Anda di halaman 1dari 5

Hari ini benar-benar menyebalkan, bagaimana tidak menyebalkan kalau gua sedari tadi harus

mendengarkan ejekan dari teman gua karena gua mendapatkan hukuman. Dan pastinya orang
yang berani mengejek gua tidak akan bisa tertawa lebih lama. Sedang asik-asiknya mengerjai
teman gua yang ngejek gua tadi bel pulang pun berbunyi disusul dengan hujan yang turun tibatiba dengan sangat deras. Gua masukkan buku pelajaran, beberapa alat tulis dan jaket Resti ke
dalam tas, kemudian bergegas ke parkiran, menyalakan mesin motor dan melesat ke luar sekolah
menuju ke halte bis tempat gua bertemu dengan Resti kemarin. Baju dan celana seragam gua
lumayan basah terkena air hujan, tapi semua itu tidak sia-sia karena begitu gua menginjakkan
kaki di lantai halte bis ini seketika mata gua menangkap sosok manis yang selama ini berada di
fikiran gua tengah duduk diam sambil membaca sebuah buku, sepertinya buku novel.
Hai kak. Gua selalu memanggilnya dengan sebutan kak, karena gua rasa dia lebih tua daripada
gua.
Pandangan Resti pun teralih dari buku yang sedang dibacanya ke gua yang sedang berdiri di
hadapannya, sambil memicingkan matanya memastikan siapakah gerangan yang memanggil
dirinya dan begitu ia tau siapa orang tersebut, senyum indah terlukis di bibirnya. Oh Tuhan
senyum itu lagi.
Oh kamu Nino, ada apa? Tanya Resti masih dengan senyum di bibirnya.
Ini, aku mau kembaliin ini kak. Ucap gua agak gugup sambil merogoh tas guna mengambil jaket
Resti yang gua masukkan tadi agar tidak basah terkena air hujan. Dan setelah mendapatkan apa
yang gua cari, gua pun memberikannya kepada Resti.
Oh jaketku, emang kamu udah gak menggigil?
E udah engga kak, makasih ya.
Iya sama-sama. Ucapnya diselingi senyum yang makin bertambah manis. Gua rasa senyumnya
bisa mengundang penyakit diabetes karena manisnya.
Setelah itu gua pun duduk di sampingnya sambil menunggu hujan reda, tidak! Gua tidak mau
hujan ini reda.
Tiga puluh menit,
Kita disini, tanpa suara.
Dan aku resah, harus menunggu lama
Kata darimu.
Mungkin butuh kursus, merangkai kata,
Untuk bicara
Resti dan gua sama-sama terdiam, dan tiba-tiba saja melantun lagu lawas dari band ternama di
negeri gua ini yang merupakan nada panggilan masuk dari handphone milik Resti. Tak sampai lagu
selesai, Resti langsung mereject panggilan masuk tersebut.
Kenapa enggak diangkat kak?
Cuma orang enggak penting.

Oh gitu.
Lagi-lagi gua dan Resti kembali terdiam. Kemudian bersenandung lagi lagu tadi untuk kedua
kalinya, dan untuk yang kedua kalinya pula Resti mereject panggilan masuk dari orang yang
enggak penting menurut Resti itu. Gua rasa lagu itu seakan-akan tengah menggambarkan
ketidak beranian gua untuk membuka suara dan berbicara kepada Resti. Ah betapa cupunya gua.
Hampir satu jam gua dan Resti duduk di kursi penunggu di halte bis ini. Dan sama sekali tidak ada
dari gua ataupun Resti yang berbicara, atau mungkin saja dengan adanya gua disini Resti merasa
risih atau sebagainya. Hujan pun sudah reda, kalau benar dugaan gua tadi maka lebih baik gua
bergegas pulang sekarang. Gua mulai beranjak bangun dari duduk, duduk lama yang membuat
bokong gua mulai terasa pegal dan agak terasa panas. Namun saat hendak kaki ini melangkah
menuju motor yang terparkir persis di depan halte bis ini, tiba-tiba saja tangan kanan gua seperti
ada yang menahan dari arah samping dan tentu saja orang yang menahan tangan gua itu adalah
Resti. Sontak gua membalikkan badan gua menghadap ke arahnya menatap wajahnya yang
tengah tertunduk dengan tangannya yang masih saja menggenggam tangan gua, bahkan lebih
erat. Gua perhatikan wajahnya yang masih saja tertunduk yang diselingi dengan butiran air bening
yang turun jatuh dan membasahi lantai halte bis yang agak penuh debu dan air hujan tadi. Gua
turunkan badan gua mengambil posisi setengah duduk dengan mata masih memandang ke arah
wajahnya yang masih tidak berubah posisi dari tadi. Kekuatan genggamannya mulai mengendur
dan mulai melepas tangan gua, sambil menghapus air matanya Resti menengadahkan wajahnya
menghadap wajah gua dan tersenyum. Bahkan setelah menangis pun senyumannya tetap saja
manis, oh Tuhan ciptaan-Mu yang satu ini benar-benar indah. Gua dibuat terpana oleh senyuman
manisnya, dan tanpa gua sadari Resti telah menghilang dari hadapan gua.
Woy Nino motor kamu keren nih, boleh lah aku nebeng. Teriak Resti seraya mengusap tangki
motor gua.
Gua balikkan wajah gua ke belakang melihat ke arah Resti dan ya gua masih saja dalam keadaan
seperti tadi, sampai Resti menghampiri gua.
Nino aku tuh manggil kamu, kamu malah melamun aja.
Eh iya kak ada apa?
Aku nebeng ya sampe depan gang aja, boleh gak? Tanya Resti dengan senyuman manjanya.
Lagi-lagi gua dibuat terpana oleh senyumannya dan kembali dalam lamunan gua.
Nino ih kamu malah diem lagi. Ucap Resti sambil mencubit pipi gua.
Aduh sakit kak, ii..iiya boleh kok kak.
Kemudian gua beranjak dan menaiki motor gua, menyalakan mesin dan disusul oleh Resti yang
kemudian naik ke bangku boncengan dan memeluk pinggang gua. Motor gua melaju cepat dan
berhenti di sebuah gang yang bertempat tidak jauh dari halte bis tadi, gua berhenti dikarenakan
tangan Resti menepuk bahu gua.
Udah Nino sampe sini aja, makasih ya. Ucap Resti seraya turun dari motor gua dan tentunya dia

menyunggingkan senyum yang sama.


Iya kak sama-sama. Jawab gua sambil membalas senyuman manisnya.
Lalu Resti pun masuk ke dalam gang tersebut, ingin rasanya gua menyusulnya tapi buru-buru gua
urungkan niat gua itu, mengingat waktu yang sudah semakin sore dan kemudian gua pacu motor
gua untuk kembali ke rumah. Dan semenjak kejadian hari ini, hubungan gua sama Resti menjadi
semakin dekat meskipun belum ada kepastian apa-apa tentang status hubungan kita. Bahkan gua
masih bingung dengan apa yang gua rasakan saat ini.

Perkenalkan namaku Resti, aku anak pertama dari dua bersaudara, tapi sekarang Cuma tinggal
aku saja anak yang tersisa dari keluargaku ini setelah adikku satu-satunya meninggal dunia dua
tahun yang lalu dikarenakan sebuah penyakit yang menyerang organ hatinya pada waktu itu.
Keluargaku bisa dibilang hanya keluarga sederhana dengan hidup apa adanya, namun dengan
hidup yang sederhana aku, ayah dan ibuku masih bisa bahagia. Aku belajar dari kedua orangtuaku
bahwa hidup itu bukan sekedar apa yang kita miliki, melainkan apakah kita sudah mensyukuri apa
yang telah kita miliki itu. Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji yang telah
tumbuh subur di Negara ini, sebuah restoran cepat saji yang pemilik sekaligus pendirinya
merupakan warga luar negeri. Aku bekerja part time dari jam tujuh pagi hingga jam dua belas
siang, selebihnya aku menghabiskan waktu di rumah dengan membantu ibu mengurus rumah.
Dan juga aku merupakan designer freelance yang bekerja mengedit foto seseorang yang mereka
kirimkan via email dan pembayarannya tentu saja dengan transfer ke rekeningku. Bekerja menjadi
designer juga merupakan alasanku untuk bekerja part time sebagai pelayan di restoran, meskipun
bekerja mengedit foto tidak selalu saja setiap hari ada orang yang order namun aku benar-benar
senang melakukannya. Edit vector, manipulasi, pop art, lowpolly, wpap, siluet, line art merupakan
contoh kecil dari teknik mengedit yang sering aku lakukan dalam pekerjaan ini dan pastinya
sebelum pelanggan order mereka akan bertanya tentang apa itu vector apa itu manipulasi dan
lebih bagus mana antara keduanya. Dan lagi-lagi meskipun pertanyaan mereka seputar keingin
tahuan tentang teknik edit itu semua, yang menentukan mereka order adalah price atau harga
dari setiap teknik edit yang ingin mereka terapkan dalam foto mereka. Semakin sulit tekniknya
maka akan semakin mahal. Dan Alhamdulillah dengan pekerjaanku yang sekarang ini, aku bisa
membantu orangtua ya walau tidak seberapa tapi aku akan terus berusaha. Dalam urusan asmara,
aku pernah mengalami kegagalan cinta yang tidak akan pernah aku ungkit lagi, karena itu benarbenar menyakitkan dan sempat membuat diriku terpuruk terlalu lama, bahkan ibu pun sampai
khawatir sekali terhadapku. Semua apa yang telah aku alami tentang cinta, membuat penilaian
buruk tentang pandanganku pada seorang laki-laki, namun tidak selamanya begitu terlebih saat
aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Nino di siang hari itu.

Siang itu seperti biasa aku pulang dari pekerjaanku sebagai pelayan di restoran cepat saji. Saat ku
hendak turun dari bis dan melangkahkan kaki menuju halte, tiba-tiba saja hujan turun, walaupun
awalnya hujan turun dengan intensitas yang bisa dibilang kecil namun lama-kelamaan hujan turun
secara derasnya. Hujan disertai angin yang lumayan bertiup kencang tidak begitu saja membuat
tubuhku dingin dan menggigil, dikarenakan saat ini aku sedang memakai sebuah jaket yang entah
dari bahan apa namun sukses membuat tubuhku hangat dan terhindar dari dinginnya cuaca di
siang ini. Tidak lama saat diriku sedang bernyanyi-nyanyi dalam sendiri di halte bis ini, mataku
menangkap sosok laki-laki mengendarai sebuah motor besar dengan spakbor belakang yang telah
dicopot, yang kemudian terburu-buru memarkirkan motor besarnya itu di depan halte ini. Ia
segera turun dari motornya dan berdiri membelakangiku, dari seragam yang ia kenakan aku dapat
menyimpulkan bahwa ia adalah seorang siswa dari sekolah yang tepat berada di samping halte bis
ini. Ku mencoba mengabaikannya dan beralih pada sebuah handphoneku yang sedari tadi muncul
notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak aku kenali. Hampir tiga puluh menit lamanya aku
menunggu di halte bis ini dan hujan pun juga tak kunjung reda. Layaknya hujan yang masih
enggan untuk berhenti, laki-laki di hadapanku ini juga sama sekali tidak mengeluarkan suara
sepatah katapun dan masih mempertahankan posisinya. Entah dia menyadari akan adanya diriku
atau tidak, kuberanikan diriku mulai membuka suara.
deras banget ya hujannya.
Oh iya kak. Jawabnya sembari membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku.
Nama kamu siapa?
Nino.
Tiba-tiba kami pun terdiam dan hujan pun belum menampakkan tanda-tanda bahwa ia akan
berhenti mengguyur bumi. Kulihat tangannya menggigil, lalu dengan inisiatif diriku sendiri ku lepas
jaket yang sedang kukenakan dan memberikan kepadanya.
Nih pake aja, biar gak menggigil gitu!
Gak usah kak, makasih.
Gak apa apa.
Kukenakan jaketku kepadanya dan sepertinya ia pun sempat terkejut dengan yang kulakukan.
Santai aja Nino! Ucapku karena melihatnya gugup.
ehh iiiya kak. Ucap Nino dengan terbata-bata.
Nama aku Resti. Ucapku seraya menyunggingkan sebuah senyuman termanis yang kupunya
kepadanya.
Entah mengapa saat ini juga diriku ingin rasanya membuka hati kembali kepada seorang laki-laki.
Nino kurasa berbeda, ia berbeda dengan laki-laki pada umumnya. Ah, aku mulai menyukainya
pada pandangan pertama.
Cerpen Karangan: Muhammad Ilham
Blog: mydaily241.blogspot.com

Cerita Hujan Yang Sama Cerita Berbeda (Part 2) merupakan cerita pendek karangan Muhammad
Ilham, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen
terbaru buatannya.

Anda mungkin juga menyukai