Aplikasi Pemodelan Aliran Air Tanah Dalam Konsep Pengelolaan Air Tanah Berbasis Cekungan PDF
Aplikasi Pemodelan Aliran Air Tanah Dalam Konsep Pengelolaan Air Tanah Berbasis Cekungan PDF
Kategori tematik
Judul
: E
: Aplikasi Pemodelan Aliran Airtanah Dalam Konsep Pengelolaan
Airtanah Berbasis Cekungan
Thomas Triadi Putranto
PhD Candidate
Institute of Hydrogeology
RWTH Aachen University Germany
Lochnerstr. 4-20, 52064 Aachen, Germany
tel +49 (0) 241 80 99776
Email: putranto@hydro.rwth-aachen.de
Abstract: Semarang urban and its suburban like other cities in Indonesia have the problem
about groundwater overexploitation as an impact of increased urbanization. Groundwater
modeling is one of the main tools used in the hydrogeological sciences for the assessment of
the resource potential and prediction of future impact. The presented study deals with concept
of groundwater basin and groundwater modeling also an example of integrated study of
groundwater modeling. Groundwater modeling studies in Neckar Basin (Germany) is used to
give a comprehensive study. The model obtained a better understanding of groundwater
studies in a basin scale and also in urban area. Learning from the comprehensive studies, an
application of groundwater modeling in Semarang Demak Basin was carried out to give a
quantitative assessment of the actual situation and to facilitate simulations of the groundwater
level in response to social and economic demands. Understanding of natural systems and
developing of conceptual model are the stages of the research which currently being done
based on the geology, hydrogeology and hydrology data.
1.
PENDAHULUAN
Meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi memiliki efek mendalam pada sumber daya air
pada umumnya dan airtanah pada khususnya, hal tersebut terkait erat dengan pemakaian
airtanah untuk mencukupi kebutuhan hidup serta untuk proses produksi (Foster dkk., 1998).
Hendrayana (2010) menyatakan bahwa isu utama masalah airtanah pada perkembangan suatu
kota di Indonesia adalah interaksi antara urbanisasi dengan sistem airtanah di bawahnya,
apalagi jika kota tersebut terletak di atas suatu sistem akuifer bebas. Interaksi ini sangat
tergantung pada pola dan tahapan perkembangan kota. Secara umum, selain pemompaan
airtanah yang berlebihan, efek area urban terhadap sistem airtanah dapat dibagi menjadi dua
hal lagi yakni area urban merubah sistem imbuhan airtanah bahkan siklus imbuhan airtanah,
dengan memodifikasi sumber imbuhan dan memunculkan keberadaan sumber-sumber
imbuhan baru atau yang disebut sebagai urban sewage sources. Oleh karena hal-hal tersebut
di atas setidaknya terdapat tiga masalah yang berkaitan dengan sistem airtanah yang berada di
bawah suatu kota yaitu:
(1) fluktuasi penurunan muka airtanah
(2) pencemaran airtanah
(3) efeknya terhadap struktur teknik bawah permukaan airtanah.
Konsep pengelolaan airtanah di Indonesia pada awalnya menggunakan paradigma lama yang
bersifat konvensional, yaitu pengelolaan airtanah hanya berdasarkan pengelolaan sumur
produksi (well management) tanpa memperhatikan akuifer secara rinci. Puradimaja (2006)
menyebutkan bahwa pendekatan konvensional well management ini memiliki banyak
kelemahan yang mendasar antara lain:
a. tidak diketahuinya secara real potensi dari setiap akuifer yang dieksploitasi
b. tidak dapat mengoptimumkan eksploitasi airtanah setiap akuifer
c. tidak dapat mengendalikan kualitas airtanah pada sumur produksi
d. tidak dapat mengendalikan perubahan lingkungan bawah permukaan misalnya
pencemaran airtanah, amblesan tanah dan eksploitasi airtanah yang berlebihan
Oleh sebab itu saat ini dikembangkan konsep pengelolaan airtanah yang berbasis cekungan
airtanah. Dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dinyatakan
bahwa pengelolaan airtanah didasarkan pada cekungan airtanah. Dengan demikian
pengelolaan, wewenang dan tanggung jawab pemerintah, Pemerintah Provinsi dan pemerintah
Kabupaten /Kota didasarkan pada cekungan airtanah. Oleh karenanya diperlukan kesatuan
pandangan mengenai cekungan airtanah dan batas-batasnya.
Airtanah pada dasarnya adalah sebuah sumber daya yang tersembunyi, karena itu studi
tentang airtanah di bawah kedua kondisi batas alami dan buatan memerlukan teknik
pemodelan dalam aplikasinya. Selama beberapa dekade terakhir, model simulasi komputer
untuk menganalisis aliran dalam sistem airtanah telah memainkan peranan yang semakin
meningkat dalam pendekatan evaluasi untuk pengelolaan dan pengembangan airtanah (Todd
and Mays, 2005). Pemodelan aliran airtanah salah satu alat utama yang digunakan dalam ilmu
hidrogeologi untuk penilaian potensi sumber daya dan prediksi dampak di masa depan akibat
perubahan kondisi lingkungan. Pemodelan airtanah menggambarkan proses aliran airtanah
menggunakan persamaan matematika didasarkan pada asumsi penyederhanaan tertentu
(Kumar, 2006). Oleh sebab itu pemodelan aliran airtanah berdasarkan konsep cekungan
airtanah menjadi pokok bahasan dalam penulisan ilmiah ini. Dibahas pula contoh pemodelan
airtanah di Cekungan Neckar Jerman sebagai pemahaman aplikasi pemodelan airtanah
Cekungan Semarang Demak yang masih dalam tahap pembentukan konseptual model.
2
2.
Cekungan airtanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua
kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan airtanah
berlangsung (Anonym, 2004). Batas cekungan airtanah dapat berupa batas geologi, batas
hidrologi, dan batas yang ditentukan karena kesepakatan internasional (batas negara). Batas
geologi merupakan batas yang sifatnya tetap, terdiri atas batuan kedap air atau lapisan dengan
kelulusan rendah; struktur geologi, seperti sesar, pelapisan batuan kedap air dengan batuan
lulus air, dan lain sebagainya. Batas hidrologi merupakan batas yang tidak tetap bergantung
pada waktu. Batas ini terdiri atas batas muka badan air seperti permukaan air laut, danau,
waduk dan sungai serta batas aliran airtanah yang dapat berhimpit dengan batas aliran air
permukaan, seperti daerah gunung api.
Konsep airtanah berbasis cekungan saat ini menjadi sangat penting karena mendukung
kesinambungan hidrolika yang terdapat dalam sumber daya airtanah serta memberikan
jaminan yang memadai/baik secara kuantitas dan kualitas (Barthel dkk., 2007). Jaminan
kualitas dan kuantitas yang baik tersebut tidak hanya berlaku untuk persediaan air bagi
manusia, tetapi juga untuk ekosistem.. Untuk menjaga kesinambungan airtanah, pengelolaan
airtanah berbasis cekungan menjadi hal yang utama. Sebuah sistem aliran airtanah regional
dapat terdiri dari subsistem pada skala yang berbeda dan kerangka hidrogeologi yang
kompleks, diilustrasikan pada gambar 1. Airtanah mendapat imbuhan air dari air hujan yang
meresap ke dalam tanah serta aliran permukaan seperti alur air dan sungai (stream and river)
maupun kolam (pond) dan aliran airtanah dari batuan (bedrock recharge). Daerah pelepasan
ditandai dengan banyaknya sumur-sumur dalam (wells) yang menyadap airtanah dari
beberapa akuifer yang ada. Masing masing akuifer dibatasi oleh lapisan kedap air berupa
lempung (clay).
Gambar 1. Sistem airtanah di suatu cekungan airtanah yang terdiri dari beberapa akuifer dan
lempung didalam kerangka hidrogeologi (California Environmental Protection Agency, 2003)
Maps of (hydro)geology
Topographical maps showing surface drainage features and other
data to specify drainage geometry (extent and elevation)
Report of previous work, including drilling programs, pumping
tests and analyses, geophysical studies, hydrology, etc
Bore construction and lithological logs, cross-section, bore
completion reports
Journal and conference papers, student theses
State agency database, private company reports and database
Stream-aquifer interaction
Dalam rangka aplikasi konsep pemodelan aliran airtanah berdasarkan cekungan airtanah ini
disajikan kajian salah satu hasil pemodelan airtanah di cekungan Neckar Jerman yang dapat
berguna sebagai salah satu pemikiran/framework untuk penerapan pemodelan airtanah
cekungan airtanah di Indonesia yang saat ini sedang dijalankan yakni cekungan Semarang
Demak.
3.1 Pemodelan aliran airtanah Cekungan Neckar Jerman
Jagelke dan Barthel (2005) melakukan studi mengenai konseptual dan implementasi
pemodelan cekungan airtanah Neckar dalam kerangka kajian model menyeluruh secara
regional. Cekungan Neckar terletak di negara bagian Baden-Wrttember, barat daya Jerman.
Luas area kurang lebih sekitar 14.000 km2 dengan jumlah populasi sebanyak 5.000.000 jiwa.
Ketinggian topografi berkisar antara 89,9 974,6 m di atas permukaan laut. Konsep model
terintegrasi ditunjukkan pada gambar 4. Model ini terdiri dari delapan sub-model dan masingmasing saling berinteraksi dengan cara mengevaluasi data saat ini dan mensimulasikan
perkembangan yang akan datang dalam tiga bidang yakni ekonomi, penggunaan lahan dan
sumber daya air. Gambar 5 menunjukkan prinsip dua arah untuk pemodelan sumber daya air
berkaitan dengan kuantitas air di daerah urban. Pemodelan airtanah berinteraksi dengan curah
hujan dan air permukaan serta pemakaian air. Pemodelan airtanah secara spatial dan temporal
memiliki perbedaan pasokan air yang besar berdasarkan model kesetimbangan pasokan
jumlah air permukaan dan eksploitasi penggunaan airtanah dari masyarakat urban/perkotaan.
Gambar 5. Konsep timbal balik model sumber daya air (Jagelke dan Barthel, 2005).
Adanya variasi ketinggian menyebabkan perbedaan yang nyata untuk besarnya curah hujan
dan evaporasi. Curah hujan berkisar antara 800 2.000 mm/tahun, sedangkan rata-rata
evapotranspirasi sebesar 550 mm/tahun. Imbuhan airtanah sebesar 158 mm/tahun namun
bervariasi secara spatial antara 3 643 mm/tahun.
Kondisi hidrogeologi cekungan Neckar tersusun oleh batugamping dengan
hidrogeologi unit tersusun oleh batupasir dan batugamping. Gambar 6
hidrogeologi unit dari Cekungan Neckar yang memiliki 8 lapisan akuifer
mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah dalam jumlah yang berarti)
akuitar (lapisan yang mampu menyimpan airtanah, tetapi mengalirkannya
terbatas). Akuifer yang ada umumnya adalah akuifer tertekan.
dominasi dari
menunjukkan
(lapisan yang
dan 5 lapisan
dalam jumlah
Stuttgart
Gambar 6. Hidrogeologi unit dari Cekungan Neckar (LGRB, 2000 dalam Jagelke dan Barthel,
2005).
Pemodelan aliran airtanah 3 dimensi menggunakan metode finite difference yang terdapat
dalam paket software Modflow dipilih untuk menyelesaikan penelitian ini. Daerah model
dideskritisasi setiap 1 km2. Komponen dari konseptual model ini disajikan pada tabel 2 di
bawah ini.
Tabel 2. Komponen konseptual model
Parameter
Aquifer geometry
Hydraulic properties
Initial conditions
Boundary conditions
Data set
Digital elevation model
Horizontal extent of the hydrogeological units
Vertical extent of the hydrogeological units
Hydraulic conductivity and transmissivity
Storage coefficient
Leakage
Water head
Groundwater extraction
Untuk menentukan kondisi awal dalam pemodelan aliran airtanah, diperlukan data kondisi
awal muka airtanah. Institute for Environmental Protection Baden-Wrttemberg (LfU)
menyajikan data pengukuran muka airtanah mingguan dari tahun 1980 hingga 2003 di 194
titik pengukuran. Titik pengukuran disajikan secara acak dan sebagian besar terletak pada
endapan sungai kuarter atau pada akuifer celah yang lebih dalam. Oleh karena data yang
didapat acak, oleh sebab itu diperlukan interpolasi yang sederhana untuk membentuk muka
airtanah tertekan, sehingga digunakan interpolasi kriging.
Hasil running pemodelan aliran airtanah dilakukan kalibrasi dalam kondisi aliran airtanah
tetap (steady state) dengan menghitung rata-rata perbedaan kuadrat calculated heads (hcal)
dengan observed heads (hobs). Semakin kecil nilai RMS (Root Mean Square) yang didapat,
maka hasil model mendekati kenyataan di lapangan. Gambar 7 (a) menunjukkan interpolasi
data muka airtanah hasil pengukuran/observasi, sedangkan gambar 7 (b) merupakan hasil
perhitungan model.
(a)
(b)
Gambar 7. Interpolasi hasil pengukuran/observasi muka aritanah dan hasil pemodelan airtanah
menggunakan modflow (Jagelke dan Barthel, 2005)
10
(a)
Gambar 8. Perkembangan jumlah sumur bor resmi dan pengambilan airtanah tertekan serta
penurunan muka airtanah di Cekungan Semarang Demak (Dahrin dkk., 2007).
Skematik penelitian ini menggabungkan aspek geologi, hidrogelogi maupun hidrologi yang
menyeluruh. Dari pemahaman tersebut dapat disusun suatu konseptual model sistem airtanah
pada cekungan Semarang Demak, sehingga dapat dilakukan pemodelan numerik aliran
airtanah berbasis cekungan, seperti terlihat pada alur gambar 9.
Gambar 9. Skematik studi dan data pemodelan aliran airtanah Cekungan Semarang Demak
11
Cekungan airtanah Semarang Demak ini memiliki area yang cukup luas, yakni kurang lebih
1.386 km2 yang meliputi 321 km2 di wilayah Kota Semarang, 864 km2 di wilayah Kabupaten
Demak, 190 km2 di Kabupaten Grobogan serta 11 km2 di Kabupaten Kendal.
Morfologi daerah penelitian secara umum dapat terbagi dalam dua bagian yakni dataran
(plains) di bagian utara Semarang dan sebagian besar Demak yang digambarkan dengan
warna biru pada gambar 10 serta perbukitan dengan lereng rendah hingga tinggi (lower to
upper slope) di bagian selatan Kota Semarang yang digambarkan dengan warna kehijauan
sampai kemerahan.
Berdasarkan peta geologi regional lembar Magelang Semarang (Thanden dkk., 1996) serta
lembar Kudus (Suwarti dan Wikarno, 1992), maka kondisi geologi di Cekungan Semarang
Demak dari yang tertua sampai termuda tersusun oleh dua macam batuan yakni batuan
sedimen yang berumur Tersier yakni Formasi Kerek dan Kalibeng, kemudian Formasi Damar
dan Formasi Kaligetas yang berumur Kuarter serta endapan permukaan (aluvium) yang
berumur Holosen. Formasi Kerek dan Kalibeng dominan tersusun oleh batulempung, napal
dan setempat batugamping. Formasi tersebut terletak pada morfologi lereng rendah hingga
menengah (lower to intermediate slope). Formasi Damar tersusun oleh konglomerat, batupasir
tufaan dan breksi volkanik berupa lahar dan terletak pada morfologi dengan lereng sedang
(intermediate slope), sedangkan Formasi Kaligetas tersusun oleh dominan produk volkanik
seperti breksi volkanik, lava serta batupasir tufaan dan setempat batulempung. Formasi ini
tersebar pada morfologi dengan lereng sedang hingga tinggi (intermediate to upper slope).
Daerah dataran (plains) didominasi oleh endapan aluvium pantai, sungai dan danau, yang
terdiri dari lempung, lanau, pasir dan kerikil.
Gambar 10. Peta lokasi daerah penelitian dan ketinggian topografi berdasarkan data DEM
(Digital Elevation Model)
Secara umum, kondisi airtanah Cekungan Semarang Demak mengalir dari arah perbukitan di
selatan menuju ke dataran di bagian utara. Hal itu berarti bahwa daerah pengisian (recharge
area) terletak di Gunung Ungaran, sementara daerah pelepasan (discharge area) di dataran
sepanjang pantai. Berdasarkan peta hidrogeologi regional lembar Semarang (Said dan
12
Sukrisno, 1988) airtanah mengalir dominan melalui ruang antar butir, sebagian melalui celah
maupun rekahan dan di beberapa tempat dijumpai airtanah langka.
Berdasarkan data geologi dan hidrogelogi, maka disusun konseptual model sistem akuifer
Cekungan Semarang Demak yang disajikan dalam sayatan melintang (cross section) A - B
seperti terlihat pada gambar 11. Sistem akuifer dibagi menjadi dua yakni akuifer bebas dan
akuifer tertekan. Akuifer bebas tersebar dari intermediate slope hingga plains. Muka airtanah
bebas (phreatic water level) semakin dalam ke arah selatan mengikuti ketinggian topografi.
Airtanah di daerah dataran tersimpan pada endapan aluvium yang berupa lempung pasiran,
pasir dan pasir tufaan serta batupasir, konglomerat dan breksi di daerah berlereng rendah
hingga sedang. Akuifer tertekan terletak pada daerah lower slope hingga plains dengan muka
airtanah tertekan (piezometric level) lebih rendah dibandingkan muka airtanah bebas. Akuifer
tertekan merupakan multi layer akuifer yang dipisahkan oleh lapisan akuitar berupa lempung.
Batuan dasar dari konsepual model ini tersusun oleh batulempung serta batugamping berumur
Tersier, merupakan bagian dari Formasi Kerek serta Kalibeng bersifat kedap air (akuiklud).
Berdasarkan konseptual model tersebut, terdapat 3 (tiga) macam akuifer yakni akuifer yang
tersusun oleh Endapan Aluvium, Formasi Damar serta Breksi Volkanik.
Cekungan Semarang Demak berdasarkan data BMKG (2008) memiliki rata-rata curah hujan
sebesar 174 mm/bulan atau sekitar 2091 mm/tahun. Berdasarkan perhitungan Binnie dan
Partners (1982) mengenai potensial evapotranspirasi Pulau Jawa, maka besarnya potensial
evapotranspirasi Cekungan Semarang Demak berkisar antara 1.600 mm/tahun hingga 1.750
mm/tahun.
Setelah pemahaman kondisi natural sistem tercapai, tahap berikutnya yang akan dilakukan
adalah perhitungan kesetimbangan air (water balance) meteorik untuk menghitung besarnya
groundwater recharge serta pemodelan numerik aliran airtanah. Cekungan Semarang Demak
merupakan daerah urban, sehingga memunculkan keberadaan sumber-sumber imbuhan baru
atau yang disebut sebagai urban sewage sources seperti penjelasan di awal.
Gambar 11. Sayatan melintang konseptual model sistem akuifer Cekungan Semarang Demak
13
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan airtanah yang terjadi di daerah urban saat ini, maka pemodelan
airtanah berperan penting didalam perencanaan, implementasi model dan pengelolaan sumber
daya airtanah berbasis cekungan airtanah. Konsep pengelolaan airtanah yang berbasis
cekungan mendukung kesinambungan hidrolika airtanah. Pemahaman kondisi natural sistem
berdasarkan data geologi, hidrogeologi dan hidrologi menjadi hal yang utama untuk
menyusun konseptual model sebelum dilakukan pemodelan numerik aliran airtanah. Salah
satu parameter untuk pemodelan numerik aliran airtanah adalah menghitung besarnya
imbuhan airtanah/groundwater recharge. Urbanisasi mengubah perhitungan besarnya
imbuhan airtanah. Semarang Demak basin merupakan daerah urban, sehingga untuk
penghitungan total imbuhan airtanah disamping imbuhan alami dari besarnya air hujan yang
meresap ke dalam tanah terdapat penambahan faktor net urban recharge yang meliputi total
penggunaan air domestik, penggunaan konsumtif air, penggunaan air dari sektor industri
melalui sumur bor dalam serta bocoran dari saluran buangan penduduk dan industri.
REFERENSI
Anderson, M.P. dan Woessner, W.W. (1992) Applied Groundwater Modeling Simulation
of Flow and Advective Transport. Academic Press, Inc, California.
Anonym (2004) Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. [Online access 25.06.2011]. http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2004/0704.pdf.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika/BMKG (2008) Data Internal Iklim Kota
Semarang (1998 2007). Semarang.
Barthel, R., Jagelke. J., Gtzinger, J., Gaiser, T. dan Printz, A. (2007) Aspects of choosing
appropriate concepts for modelling groundwater resources in regional integrated
water resources management Examples from the Neckar (Germany) and
Oueme catchment (Benin). Physics and Chemistry of the Earth 33 (2008) 92114.
Binnie dan Partners (1982) Central Java Groundwater Survey, Volume IV, Zonal Report,
Gunung Muria. In Association with Hanting Technical Service, under Assigment to the
Overseas Development Administration, London, Archive of Government of Indonesia
Ministry of Public Work.
California Environmental Protection Agency (2003) Groundwater Sistem of Santa Clara
Valley. [Online access 23.06.2011]. http://museumca.org/creeks/z-groundwater.html.
Dahrin, D., Sarkwwi, Kadir, W.G.A dan Minardi, S. (2007) Penurunan Volume Airtanah
Daerah Semarang Berdasarkan Pemodelan 3D Gayaberat Antar Waktu. Jurnal
Geoaplika 2007 Vol. 2 No. 1 hal. 11-17.
Domenico, P.A. (1972) Concept and Models in Groundwater Hydrology. Mc.Graw-Hill
Book Co., New York.
14
Foster, S., Lawrence, A., dan Morris, B. (1998) Groundwater in Urban Development:
Assessing Management Needs and Formulating Policy Strategy. World Bank
Technique Paper No. 390.
Hendrayana, H. (1994) Pengantar Model Airtanah. Jurusan Teknik Geologi Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
_________ (2010) Derasnya Urbanisasi dan Pengelolaan Sumberdaya Air Tanah.
[Online accessed 21.06.2011]. http://bataviase.co.id/node/396087.
Hesch, Wayne (2009) Conceptual Model Development for MODFLOW or FEFLOW
models. 2nd International FEFLOW Conference, Berlin.
Jagelke J. dan Barthel R. (2005) Conceptualization and implementation of a regional
groundwater model for the Neckar catchment in the framework of an integrated
regional model. Advances in Geosciences, 5, 105111, 2005 SRef-ID: 16807359/adgeo/2005-5-105, European Geosciences Union.
Kumar, C.P. (2006) Groundwater Flow Models: An Overview, In Groundwater
Modelling and Management. Capital Publishing Company, New Delhi. pp. 153-178.
Middlemis, Hugh (2000) Groundwater Modelling Guideline. Project No. 125 Final
Guideline Issue I, Aquaterra Consulting Pty. Ltd., Australia.
Puradimaja, Deny Juanda (2006) Hidrogeologi Kawasan Gunung Berapi dan Kars di
Indonesia. Pidato Ilmiah Guru Besar Institut Teknologi Bandung.
Said, H.D. dan Sukrisna (1988) Peta Hidrogeologi Indonesia, Lembar: VII Semarang
(Jawa). Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
Suwarti, T. dan Wikarno, S. (1992) Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Thanden, R.E., Sumadirdja, H., Richards, P.W., Sutisna, K. dan Amin, T.C. (1996) Peta
Geologi Lembar Magelang dan Semarang, Jawa. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
Todd, D.K. dan Mays, L.W. (2005) Groundwater Hydrology. 3rdEd. John Wiley and Sons,
Hoboken, United States.
15