Anda di halaman 1dari 23

INFEKSI VIRAL PADA FETUS DAN NEONATUS DAN INFEKSI VIRUS

HUMAN IMMUNODEFICIENCY SELAMA MASA KEHAMILAN


INFEKSI VIRAL PADA FETUS DAN NEONATUS
Infeksi viral pada fetus dan neonatus adalah suatu keadaan yang umum
namun sering tidak cepat dikenali. Identifikasi infeksi bakterial invasif sering
menjadi fokus utama dalam kasus pediatrik, sehingga identifikasi infeksi viral
sering dikesampingkan. Padahal, identifikasi infeksi viral sangat penting karena
agen-agen viral dapat menyerang dalam banyak keadaan-keadaan infeksius
lainnya. Indeks tinggi dalam kecurigaan klinis mengenai infeksi viral yang sesuai
keadaan dapat berpengaruh besar dalam menyelamatkan nyawa pasien. Terlebih
lagi, identifikasi penyakit viral pada masa neonatus akan berpengaruh besar dalam
prognosis pasien, terutama dalam hal perkembangan neurologis anak. Penegakan
diagnosis infeksi viral pada masa neonatal akan dapat membantu mengarahkan
rencana manajemen tatalaksana dari dokter penanggungjawab anak tersebut. Bab
ini akan membahas mengenai epidemiologi, patogenesis, diagnosis dan
manajemen klinis baik jangka pendek maupun panjang dalam banyak contoh
kasus infeksi viral yang dapat terjadi pada neonatus.
Salah satu tantangan terbesar dalam evaluasi penyakit viral pada pasien
neonatus adalah penentuan masa pertama infeksi virus terjadi. Beberapa infeksi
dapat terjadi pada masa in utero ataupun masa postnatal awal. Pada bab ini,
infeksi kongenital didefinisikan sebagai seluruh jenis infeksi yang dimulai dari
masa in utero. Infeksi perinatal didefinisikan sebagai seluruh jenis infeksi yang
terjadi intrapartum, biasanya pada saat proses kelahiran. Infeksi postnatal adalah
infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran dalam masa satu bulan pertama
kehidupan. Pada beberapa keadaan, identifikasi tepat dari masa infeksi akan
berpengaruh besar bagi kesehatan lanjut pasien, baik dalam hal manejemen
maupun prognosis jangka panjang. Gambar 37-1 menggambarkan secara garis
besar masa-masa umum terjadinya infeksi viral pada neonatus dengan penekanan
jenis infeksi baik kongenital, perinatal atau postnatal. Terkadang didapatkan
1

overlap dari jenis infeksi viral, dan keadaan-keadaan seperti ini akan ditinjau
berdasarkan patogen masing-masing.
PENDEKATAN DIAGNOSTIK UMUM
Tenaga medis yang menangani pasien neonatus telah lama mengetahui
bahwa terdapat banyak manifestasi klinis umum yang dapat mengarahkan
diagnosis ke infeksi viral kongenital atau perinatal. Manifesitasi-manifestasi yang
dimaksud antara lain adalah restriksi pertumbuhan intrauterin, hidrops fetalis,
hepatomegali, splenomegali, penumonitis, lesi tulang, bercak dan kelainan
hematologis. Karena tingginya insidensi infeksi viral kongenital ( Alpert dan
Plotkin, 1986 ), maka tenaga medis haru memiliki indeks tinggi kecurigaan pada
neonatus dengan manifstasi yang disebutkan di atas. Namun, harus diperhatikan
bahwa tidak boleh terjadi suatu penumpukan jenis-jenis infeksi viral ke dalam
satu kategori tertentu. Contoh dari pemikiran yang salah ini dapat dilihat pada
penggunaan istilah TORCH dalam pendekatan diagnostik neonatus yang
simtomatik. Akronim TORCH, yang pertama kali dikemukakan oleh Nahmias et
al pada 1971, adalah singkatan dari toksoplasmosis, others ( infeksi lainnya ),
rubella, CMV dan herpes ( HSV ). Banyak variasi dari singkatan ini yang
kemudian dicetuskan oleh ahli-ahli lainnya. Banyak laboratorium klinis yang
masih memakai panel TORCH untuk tes erologi toksoplasmosis, HSV, CMV dan
rubella. Penggunaan akronim ini harus mulai ditinggalkan karena terbukti tidak
lagi berarti secara klinis ( Lim dan Wong, 1994 ), dan pernyataan ini didukung
oleh temuan-temuan berikut :
Pengukuran titer immunglobuli G hanya memberikan gambaran antibodi
maternal transplasental, dan hampir tidak memberikan informasi apapun
mengenai keadaan infeksius dari neonatus. Seluruh antibodi dari akronim
TORCH, selain antibodi Treponema pallidum, tidak berarti secara klinis.
Infeksi kongenital dan perinatal dapat terjadi pada kasus CMV dan HSV
walaupun terdapat imunitas maternal. Maka dari itu, kehadiran dari

antibodi terhadap patogen ini tidak bernilai baik dari sisi diagnostik
maupun sifat protektif yang ada dalam tubuh neonatus.
Telah ada alat-alat molekular dan virologis yang sensitif untuk
menidentifikasi hampir semua jenis virus patogenik. Alat-alat ini
mencakup teknik kultur standar dan identifikasi asam nukleus, yang
biasanya berdasarkan amplifikasi reaksi rantai polimerase ( PCR ) dari
asam nukleus virus. Teknik-teknik ini dapat memfasilitasi diagnosis
spesifik patogen yang cepat,sehingga diagnosis yang tepat dalam hal
infeksi viral neonatus haruslah berdasarkan virologi, bukan serologi.
Penggunaan akronim TORCH menyempitkan cakupan berfikir dari tenaga
medis, di mana tenaga medis akan melupakan infeksi virus-virus lainnya
yang dapat terjadi pada neonatus. Gambar 37-2 memberikan daftar virusvirus yang dapat menyebabkan infeksi pada neonatus secara umum.
Diskusi mengenai infeksi virus yang tidak lazim tidak akan dibahas dalam
bab ini, namun tabel tersebut memberikan gambaran variasi jenis-jenis
virus yang berhubungan dengan infeksi fetal. Riwayat perjalanan atau
emigrasi dapat menjadi bahan pertimbangan dari infeksi agen virus yang
kurang lazim.

Gambar 37.1 Relative importance of neonatal viral infections related


to timing of acquisition of infection

Box 37-1 Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi virus


kongenital pada neonatus

Box 37-2 Virus patogen yang menyebabkan infeksi kongenital


Tenaga medis sekarang ditekankan untuk dapat menyingkirkan
kemungkinan-kemungkinan diagnosis banding pada pasien suspek infeksi
neonatus atau kongenital dengan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
4

dan baru kemudian dilakukan pemeriksaan diagnosis yang sesuai dengan temuan
klinis, bukan dengan menggunakan pemeriksaan serologis yang acak dan banyak
dari awal. Pertanyaan-pertanyaan yang harus ditanyakan pada keluarga pasien
antara lain adalah kesehatan ibu selama masa kehamilan, umur dan status
pernikahan ( wanita muda dan tidak menikah memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami infeksi HSV genital primer ), riwayat imunisasi, riwayat cacar
sebelumnya, riwayat infeksi pada masa kanak, pajanan hewan ( pajanan terhadap
kotoran kucing atau konsumis daging yang tidak matang dapat mengarahkan
diagnosis ke toksoplasmosis; pajanan terhadap tikus dapat mengarahkan ke
infeksi virus koriomeningitis limfositik ), umur dan status kesehatan anak lain bila
ada, riwayat kesehatan dalam lingkungan penitipan anak bila ada, riwayat
penyakit dalam keluarga, musim ( infeksi RSV dan enterovorus lebih sering
terjadi pada suhu hangat ), pajanan okupasional ( pekerjaan ) dan riwayat infeksi
selama kehamilan bila ada. Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan ini, dan
dengan menggabungkannya dengan hasil pemeriksaan fisik, maka tenaga medis
dapat melakukan perencanaan yang terarah dalam penegakan diagnosis.

Tabel 37.1 Manifestasi klinis kongenital dan infeksi perinatal


Beberapa presentasi klasik dari infeksi perinatal yang umum dijelaskan
dalam tabel 37-1. Terdapat beberapa overlap dari beberapa jenis infeksi yang
berbeda; contohnya bercak blueberry rash pada sindrom rubella kongenital
5

hampir tidak dapat dibedakan dengan bercak yang terjadi pada kasus CMV
kongenital, dan kedua sindrom ini sama-sama dapat terjadi tuli sensorineural.
Kalsifikasi otak biasanya bersifat nonspesifik, dan diagnosis banding yang harus
dipertimbangkan pada kehadiran hal ini adalah CMV, toksoplasmosis, viru
koriomeningitis dan parcchovirus. Pemeriksaan neuroradiologis tidak dapat
membedakan antara infeksi-infeksi ini, sehingga dibutuhkan studi diagnosis
virologi untuk diagnosis definitif. Patogen viral spesifik, virologi dasar,
manifestasi klinis, strategi manajemen dan rencana preventif ke depan adalah
rencana spesifik-patogen yang menjadi fokus dalam bab ini.
INFEKSI HIV SELAMA MASA KEHAMILAN
EPIDEMIOLOGI YANG BERUBAH DALAM PANDEMI HIV/AIDS
Cakupan infeksi HIV telah berkembang menjadi suatu pandemi global.
Hal ini dimulai dari tahun 1980, di mana laki-laki homoseksual muda pertama kali
mengeluhkan demam, malaise, penurunan berat badan dan limfadenopati hingg
kemudian pada tahun 1983 tim dari CDC dan NIH menemukan 36 kasus AIDS di
Kinshasa, Zaire ( Kongo ). Joint United Nations Program on HIV/AIDS
memperkirakan pada akhir tahun 2008 sekitar 35 juta orang di dunia menderita
HIV/AIDS. Wanita mencakup 60% dari orang-orang dengan HIV/AIDS ( Christie
et al, 2008 ).

Gambar 37-6 Estimasi nilai dari diganosis infeksi HIV pada dewasa dan remaja
Sekarang, survei nasional dan internasional mengenai infeksi HIV dan
AIDS merupakan hal rutin. Di Amerika Serikat, data survei CDC dari tahun 20056

2008 menunjukkan adanya peningkatan sebesar 8% dari angka absolut kasus baru
infeksi HIV, sementara angka keseluruhan infeksi tetap stabil. Wanita sekarang
mncakup 25% dari populasi orang Amerika Serikat yang terinfeksi HIV, di mana
ras Afrika-Amerika memiliki angka tertinggi di antara wanita pengidap HIV
( Gambar 37-6 ). DI Florida, penelitian prevalensi HIV pada wanita hamil dari
tahun 1998-2007 menemukan bahwa wanita kulit hitam memiliki kecenderungan
infeksi HIV 11 kali lipat dibandingkan wanita ras lainnya ( Salihu et al, 2010 ).
Penentuan insidensi HIV merupakan tantangan tersendiri karena tidak pernah
diperiksa secara langsung. Berdasarkan uji antibodi ( yang relatif masih baru )
yang dapat membedakan serokonversi antara kasus infeksi baru ( di bawah 156
hari ) dan lama, diperkirakan terdapat 13.000-15.000 infeksi HIV pada wanita
Amerika Serikat pada tahun 2006 ( Hall et al, 2008 ).
Perkiraan prevalensi HIV pada wanita hamil secara global sulit untuk
dilakukan, karena wanita hamil yang bersedia untuk melakukan pemeriksaan
biasanya merupakan wanita yang negatif HIV. Contohnya, pada klinik antenatal di
Zambia, 25% dari wanita yang bersedia melakukan pemeriksaan HIV adalah
positif HIV, sementara sampling anonim dari darah tali pusat anak baru lahir
menunjukkan adanya prevalensi 29% positif HIV dari wanita-wanita yang
menolak untuk melakukan pemeriksaan HIV ( p < 0.0001 dalam perbedaan
prevalensi HIV antar kedua grup; Stringer et al, 2005 ). DI Zimbabwe, prevalensi
HIV di klinik-klinik antenatal cenderung menurun walaupun secara umum
angkanya masih tinggi: 32,1% di tahun 2000 dan 23,9% di tahun 2004
( Mahomva et al, 2006 ). Angka infeksi di klinik-klinik antenatal KwaZulu-Natal,
Afrika Selatan mencapai 37,5% ( Ramogale et al, 2007 ). Di Afrika Selatan
sendiri diperkirakan ada sekitar 220.000 wanita hamil dengan HIV. Sebagian
besar kota-kota di Afrika memiliki angka prevalesi HIV antara 20-40%, sementara
perkiraan di India relatif lebih rendah mencapai 15-2% ( Dandoma et al, 2008 ;
Lionel et al, 2008 ).
Penyebaran infeksi HIV hingga saat ini merupakan penyebaran yang tidak
merata, di mana hal ini dapat dilihat dari laporan WHO tahun 2008 : Hampir
7

90% wanita hamil dengan HIV berada di negara-negara miskin dan menengah
yang tersebar ke 20 negara, dan 75% terpusat di 12 negara ( WHO, 2008 ).
Prevalensi yang tinggi dari infeksi HIV pada wanita yang tinggal di daerah yang
tidak memiliki akses ke obat-obat antiretroviral menyebabkan meningkatnya
kasus HIV pediatrik. Transmisi HIV ibu-anak mencapai 90% transmisi HIV pada
anak. Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa sekitar 2,1 juta anak kurang dari 15
tahun telah terinfeksi HIV ( WHO, 2008 ).
Selain dari perkembangan sosial dan biaya ekonomi dari infeksi HIV
maternal, terdapat efek lanjutan dari infeksi HIV terhadap prevalensi dan
morbiditas penyakit lainnya. Tuberkulosis dan malaria sekarang menjadi penyakit
oportunistik pada pasien HIV pada negara-negara miskin. Herpes dan HIV
dianggap sebagai overlapping epidemics ( Corey et al, 2004 ) karena
patogenesisnya yang saing tumpang tindih dan kompleks. Reaktivasi HSV akan
meningkatkan kadar RNA dari HIV dalam plasma, dan shedding ( pengelupasan )
mukokutaneus dari HIV-1 akan meningkat pada saat replikasi mukokutaneus
HSV-2. Efek yang lebih berbahaya namun jarang dipublikasikan adalah sepsis
puerperal, yang prevalensinya meningkat pada wanita dengan HIV. Penelitian di
Zimbabwe menunjukkan adanya peningkatan 11 kali lipat dari risiko sepsis
peurperal pada wanita positif-HIV dibandingkan dengan wanita yang negatif-HIV
( Zvandasara, 2006 ). Pola yang sama ditemukan pada setting penelitia Eropa, di
mana European Collaborative Study menemukan adanya peningkatan 4 kali lipar
dari risiko sepsis puerperal pada wanita positif-HIV ( Fiore et al, 2004 ). Temuantemuan yang telah dipaparkan ini jelas menunjukkan bahwa efek dari HIV bersifat
multidimesional dan membutuhkan pendekatan interdisiplin.

PENYAKIT HIV
8

Transmisi Virus
Transmisi infeksi HIV membutuhkan adanya pertukaran cairan tubuh.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kontak sosial ataupun rumah tangga
biasa tidak berhubungan dengan tarnsmisi HIV/AIDS. Tiga mekanisme utama
yang digunakan sebagai transmisi HIV adalah kontak seksual, parenteral dan
perinatal.
Tipe pajanan infeksi yang berbeda memiliki risiko infeksi yang berbeda
pula ( Royce et al, 1997 ). Satu transmisi seksual terjadi pada tiap 100 hingga
1000 pajanan. Risiko transmisi pria-wanita lebih besar 10 kali lipat dibandingkan
transmisi wanita-pria. Luka akibat jarum suntik dari sumber infeksius memiliki
risiko transmisi sebesar 0,3% ( Panlilio et al, 2005 ), dan risiko dari pemakaian
jarum suntik bersama relatif lebih besar. Risiko transmis dari transfusi darah lebih
besar dari 90%, walaupun hal ini jarang terjadi di Amerika Serikat karena proses
skrining oleh bank darah.
Transmisi Ibu-Anak
Transfer virus dari ibu ke fetus atau enonatus diduga terjadi pada satu di
antara tiga periode yang riskan; antepartum ( sebelum aterm ), peripartum
( selama dan setelah proses kelahiran ) dan selama masa menyusui. Penelitian
mengenai dinamika virus pada neonatus yang terinfeksi HIV menunjukkan bahwa
masa peripartum merupakan masa yang paling riskan untuk terjadinya transmisi
HIV ( Mofenson, 1997 ). Risiko transmisi vertikal meningkat dengan adanya
pecah ketuban dini, viral load maternal yang tinggi, dan CD4 maternal yang
rendah ( Ionnidis dan Contopoulus-Ionnidis, 1999, Mofenson, 1999 ). Tanpa
terapi antiretroviral, risiko transmis vertikal diperkirakan mencapai 15% hingga
20% di Eropa, 15% hingga 30% di Amerika Serikat, dan 25% hingga 35% di
Afrika ( Volmink et al, 2007 ). Dengan terapi antiretroviral yang aktif, risiko
transmisi vertikal di Ameriksa Serikat telah ditekan hingga menjadi 1% hingga
5% ( Nduati et al, 2000 ).

Pencegahan Transmisi Ibu-Anak


Modalitas utama dalam pencegahan transmisi HIV ibu-anak adalah
identifikasi status HIV ibu. Rekomendasi CDC pada tahun 2006 menekankan
pentingnya pemeriksaan antenatal, dengan menyatakan bahwa :
1. Skrining HIV harus disertakan dalam panel pemeriksaan rutin skrining
prenatal pada seluruh wanita hamil
2. Skrining HIV direkomendasikan setelah pasien setuju dilakukan
pemeriksaan, kecuali bila pasien menolak
3. Tidak diperlukan persetujuan tertulis untuk tes HIV; persetujuan untuk
pemeriksaan umum telah mencakup persetujuan untuk pemeriksaan HIV
4. Skrining berulang di trimester ketiga direkomendasikan pada keadaan di
mana ada peningkatan angka infeksi HIV pada wanita hamil
( didefinisikan sebagai satu kasus HIV per 1000 wanita hamil per tahun ).
Penelitian menunjukkan bahwa angka pemeriksaan HIV mencapai titik
tertinggi bila pemeriksaan HIV disertakan dalam panel pemeriksaan umum wanita
hamil baik pada negara kaya maupun miskin. Penelitian di Birmingham, Alabama
menunjukkan bahwa angak pemeriksaan HIV meningkat dari 75% ke 88%
( p<0.001 ) setelah adanya rekomendasi Institute of Medicine pada 1999 untuk
menjadikan pemeriksaan HIV sebagai panel rutin pemeriksaan antenatal ( Stringer
et al, 2001 ). Di Zimbabwe, angka pemeriksaan meningkat dari 65% ke 99%
setelah pendekatan pemeriksaan HIV diimplementasikan di klinik-klinik antenatal
( Chandisarewa et al, 2007 ).
Angka pemeriksan HIV pada negara-negara miskin lebih rendah dari angka
yang ditemukan di Zimbabwe, namun peningkatan yang berarti mulai terjadi.
Secara global, pemeriksaan HIV di negara-negara miskin dan menengah
meningkat dari 10% wanita hamil yang datang ke klinik antenatal pada tahun
2004 menjadi 18% pada tahun 2007 ( WHO, 2008 ). Terapi antiretroviral menjadi
10

lebih mudah diakses , dan karena efek dari terapi ini terhadap transmisi vertikal
menjadi lebih diketahui secara luas maka insentif untuk melakukan pemeriksaan
HIV pada wanita hamil menjadi meningkat.
Terapi Maternal
Pengenalan

terapi

antiretroviral

pada

pertengahan

era

1990-an

menurunkan angka kematian oleh AIDS pada sebagian besar daerah-daerah di


negara-negara maju. Terapi antiretroviral tidak hanya membalikkan pola
mortalitas AIDS pada negara maju, namun juga menurunkan angka transmisi HIV
ibu-anak secara drastis. Hasil dari Pediatric AIDS Clinical Trial Group Study 076
mengawali terjadinya perubahan pendekatan klinis pada wanita hamil yang
positif-HIV ( Connor et al, 1994 ). Penelitian prospektif yang randomized dan
placebo-controlled ini menunjukkan bahwa profilaksis dengan zidovudine selama
masa kehamilan, kelahiran dan masa neonatus menurunkan angka transmisi
vertikal HIV dari 25% ke 8%. Kurang dari 2 tahun kemudian, agen-agen
antiretroviral tambahan menjadi tersedia untuk terapi infeksi HIV. Viral load
plasma juga menjadi dapat dipantau dengan menggunakan assay RNA HIV-1
plasma. Alat-alat monitoring dan terapi ini menciptakan potensi untuk manajemen
infeksi HIV yang baik dan terkontrol pada wanita hamil seperti yang telah ada
sekarang, di mana viral load kurang dari 1000 copies per mililiter dan risiko
transmisi vertikal sebesar 1% telah umum ditemukan. Berbagai penelitian lanjut
pada negara miskin dan menengah juga menunjukkan efek positif dari terapi
antiretroviral selama masa kehamilan sebagai pencegahan transmisi vertikal HIV (
Dorenbaum et al, 2002; Ionnidis eta la, 2001; Namukwaya et al, 2010 ).
Guidelines terkini mengenai terapi antiretroviral pada wanita hamil kini
telah tersedia oleh Panel of Treatment of HIV-infected Pregnant Women dan
Prevention

of

Perinatal

Transmission

2010.

Terapi

antiretroviral

direkomendasikan pada semua wanita hamil positif-HIV pada trimester akhir


kehamilan; dengan peninjauan ulang apakah diperlukan terapi antiretroviral
lanjutan setelah proses kelahiran. Bila ibu telah menerima terapi antiretroviral dan
11

viremia telah dengan sukses ditekan, maka direkomendasikan bahwa regimen


yang sama diteruskan namun agen teratogenik ( e.g efavirenz ) diganti dengan
alternatif lain. Bila ibu merupakan kasus baru HIV, belum mendapatkan terapi
antiretroviral dan secara klinis tidak memerlukan terapi antiretroviral, maka terapi
antiretroviral tetap diberikan sebagai profilaksis trasnmisi vertikal berdasarkan
parameter-parameter yang dijelaskan dalam gambar 37-5. Bila ibu bersifat
simtomatik atau memiliki riwayat terapi antiretroviral sebelumnya, maka terapi
harus merujuk pada Perinatal Guidelines mengenai rekomendasi-rekomendasi
tambahan lainnya.

Box 37-5 Rekomendasi terapi untuk infeksi HIV, antiretroviral asimtomatik pada
ibu hamil
Secara internasional, wanita di negara-negara dengan prevalensi HIV
tinggi biasanya hanya memiliki cakupan terapi antiretroviral intrapartum kurang
dari 25% ( Gambar 37-7 ). Target PBB adalah cakupan terapi antiretroviral pada
wanita hamil sebesar 80%, namun ketersediaan agen ini masih bervariasi antar
12

negara. Peningkatan yang cepat dari ketersediaan agen-agen antiretrovrial pada


beberapa negara Afrika selama tahun 2004-2007 membuktikan bahwa sebenarnya
terapi ini dapat diberikan dengan cepat dan efektif pada negara-negara miskin
apabila negara tersebut menerima dukungan politik dan finansial ( Gambar 37-8 )
( WHO, 2008 ).
Resistensi Agen Antiretroviral
Resistensi terhadap agen antiretroviral yang tersedia menjadi masalah baru
dalam hal evaluasi ulang regimen antiretroviral pada wanita dan regimen
profilaksis transmisi vertikal baik pada ibu maupun anak. Resistensi obat dalam
konteks terapi maternal longitudinal adalah hal yang di luar cakupan bab ini,
namun rekomendasi terkini mengenai pilihan regimen obat dapat dilihat di
Parental Guidelines ( Panel of Treatment of HIV-infected Pregnant Women dan
Prevention of Perinatal Transmission, 2010 ). Uji resistensi penting dilakukan
sebelum pemberian agen antiretroviral pada wanita maupun anak, dengan
pengecualian

pada

pemberian

zidovudine

minggu

post-natal

sesuai

rekomendasi. Pemilihan kombinasi alternatif agen antiretroviral yang tepat


sebaiknya dengan anjuran spesialis di bidang perawatan pasien HIV pediatrik
ataupun dewasa.
Pada negara miskin dan menengah, dosis tunggal nevirapin sering
digunakan sebagai pencegah transmisi vertikal HIV ( Guay et al, 1999 ).
Pemberian dosis tunggal nevirapin merupakan pendekatan profilaksis transisi HIV
ibu-anak yang paling umum karena pertimbangan biaya, tidak tersedianya pilihan
obat lain, pemberian obat yang mudah, namun nevirapin memiliki masalah dalam
hal resistensi. Penelitian pada 2010 dihentikan pada fase awal karena adanya
perbedaan yang signifikan antara resistensi nevirapine dan kegagalan terapi pada
anak yang diberikan nevirapine dosis tunggal perinatal ( Palumbo et al, 2010 ).
Penelitian lainnya di Uganda menemukan adanya resistensi 100% pada bayi usia 6
bulan yang sebelumnya menerima nevirapine harian selama 6 minggu sebagai
tambahan dari dosis tunggal nevirapine perinatal. Pola resistensi lebih jarang
13

ditemukan pada bayi yang hanya menerima dosis tunggal saja ( 16% pada usia 6
bulan; p=0.005; Church et al, 2008 ). Regimen obat yang tepat untuk profilaksis
transmisi perinatal untuk menghadapi mutasi virus dan pola resistensi
kemungkinan akan menjadi fokus selanjutnya baik di negara maju maupun
berkembang.

Gambar 37-7 Cakupan dari antiretroviral untuk pnecegahan infeksi HIV antara
ibu ke anak

14

Gambar 37-8 Presentasi dari ibu hamil yang hidup dengan HIV yang mendapat
antiretroviral untuk terapi preventif pada 10 negara dengan estimasi jumlah
tertinggi dari ibu hamil yang hidup dengan HIV
Metode Kelahiran
Pada tahun 1999, dua penelitian ( satu merupakan penelitian klinis
random, yang lainnya merupakan penelitian metaanalisis ) menunjukkan adanya
penurunan risiko transmisi vertikal HIV pada metode sectio cesarea sebelum
adanya ketuban pecah dini ataupun inpartu ( European Mode of Delivery
collaboration, 1999; International Perinatal HIV Group, 1999 ). Temuan ini
memicu ACOG untuk menyusun guideline baru pada Agustus 1999 yang
merekomendasikan seluruh wanita hamil positif-HIV untuk menjalani sectio
cesarea elektif pada usia kehamilan 38 minggu. Rekomendasi terbaru, yang
diperbaharui pada tahun 2000 dan Desember 2010, merekomedasikan bahwa
seluruh wanita hamil positif-HIV dengan viral load plasma lebih dari 1000 copies
per mililiter untuk mendapatkan konseling mengenai keuntungan sectio cesarea
elektif dan diberikan zidovudin intravena 3 jam sebelum operasi ( Jamieson et al,
2007 ). Belum ada penelitian yang menjawab apakah sectio cesarea elektif akan
menurunkan risiko transmisi vertikal pada wanita hamil dengan viral load yang
tidak terdeteksi ataupun wanita hamil yang sedang menjalani terapi antiretroviral.
Pemberian Makan Bayi
Di Amerika Serikat, yang memiliki keamanan makanan pengganti yang
baik ( susu formula ) yang baik dan harga yang terjangkau, ibu positif-HIV
direkomendasikan untuk tidak melakukan pemberian ASI sama sekali untuk
menghindari kemungkinan transmisi HIV postnatal yang diperkirakan mencapai
9%-14% melalui ASI. HIV tetap dapat menular melalui ASI walaupun ibu telah
menjalani terapi antiretroviral.
Secara global, pilihan pemberian nutrisi bayi masih belum jelas. Bila
kondisi yang menjadikan pemberian susu formula tidak dapat dipraktikkan karena
15

masalah keterjangkauan dan keamanan, maka nampaknya ASI merupakan pilihan


terbaik untuk wanita positif-HIV sekalipun. Guideline WHO terbaru yang
diperbaharui pada tahun 2010 merekomedasikan ibu positif-HIV untuk menyusui
dengan diikuti terapi antiretroviral atau tidak memberikan ASI sama sekali.
Guideline ini juga menekankan dibutuhkannya rekomendasi lebih lanjut pada
tingkat nasional atau subnasional yang sesuai dengan epidemiologi lokal dan
keadaan infrastruktur serta sosioekonomi masing-masing daerah ( WHO, 2010 ).
Data dari penelitian random terkontrol di Zambia menunjukkan bahwa
penyapihan mendadak pada usia bayi 4 bulan dibandingkan dengan penyapihan
bertahap sesuai keinginan ibu ( rerata sekitar 16 bulan ) tidak memberikan
perbedaan survival HIV pada usia bayi 24 bulan. Pada anak yang terinfeksi,
penyapihan mendadak meningkatkan mortalitas. Temuan ini berlawanan dengan
data yang didapatkan dari penelitian di Kenya yang emnunjukkan adanya
peningkatan risiko transmisi HIV pada bayi yang menerima ASI pada usia 24
bulan ( risiko 37% infeksi HIV pada bayi ASI dibandingkan 21% pada bayi yang
menerima susu formula: Nduati, 2000 ). Sebagian transmisi vertikal terjadi pada 6
bulan pertama menyusui, dan risiko keseluruhan terjadinya infeksi HIV pada
pemberian ASI mencapai 16%. Mortalitas-2-tahun dari kedua kelompok tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti.
Keamanan dari menyusi pada daerah negara msikin dapat ditingkatkan dengan
pemberian terapi antiretroviral bagi ibu, anak ataupun keduanya. Kesimpulan dari
penelitian-penelitian terkait kemudian dilakukan oleh Coovadia ( 2009 ). Sintesis
ini mencakup hasil dari penelitian MASHI di Botswana ( Thior et al, 2006 ),
penelitian Six Week Extended-Dose Nevirapine di India, Ethiopia dan Uganda (Six
Week Extended-Dose Nevirapine Study Team et al, 2008 ), penelitian PEPI di
Malawi ( Kumwenda et al, 2008 ) dan penelitian Mitra di Tanzania ( Kilewo et al,
2008 ) dan seluruh menunjukkan keuntungan dari pemberian terapi antiretroviral
pada bayi yang menyusui. Efek terhadap transmisi vertikal ditinjau dengan
pelanjutan terapi antiretroviral maternal selama masa menyusui, dan angka
transmisi dapat ditekan hingga mencapai 1%-5% ( Coovadia, 2009 ).
16

Evaluasi dan Tatalaksana Bayi yang Terpajan HIV


Pemeriksaan Bayi
Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV harus segera menjalani evaluasi
serum dengan assay HIV-DNA ataupun RNA PCR. Pemeriksaan ini sensitif bila
dilakukan pada usia 2 minggu awal kehidupan, namun terkadang tenaga medis
melakukan

pemeriksaan

ini

pada

hari-hari

pertama

kehidupan

untuk

menyingkirkan kemungkinan infeksi in utero terutama pada kasus-kasus risiko


tinggi. Risiko tinggi yang dimaksud adalah keadaan di mana status HIV maternal
tidak diketahui dan riwayat sebelumnya memiliki risiko HIV, atau pada ibu
positif-HIV namun tidak menerima terapi antiretroviral. Hasil negatif dari
pemeriksaan ini harus dikonfirmasi ulang di masa yang akan datang. Tabel 37-5
menunjukkan rekomendasi pemeriksaan dan evaluasi pada bayi yang terpajan
HIV ( Havens et al, 2009 ).
Bila status HIV ibu tidak diketahui pada saat proses kelahiram, maka
pemeriksaan antibodi rapid harus dilakukan pada ibu atau bayi. Hasil ini dapat
selesai dalam hitungan jam. Bila positif, terapi antiretroviral profilaksis harus
diberikan pada anak dalam 12 jam pertama kehidupan walaupun tanpa
pemeriksaan konfirmasi.

17

Tabel 37-5 Evaluasi dan terapi dari neonatus yang terekspose virus HIV-1
Bayi bisa dianggap negatif-HIV bila didapatkan dua kali hasil negatif dari
pemeriksaan, yang pertama adalah dari pemeriksaan pada usia 2 minggu atau
lebih dan selanjutnya dari pemeriksaan pada usia 4 minggu atau lebih.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah nucleic acid amplification tests ( NAATs )
dan dapat berupa PCR DNA ataupun RNA. Penegakan status negatif-HIV
dilakukan bila ada hasil negatif dari NAAT pada usia 4 minggu atau lebih dengan
tambahan hasil negatif dari NAAT pada usia 4 bulan atau lebih ( AAP Committee
on Infectious Diseases, 2010 ). Banyak klinisi menerima hasil antibodi pada 12
hingga 18 bulan setelah kelahiran. Pada masa ini, bayi yang negatif-HIV telah
bersih dari antibodi maternal sehingga hasilnya akan negatif, dan fenomena ini
dikenal sebagai serokonversi. Bila hasil antibodi bayi pada masa ini ditemukan
positif, maka uji NAAT harus diulang disertai dengan evaluasi klinis ketat untuk
mencari tanda-tanda infeksi.
Tatalaksana Bayi
Bayi yang terpajan dengan HIV harus menerima terapi profilaksis
zidovudine selama 6 minggu ( Tabel 37-6 ). Perlu diperhatikan bahwa keluarga
18

harus diberi jumlah obat total keseluruhan terapi pada saat pasien keluar dari
rawat inap untuk menghindari potensi masalah-masalah dari sulitnya peresepan
obat ( ketersediaan formulasi obat, masalah tanggungan asuransi ).
Bila ibu memiliki hasil antibodi positif dan tidak mendapatkan terapi
profilaksis zidovudine intrapartum, maka beberapa ahli menyarankan insisiasi
awal pemberian terapi antiretroviral tambahan bagi anak. Namun, analisis
mengenai keuntungan dan kerugian kemugkinan toksisitas versus penurunan
risiko transmisi vertikal harus dilakukan. Committee on Pediatric AIDS
menyatakan bahwa bila pasien pediatrik menerima terapi antiretroviral
tambahan selain ZDV, maka pilihan obat harus dengan konsultasi dengan ahli di
bidang perawatan bayi HIV ( American Academy of Pediatrics Committee on
Pediatric AIDS, 2008 ).
Bila ada bayi dengan hasil NAAT positif sebelum usia 6 bulan, maka
terapi antiretroviral harus dimulai dengan segera. Sebagaimana yang dikemukakan
dalam Red Book Online Insisasi dari terapi antiretroviral direkomendasikan pada
semua anak yang terinfeksi HIV begitu infeksi dapat dikonfirmasi, terlepas dari
paramtere klinis, immunologis atau virologis . Namun sebelum inisiasi, anak
harus diuji resistensinya terlebih dahulu karena ada kemungkinan bayi
mendapatkan virus yang resisten dari ibunya. Spesialis di bidang tatalaksana
pasien HIV pediatrik juga harus dikonsultasi. Walaupun sebelumnya terapi
antiretroviral ditunda bila anak menunjukkan tanda-tanda sakit, namun sekarang
setelah diketahui morbiditas anak akan jauh menurun dengan terapi antiretroviral
segera maka diputuskan untuk pemberian terapi antiretroviral segera. Beberapa
penelitian di Afrika Selatan menunjukkan terapi antiretroviral dini menurunkan
progresivitas penyakit, dengan penurunan sebesar 76% pada mortalitas dan 75%
pada progresivitas HIV ( Violari et al, 2008 ).

19

Tabel 37-6 Intrapartum maternal dan dosis Zidovudine pada neonatal pada
pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak.
Profilaksis dengan triemtoprim-sulfametoksazole terhadap infeksi-infeksi
oportunistik juga harus dimulai segera pada anak yang diduga terinfeksi HIV pada
usia 6 minggu kehidupan dan dilanjutkan hingga pasien berusia 1 tahun. Pada
pasien dengan diagnosis terduga negatif-HIV, profilaksis dapat tidak dilakukan.
Walaupun angka kejadian infeksi oportunistik menurun seiring dengan
meningkatnya ketersediaan terapi antiretroviral, namun pneumonia akibat
Pneumocytis jirovechii masih menjadi infeksi oprtunistik yang sering terjadi pada
anak dengan infeksi HIV-1 dengan cakupan mencapai 1/3 pasien pediatrik dengan
AIDS. Tinajauan Cochrane yang mengevaluasi suatu penelitian pada anak Zambia
positif-HIV menemukan adanya reduksi mortalitas sebesar 33% pada anak yang
menerima profilaksis kotrimoksazole dibandingkan dengan plasebo ( Grimwade
dan Swingler, 2006 ).
Efek Samping dari Pajanan Terapi Antiretroviral pada Bayi
Terapi antiretroviral telah sukses mencegah transmisi vertikal HIV, namun
hanya ada sedikit penelitian yang menilai keamanan dan toksisitas obat ini pada
pasien bayi ( Thorne dan Newell, 2007 ). Banyak jenis obat antiretroviral adalah
20

obat kategori kehamilan B dan C; namun efavirenz dikategorikan ulang sebagai


kategori DD pada 2005 ketika ditemukan bahwa obat ini berhubungan dengan
defek neural tube pada anak ( De Santis et al, 2002; Fudaro et al, 2002 ).
Beberapa laporan kasus mengenai toksisitas mitokondria ( hiperlaktemua
dengan tambahan gejala motorik atau kognitif ) pada bayi negatif-HIV namun
terpajan terapi antiretroviral datang dari Eropa ( Blanceh et al, 1999, Nouguera et
al, 2004; Tovo et al, 2005 ). Beberapa gejala hilang dengan sendirinya. Namun,
penelitian kohort besar di Amerika Serikat tidak menunjukkan adanya
peningkatan angka kematian akibat disfungsi mitokondria, walaupun penelitian
tersebut kemungkinan tidak dapat mendeteksi disfungsi ringan.
Salah satu penelitian yang dilakukan di Malawi menunjukkan adanya
reaksi hipersensitivitas yang bermanifestasi sebagai bercak pada 16 dari 852
( 1,9%) bayi yang diterai dengan nevirapine selama 28 minggu. Reaksi ini
sebelumnya tidak ditemukan pada grup kontrol, yang hanya menerima terapi
zidovudine dan lamivudine selama 1 minggu ( Chasela et al, 2010 ).
Penelitian-penelitian yang ada mengenai risiko prematuritas pada terapi
antiretroviral memberikan hasil yang kontradiktif. Penelitian di Eropa
menunjukkan adanaya peningkatan risiko prematuritas pada bayi yang lahir dari
ibu yang menjalani terapi antiretroviral yang mengandung obat inhibitor protease.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat tidak mengkonfirmasi temuan ini, namun
menemukan bahwa ada peningkatan risiko signifikan terjadinya berat bayi lahir
sangat rendah ( BBLSR ) pada bay yang lahir dari ibu yang menerima obat
antiretroviral dengan inhibitor protease dibandingkan dengan ibu yang menerima
kombinasi antiretroviral lainnya ( OR 3.56; Tuomala et al, 2002 ).
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi anemia pada bayi yang terpajan
profilaksis zidovudine, biasanya bersifat ringan atau transien namun sesekali
ditemukan anemia berat ( Connor et al, 1994; Taha et al , 2002; Wiktor et al,
1999). Efek jangka panjang dari terapi antiretroviral ditemukan dalam penelitian
di Prancis di mana ditemukan penurunan jumlah trombosit, limfosit dan neutrofil
21

pada bayi yang terpajan obat, setelah sebelumnya disesuaikan dengan beberapa
faktor seperti kadar CD4 maternal dan prematuritas ( Le Chenadec et al, 2003 ).
Dua penelitian Eropa lainnya menemukan adanya neutropenia pada anak yang
terpajan obat antiretroviral hingga usia 8 tahun ( Bunders et al, 2005, European
Collaborative Study, 2004 ). Temuan-temuan ini masih belum memiliki
signifikansi klinisnya, namun karena angka pajanan terapi antiretroviral
meningkat baik prenatal maupun postnatal serta dari sisi durai maupun jumlah
jenis obat, maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai efek pajanan
terhadap bayi.
Kasus Khusus : Bayi Negatif-HIV yang Terpajan HIV
Ruang lingkup penelitian yang masih berkembang adalah populasi HIVexposed Uninfected Infants ( HIV-EU ) atau bayi yang sebelumnya terpajan HIV
namun ternyata negatif-HIV. Bayi HIV-EU tetap memiliki peningkatan risiko
morbiditas. Satu penelitian menunjukkan adanya peningkatan angka kematian
sebesar lima kali lipat pada bayi dengan ibu positif-HIV yang meninggal terlebih
dahulu ( Newell et al, 2004 ). Penelitian lainnya tidak menemukan peningkatan
morbiditas pada kelompok bayi HIV-EU ( Taha et al, 2000 ). Perbedaan hasil
penelitian ini kemungkinan mencerminkan perbedaan latar belakang penyakit, dan
juga diduga menggambarkan adanya efek imunologis tambahan dari infeksi HIV
ibu ke anak. Di Kenya, penelitian mengenai kadar antibodi tetanus menunjukkan
bahwa ada penurunan sebesar 22% dalam rasio kadar antibodi tali plasenta :
maternal pada bayi-bayi yang lahir dari ibu yang positif-HIV. Penurunan lebih
besar ditemukan pada kadar titer antibodi bayi yang lahir dari ibu positif-HIV
disertai infeksi malaria ( Cumberland et al, 2007 ). Penelitian skala besar di
Zambia menunjukkan bahwa bayi HIV-EU memiliki risiko kematian dua kali lipat
leih besar bila lahir dari ibu yang kadar CD4nya rendah ( Kuhn et al, 2005 ).
Penelitian lainnya menemukan bahwa adanya peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada bayi HIV-EU di Amerika Latin dan Karibia ( Mussi-Pinhata et al,
2007 ). Namun, seluruh penelitian ini tidak memiliki grup kontrol yang tidak
terpajan namun berada dalam lingkungan dan keadaan yang sama. Temuan awal
22

mendukung dugaan adanya gangguan imunitas neonatal pada kelompok bayi HIVEU, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut.
KESIMPULAN
Infeksi HIV pediatrik telah menjadi penyakit yang menyebar di negaranegara berkembang, di mana lebih dari 90% pasien terpajan HIV dan 98% positifHIV. Tanpa terapi, morbiditas dan mortalitas sangat tinggi bagi pasien positif-HIV
terutama pasien bayi/anak. Anak yang terpajan namun tidak terinfeksi HIV
memiliki kemungkinan menjadi anak yatim piatu pada usia 10 tahun dan 50%
kemungkinan terjangkit HIV.
Transmisi HIV dapat dicegah, baik secara seksual, aprenteral maupun
vertikal. Progresi penyakit menuju AIDS dan kematian juga dapat diperlambat.
Walaupun pencegahan sempurna dari seluruh jenis transmisi HIV tidak dapat
dilakukan hingga kini, namun terapi kombinasi obat antiretroviral telah
menurunkan angka kematian AIDS dengan drastis dan mengeliminasi sebagian
besar transmisi vertikal HIV di Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
Dibutuhkan penelitian mendalam yang lebih lanjut untuk menemukan terapi
preventif serta peningkatan keawasan HIV baik secara nasional maupun
internasional.

23

Anda mungkin juga menyukai