoskopi dilakukan dalam waktu 12 bulan
setelah
diagnosis ditegakkan. Bila hasil normal, maka kolonoskopi diulang setiap 3 hingg
a 5 tahun.
Rekurensi pada umumnya terjadi dalam jangka waktu 2 tahun setelah diagnosis, mak
a
surveillance harus fokus pada periode ini. Pasien yang telah menjalan reseksi lo
kal tumor rektum
sebaiknya melakukan pemeriksaan endoskopik setiap 3
6 bulan selama 3 tahun, kemu
dian
setiap 6 bulan selama 2 tahun. Surveillance yang lebih intensif ditujukan untuk
pasien dengan
risiko tinggi sindrom HNPCC atau kanker T3,N+.1

2.9 Prognosis
Prognosis karsinoma kolon bergantung pada ada tidaknya metastasis jauh, yakni
bergantung pada klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Pa
da tumor yang
terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup lima tahun
adalah 80%,
yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar 32%, dan
dengan
metastasis jauh 1%. Bila disertai diferensiasi sel tumor buruk, prognosisnya aka
n sangat buruk.4

C:\Users\USER\Downloads\photo 2 (6).PNG
Tabel 2. Angka kelangsungan hidup 5 tahun berdasarkan staging TNM

Tabel 3. Rekurensi lokal dan survival menurut American Joint Committee on Cancer
Staging

2.10 Screening
Tabel 4. Keuntungan dan kerugian modalitas screening untuk individu asimptomatik

Tabel 5. Screening Guideline untuk karsinoma kolorektal

DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi F.C et all, ed. Schwartz s Principles of Surgery. 10th edition. New
York: McGrawHill. 2015: 241-246.
2. McGrath MH, Pomerantz JH. Plastic Surgery. Sabiston Textbook of Surgery. Twen
tieth
edition. Canada: Elsevier. 2016.
3. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al., ed
itors.
Harrison s principles of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill; 2014.
4. De Jong, Syamsuhadi. Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2005

Anda mungkin juga menyukai