Anda di halaman 1dari 6

Obyektivikasi, Agenda Reformasi Ideologi - Kuntowijoyo

MENJELANG SU MPR elite politik kita sedang sibuk mencari solusi politik atas
menguatnya kubu Megawati dan kubu Habibie, yang dipersangkakan orang sebagai
pertentangan antara kubu sekuler melawan kubu Islam. Di tingkat grass roots ada
gejala cap jempol darah yang membuat banyak orang ketar-ketir tentang apa yang
mungkin terjadi. Sementara itu, di harian ini telah dibuka dialog intelektual mengenai
sekularisme politik dan Islam, yang masing-masing diwakili oleh tulisan-tulisan Denny
JA dan Ahmad Sumargono. Tulisan berikut ini adalah suatu usaha ke arah reformasi
ideologi, yaitu mencari jalan tengah antara sekularisme politik dan Islam. Seperti
diketahui, meskipun nanti pada akhirnya ada solusi politik, tetapi akan selalu ada
ketegangan ideologis antara sekularisme politik dan Islam.
Akar permasalahan itu sudah ada sejak sebelum Kemerdekaan, yaitu dalam
pertentangan antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Pertentangan serupa
menggejala lagi dalam Pemilu 1955 dan praktis sepanjang Orde Lama, terutama antara
1959-1965. Pertentangan itu tidak ada di permukaan selama 32 tahun pemerintahan
Orde Baru yang otoriter dengan program deideologisasi. Sejarah politik kita adalah
sebuah disrupted history (sejarah yang terputus). Kalau saja sejarah kita tidak terputus
mungkin sekarang pertentangan antara sekularisme politik dan Islam itu sudah ketemu
solusi politik dan ideologinya. Maka tidak mengherankan kalau dalam Pemilu 1999 ini
permasalahan itu timbul lagi, seolah-olah sejarah politik kita tidak maju, melainkan
berjalan mundur, suatu siklus, atau berjalan di tempat.
Usaha untuk memecahkan kemandekan politik dan ideologi itu sudah muncul di tahun
1970-an ketika Nurcholis Madjid mengemukakan perlunya sekularisme politik dengan
rumusan Islam Yes, Partai Islam No, akan tetapi, seruannya itu banyak ditolak oleh
orang Islam sendiri yang menyamakan sekularisme politik dengan sekularisme total.
Kemudian di tahun 1980-an KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mengemukakan
perlunya sekularisme politik sebagai gerakan kultural. Tetapi, rupanya gagasan itu tidak
mendapat tanggapan secara luas. Mungkin karena dia sendiri tidak konsisten dengan
gerakan kulturalnya dan bermain juga di tingkat struktur, atau karena seruannya sudah
menjadi bagian dari ideologi NU sejak dia menjadi Ketua Umum PBNU setidaknya
begitulah klaim Gus Dur. Kemudian di tahun 1995 keluarlah gagasan high politics dari
Amien Rais (kemudian jadi Ketua Umum PP Muhammadiyah), dengan maksud bahwa
keterlibatan politik suatu agama (Islam) itu tidak sepatutnya pada politik praktis sehari-

hari. Barangkali gagasan mengenai high politics itulah yang diterjemahkan dengan
aktivitasnya dalam Partai Amanat Nasional (PAN) sejak 1998.

Obyektivikasi
Harus ada jalan tengah untuk mengatasi kemandekan politik, perlu ada perubahan
dalam cara berpikir politik. Metode jalan tengah ideologi itu adalah obyektivikasi.
Obyektivikasi artinya memandang sesuatu secara obyektif. (Mohon jangan keliru
dengan obyektivasi, memandang sesuatu sebagai obyek). Obyektivikasi adalah jalan
tengah bagi Islam, agama-agama, dan aliran-aliran politik lainnya. Maksudnya ada tiga
hal, yaitu (a) artikulasi politik hendaknya dikemukakan melalui kategori-kategori obyektif,
(b) pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara obyektif,
dan (c) tidak lagi berpikir kawan-lawan, tetapi perhatian ditujukan pada permasalahan
bersama bangsa. Dalam konteks agama Islam ketiga hal itu dapat dibaca dalam buku
saya Identitas Politik Umat Islam.
Pertama, artikulasi yang obyektif sifatnya dapat berbeda dengan pemelukan suatu
agama yang subyektif. Maka umat Islam tidak harus berpolitik melalui partai berlabel
Islam, demikian juga mereka yang beragama Kristen tidak harus memilih partai
berlabel Kristen. Untuk itu, retorika politik juga harus menggunakan bahasa yang
obyektif. Misalnya, bagi Islam istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur (negara
sejahtera yang penuh dengan ampunan Tuhan) yang khas Islam di muka publik politik
yang plural hendaknya diganti dengan ungkapan yang obyektif, misalnya, negara
kesejahteraan. Demikian juga negara sekuler yang selama ini perlu diganti, misalnya
dengan negara rasional yang tidak akan menyinggung perasaan umat Islam.
Kedua, pluralisme demografis dan kultural adalah kondisi obyektif Indonesia.
Menghilangkan egosentrisme kelompok sangat diperlukan dalam rangka persatuan
nasional. Umat Islam perlu mengingat saudara-saudaranya yang non-muslim, dan
sebaliknya. Karenanya, conspiration theory, kecurigaan antar-SARA, Islam-fobia, dan
non-muslim fobia perlu dihilangkan dari kesadaran berpolitik.
Ketiga, melepaskan diri dari pikiran Orang Kita versus Mereka, sebaliknya berpikir
Kita versus Itu (We versus It). Jadi, bukan Muslim melawan non-Muslim atau

sebaliknya, tetapi kita melawan permasalahan bersama berupa demokrasi,


kemiskinan, rule of law, industrialisasi, PHK, perdagangan bebas, dan sebagainya.
Kita percaya bahwa ketiga hal itu akan menjadikan artikulasi dari pemikiran politik
berdasar apapun tidak akan melukai kelompok lain. selama ini aktualisasi pemikiran
politik kita terlalu subyektif, seolah-olah kita hidup sendirian dalam ruang yang kosong.
Ideologi politik kita juga terlalu agresif, mencari kawan-lawan dalam masyarakat, tidak
dalam problema bersama.

Pancasila
Kalau obyektivikasi adalah metodenya, maka substansinya ialah Pancasila. Barangkali
kata Pancasila tidak begitu enak didengar, karena di masa Orba, ia telah dipakai
sebagai alat indoktrinasi, monopoli kebenaran, pemberangusan unsur-unsur antiPancasila, dan pembenar otoritarianisme serta praktik-praktik KKN. Bahkan, di masa
Orla komunisme yang terang-terangan ateis dapat mengakui keberadaannya, sehingga
rumusan Pancasila tidak jelas. Pada waktu itu, Pancasila juga bisa diperas-peras,
sehingga sila Ketuhanan Yang Maha Esa bisa raib. Meskipun Pancasila terbukti tidak
konsisten, namun perlu diingat bahwa Pancasila adalah penemuan utama bangsa
Indonesia.
Pancasila adalah common denominator (pembagi bersama alias titik temu) bagi
berbagai pemikiran. Tidak satu pun dari kelima silanya bertentangan dengan Islam.
Bahkan dapat dikatakan bahwa Pancasila adalah obyektivikasi dari Islam. Agamaagama lain sudah pasti menemukan dirinya dalam rumusan Pancasila. Aliran-aliran
lain, seperti Marhaenisme, Sosialisme, Liberalisme, dan verzorgings-staat (Welfare
State, Negara Jaminan Sosial) tertampung di dalamnya.
Sebagai ideologi terbuka, Pancasila membuka diri pada ide-ide yang dikembangkan
oleh berbagai ideologi. Kehadiran ide-ide itu justru menyuburkannya. Ia cukup punya
rambu-rambu untuk tidak terjebak dalam salah satu ideologi. Sejarah Pancasila
memang tidak menunjukkan garis lurus. Di masa Orla, keterbukaan itu menyebabkan
diterimanya Komunisme yang ateis, dan di masa Orba diterimanya otoritarianisme yang
mengingkari Kedaulatan Rakyat. Untuk menghindari kemungkinan keterjebakan itu, sila-

sila dalam Pancasila harus dibaca sebagai kata kerja aktif. Jadi terbuka, tetapi
Menuhankan Yang Maha Esa; terbuka, tetapi Memusyawarah-Rakyatkan.
Dengan cara ini Pancasila akan menjadi ideologi yang progresif, bisa bergerak ke
depan dan bisa menyingkirkan ide-ide yang tidak sesuai. Sebagai ideologi terbuka,
Pancasila tidak memaksa leburnya ideologi-ideologi lain ke dalamnya. Jadi misalnya
ideologi Islam tetap Islam, Marhaenisme tetap Marhaenisme.
Pancasila menghendaki teosentrisme humanistik. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
tidak berdiri sendiri, tetapi perlu dihubungkan dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab. Artinya, Pancasila menghendaki supaya Ketuhanan Yang Maha Esa itu
terlibat secara aktif dalam sejarah, sebagai kekuatan sejarah, tidak berorientasi pada
dunia-luar, tetapi pada dunia-kini. Itulah sebabnya kehadiran agama-agama, seperti
Islam, harus diterima sebagai kenyataan dan keharusan konstitusional. Sebagai akibat
dari penerimaan itu, sebaliknya, Islam waktu berkiprah di forum umum yang pluralharus melakukan obyektivikasi. Maksudnya, supaya dalam Pancasila tidak ada
dominasi dan monopoli.

Spasialisasi Plus
Bagi penganut sekularisme politik tidak Pancasilalah untuk menganut paham sekuler
total dalam hal hubungan antara agama dan negara. Artikel ini ingin menganjurkan
dipakainya istilah Spasialisasi Plus sebagai ganti istilah sekuler. Spasialisasi berasal
dari kata space, artinya ruang. Spasialisasi artinya memberi tempat bagi
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pemikiran tentang negara seperti tercantum dalam
UUD 45 Pasal 29. Baik kepercayaan kepada Tuhan yang tidak dilembagakan dalam
agama maupun kepercayaan kepada Tuhan yang dilembagakan dalam agama,
keduanya harus mendapat ruang dalam ketatanegaraan Indonesia. Bahwa negara
menjamin kemerdekaan beribadat bagi warga-nya itu sudah menjadi keharusan dalam
negara-negara demokratis-sekuler di manapun, tetapi bahwa agama perlu mendapat
tempat khusus barangkali khas Indonesia, karena kekhasan kondisi obyektifnya.
Dalam negara yang benar-benar sekuler tidak satu sen pun ada alokasi anggaran untuk
keperluan agama. Maka kata plus itu perlu ditambahkan untuk menunjukkan
komitmen secara kenegaraan pada agama. Pasal 29 UUD 45 itu memang hanya

merujuk pada spasialisasi personal dan kolektif, bukan pada spasialisasi institusional.
Maka dalam dunia politik di Indonesia perlu ada jaminan tentang spasialisasi
institusional, yaitu kepastian tentang tempat kenegaraan bagi institusi agama, seperti
Departemen Agama, pengadilan agama dan pengajaran agama. Karenanya, plus itu
dimaksudkan bahwa mereka yang menganut sekularisme politik akan berbuat obyektif
dengan mengakui sepenuhnya kepentingan para pemeluk agama. Obyektivikasi
menghendaki supaya pada kata spasialisasi ditambahkan kata plus.

Simpulan
1. Kalau kita berpikir secara dialektis, tesis-antitesis-sintesis, maka kiranya akan ditemukan
gerak sejarah pemikiran berupa Islam-sekularisme politik-obyektivikasi. Dengan obyektivikasi
kekhawatiran pihak sekularisme politik dan non-muslim akan adanya gerakan
fundamentalisme Islam yang militan dan agresif akan hilang. Demikian juga hilanglah
ketakutan pihak Islam akan adanya gerakan militan dan agresif dari sekularisme politik dan
non-muslim.
2. Pancasila sebagai titik temu ideologi diminati oleh kira-kira tiga perempat dari partai-partai
peserta pemilu 1999. Gejala ini menunjukkan bahwa ada keinginan kuat ke arah titik temu.
3. Artikel ini menyarankan supaya dalam urusan hubungan agama dan negara, aliran pemikiran
sekularisme politik menggunakan saja konsep Spasialisasi Plus, sesuai dengan
obyektivikasi. Dan konsep itu diumumkan secara terbuka agar semua pihak merasa lega,
tidak waswas lagi apa yang akan dikerjakan bila sekularisme politik berkuasa.

Agenda reformasi ideologi akan berlangsung secara pelan-pelan, karena


menyangkut perubahan dalam sistem pengetahuan.[]

Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Denny JA, HA Sumargono


Kuntowijoyo, et.al.) 2000 Jakarta: Putra Berdikari Bangsa

Teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua faktor pokok yang
membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul (salient) untuk dipakai dan berpengaruh
dalam proses politik.
Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk
mempertahankan atau membela identitas yang dimiliki suatu kelompok.

Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif. Artinya, proses politik itu
menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan,
sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh-jauh hari.
Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor seperti identitas
menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengelola
isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan.

Anda mungkin juga menyukai