PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perilaku open defecation (OD) atau buang air besar sembarangan (BABS) termasuk
salah satu contoh perilaku yang tidak sehat. OD adalah suatu tindakan membuang kotoran
atau tinja di ladang, hutan, semaksemak, sungai, pantai atau area terbuka lainnya dan
dibiarkan menyebar mengkontaminasi lingkungan, tanah, udara dan air (WHO, 2013; WHO
and UNICEF 2015).
Target MDG (Millenium Development Goals) global tahun 1990-2015 untuk sanitasi
adalah 77%, dimana pada tahun 2015 baru 68% populasi global yang menggunakan fasilitas
sanitasi improved, dimana kurang 9% dari target, yaitu sekitar 700 juta orang. Perilaku OD
menunjukkan tren penurunan sejak tahun 1990, dan diperkirakan sekitar 946 juta orang di dunia
masih melakukan OD, yaitu satu dari delapan orang. Target di Asia tenggara adalah 74%, dan
yang tercapai adalah 72%. Dimana tujuh dari sepuluh orang tidak menggunakan sanitasi
improved, dan sembilan dari sepuluh orang masih melakukan perilaku OD tinggal di daerah
pedesaan. Di Indonesia, persentase warga yang masih melakukan OD pada tahun 2015 adalah
52% dari jumlah populasi, dimana 13% terdapat di daerah perkotaan dan 29 % pada daerah
perdesaan (WHO and UNICEF, 2015).
Proporsi RT di Indonesia yang telah menggunakan fasilitas BAB milik sendiri adalah
76,2%, milik bersama 6,7%, dan fasilitas umum 4,2%. Proporsi RT yang memiliki akses terhadap
fasilitas sanitasi improved (kriteria JMP WHOUnicef) di Indonesia adalah sebesar 58,9%. Lima
provinsi tertinggi proporsi RT yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi improved adalah
DKI Jakarta (78,2%), Kepulauan Riau (74,8%), Kalimantan Timur (74,1%), Bangka Belitung
(73,9%), dan Bali (75,5%). Pada daerah Jawa Timur, rumah tangga dengan pembuangan akhir
tinja tidak ke tangki septik (SPAL, kolam/sawah, langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke
lubang tanah, atau ke pantai/kebun) terdapat sekitar 38% (RISKESDAS, 2013).
Cakupan akses Jawa Timur berdasarkan jumlah Kepala Keluarga (KK) yang diperiksa
(52,90% dari KK yang ada), KK yang memiliki jamban sebesar 91,16% dan yang sehat sebesar
69,36%. Pada kota kediri kepemilikan jamban sebesar 94.25% dan yang sehat sebesar 83.58%.
Jumlah desa/kelurahan di kota Kediri ada 46, dan desa/kelurahan yang telah ODF/Open
defecation free atau bebas BABS hanyalah 26 desa/kelurahan (Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur, 2012). Pada Kelurahan Bawang, jumlah keluarga yang telah memiliki WC sehat adalah
45%, jumlah keluarga yang memiliki WC yang kurang memenuhi standar kesehatan 33%, jumlah
keluarga yang menggunakan fasilitas MCK umum 3%, dan jumlah keluarga yang biasa buang air
besar di sungai/parit/kebun/hutan adalah 7% (Data Primer Kelurahan Bawang, 2016).
Berdasarkan karakteristik, proporsi rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik
sendiri di perkotaan lebih tinggi (84,9%) dibandingkan perdesaan (67,3%); sedangkan proporsi
rumah tangga BAB di fasilitas milik bersama dan umum maupun BAB sembarangan di perdesaan
(masing-masing 6,9%, 5,0%, dan 20,8%) lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan (6,6%,
3,5%, dan 5,1%). Semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan, semakin tinggi juga proporsi rumah
tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri. Semakin rendah kuintil indeks
kepemilikan, proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan semakin tinggi
(RISKESDAS, 2013).
Masalah kesehatan di Indonesia didominasi oleh penyakit-penyakit berbasis lingkungan,
seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), kecacingan, Demam Berdarah Dengue
(DBD), malaria. Salah satu penyebab utama tingginya penyakit-penyakit tersebut adalah
rendahnya kualitas sanitasi dan higiene. Studi Water and Sanitation Program (WSP) World Bank
tahun 2007 memperkirakan lebih dari 50 ribu kematian disebabkan rendahnya sanitasi dan
higiene, 24 ribu kematian akibat langsung diare (Qudsiyah dkk, 2015).
Sanitasi, personal higiene dan lingkungan yang buruk berkaitan dengan penularan
beberapa penyakit infeksi yaitu penyakit diare, kolera, typhoid fever dan paratyphoid fever,
disentri, penyakit cacing tambang, ascariasis, hepatitis A dan E, polio, penyakit kulit, trakhoma,
schistosomiasis, cryptosporidiosis, malnutrisi dan penyakit yang berhubungan dengan malnutrisi
(Carr R, 2001). Adanya jamban sehat dapat mencegah terjadinya pencemaran lingkungan serta
memutus mata rantai munculnya berbagai penyakit berbasis lingkungan tersebut (Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012).
Sanitasi dan perilaku kebersihan yang buruk serta air minum yang tidak aman
berkontribusi terhadap 88% kematian anak akibat diare di seluruh dunia. Bagi anak-anak yang
bertahan hidup, seringnya menderita diare berkontribusi terhadap masalah gizi, sehingga
menghalangi anak-anak untuk dapat mencapai potensi maksimal mereka. Kondisi ini selanjutnya
menimbulkan implikasi serius terhadap kualitas sumber daya manusia dan kemampuan produktif
suatu bangsa di masa yang akan datang (UNICEF Indonesia, 2016).
Penyebab penyakit Infeksi yang berhubungan dengan sanitasi buruk adalah bakteri, virus,
parasit dan jamur. Proses transmisi agent penyebab infeksi tersebut melalui 4 F yaitu Fluids,
Fields, Flies dan Fingers, siklus ini dimulai dari kontaminasi tinja manusia melalui pencemaran
air dan tanah, penyebaran serangga dan tangan kotor yang dipindahkan ke makanan sehingga
dikonsumsi oleh manusia atau fecal - oral transmission. Proses penularan penyakit tersebut
dipengaruhi oleh karakteristik penjamu (imunitas, status gizi, status kesehatan, usia dan jenis
kelamin) dan perilaku penjamu (kebersihan diri dan kebersihan makanan) (Carr R, 2001).
Di Indonesia, diare masih merupakan penyebab utama kematian anak berusia di bawah
lima tahun. Laporan Riskesdas 2007 menunjukkan diare sebagai penyebab 31% kematian anak
usia antara 1 bulan hingga satu tahun, dan 25% kematian anak usia antara satu sampai empat
tahun. Angka diare lebih tinggi sebesar 66% pada anak-anak dari keluarga yang melakukan buang
air besar di sungai atau selokan dibandingkan mereka pada rumah tangga dengan fasilitas toilet
pribadi dan septik tank (UNICEF Indonesia, 2016). Sebuah penelitian di Indonesia menyebutkan
bahwa keluarga yang berperilaku OD dan tidak mempunyai jamban berisiko 1,32 kali anaknya
terkena diare akut dan 1,43 kali terjadi kematian pada anak usia dibawah lima tahun (Semba et al,
2011). Target penemuan penderita diare yang diobati di puskesmas dan kader adalah 3041
kasus (10%), sedangkan pencapaian yang didapatkan oleh puskesmas Ngletih kota Kediri
sebanyak 641 kasus atau sebanyak 189% dari keseluruhan pasien yang berkunjung ke
puskesmas Ngletih. Penyakit diare menempati peringkat ketujuh dari sepuluh penyakit
terbanyak di puskesmas Ngletih Kota Kediri (Data Primer Puskesmas Kediri, 2015).
1.3.2 Manfaat
1.3.2.1 Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai bahan masukan tambahan bagi penelitian lebih lanjut tentang faktor
faktor yang mempengaruhi open defecation dengan lebih mengarah pada sub
variabel yang spesifik dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan.
1.3.2.2 Bagi Instansi Kesehatan
Sebagai bahan tambahan literatur tentang penanganan dan pencegahan open
defecation dan masukan dalam evaluasi program serta sebagai bahan
pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan kebijakan dan perbaikan