Anda di halaman 1dari 11

Referat

RHINOSINOSITIS MAXILARIS DENTOGEN

Oleh :
RIMAYANTI
NIM 1508434428

Pembimbing
dr. HARIANTO, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
PEKANBARU
2016
RHINOSINUSITIS MAXILARIS DENTOGEN

I.

DEFINISI
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam
praktek dokter seharisehari,bahkan dianggap sebagai salah satu
penyebab gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat di ikuti
infeksi bakteri1,2. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis,
sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Yang paling sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan
sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. 12 Sinus
maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang
atas maka infeksi gigi mudah menyebar kesinus, disebut sinusitis
dentogen.3 Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan
komplikasi keorbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan
serangan asma yang sulit diobati.1,4

II.

ANATOMI
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat
lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat
dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi
yang berbentuk segitiga.1,4 Dinding anterior sinus adalah permukaan
fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya
adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita
dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. 5
Ostium sinus maksilaris berada di aliran sekret dari sinus maksila
hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila
sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan
M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar
gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus

maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang


sempit sehingga mudah tersumbat.1,3

Gambar 1. Anatomi sinus


III.

EPIDEMIOLOGI
Rhinosinusitis cukup sering ditemukan di Amerika Serikat, karena
mempengaru33.7000 orang setiap tahun, mewakili hampir 14% dari
populasi orang Amerika. Menurut laporan , asal gigi ditemukan dalam
5 sampai 40% dari kasus rinosinusitis maxilaris.6 Penelitian yang
dilakukan di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar menunjukkan
bahwa kasus sinusitis maksila dengan infeksi gigi rahang atas ditinjau
secara CT-Scan di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada tahun
2013-2014 adalah sebanyak 31 kasus, dengan jenis infeksi gigi dominan
berturut-turut yaitu infeksi gigi molar pertama (80,64%), infeksi gigi
molar kedua (35,48%), infeksi premolar kedua (19,35%). 7

IV.

ETIOLOGI
Sinusitis maksilaris disebabkan oleh beberapa faktor pejamu yaitu
genetik, kondisi kongenital, alergi dan imun, abnormalitas anatomi.
Faktor lingkungan yaitu infeksi bakteri, trauma, medikamentosa,
tindakan bedah. Terjadinya sinusitis dapat merupakan perluasan infeksi
dari hidung (rinogen), gigi dan gusi (dentogen), faring, tonsil serta
penyebaran hematogen walaupun jarang. Sinusitis juga dapat terjadi
akibat trauma langsung, barotrauma, berenang atau menyelam. Faktor

predisposisi yang mempermudah terjadinya sinusitis adalah kelainan


anatomi hidung, hipertrofi konka, polip hidung, dan rinitis alergi.1,4
V.

PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar (mucociliary clearance) didalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa
yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh
sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba
serta 3 mengandungi zat- zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. Faktor yang paling penting
yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah
terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan
menyebabkan terjadinya hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi
silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan
kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan
retensi mukus yang kurang baik pada sinus. 1,4,7 Kejadian sinusitis
maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan
masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk
gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium
menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan
mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar
membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi mukosa
sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi
mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila.1,4 Dengan ini dapat disimpulkan bahwa

patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga ?sistem, yaitu


patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan
salah satu dari ?sistem ini akan merubah ?sistem fisiologis dan
menyebabkan sinusitis.

Gambar. Penyebaran infeksi pada sinusitis dentogen


VI.

KLASIFIKASI
Secara klinis sinusitis maksilaris berdasarkan waktunya menurut
Cauwenberg dibedakan menjadi 3:1,7
1. Akut, bila infeksi terjadi kurang dari 4 minggu.
2. Subakut, bila infeksi terjadi sampai 4 minggu-3 bulan.
3. Kronis, bila infeksi terjadi lebih dari 3 bulan.
Berdasarkan berdasarkan penyebab sinusitis dibagi 2:7
1. Rhinogenik ( penyebab kelainan atau masalah pada hidung), yaitu
segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidun g dan
menyebabkan sunusitis.
2. Dentogenik/Odontogenik (penyebab kelaian gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi graham atas (premolar dan
molar).

VII.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala,
wajah terasa bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala
mendadak (sewaktu naik atau turun tangga), nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
berbau busuk.1,6 Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis
maksilaris kronik berupa hidung tersumbat, sekret kental, cairan
mengalir di belakang hidung, hidung berbau, indra pembau berkurang,
dan batuk.1,7
Kriteria Saphiro dan Rachelefsky:
a. Gejala Mayor:

b. Gejala Minor:

1. Rhinorea purulen
2. Drainase Post Nasal (PND)
yaitu sekret pada daerah
hidung/ sekret belakang
hidung
3. Batuk
4. Kongesti pada daerah wajah
5. Nyeri /rasa tertekan pada
wajah
6. Kelainan penciuman

1. Demam
2. Nyeri Kepala
3. Halitosis/
nafas
berbau
4. Sakit gigi
5. Batuk dan iritabilitas
6. Demam
(semua
nonakut)
7. Lemah

Dikatakan sinusitis maksilaris jika ditemukan 2 gejala mayor atau 1


gejala mayor dan 2 atau lebih gejala minor.1
VIII.

DIAGNOSIS
Diagnosis

dapat

ditegakkan

berdasarkan

anamnesis

dimana

dibutuhkan 2 kriteria mayor dan 1 kriteria minor, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan lengkap pada gigi dan pemeriksaan penunjang.1,4,6
1. Anamnesis
Adanya riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari,
merupakan keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada sinusitis

akut. Keluhan ini dapat disertai dengan keluhan lain seperti hidung
tersumbat, nyeri atau rasa tertekan pada wajah, nyeri kepala, demam,
adanya cairan yng mengalir dari hidung ke tenggorokan, batuk, hiposmia,
nyeri pada orbita, nyeri telinga, nyeri gigi, gigi berlubang, mengi
(wheezing) ada serangan asma.
2. Pemeriksaan fisik
Pemneriksaaan fisik dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis
yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah ditemukan pus pada meatus
medius atau pada meatus superior. Selain itu di temukan adanya edema
dan hiperemis dan edema pada kantus medius.

Gambar. Tampilan abses periodontal dan periapikal

Gambar. Sinus maxilaris


3. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi dilakukan dengan cara

mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan yang


tepat.
4. Pemeriksaan radiologi
Foto posisi waters tampak adanya edema mukosa dan cairan dalam sinus.
Jika cairan tidak penuh akan tampak gambaran air fluid level.

Gambar. Radiologi sinusitis


5. CT-Scan
CT-Scan sinus merupakan Gold Standard diagnosis sinusitis karena dapat
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dapat digunakan untuk penunjang diasnostis sinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobtan atau pra-operasi sebagai panduan operator
saat melakukan operasi sinus. Potongan CT scan yang rutin dipakai
adalah koronal.
IX.

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi rinosinusitis adalah untuk mempercepatkan penyembuhan,
mencegah komplikasi, dan mencegah progresifitas penyakit menjadi lebih
kronik. Prinsip kerja pengobatan rinosinusitis adalah dengan membuka
sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus
dipulihkan secara alami.

1.

Non farmakologis
Pasien yang mengalami masalah gigi sebaiknya mengatasi masalah gigi
terlebih dahulu.

2.

Farmakologis
a. Rinosinusitis akut
Bagi pengobatan rinosinusitis akut, antibiotik empirik diberikan 2x24 jam. Di
sini,obat lini I golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan
seperti

dekongestan

memperlancarkan

oral

drainase.

topikal,

Analgetik

mukolitik
juga

dapat

digunakan

untuk

diberikan

untuk

menghilangkan rasa nyeri. Jika terdapat pembaikan, maka pemberian harus


diteruskan selama 10-14 hari. Namun, apabila tidak ada kebaikan, antibiotik
lini II diberikan selama 7 hari seperti amoksisilin klavulanat, atau ampisilin
sulbaktam, sefalosporin generasi II, makrolid dan terapi tambahan. Setelah
pemberian pengobatan ini terdapat pembaikan, maka pemberian antibiotik
diteruskan selama 10-14 hari. Namun apabila tidak terdapat pembaikan, maka
pasien harus dijalani foto rontgen polos, CT scan atau naso-endoskopi.
Menurut pemeriksaan ini,jika terdapat kelainan,seterusnya dilakukan terapi
rinosinusitis kronis. Jika tidak terdapat kelainan, maka harus dilakukan
evaluasi diagnosa yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari sinus. 4
b.

Rinosinusitis subakut

Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu


sahaja maka dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi
pengobatan, antibiotik berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi
kuman selama 10-14 hari. Selain itu, obatan simptomatis juga dapat diberikan
seperti dekongestan. Obatan seperti analgetik, antihistamin dan mukolitik juga
dapat diberikan kepada pasien. Tindakan diatermi dengan sinar gelombang
pendek (Ultra Short Wave Diathermy) dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali
pada daerah yang sakit untuk memperbaiki atau melancarkan vaskularisasi
sinus. Setelah tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka harus dilakukan
pencucian sinus. Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi
manakala pada sinus etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di
bawah, dilakukan dengan cuci sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya
adalah dengan membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus

paranasal1,4.
c.

Rinosinusitis kronis

Pada penatalaksanaan rinosinusitis, jika diketemukan faktor predisposisi,


dapat dilakukan tatalaksana yang sesuai bersama terapi tambahan. Jika
terdapat perbaikan setelah pemberian terapi, maka antibiotik yang diberi
harus diteruskan selama 10-14 hari. Jika faktor predisposisi tidak diketemui,
maka pemberian terapi sesuai episode akut lini II dan terapi tambahan dapat
diberikan. Sambil menunggu hasil pemberian terapi, pasien dapat diberi
antibiotik alternatif 7 hari atau dilakukan kultur. Jika ada pembaikan,
diteruskan pemberian antibiotic selama 10-14 hari. Namun, jika tidak ada
pembaikan, maka diteruskan proses evaluasi dengan pemeriksaan nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi sebanyak 5 kali tidak membaik). Jika
terdapat obstruksi osteo meatal, maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF
atau bedah konvensional. Walaubagaimanapun, jika tidak ada obstruksi
kompleks osteo meatal, maka dilakukan kembali evaluasi diagnosa. 1,4
3.

Operatif
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya
berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis
kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif,
adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur.1,4

X.

KOMPLIKASI
Komplikasi sinusitis maksilaris adalah selulitis orbita, osteomielitis
dan fistula oroantral. Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata
sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada
sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa
komplikasi orbita atau intrakranial.1,4,7

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokkan Kepala dan Leher. Edisi 6.


Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007; 150-152.
2.

Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta:


EGC. 2006;805

3.

Netter FH. Atlas of Human Anantomy. 4th ed. US: Saunders; 2006

4.

Adams GL, Boies LR, Highler PA. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
Jakarta: EGC. 1997; 240-262

5.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidungdan Tenggorok Kepaladan Leher. Edisike-enam.
Jakarta :FakultasKedokteranUniversitas Indonesia. 2007:145

6.

Lwchien R. Jerome, Filleul Oliver. Chronik Maxillary Rhinosinusitis of


Dental Origin: A System Review of 674 Patient Cases. USA: International
journal of otolaryngology. 2014.

7.

Kusuma nilam. I.T. jenis gigi sebagai faktor penyebab sinusitis maksila
ditinjau secara ST.Scan. Makasar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Hasannudin. [Skripsi]. 2014

10

Anda mungkin juga menyukai