Anda di halaman 1dari 9

2.

5 Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan yang memiliki dampak
negatif. Kebakaran hutan, kebakaran vegetasi, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran
yang terjadi di alam liar, tetapi juga dapat memusnahkan rumah-rumah dan lahan pertanian
disekitarnya. Selain itu, kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagai pembakaran yang tidak
tertahan dan menyebar secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar yang tersedia di hutan,antara
lain terdiri dari serasah, rumput, cabang kayu yang sudah mati, dan lain-lain. Istilah Kebakaran
hutan di dalam Ensiklopedia Kehutanan Indonesia disebut juga Api Hutan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa Kebakaran Hutan atau Api Hutan adalah Api Liar yang terjadi di dalam hutan,
yang membakar sebagian atau seluruh komponen hutan. Dikenal ada 3 macam kebakaran hutan,
Jenis-jenis kebakaran hutan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Api Permukaan atau Kebakaran Permukaan yaitu kebakaran yang terjadi pada lantai
hutan dan membakar seresah, kayu-kayu kering dan tanaman bawah. Sifat api
permukaan cepat merambat, nyalanya besar dan panas, namun cepat padam. Dalam
kenyataannya semua tipe kebakaran berasal dari api permukaan.
2. Api Tajuk atau Kebakaran Tajuk yaitu kebakaran yang membakar seluruh tajuk tanaman
pokok terutama pada jenis-jenis hutan yang daunnya mudah terbakar. Apabila tajuk hutan
cukup rapat, maka api yang terjadi cepat merambat dari satu tajuk ke tajuk yang lain. Hal
ini tidak terjadi apabila tajuk-tajuk pohon penyusun tidak saling bersentuhan.
3. Api Tanah adalah api yang membakar lapisan organik yang dibawah lantai hutan. Oleh
karena sedikit udara dan bahan organik ini, kebakaran yang terjadi tidak ditandai dengan
adanya nyala api. Penyebaran api juga sangat lambat, bahan api tertahan dalam waktu
yang lama pada suatu tempat.
2.6 Kebakaran dan Pembakaran
Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar yang sama tetapi
mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik dengan kejadian yang tidak disengaja
sedangkan pembakaran identik dengan kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan
pembakaran dapat juga menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran
hutan dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda. Penggunaan istilah
ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang salah terhadap dampak yang
ditimbulkannya.
Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai kebakaran hutan, padahal
sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah pembakaran yang sengaja dilakukan maupun
akibat kelalaian, baik oleh peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau
perkebunan, sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi). Saharjo
(1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan berpindah dapat
dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia,
entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat
penyiapan lahan. Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan
pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga
menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan. Banyaknya jumlah bahan bakar
yang dibakar di atas lahan akhirnya akan menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan
yang luas. Untuk itu, agar dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api
dan bahan bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran harus
berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari terjemahan textbook atau
pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan dengan keadaan lahan di Indonesia (Saharjo,
2000).

2.7 Penyebab Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang.
1. Kecerobohan manusia antara lain membuang puntung rokok sembarangan dan lupa
mematikan api di perkemahan.
2. Aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
berapi.
3. Tindakan yang disengaja seperti untuk membersihkan lahan pertanian atau membuka
lahan pertanian baru dan tindakan vandalisme.
4. Kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut
kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau.
2.8 Kerugian yang ditimbulkannya
Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan
ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98
yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan
degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya
akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran
hutantersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi
bagikegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa
kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86
milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan
uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu,
kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang
terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.
2.9 Dampak Kebakaran Hutan
2.9.1

Dampak Kebakaran Hutan terhadap Lingkungan Biologis

Yang dimaksud dengan lingkungan biologi yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa
organisme hidup selain dari manusia itu sendiri seperti hewan, tumbuhan, dan decomposer.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan khususnya terhadap lingkungan biologis
antara lain sebagai berikut:
1. Terhadap flora dan fauna
Kebakaran hutan akan memusnahkan sebagian spesies dan merusak kesimbangan alam sehingga
spesies-spesies yang berpotensi menjadi hama tidak terkontrol. Selain itu, terbakarnya hutan
akan membuat Hilangnya sejumlah spesies; selain membakar aneka flora, kebakaran hutan juga
mengancam kelangsungan hidup sejumlah binatang. Berbagai spesies endemik (tumbuhan
maupun hewan) terancam punah akibat kebakaran hutan. Selain itu, kebakaran hutan dapat
mengakibatkan terbunuhnya satwa liar dan musnahnya tanaman baik karena kebakaran, terjebak
asap atau rusaknya habitat. Kebakaran juga dapat menyebabkan banyak spesies endemik/khas di
suatu daerah turut punah sebelum sempat dikenali/diteliti.

Beberapa dampak kebakaran tehadap hewan dan tumbuhan antara lain sebagai berikut:

BANGSA BINATANG

Kebakaran hutan akan mengakibatkan banyak binatang yang akan kehilangan tempat tinggal
yang digunakan untuk berlindung serta tempat untuk mencarimakan. Dengan demikian, hewan
yang tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan baru setelah terjadinya kebakaran tersebut akan
mengalami penurunan jumlah bahkan dapat mengalami kepunahan.
Contoh dampak kebakaran hutan bagi beberapa hewan antara lain sebagai berikut:

Geobin : seluruh daur hidupnya di dalam tubuh tanah (Ciliophora, Rhizopoda &
Mastigophora, dll)

Geofil : sebagian daur hidupnya di dalam tubuh tanah (serangga)

BANGSA TUMBUHAN

Kehidupan tumbuhan berhubungan erat dengan hutan yang merupakan tempat hidupnya.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan berkurangnya vegetasi tertentu.
Contoh dampak kebakaran hutan terhadap tumbuhan adalah sebagai berikut:

Tumbuhan tingkat tinggi (akar pohon, semak atau rumput)

Tumbuhan tingkat rendah (bakteri, cendawan dan Ganggang)

Terjadinya kebakaran hutan akan menghilangkan vegetasi di atas tanah, sehingga apabila terjadi
hujan maka hujan akan langsung mengenai permukaan atas tanah, sehingga mendapatkan energi
pukulan hujan lebih besar, karena tidak lagi tertahan oleh vegetasi penutup tanah. Kondisi ini
akan menyebabkan rusaknya struktur tanah
1. Terhadap keanekaragaman hayati
Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang
terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya
tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim
hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit
diperhitungkan.
1. Terhadap mikroorganisme
Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah
yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah misalnya: cacing
tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme tanah misalnya:
mikorisa yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan
terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan
Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi ntrogen akan menurun. Mikroorganisme,
seperti bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran pasti akan mati.
Dengan temperatur yang melebihi normal akan membuat mikroorganisma mati, karena sebagian
besar mikroorganisma tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila
mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah
terjadinya perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya
mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan
mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti.

1. Terhadap organisme dalam tanah


Kebakaran hutan biasanya menimbulkan dampak langsung terhadap kematian populasi dan
organisme tanah serta dampak yang lebih signifikan lagi yaitu merusak habitat dari organisme
itu sendiri. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga bisa menyebabkan
perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro. Kebakaran hutan menyebabkan bahan
makanan untuk organisme menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api
dan hal itu dengan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan
menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif
ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali menjadi banyak
lagi dalam beberapa tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisika, kimia dan biologi tanah pada hutan dan
hutan yang sudah dibuka pada daerah Buffer Zone dan Resort Sei Betung pada Taman Nasional
Gunung Leuser Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat. Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara,
Medan. Yang dimulai pada bulan April hingga Mei 2011. Penelitian ini mengambil 12 titik
sampel tanah sebagai bahan penelitian, yaitu 6 sampel pada hutan asli dan 6 sampel pada hutan
yang sudah dibuka untuk lahan pertanian. Metode yang digunakan adalah Survei Bebas tingkat
survei semi detail dan analisis data kandungan bahan organik tanah dengan metode Walkley and
Black, hara Nitrogen total tanah dengan metode Kjeldhalterm, Tekstur tanah dengan metode
Hidrometer, pH tanah dengan metode Elektrometri, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dengan
metode Ekstraksi NH4OAc pH 7 serta nisbah C/N tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kandungan bahan organik digolongkan dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah dan rendah (pada
tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan), sedang
dan tinggi (pada tanah hutan alami). N-total tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni rendah
(pada tanah hutan alami), sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami dan hutan yang sudah
dibuka untuk lahan pertanian tanaman musiman dan tahunan). Rasio C/N tanah digolongkan
dalam 4 kriteria, yakni sangat rendah (pada tanah hutan yang sudah dibuka untuk lahan
pertanian tanaman musiman dan tahunan), rendah, sedang dan tinggi (pada tanah hutan alami).
pH tanah digolongkan dalam 3 kriteria, yakni sangat masam, masam dan agak masam. Tekstur
tanah lebih dominan lempung berpasir. Kapasitas Tukar Kation tanah digolongkan dalam 1
kriteria, yakni rendah (pada tanah hutan alami dan hutan yang sudah dibuka untuk lahan
pertanian tanaman musiman dan tahunan)
2.9.2 Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan
udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai
pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran
partikel kecil (PM10 & PM2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi
kulit, iritasi mata, dan lain-lain.
Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang/ penglihatan, sehingga dapat
menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah. Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran
yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga
Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan
kesehatan yang disebabkan oleh asap. (Cifor,2001).
Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripada yang
dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salah satu
pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR,
2001).
Dampak kebakaran hutan 1997/98 bagi ekosistem direvisi karena perubahan perhitungan luas
kebakaran yang ditemukan. Taconi, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran yang mengakibatkan
degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Biaya
akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; biaya ini kemungkinan lebih tinggi

karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya
yang terkait dengan emisi karbon menunjukkan bahwa kemungkinan biayanyamencapai2,8
miliar dolar.
2.10

Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia

Upaya untuk menangani kebakaran hutan ada dua macam, yaitu penanganan yang bersifat
represif dan penanganan yang bersifat preventif. Penanganan kebakaran hutan yang bersifat
represif adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mengatasi kebakaran hutan
setelah kebakaran hutan itu terjadi. Penanganan jenis ini, contohnya adalah pemadaman, proses
peradilan bagi pihak-pihak yang diduga terkait dengan kebakaran hutan (secara sengaja), dan
lain-lain.
Sementara itu, penanganan yang bersifat preventif adalah setiap usaha, tindakan atau kegiatan
yang dilakukan dalam rangka menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan. Jadi penanganan yang bersifat preventif ini ada dan dilaksanakan sebelum
kebakaran terjadi. Selama ini, penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran
hutan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, lebih banyak didominasi oleh penanganan
yang sifatnya represif. Berdasarkan data yang ada, penanganan yang sifatnya represif ini tidak
efektif dalam mengatasi kebakaran hutan di Indonesia.
Hal ini terbukti dari pembakaran hutan yang terjadi secara terus menerus. Sebagai contoh : pada
bulan Juli 1997 terjadi kasus kebakaran hutan. Upaya pemadaman sudah dijalankan, namun
karena banyaknya kendala, penanganan menjadi lambat dan efek yang muncul (seperti : kabut
asap) sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Sejumlah pihak didakwa sebagai pelaku telah
diproses, meskipun hukuman yang dijatuhkan tidak membuat mereka jera. Ketidakefektifan
penanganan ini juga terlihat dari masih terus terjadinya kebakaran di hutan Indonesia, bahkan
pada tahun 2008 ini.
Oleh karena itu, berbagai ketidakefektifan perlu dikaji ulang sehingga bisa menghasilkan upaya
pengendalian kebakaran hutan yang efektif.
Menurut UU No 45 Tahun 2004, pencegahan kebakaran hutan perlu dilakukan secara terpadu
dari tingkat pusat, provinsi, daerah, sampai unit kesatuan pengelolaan hutan. Ada kesamaan
bentuk pencegahan yang dilakukan diberbagai tingkat itu, yaitu penanggungjawab di setiap
tingkat harus mengupayakan terbentuknya fungsi-fungsi berikut ini :
1. Mapping : pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing.
Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang lazim digunakan adalah 3
cara berikut:

pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu
maupun hasil prediksi.

pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory
Rural Appraisal)

pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra
satelit
2. Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.

Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap
tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
o analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah

o pengolahan data hasil pengintaian petugas


3. Sosialisasi : pengadaan penyuluhan, pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat.
Penyuluhan dimaksudkan agar menginformasikan kepada masyarakat di setiap wilayah
mengenai
bahaya
dan
dampak,
serta
peran
aktivitas
manusia
yang
seringkali memicu dan menyebabkan kebakaran hutan. Penyuluhan juga bisa menginformasikan
kepada masayarakat mengenai daerah mana saja yang rawan terhadap kebakaran dan upaya
pencegahannya.
Pembinaan merupakan kegiatan yang mengajak masyarakat untuk dapat meminimalkan
intensitas terjadinya kebakaran hutan.
Sementara, pelatihan bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat, khususnya yang tinggal di
sekitar wilayah rawan kebakaran hutan,untuk melakukan tindakan awal dalam merespon
kebakaran hutan.
4. Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure).
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan
maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku
dalam berbagai hal berikut :

Metode pelaporan

Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang
berkaitan dengan kebakaran hutan, harus diterapkan sistem pelaporan yang sederhana dan
mudah dimengerti masyarakat. Ketika data yang masuk sudah lancar, diperlukan analisis yang
tepat sehingga bisa dijadikan sebuah dasar untuk kebijakan yang tepat.

Peralatan

Standar minimal peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh
pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi
terjadinya kebakaran hutan, fasilitas pendukung, dan sumber daya manusia yang tersedia di
daerah.

Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan

Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien
dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi. Adanya
standardisasi ini akan memudahkan petugas penanganan kebakaran untuk segera mengambil
inisiatif yang tepat dan jelas ketika terjadi kasus kebakaran hutan
5. Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung
dengan hutan. Pemantauan adalah kegiatan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya
perusakan lingkungan, sedangkan pengawasan adalah tindak lanjut dari hasil analisis
pemantauan. Jadi, pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian
pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut
kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi empat, yaitu :

Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati.
Contoh : patroli hutan

Pemantauan tertutup (intelejen) : Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan


yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.

Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan


keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup.

Pemantauan aktif : Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data
di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan
kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :

o Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan


(pembakaran hutan). Contohnya : pengawasan untuk menentukan status ketika akan terjadi
kebakaran hutan
o Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang
terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan.
Untuk mendukung keberhasilan, upaya pencegahan yang sudah dikemukakan diatas, diperlukan
berbagai pengembangan fasilitas pendukung yang meliputi :
1. Pengembangan dan sosialisasi hasil pemetaan kawasan rawan kebakaran hutan
Hasil pemetaan sebisa mungkin dibuat sampai sedetail mungkin dan disebarkan pada
berbagai instansi terkait sehingga bisa digunakan sebagai pedoman kegiatan institusi
yang berkepentingan di setiap unit kawasan atau daerah.
2. Pengembangan
organisasi
penyelenggara
Pencegahan
Kebakaran
Hutan
Pencegahan Kebakaran Hutan perlu dilakukan secara terpadu antar sektor, tingkatan dan
daerah. Peran serta masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan upaya pencegahan ini.
Sementara itu, aparatur pemerintah, militer dan kepolisian, serta kalangan swasta perlu
menyediakan fasilitas yang memadai untuk memungkinkan terselenggaranya
Pencegahan Kebakaran Hutan secara efisien dan efektif.
3. Pengembangan sistem komunikasi
Sistem komunikasi perlu dikembangkan seoptimal mungkin sehingga koordinasi antar tingkatan
(daerah sampai pusat) maupun antar daerah bisa berjalan cepat. Hal ini akan mendukung
kelancaran early warning system, transfer data, dan sosialisasi kebijakan yangberkaitan dengan
kebakaran hutan
2.11 Penanggulan Kebakaran Hutan di Indonesia
Penanggulangan hutan di Indonesia telah di atur dengan jelas di dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Adapun
upaya penanggulangan yang dimaktub tersebut antara lain:
1. Memberdayakan sejumlah posko yang bertugas menanggulangi kebakaran hutan di
semua tingkatan. Pemberdayaan ini juga harus disertai dengan langkah pembinaan terkait
tindakan apa saja yang harus dilakukan jika kawasan hutan telah memasuki status Siaga I
dan juga Siaga II.
2. Memindahkan segala macam sumber daya baik itu manusia, perlengkapan serta dana
pada semua tingkatan mulai dari jajaran Kementrian Kehutanan hingga instansi lain
bahkan juga pihak swasta.
3. Memantapkan koordinasi antara sesame instansi yang saling terkait melalui dengan
PUSDALKARHUTNAS dan juga di lever daerah dengan PUSDALKARHUTDA tingkat
I dan SATLAK kebakaran lahan dan juga hutan.

4. Bekerjasama dengan pihak luar seperti Negara lainnya dalam hal menanggulangi
kebakaran hutan. Negara yang potensial adalah Negara yang berbatasan dengan kita
misalnya dengan Malaysia berama pasukan BOMBA-nya. Atau juga dengan Australia
bahkan Amerika Serikat.
Upaya penanggulangan kebakaran hutan ini tentunya harus sinkron dengan upaya pencegahan.
Sebab walau bagaimanapun, pencegahan jauh lebih baik dari memanggulangi. Ada beragam cara
yang bisa dilakukan dalam rangka mencegah kebakaran hutan khususnya yang disebabkan oleh
perbuatan manusia seperti membuang punting rokok di wilayah yang kering, kegiatan
pembukaan lahan dan juga api unggun yang lupa dimatikan. Upaya pencegahannya adalah
dengan meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya mereka yang berhubungan langsung
dengan hutan. Masyarakat ini biasanya tinggal di wilayah hutan dan memperluas area
pertaniannya dengan membakar. Pemerintah harus serius mengadakan sosialisi agar hal ini bisa
dicegah.
Pada dasarnya upaya penanggulangan kebakaran hutan juga bisa disempurnakan jika pemerintah
mau memanfaatkan teknologi semacam bom air. Atau bisa juga lebih lanjut ditemukan metode
yang lebih efisien dan ampuh menaklukkan kobaran api di hutan. Langkah yang paling baik
adalah dengan mengikutsertakan para perangkat pendidikan agar merancang teknologi maupun
metode yang membantu pemerintah di level praktis. Sokongan dana dari pemerintah akan
membuat program tersebut lebih baik dan terarah.
2.12
2.12.1

Beberapa Kasus Kebakaran Hutan yang Terjadi Didunia


Kebakaran Hutan di Riau

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menangkap seorang petani saat
membersihkan lahan dengan cara membakar di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Penangkapan
dilakukan saat BNPB melakukan patroli.
Kejadiannya beberapa hari lalu saat tim melakukan patroli udara dan darat, kata Humas BNPB
Agus Wibowo di Pekanbaru, Minggu (21/7) seperti dikutip Antara.
Dia menjelaskan, pelaku yang teriindikasi sebagai petani pemilik lahan di Kabupaten Siak ini
diamankan oleh tim pemantau yang terdiri atas pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI),
masyarakat dan Polri.
Sampai saat ini patroli masih terus berjalan dengan dikoordinir Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Riau, katanya
Dengan tertangkapnya seorang pelaku pembakar hutan ini, maka total jumlah pembakar lahan
perorangan ada sebanyak 25 orang. Saat ini Polda Riau juga tengah melakukan penyelidikan
terhadap 12 kasus dan 5 kasus penyidikan dengan tersangka 24 orang dan satu korporasi.
Sebanyak 24 tersangka tersebut merupakan pelaku pembakar hutan maupun individu yang
memang ingin memperluas lahan dengan menyuruh membakar hutan.
Hingga saat ini dilaporkan situasi di Riau semakin kondusif meskipun pada peristiwa
pembakaran hutan tersebut dua orang dicatat meninggal yang mana satu orang bahkan turut
terbakar.
Sementara untuk kasus pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan perkebunan di Provinsi
Riau masih menggantung. Sejauh ini Polda Riau belum juga menetapkan tersangka pada kasus
yang terindikasi melibatkan sebuah perusahaan perkebunan, PT Adei Plantation (AP). Untuk
memperkuat dugaan itu, Polda Riau berencana mengambil keterangan saksi ahli.
Saksi ahli yang rencana didatangkan ada beberapa, di mana menurut informasi kepolisian saksi
tersebut dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan akademisi.

Polda Riau sebelumnya juga telah memeriksa sebanyak 16 saksi dari kalangan karyawan dan
pejabat perusahaan diduga pembakar lahan.

Anda mungkin juga menyukai