Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN RHINITIS KRONIS

I.

KONSEP DASAR

1. Pengertian
Rhinitis adalah peradangan pada lapisan rongga hidung yang bisa
disebabkan karena gejala alergi dan bisa juga disebabkan bukan karena alergi
(Non-Alergi). Sedangkan untuk rhinitis non-alergi bisa disebabkan oleh
alergen tertentu namun bukan karena faktor alergi, meskipun gejalanya sama
seperti gejala rhinitis alergi.
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah
tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan
timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa (Von
Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala
bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh
IgE (WHO ARIA tahun 2001).Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan )
pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 ).
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung ( Dorland, 2002).
Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk
menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun
atau musiman. (Dorland,2002 ).
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh
perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi
mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti:
debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara.

2. Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya :
Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis). Hanya
ada di Negara yang memiliki 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur.
Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)

Gejala keduanya hamper sama, hanya tempat berlangsungnya saja


yang berbeda.
Berdasakan waktu berlangsungnya :
Rhinitis intermitten : (gejala <4 hari dan lamanya <4 minggu 2)
rhinitis persisten : gejala >4 hari dan berlangsungnya >4
minggu
Berdasarkan berat gejala berlangsungnya :
Ringan (tidur normal, tidak menggangu aktifitas)
Berat (tidur terganggu, aktifitas terganggu)

3. Etiologi
Inhalan : masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, virus,serbuk sari, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang
serta jamur
Ingestan : masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
Injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah
Kontaktan : masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC)
akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti
interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5,

dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan
mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan

Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terusmenerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon
sekunder.
Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi
selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
Respon tersier.
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2
atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1,
yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

5. Manifestasi Klinis
Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
Hidung tersumbat
Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan
alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih
keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi
hidung atau infeksi sinus.
Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorok.
Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang
berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung
untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari
lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis
alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak.
Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya
air mata.

6. Pemeriksaan Penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika

ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,


2002).
In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan

7. Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebab
Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang
sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau
dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika
gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil
diatasi oleh obat lain
Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan
cara diatas
Penggunaan Imunoterapi.
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal
antara lain :
Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
Tidak menimbulkan takifilaksis.
Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal.
Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan
kriteria yang lain.
Kortikosteroid intramuskuler

dan

intranasal

tidak

dianjurkan

sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.


Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen,
farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam
penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan
bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab
dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan
penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan
memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar
terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan.
Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan.

Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan


kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama
sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang
biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang
sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan. Medikamentosa
diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama.
Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan.
Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini:
1) Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1
sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan
takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan
kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin,
sedangkan

generasi

kedua

yaitu

setirizin/levosetirizin

dan

loratadin/desloratadin.Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap


lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja
cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung.Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu
sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi
kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak
mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.
2) Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin)
juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai
beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat
cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata.
Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit
pada sebagian pasien.
3) Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid,
flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi
hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif

terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan
efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak
dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal
obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah
pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid
topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan
dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada
kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
4) Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon,

prednisolon,

prednison,

triamsinolon,

dan

betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas


nasal.

Pemberian

memungkinkan,

jangka

pendek

kortikosteroid

mungkin

intranasal

diperlukan.
digunakan

Jika
untuk

menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal


obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas
yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan
pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
5) Kromon lokal (local chromones)
Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan
nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon
intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif
dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan
tingkat keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator
sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya
diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek
6)

samping.
Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,
merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit
jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi,
berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,

kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma


atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian
terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral
efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.
7) Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin,

dan

xilometazolin)

juga

merupakan

obat

simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat


ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.
Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah
terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti
sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis
terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi
gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
8) Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium)

dapat

menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik


maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat
efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk
rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang
menonjol.
9) Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast,
akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan
baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1
oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini.
Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

8. Komplikasi
Polip hidung
Otitis media
Sinusitis paranasal. (Mansjoer, 2001 : 107)
II.
A.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
Identitas Pasien

Identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, bangsa,

pendidikan dan pekerjaan pasien.


Keluhan Utama
Pasien mengalami bersin-bersin, hidung mengeluarkan secret, hidung

tersumbat, dan hidung gatal.


Riwayat Penyakit Dahulu
Hal yang perlu dikaji yaitu apakah sebelumnya pasien pernah menderita

penyakit THT.
Riwayat Keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga sebelumnya yang

mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk rhinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah,mata, dan telinga juga penting.
Hidung
Inspeksi : permukaan hidung terdapat secret mukoid
Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi.
Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat,disertai adanya sekret encer yang banyak.
Dalam hal ini kita menentukan karakteristik dan kuantitas
mukus hidung.
Pada rinitis alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan
purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis. Namun,
mukus kental, purulen, dan berwarna dapat timbul pada
rinitis alergi.
Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi septum
atau perforasi septum yang dapat disebabkan oleh rinitis
alergi kronis.
Wajah
Inspeksi :
Adanya allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata
dan berhubungan dengan vasodilatasi atau obstruksi

hidung.
Adanya nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal
crease) yang melalui setengah bagian bawah hidung akibat
kebiasaan menggosok hidung ke atas dengan tangan.

Mata
Inspeksi :
Adanya pembengkakan konjungtifa palpebral yang disertai
dengan produksi air mata.

Telinga
Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani.
Kelainan mobilitas dari membran timpani dapat terjadi pada rinitis
alergi yang disertai dengan disfungsi tuba eustachius dan otitits
media sekunder.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi
b) Defisiensi pengetahuan b/d kurangnya informasi
c) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakitnya.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No

Diagnosa

Keperawatan

Tujuan

Intervensi

Rasional

Nyeri akut b/d

Setelah di berikan

inflamasi

asuhan

pengkajian

keperawatan

nyeri

selama 1x45 menit


diharapkan
pasien

Mengetahui
lokasi,
kualitas
dan skala nyeri
yang dirasakan

Mengetahui skala
nyeri
yang
dirasakan ketika
pasien tidak bisa
mengungkapkan
skala nyeri yang
dirasakan

Memberikan rasa
nyaman
kepada
pasien
dalam
menyampaikan
keluhan
yang
dirasakan

Mengurangi rasa
nyeri
tidak
selamanya harus
menggunakan
obat,
teknik
relaksasi
dan
distraksi
bisa
menjadi
cara
untuk mengurangi

Observasi

kriteria

reaksi

sebagai

verbal

dengan
hasil

secara

komperhensif

nyeri

berkurang

Lakukan

non

berikut :

Mampu

Gunakan

mengontrol

teknik

nyeri
Melaporkan

komunikasi

bahwa

terapeutik

nyeri

berkurang
Mampu

Ajarkan teknik

mengenali

non

nyeri
Menyatakan

farmakologi

nyaman
setelah

nyeri

berkurang

Tingkatkan
Istirahat

Kolaborasi
dengan dokter

dalam

nyeri

pemberian obat
analgetik

Defisiensi

Setelah

pengetahuan

asuhan

b/d kurangnya

keperawatan

vital sign

informasi

selama 1x45 menit


dapat

meningkatkan

Obat
analgetik
dapat
menekan
SSP dan sistem
saraf perifer untuk
mensintesis
prostatglandin
sehingga
nyeri
berkurang

Mengetahui
keadaan
umum
pasien
Mengetahui
sejauh
mana
pengetahuan
pasien
tentang
sakit
yang
dideritanya

Berikan
penilaian

pasien

dengan

kriteria

hasil

tentang tingkat
pengetahuan
pasien

sebagai berikut.

Pasien

Monitor

pengetahuan

dan

menyatakan

tentang

proses penyakit

tanda dan gejala

penyakit,

yang

biasa

kondisi,

muncul

pada

prognosis, dan

penyakit,

program

dengan

pengobatan
Pasien
dan

yang tepat

mampu
melaksanakan

Memberikan
informasi tentang
tanda,
gejala
penyakit
yang
dideritanya

Meningkatkan
pengetahuan
pasien tentang
terapi yang akan
diberikan

Gambarkan

paham tentang

keluarga

spesifik

keluarga

Menghindari
pasien
dari
kelelahan

diberikan

diharapkan

Berikan
informasi

cara

prosedur yang

tentang

dijelaskan

penanganan dan

secara benar
Pasien
dan

terapi

yang

diberikan

keluarga
mampu
menjelaskan
kembali

apa

yang
dijelaskan
oleh

perawat

dan

tim

kesehatan
laiinya
3

Gangguan

rasa Setelah

diberikan

nyaman

tindakan keperawatan 1. Gunakan pendekatan

berhubungan

selama 1x45 menit

dengan

gejala diharapkan

pasien

terkait

merasa

penyakitnya

dengan kriteria hasil :


- Mampu

nyaman

mengontrol

prosedur dan apa


yang

dirasakan

selama prosedur

rasa percaya diri pasien


terhadap penyakitnya
2. agar pasien mengetahui
tindakan apa saja yang
dilakukan

dan

apa

bagaimana reaksi pasien


3. Instruksikan

rasa
ketidaknyamanann
ya
- Status

yang menenangkan
2. Jelaskan
semua

1. Untuk mempertahankan

3. teknik

menggunakan
teknik relaksasi

kenyamanan

meningkat
- Status
lingkungan
yang nyaman
- Pasien
mengatakan
rasa lebih nyaman
- Kualitas tidur dan
istirahat adekuat

4. Bantu pasien dan


keluarga

untuk

mencari dukungan
5. Dorong

pasien

untuk

dan

distrakasi

yang

diajarkan

kepada

pasien,

dapat

membantu mengurangi
persepsi
terhadap

pasien
nyeri

yang

dideritanya

mengungkapkan
perasaannya
6. Gunakan

relaksasi

4. agar

pasien

merasa

percaya diri
teknik

5. untuk

mengetahui

komunikasi

bagaimana

terapeutik

pasien
6. teknik

perasaan

komunikasi

terapeutik agar pasien


merasa lebih percaya
diri
D. IMPLEMENTASI
Adalah mengelolah dan mewujudkan dari rencana perawatan meliputi
tindakan yang telah direncanakan oleh perawat, melaksanakan anjuran dokter
dengan ketentuan rumah sakit.
E. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu proses perawatan dan
merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan
klien dengan tujuan yang telah dilakukan dengan cara melibatkan klien dan
sesama tenaga kesehatan (Nasrul F, 1995)

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9.
Jakarta : EGC
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doungoes, marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
Dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed 3 : Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai