Anda di halaman 1dari 19

1.

Matematika Sebagai Hasil Pengajuan dan Pemecahan


Masalah
Dalam

bahasan

konstruktivisme

ini

sosial

dijelaskan

matematika

bahwa

merupakan

menurut
hasil

dari

pengajuan dan pemecahan masalah manusia. Masalah dikatakan


sebagai titik perkembangan matematika. Dalam hal ini dapat
diketahui bahwa pengajuan dan pemecahan masalah merupakan
inti dari pendidikan matematika.
Dalam sub bahasan ini Ernest menjelaskan beberapa
pendapat ahli berkenaan dengan pemecahan masalah. Adapun
pendapat tersebut adalah Laudan (1977) yang menyatakan
bahwa dalam konteks yang memungkinkan terjadinya diskusi
kritis pemecahan masalah merupakan
metode

ilmiah.

Adapun

Hallet

(1979)

karakteristik dalam
menyatakan

bahwa

masalah memegang peranan penting (key-role) dalam evaluasi


teori matematika. Hallet (1979) mengutip Kriteria Hilbert bahwa
teori dan penelitian dalam matematika harus dipertimbangkan
berdasarkan bagaimana teori dan penelitian tersebut membantu
dalam pemecahan masalah. Pendekatan ini mengakui bahwa
masalah

penting

dalam

perkembangan

ilmu

pengetahuan,

namun pendektakan ini lebih fokus pada pembenaran daripada


penciptaan teori. Pendapat ini ditentang oleh Proper (1959)
dengan pendapatnya Penemuan Konteks yang merupakan kritik
agar

tidak

memandang

remeh

arti

penemuan

dan

pengembangan teori.
Selanjutnya Ermest menjelaskan bahwa sejak Euclid dan
matematikawan sebelumnya telah ditekankan bahwa logika
deduktif memerankan peranan penting dalam pembenaran
(kemudian

berkembang

menjadi

pembuktian)

matematika.

Logika deduktif merupakan capaian terbesar dalam matematika.


Namun,

penekanan

pada

teori

dan

pembuktian

serta

pembenaran umum menunjang pandangan absolut matematika


tradisional. Di sisi lain, Pengenalan masalah dan pemecahan
masalah sebagai

inti

matematika

merupakan tradisi yang

berbeda dalam sejarah matematika, yaitu merupakan penekanan


konteks

penemuan.

Sehingga

dalam

hal

ini

pemakalah

menangkap bahwa pendapat Ernest yang mengemukakan bahwa


matematika sebagai logika deduktif dan berawal dari pemecahan
masalah sebagai matematika konstektual bertolak belakang
dengan konsep matematika tradisional.
Pada bahasan selanjutnya Ernest

menjelaskan

proses

sejarah matematika mulai dari zaman Yunani Kuno, Renaissance,


hingga sekarang. Adapun tokoh-tokoh yang berperan dalam
masa terebut adalah sebagai berikut:
1) Bacon (1960) mengajukan metode induksi sebagai jalan untuk
sampai pada hipotesis, yang kemudian hipotesis ini menjadi
tujuan (sasaran) pengujian. Dalam rangka fasilitasi pengajuan
hipotesis induktif, Bacon mengusulkan tabel sistematis atau
tabel konstruktif dari hasil atau kenyataan, yang dibentuk
untuk menunjukkan persamaan atau perbedaan berkenaan
dengan suatu yang diteliti.
2) Descartes (1628) yang mengajukan prosedur lebih lanjut yang
secara eksplisit menuju ke arah penemuan matematis. Adapun
yang tercakup di dalamnya adalah (1) penyederhanaan
pertanyaan,

(2)

penyebutan

contoh

satu

per

satu

(pencacahan) untuk menunjang generalisasi induktif, (3)


penggunaan
menyimbolkan

diagram

untuk

membantu

hubungan-hubungan,

(4)

pemahaman,

merepresetasikan

hubungan ke dalam bentuk persamaan aljabar, (5) serta


menyederhanakan
mendahului

persamaan.

(mengispirasi)

Adapun

prosedur

prosedur-prosedur

ini
yang

dipublikasikan 350 tahun kemudian sebagai sarana untuk


membantu pengajaran pemecahan masalah.
3) Whewell (1830) yang mengemukakan bahwa model penemuan
terdiri dari tiga tahap. Adapun tahap tersebut meliputi (1)
klarifikasi, (2) colligation (induksi), dan (3) verifikasi, yang di
mana kesemua tahapan tersebut mempunyai komponen dan
metode yang menyertai. Teori whelwell ini lebih berfokus pada
ilmu

pengetahuan

empiris,

meskipun

Whelwell

percaya

sebagaimana Kant, bahwa kebutuhan akan kebenaran terjadi


baik dalam matematika maupun ilmu pengetahuan lainnya.
Namun, terdapat perbedaan analogi antara model penemuan
Whelwell dengan model yang dikemukakan Polya (1945) dalam
matematika. Adapun apabila dua tahapan dari model yang
diajukan Polya digabungkan maka akan menghasilkan model
sebagai berikut: (1) pemahaman masalah, (2) merancang
rencana dan pelaksanaan, (3) evaluasi dengan memperhatikan
proses

yang

sudah

berlangsung

sebelumnya.

Dengan

demikian tidak terdapat, kesamaan yang tepat antara tahapan


dalam model Polya ini dengan tahapan dalam model Whelwell.
Penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dijelaskan Ernest
untuk

menunjukkan

bahwa

penemuan

matematis

serta

pemecahan masalah merupakan bagian yang mendahului dalam


sejarah dan filsafat matematika. Dengan jelas, teori penemuan
matematis memiliki sejarah yang sebanding dengan dasar
pembenaran teori. Akan tetapi, hal ini tidak diakui dalam
sebagian besar sejarah matematika. Berlawanan dengan hal
tersebut, hingga Polya (1945), nampak bahwa tulisan tentang
penemuan

matematis

ditunjukkan

sebagai

proses

yang

menakjubkan.
Sebagai contoh Poincare (1956) dan Hadarmard (1945) yang
menyatakan

bahwa

peran

intuisi

dan

kesadaran

dalam

penemuan

matematis

secara

implisit

menunjukkan

bahwa

matematikawan yang hebat akan memiliki kecakapan spesial


yang memungkinkan mereka untuk secara misterius menembus
tabir yang melingkupi kenyataan dan kebenaran matematis.
Berikutnya, Ernest menjelaskan bahwa kegiatan dan wacana
matematis berlangsung pada tiga tingkatan yaitu: (1) formal, (2)
informal, dan (3) sosial. Adapun Ernest menjelaskan bahwa
dalam

masyarakat

Barat,

dan

khususnya

pada

golongan

matematikawan professional, pola (tingkatan) tersebut dinilai


dalam tingkatan yang menurun. Tingkatan wacana matematis
formal diberikan untuk presentasi pembenaran matematika yang
berada pada derajat paling tinggi. Kemudian wacana matematis
informal yang berada pada level lebih rendah, yang akan
diberikan

nilai

lebih

rendah

pula.

Selanjutnya,

aktivitas

matematika dan penciptaan matematika secara alamiah terjadi


pada level informal. Hal ini berarti bahwa wacana matematika
sosial memiliki status professional yang lebih rendah.
Ernest
menjelaskan
sebagaimana
pada

bahasan

sebelumnya, sosial konstruktivisme terkait penemuan subyektif


dan obyektif dalam matematika, dengan demikian, konteks
penemuan dan pembuktian tidak dapat sepenuhnya dipisahkan.
Pembuktian merupakan hasil dari kreatifitas manusia yang
berwujud konsep, dugaan, dan teori. Konstruktivisme sosial
mengidentifikasi pebelajar sebagai pencipta matematika, tetapi
hanya sebagian dari mereka yang memperoleh persetujuan kritis
dari komunitas matematika yang menghasilkan pengetahuan
matematika baru yang terpercaya. Aktifitas matematika dari
setiap pebelajar merupakan suatu yang produktif, beserta
pengajuan dan pemecahan masalah yang secara kualitatif tidak
berbeda dari aktifitas matematikawan professional. Kemudian,
matematika non-produktif tidak menunjukkan persamaan, karena

secara esensial reproduktif adalah kebalikan dari kreatif yang


sebanding dengan matematika beku (dalam hal ini Ernest
menyebut sebagai matematika beku).
2. Masalah dan Invesrtigasi Pendidikan
Mengingat bahwa sebagian besar dari matematika adalah bermula dari
masalah manusia dan pemecahannya, maka pembahasan dalam bab ini akan
terkait dengan nilai dan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Matematika sekolah harus bersumber dari masalah pengajuan dan pemecahan

masalah manusia
Permintaan dan penyelidikan harus menempati posisi penting dalam kurikulum

matematika sekolah
Fakta bahwa matematika adalah fallible (dapat disalahkan, tidak absolut) dan
merupakan konstruksi manusia yang subyektif hendaknya menjadi salah satu

pertimbangan dalam menyusun kurikulum.


Pedagodi yang digunakan harus diawali dengan proses dan penyelidikan
terfokus.
Salah satu hasil dari prinsip-prinsip tersebut adalah bahwa istilah

matematika untuk semua bergeser menjadi matematika oleh semua.


a. Masalah dan investigasi: Beberapa Perbedaan
Pembelajaran matematika dengan pemecahan masalah dan investigasi
telah dikenal luas dalam dunia pendidikan matematika Inggris sejak Cockroft
(1982). Adapun di belahan dunia lain, pemecahan masalah dapat dikaji lebih
jauh berdasarkan masa sebelumnya, setidaknya untuk Brownell (1942) dan
Polya (1945) serta mungkin tokoh-tokoh sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam
tinjauan selektif penelitian dalam pemecahan masalah matematika, Lester
(1980) mengutip 106 referensi penelitian yang mewaklili hanya sebagian kecil
dari apa yang diterbitkan pada saat itu. Dalam pendidikan matematika di
Inggris, pemecahan masalah dan investigasi pertama kali muncul sekitar tahun
1960, dalam asosiasi Guru Matematika (1966) dan asosiasi Guru di Sekolah
Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967).

Salah satu kesulitan dalama membahas pembelajaran pemecahan masalah


dan pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak jelas dan
dapat dipahami secara berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada
kesepakatan bahwa dua hal tersebut berhubungan dengan matematika inkuiri
(penemuan). Oleh sebab itu, pembahasan selanjutnya melangkah pada
matematika berbasis inkuiri yang dimulai dari

fokus, proses, hingga sisi

pedagogi.
1) Obyek Permintaan (fokus)
Obyek inkuiri adalah masalah dan merupakan titik awal investigasi.
Salah satu definisi masalah adalah suatu situasi di mana seorang individu
atau kelompok dituntut untuk melakukan suatu pekerjaan (dalam hal ini
pemecahan masalah), di mana pekerjaan tersebut tidak memiliki cara yang
mudah untuk menentukan solusi. Perlu ditambahkan pula bahwa definisi
ini mengamsumsikan adanya keinginan dari individu atau kelompok untuk
melakukan pekerjaan tersebut (Lester, 1980: 287).
Definisi ini menunjukkan bahwa masalah merupakan suatu
pekerjaan tidak biasa yang membutuhkan kreativitas untuk diselesaikan.
Penyelesaian masalah ini akan memunculkan relativitas dari masingmasing perseorangan. Yang dimaksud relativitas dalam hal ini adalah
setiap orang akan memunculkan ide-ide yang berbeda dalam usaha
memecahkan masalah tersebut.
Hal ini akan berefek pula pada penyesuaian kurikulum matematika
di mana penyusunan kurikulum pasti akan membawa siswa menuju satu
definisi, algoritma, atau bahasa sederhana sebagai suatu rumus tertentu.
Adapun penyusunan kurikulum pasti akan berkaitan dengan posisi siswa
dalam belajar. Penyusunan kurikulum ini akan berkaitan dengan posisi
siswa sebagai individu dan kelompok. Siswa bukan suatu wadah kosong
yang bisa diisi dengan kurikulum secara langsung. Siswa memilki
keunikan

masing-masing

sebagai

individu,

serta

keunikan

yang

diakibatkan dari adat dan kebiasaan msyarakat di sekitarnya. Intinya,


tujuan pendidikan matematika bagi seorang guru dan siswa adalah

kompleks, sehingga dapat dikatakan sangat naf apabila dilakukan


simplifikasi (penggampangan) dalam menyusun kurikulum.
Sementara itu, konsep investigasi dipermasalahkan karena dua
sebab. Adapun sebab itu adalah, pertama, meskipun investigasi merupakan
kata benda, namun sebenarnya kata investigasi menuju pada penemuan
(inkuiri). Sebuah kamus mendefinisikan investigasi sebagai suatu proses
investigasi, pencarian, penemuan, pengujian sistematis, serta penelitian
yang hati-hati. Namun, dalam pendidikan matematika, terjadi pergeseran
makna investigasi. Adapun (dalam matematika) investigasi adalah sebuah
penyelidikan matematika dengan pertanyaan matematika atau situasi
tertentu sebagai pijakan awal. Pengertian ini menjadikan guru sebagai
pusat pembelajaran yang bertugas merekayasa investigasi, yang tentu
bertolak belakang dengan pandangan siswa sebagai pusat pembelajaran,
yang memandang investigasi sebagai aktivitas peserta didik.
Masalah kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan) dimaknai
sebagai suatu kegiatan yang dimulai dengan memunculkan situasi
matematika atau dapat dikatakan dengan munculnya suatu pertanyaan
tertentu, lalu bergeser pada pengajuan permasalahan baru, pemunculan
situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut. Dalam keadaan ini obyek
penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh peserta didik
(inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan menyulitkan
pendefinisian investigasi sebagai aktifitas yang terkait dengan situasi pada
titik awal awal investigasi itu sendiri.
2) Proses penyelidikan
Jika suatu masalah diidentifikasi sebagai pertanyaan, proses
pemecahan masalah matematika adalah kegiatan mencari jalan untuk
menemukan jawaban. Namun, proses ini tidak dapat mensyaratkan
jawaban yang didapat akan berupa jawaban yang tunggal dan unik. Sebuah
pertanyaan dimungkinkan akan memiliki beberapa solusi atau bahkan
tidak sama sekali. Semakin kompleks solusi yang didapat, maka tingkat
permasalahan tersebut semakin tinggi. Dalam artian lain, pengertian
pemecahan masalah adalah menemukan jalur menuju solusi atau (dalam
7

bahasa geografi) menemukan rute menuju tujuan yang diinginkan.


Kemudian dalam paragraph selanjutnya, Ernest menyebut rute ini sebagai
metafora geografis.
Berkaitan dengan metafora geografis ini, Polya (Krulik dan Reys,
1980: 1) menjelaskan:
Memecahkan masalah adalah kegiatan untuk menemukan
cara di mana tidak ada cara yang dikenal, untuk mencari jalan
keluar dari kesulitan, untuk menemukan jalan keluar dari
halangan, untuk menjawab rasa ingin tahu yang tidak
terpenuhi dalam artian yang tepat.
Metafora geografis yang telah disebutkan di atas dapat diwujudkan
dalam bentuk diagram ilustrasi kumpulan gagasan yang dapat diperoleh dari
gagasan awal. Gagasan awal tersebut merupakan kumpulan penyataan yang
diperoleh dari pernyataan awal masalah sampai pada waktu (tertentu) yang
diberikan (Lester, 1980: 293).
Kekuatan dari gagasan metafora geografis ini adalah semua proses
atau semua langkah dalam proses tersebut dapat disajikan (dalam sebuah
diagram), dan jalur alternatif yang disebut proses tadi akan menjadi
bagian

tak

terpisahkan

dengan

langkah-langkah

yang

disajikan.

Kelemahannya adalah semua kemungkinan yang muncul dari gagasan awal,


bahkan gagasan-gagasan yang belum muncul, belum terpikir, atau bahkan
tidak mungkin muncul tetap dipandang sebagai sesuatu yang belum muncul
(as pre-existing) dan membutuhkan penemuan agar bisa muncul.
Bell et al. (1983: 207) menyatakan suatu model proses penyelidikan
terdiri dari empat langkah, sebagai berikut: (1) merumuskan masalah, (2)
pemecahan masalah, (3) verifikasi, (4) integrasi. Menurutnya kata
investigasi di sini digunakan dalam upaya menghimpun segala macam cara
untuk memperoleh suatu pegetahuan. Sementara pendapat lain, seperti Polya
(1945) mengatakan bahwa investigasi mencakup banyak komponen model
sebagai proses pemecahan masalah. Perbedaan utama antara Polya dan Bell
adalah pencantuman perumusan atau pengajuan masalah (problem posing)
mendahui pemecahan masalah. Bagaimanapun, selagi model yang diusulkan
dua tokoh tersebut di atas memiliki dasar empiris, maka terdapat alasan atau

pembenaran rasional berkenaan dengan pemilihan komponen pada


hubungan (model) mereka.
3) Pedagogi Berbasis Inkuiri
Dalam bahasan ini, Ernest membuat sebuah tabel untuk membedakan
pendekatan penemuan terbimbing, pemecahan masalah, dan pendekatan
investigasi dipandang dari hal-hal yang dilakukan guru dan murid ketika
menggunakan salah satu metode. Adapun dalam buku Ernest tersebut tabel
perbandingan terkait disajikan sebagai berikut:

Gambar 1. Perbandingan Metode Inkuiri dalam Pembelajaran Matematika


Adapun analisis penulis berkenaan dengan tabel tersebut adalah sebagai
berikut:
Metode
Penemuan
terbimbing

Pemecahan
Masalah

Pendekatan
Investigasi

Hal yang dilakukan Guru


- Mengajukan masalah
atau memilih situasi
dengan tujuan yang
sudah dirancang
- Membimbing siswa
menuju tujuan tersebut
- Mengajukan masalah
- Meninggalkan metode
pencarian solusi terbuka
untuk dicari sendiri oleh
siswa
Memilih situasi awal untuk
mengarahkan siswa

Hal yang dilakukan siswa


Mengikuti petunjuk yang
diberikan guru

Mencari jalan sendiri


untuk memecahkan
masalah

Mendefinisikan
masalah dengan

situasi yang ada


Melakukan
pemecahan dengan
cara mereka sendiri

Dengan demikian, tabel tersebut di atas menggambarkan pergeseran


pembelajaran

dari

penemuan

terbimbing,

pemecahan

masalah,

dan

pendekatan investigasi yang tidak hanya terkait dengan proses matematika.


Pergeseran juga terjadi dalam ranah kontrol guru dalam hal: jawaban, metode
yang dipakai peserta didik sampai pada konten materi pelajaran. Peserta didik
lebih bisa menentukan solusi dan menerapkan metode tertentu yang akan
digunakan, bahkan bisa memilih konten pelajaran yang ingin mereka pelajari.
Pemecahan masalah dan investigasi matematika sebagai pendekatan
pengajaran

memerlukan

pertimbangan

konteks

sosial

kelas,

dan

membutuhkan satu hubungan yang kuat antara guru dengan siswa.


pemecahan
pembelajaran

masalah
dan

memungkinkan
dalam

situasi

siswa

yang

untuk

baru,

berkreasi

dengan

guru

dalam
masih

mempertahankan kendali atas konten dan instruksi. Jika pendekatan


investigasi diterapkan sampai tahap memungkinkan siswa untuk mengajukan
masalah dan pertanyaan untuk selanjutnya diselidiki dengan cara yang
relative

bebas,

akan

terjadi

pembelajaran

berbasis

pemberdayaan

(empowering) dan pelibatan siswa (emansipatoris). Namun hal lain yang


perlu diperhatikan adalah komunikasi dalam pengalaman kelas dengan
berdasarkan pandangan bahwa matematika itu progresif dan fallible. Hal ini
akan berakibat pada keunikan dan relatifitas masing-masing jawaban dan
metode yang diajukan siswa, bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai
pencipta pengetahuan.
b. Persepsi yang Berbeda terhadap Masalah dan Investigasi
Beberapa perbedaan yang sudah disebutkan dalam subbab sebelumnya
menyebabkan perbedaan-perbedaan yang muncul dalam memahami Masalah
dan Investigasi dan penggunaannya dalam pembelajaran matematika. Berikut
perbedaan-perbedaan tersebut.
10

1) Penolakan terhadap Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi


Kelompok pertama yang memberikan reaksi negative terhadap
pendekatan ini adalah mereka menganggap bahwa pendekatan ini tidak
pantas digunakan untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan pada
persepsi bahwa matematika sekolah adalah untuk menanamkan sesuatu yang
sembrono, menyia-nyiakan waktu, dan sebuah kerja keras yang mubazir.
2) Penggabungan Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai
Konten
Kelompok

kedua

menganggap

pendekatan

ini

perlu

untuk

dimasukkan sebagai konten dari kurikulum matematika. Kelompok ini


memandang bahwa pendekatan ini dapat memperkaya konten matematika.
Namun aliran absolut yang mereka anut membuat mereka mengabaikan
penyelidikan sebagai salah satu unsur penting dalam pendekatan ini.
Secara keseluruhan pendekatan pemecahan masalah dan investigasi
diidentifikasi sebagai objek penyelidikan, dan diperlakukan sebagai
tambahan isi kurikulum, ini terjadi jika pemodelan matematika tidak
dipahami sebagai suatu proses.
3) Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Pedagogi
Kelompok ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai
pendekatan pedagogis dengan kurikulum keseluruhan, dan bukan hanya
sebuah tambahan. Pandangan ini prihatin dengan peran manusia dalam
perkembangan ilmu pengetahuan, dan karenanya mendukung proses
pemecahan masalah dan investigasi masuk dalam kurikulum matematika.
Perspektif kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan fasilitas bagi
pengembangan kreativitas individual peserta didik, dan pemecahan masalah
dan investigasi dianggap mampu mewujudkannya. Peran guru dipahami
sebagai manajer lingkungan dan sumber belajar, serta sebagai fasilitator
pembelajaran. Materi dibatasi situasi matematika murni, dengan topik
tematik yang aman dari isu-isu politik. Penekanannya pada individu siswa
dan minat siswa, bukan pada konteks struktural tempat mereka akan hidup,
akan belajar, dan akan mencari nafkah.
Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok
industrial. Kelompok ini tidak memandang pembelajaran matematika

11

sebagai sebuah pembekalan keahlian-keahlian yang mereka butuhkan


ketika nanti mereka bekerja, namun lebih memandang pembelajaran
matematika sebagai pembelajaran yang memperhatikan minat siswa.
Dalam kelompok ini, ada pula yang menambahkan dimensi sosialpolitik dalam pertimbangan penyusunan kurikulum pembelajaran. Pedagogi
yang diadopsi oleh pendekatan ini akan melibatkan sejumlah fitur menuju
ke arah investigasi, seperti tugas kooperatif berkelompok, diskusii, dan
kemandirian siswa. Semua ini dapat dipergunakan bersama dengan
perspektif pendidik progresif. Yang diperhatikan dalam pendekatan
semacam ini adalah penggunaan masalah-masalah sosial yang relevan,
dengan menggunakan berbagai bahan otentik seperti koran, statistik resmi,
dan masalah sosial lain. Untuk pendidik masyarakat (mungkin bermakna
penyuluh), pedagogi ini bias menjadi sarana untuk mengembangkan
keterampilan kewarganegaraan dan keterlibatan sosial masyarakat.
c. Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogi
Sejumlah laporan resmi dan otoritatif

yang

dipublikasikan

merekomendasikan penggabungan pemecahan masalah dalam pengajaran


matematika sekolah. Contoh di Inggris adalah laporan Cockcroft (1982) dan
Inspektorat Kerajaan (1985), sedang di Amerika Serikat adalah laporan dari
NCTM (1980,1989).
Namun, salah satu hambatan bagi reformasi kurikulum tersebut adalah
penafsiran yang berbeda terhadap berbagai publikasi ilmiah tersebut. Konsep
pemecahan masalah dan investigasi tentu akan berasimilasi dengan perspektif
penafsir, dan dipahami dengan caranya masing-masing. Performa guru dalam
memakai pendekatan tergantung pada bagaimana guru memandang
matematika. Bukti empiris menunjukkan bahwa guru dapat memberi
penafsiran secara sempit pada pendekatan pemecahan masalah dan
investigasi. Lerman (1989a), misalnya, menjelaskan bagaimana pendekatan
investigasional dalam matematika sekolah ditumbangkan oleh pandangan
bahwa hanya ada hasil tunggal yang benar dan unik, (yang tentu saja
diakibatkan oleh filosofi matematika absolute yang masih dianut).

12

Kendala kedua adalah implementasi. Kendala ini melibatkan hubungan


antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari praktek
pembelajaran di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan antara
rencana dan kurikulum yang diajarkan. Pada skala kecil, kendala ini
berupa perbedaan antar teori-teori yang dianut oleh maisng-masing guru
dalam melaksanakan pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan
guru yang menganut pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran
matematika pada prakteknya hanyalah semacam epositori dengan ditambah
penambahan masalah (Cooney, 1983; 1985, Thompson, 1984; Brown, 1986).
Penyebabnya adalah karena konteks sosial guru yang bersangkutan ikut
andil dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit
bagi guru untuk merubah pakem pembelajaran yang sudah ada dalam suatu
sekolah tertentu. Ernest menyebutkan bahwa dalam sekolah yang sama, guruguru yang diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama, dan
tidak mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap
matematika. Singkatnya, keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika
tertentu masih kalah pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru
mengajar. Gambar 13.1 menunjukkan hubungan yang terlibat dalam
keputusan praktik kelas yang diambil.
Keseluruhan perdpektif epistimologi dan etika
Cara pandang terhadap hakekat matematika

Model belajar matematika

Model mengajar matematika

Kendala dan peluan yang muncul dari konteks sosial pengajaran


Gambar 13.1: The retationship between espoused and enacted beliefs of the
mathematics teacher
Penggunaan
teks matematika
Model mengajar matematika
yang disarankan
Model pembelajaran matematika yang disahkan
13

Gambar tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen ideologi


guru, yakni pandangan filosofinya terhadap matematika mendasari dua
komponen sekunder, yakni teori mengajar dan belajar matematika. Dua
komponen sekunder ini akan menjadi dasar diambilnya suatu model belajar,
termasuk penggunaan sumber daya pembelajaran yang dipilih, termasuk teks
matematika. Penting diketahui bahwa teks yang dipakai guru ketika
melakukan pembelajaran menunjukkan alur pandangan epistemologinya,
bagaimana melihat teks sebagai penentu penting sifat dari kurikulum yang
diimplementasikan. Panah ke bawag pada gambar menunjukkan arah
pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih tinggi tercermin
dalam sifat komponen yang lebih rendah. Dan karena model berlaku saling
terkait seperti teori yang dianut belajar dan mengajar, maka garis horisontal
ditarik antara mereka.
Sebenarnya faktor yang dapat dimunculkan untuk menjelaskan berbagai
masalah yang disebutkan di atas adalah konteks sosial dari pembelajaran itu
sendiri. Konteks sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Konteks sosial
yang dibicarakan di sini mencakup hal yang sangat luas, seperti karakteristik
siswa itu sendiri, harapan apa saja yang didapat dalam pembelajaran,
kurikulum yang dilembagakan, sistem penilaian dan sistem persekolahan
nasional. Konteks sosiallah yang mengarahkan guru, dalam menyusun
pembelajaran di kelas. Tentu model diilustrasukan dalam Gambar 13.1 masih
sangat sederhana, karena sejatinya hubungan antar komponen pembelajaran
jauh lebih kompleks dan jauh lebih mekanistik daripada yang ada dalam
gambar.
3. Kelebihan Pembelajaran berbasis Pemecahan Masalah
Pembelajaran berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan
pengajaran emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu
memberdayakan peserta didik secara epistemologis (dalam arti peserta didik
mengetahui darimana suatu konsep diperoleh). Hal ini dapat mendorong siswa
aktif untuk mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri, sekaligus

14

melegtimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks


sekolah.
Telah dikatakan bahwa itu adalah bentuk dan bukan isi dari pendidikanyang memiliki dampak terbesar untuk matematika. Pandangan ini ditentang dalam
Bab 11, di mana dalam bab tersebut ada pendapat yang menganggap bahwa
pandangan hirarkis terhadap pengetahuan berkontribusi pada pembentukan
kembali jika bukan reproduksi- kesenjangan sosial melalui pendidikan. Implikasi
ini dari hal terkait dengan baik isi dan bentuk materi pengajaran, meskipun
mungkin mustahil untuk berpikir bahwa dua hal ini dapat dipisahkan. Untuk
mencerminkan sikap konstruktivis sosial (atau bahkan pandangan absolut
progresif matematika), pedagogi jenis problem posing harus mencakup pula
tinjauan terhadap konten serta pendekatan pengajaran.
a. Melawan Reproduksi dalam Kurikulum Matematika
Dari beberapa ideologi yang muncul dalam buku ini, hanya pendidik
progresif yang berideologi perubahan sosial. Ideologi ini berusaha untuk
memberdayakan peserta didik untuk menjadi sadar dan kemudian mengambil
kendali dari hidup mereka untuk menantang kekuatan reproduksi di tempat
kerja, sekolah dan masyarakat. Cara yang bisa dipakai untuk mencapai hal ini
adalah melalui penggunaan problem posing dalam pembelajaran. Pendekatan
ini mencoba untuk meminimalkan atau mengeksplisitkan hirarki kekuatan
tersembunyi yang dicontohkan di dalam kelas, dimana hirarki ini memainkan
peran penting dalam penerimaan diam-diam terhadap hirarki sosial yang ada
dalam masyarakat.
Persamaan Hak dalam Mempelajari Matematika
Ada masalah-masalah khusus dari reproduksi sosial dalam
masyarakat, yang mencakup persamaan hak bagi semua orang dalam hal
matematika. Semua orang berhak mempelajari dan bahkan memunculkan
teori baru tentang matematika, tidak terkecuali etnis-etnis minoritas,
terutama kulit hitam dan wanita. Pedagogi problem posing, berbasis
ideologi pendidikan publik. Dapat menjadi solusi untuk masalah ini,
dengan member kesempatan yang sama bagi kulit hitam dalam matematika
dan sekolah. Karenanya masyarakat memerlukan pengajaran matematika
yang anti-rasis. Demikian juga, untuk memperbesar peluang perempuan
15

mengakses matematika, masyarakat memerlukan pembelajaran yang anti


seksis 9tidak membedaka-bedakan gender). Semua solusi ini bersandar
pada pedagogi problem posing, yang diusulkan karena sifatnya yang
memberdayakan semua peserta didik.
b. Menumbangkan Tujuan Pembelajaran Sempit dalam Kurikulum
Pada subbab ini, Ernest bermaksud mengkritisi pengembangan
kurikulum nasional di Amerika yang menurutnya adalah kurikulum yang
bermaksud mematikan skill dan mematikan profesionalisme guru
(deskill and de-professionalize teachers) jika ditinjau dari ketatnya konten
dan cara evaluasi pembelajaran matematika yang ada di dalamnya. Bagi
Ernest, pengembangan kurikulum matematika di Amerika bersumber pada
ideologi utilitarian yang berbasis pada keyakinan bahwa pendidikan adalah
pemasok utama dari kebutuhan industri. Pemasukan dan pelembagaan
pemecahan masalah dan cara penilaian hasil belajarnya (assesment) ke dalam
kurikulum

matematika

berfungsi

untuk

membiasakan

cara

berpikir

matematika strategis, yang merampas sisi emansipatoris pemecahan masalah.


Dalam subbab ini pula Ernest ingin menunjukkan bahwa dalam
pengembangan kurikulum tersebut, terdepat ambiguitas dan kontradiksi yang
dapat menjadi celah bagi pembaca bukunya untuk meng-counter dan
melawan tujuan sempit ideologi utilitarian yang dianut kurikulum nasional
Amerika.
Konsep pemecahan masalah dan investigasi memiliki arti yang berbeda
sesuai perspektif penafsiran masing-masing subyek. Perbedaan yang paling
menonjol terdapat pada kelompok yang menganut penggunaan pendekatan
pemecahan

masalah

dan

investigasi

untuk

sekedar

mereproduksi

pengetahuan matematika, dan kelompok yang menggunakannya dalam


pembelajaran matematika berbasis pemeberdayaan. Dari sini akan muncul
perbedaan penting yang akan muncul dan bisa diperdebatkan, konsep
relevansi penggunaan pendekatan ini keterkaitannya dengan pendidikan
kewarganegaraan.
1) Relevansi

16

Relevansi memiliki makna hal-hal yang menunjukkan apa yang


dianggap tepat oleh seseorang. Perspektif utilitarian yang diawali oleh
kalangan industri memandang matematika sebagai satu kemampuan
dasar yang harus dimiliki oleh buruh, yang berakibat kurikulum
matematika haruslah disusun sedemikian rupa sehingga mampu
menelurkan pekerja-pekerja baru yang mampu menjadi sumber daya
industri. Sementara bagi pendidik progresif, matematika harus relevan
dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Kurikulum matematika yang
relevan menurut perspektif ini harus memungkinkan peserta didik untuk
terlibat secara matematis dalam konteks sosial mereka, dengan cara
pembelajaran yang memberdayakan, yang membuat siswa secara mandiri
mampu menyusun pembelajaran ala mereka sendiri. Dari sini nampak
pertentangan dan ambiguitas antarkedua pandangan tersebut.
Selanjutnya adalah ambiguitas dalam hal pendidikan kewarganegaraan.
Satu pandangan beroendapat bahwa seseorang warga negara dikatakan
aktif jika ikut berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas sosial yang ada
dalam masyarakatnya dan patuh pada aturan. Pandangan ini sekali lagi
adalah milik absolutis dan kaum industrial. Seperti sebelumnya,
pandangan ini bertentangan dengan pandangan kaum konstruktivis. Bagi
kaun konstruktivis, dengan sistem pembelajaran berbasis pemecahan
masalah, hendaknya ikut mendidik masyarakat untuk kritis dalam
memahami berbagai kondisi, keteraturan, dan hal-hal lain yang
nampak baik di mata sistem yang berkuasa. Pembelajaran kritis
semacam inilah yang diharapkan dapat menjadi satu penyadaran bagi
masyarakat sehingga tidak terlena oleh keteraturan yang ada. Bagi
mereka, pedagogi problem posing, akan mampu memberdayakan peserta
didik untuk dapat mengembangkan keterampilan yang luas, mampu
terlibat dengan isu-isu sosial kontemporer dan akhirnya menjadi warga
negara kritis. Di titik inilah, aliran konstrukvis akan berlawanan arah
dengan kau, utilitarian.
2) Kontradiksi

17

Ernest dalam pembahasan mengenai kontradiksi mengawalinya


dengan menyebut Kurikulum Nasional yang dibuat Pemerintah Inggris
modern sebagai satu langkah keras dalam upaya mengambil alih sistem
pendidikan dan untuk mendikte tujuan-tujuan dan hasilnya. Sempitnya
tujuan yang dirumuskan kurikulum ini, bagi Ernest malah membuatnya
nampak sebagai sesuatu yang anti pendidikan.
Pendapat Ernest ini akan dapat dipahami jika mengacu pada
pertanyaan apakah tujuan pendidikan itu?. Misalnya kaum industrial
trainer meyakini pendidikan sebagai suatu transfer pengetahuan dlam
upaya pemenuhan kebutuhan industri, dan kaum humanis tua yang
berpendapat pendidikan adalah substruktur dari upaya pelanggaran
terhadap nilai, kultural, ataupun struktur sosial yang ada. Bagi Ernest,
tujuan pendidikan semacam ini sangat sempit dan cenderung anti
pendidikan itu sendiri. Ernest cenderung masyk dalam golongan
konstruktivis

yang

memandang

pendidikan

bertujuan

untuk

memanusiakan manusia.
Sekali lagi, Ernest membenturkan kaum industri dan teknologis
prakmatis di satu sisi, dengan pendidik konstruktivis di sisi yang lain.
Bagi Ernest, penggunaan pendekatan pemecahan masalah dalam
kurikulum nasional akan memunculkan kontradiksi. Kontradiksi yang
muncul disebabkan kaum industri yang menjadi pendukung utama
susunan kurikulum nasional saat ini.
Ernest selanjutnya menyebutkan masih mungkinnya pembelajaran
berbasis pemecahan masalah bangkit dan digunakan di tengah kurikulum
yang didesain oleh kaum industrialis. Bagi Ernest, meskipun kurikulum
nasional dalam matematika memberikan aturan yang cenderung kaku dalam
hal konten materi yang diajarkan dan cara mengevaluasinya, namun tetap saja
ada celah-celah yang dapat dimasuki oleh model pembelajaran pemecahan
masalah. Terbukti saat ini dewan penyusunan kurikulum, telah menyarankan
penggunaan pendekatan pembelajaran ini.
Menurut Ernest, kontradiksi dalam sebuah sistem pendidikan dapat
digunakan untuk menumbangkan kekuatan ideologi industrialisis yang
18

melekat dalam kurikulum tersebut melalui pedagogi problem posing. Namun,


untuk sampai pada tingkat pembelajaran harus berhasil dalam melibatkan
peserta didik. Pembelajaran tersebut harus didasarkan pada pengakuan peserta
didik dan guru sebagai agen epistemologis. Ernest mengakhiri bab ini dengan
menyebut guru sebagau faktor yang akan menentukan pembelajaran problem
posing, dimana guru tidak hanya berposisi sebagai pengajar, namun juga
sebagai insan peneliti yang akan memberikan kontribusi teoritik dalam kajian
pembelajaran ini.
4. Kesimpulan
Tema bab ini adalah refleksi dari hakekat matematika sebagai aktivitas
pemecahan masalah dan pembelajaran dengan basis pemecahan masalah
sebagai pembelajaran emansipatoris. Dengan pwndekatan ini, tujuan
pembelajaran matematika akan bergeser pada tingkat sosial yang lebih tinggi,
yang termasuk di dalamnya; pemenuhan potensi manusia, kesadaran sosial
dan kebutuhan untuk perubahan sosial, serta perlawanan terhadao
ketidakadilan, khususnya ketidakadilan dalam ras dan gender. Tujuan
pendidikan semacam ini tidaklah bertentangan dengan oerkembangan
individual manusia dan pengembangan kreativitas matematika. Maisngmasing dari ideologi pendidikan matematika didorong oleh filsafat
matematika tertentu yang pastinya akan berekses pada kurikulum
pembelajaran matematika. Inilah bahasan utama dari buku ini, yakni berusaha
menguji pernyataan:
Suka atau tidak, semua proses pembelajaran matematika berpijak pada
filsafat matematika (Thom, 1971, p. 2014)
Dan juga menjawab arguman:
Masalahnya, bukan tentang pertanyaan bagaimana cara terbaik untuk
mengajar? namun apakah sesungguhnya matematika itu?...
Kontroversi tentang .... mengajar tidak bisa diselesaikan tanpa
berhadapan dengan masalah tentang sifat matematika. (Hersh, 1979, p.
34)

19

Anda mungkin juga menyukai