Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para
filosof

kuno

sama

sekali

tidak

menyesali

kesalahpahamanan mereka dalam memaknai kebebasan manusia,


karena mereka meyakini bahwa Tuhan telah menciptakan dua
bentuk manusia, yang satu diberi kemurahan dengan kebebasan
dan kemerdekaan, dan yang lain dihukum dalam perbudakan.
Namun begitu, seseorang yang diberi kebebasan tidak memiliki
kebebasan personal kecuali yang bersubyek pada kepala keluarga
dan pemimpin pemerintahan. Cacatan sejarah mengindikasikan
bahwa pemerintahan di masa lampau turut campur dalam setiap
aspek kehidupan. Mereka memainkan peranan yang signifikan
dalam peraturan keluarga, institusi pendidikan, agama, moralitas,
tingkah laku, juga dalam penentuan harga barang dagangan dalam
transaksi bisnis. Campur tangan pemerintah dalam kehidupan
pribadi masyarakat ini sangat jauh berbeda dengan hukum Yunani
kuno, yang melarang perempuan meninggalkan rumahnya kecuali
dalam

kondisi-kondisi

tertentu.

Kehidupan

sehari-sehari

yang

demikian ini mirip kehidupan militer, di mana penguasa dapat


memerintahkan

apa

pun

yang

ia

inginkan,

kapan

pun

ia

menghendaki dan penduduk di dalamnya harus bisa mematuhinya.


Seperti halnya dunia yang lebih berperadaban, individualitas
sedikit demi sedikit meninggalkan beban otoritasnya, meluaskan
bidang kekuasaannya, dan membalikkan situasi seperti apa yang
sebelumnya

telah

dianggap

sebagai

prinsip

umum.

Sebuah

peradaban bisa berjalan lama jika membiarkan individu-individunya


bergerak sebebas mungkin.1
Kebebasan menggiring umat manusia untuk bisa maju dan
berjejak pada kebahagiaan. Kebebasan dianggap sebagai salah satu
1. Qasim Amin, Sejarah Penindasan PEREMPUAN Menggugat Islam Laki-laki,
Menggurat Perempuan Baru , (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 47-48.
1

hak manusia yang paling berharga oleh bangsa yang memahami


rahasia kesuksesannya. Kebebasan (freedom) di sini memiliki
makna sebuah independensi pemikiran, kehendak dan tingkah laku,
selama tidak melebihi batas keabsahan dan mampu memelihara
standar moral masyarakat.
Inilah kebebasan dengan beberapa parameter yang luas yang
seharusnya menjadi dasar pendidikan perempuan. Beberapa orang
merasa heran pada permintaan terhadap kebebasan perempuan.
Persoalannya,

apakah

perempuan

tetap

harus

hidup

dalam

perbudakan?2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada beberapa pokok masalah yang
akan menjadi fokus dan titik pembahasan pada makalah ini:
1. Bagaimana Perempuan Berkarier diluar Rumahnya?
2. Bagaimana Kewajiban Perempuan Terhadap Keluarganya
3. Kepemimpinan perempuan dalam keluarga?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengeksplorasi Peran Perempuan Sangat Memberi pengaruh besar terhadap
Keluarganya.
2. Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam Dan Gender.

2. Ibid., hlm. 49-50.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perempuan Yang berkarir di luar Rumah


Kalau kita lihat Sang Laki-Laki (Suami) yang perannya sangat besar dalam
bertanggung jawab mencari nafkah, namun keberhasilan seorang suami dalam
karirnya (pangkatnya dan jabatan) banyak sekali didukung oleh motivasi, dan kasih
dan doa seorang istri. Sebaliknya, keberhasilan karier istri juga didukung oleh
pemberian akses, motivasi dan keikhlasan suami. Oleh karena itu, dalam perannya
sebagai Istri, istri dapat melakukan peran-peran yang seimbang, diantaranya:
1. Berbagai rasa suka dan duka serta memahami peran, fungsi dan kedudukan suami
maupun istri dalam kehidupan sosial dan profesinya, saling memberikan
dukungan, akses, berbagai peran pada konteks tertentu dan memerankan peran
bersama

dalam

konteks

tertentu

pula.

Misalnya

pada

keluarga

yang

memungkinkan untuk berbagi peran tradisional domestik secara fleksibel sehingga


dapat dikerjakan siapa saja yang memiliki kesempatan dan kemampuan di antara
anggota keluarga tanpa memunculkan diskriminasi gender, maka berbagi peran ini
sangat baik untuk menghindari beban ganda bagi salah satu (suami atau istri,
maupun anggota keluarga lainnya).
2. Memposisikan sebagai istri sekaligus ibu, teman dan kekasih bagi suami. Peran
Istri dalam konteks ini dapat menumbuhkembangkan rasa mawadah, ramah, dan
sakinah, karena terdapat upaya untuk memposisikan keduanya dalam memperoleh
hak-hak dasarnya dengan baik.
3. Menjadi teman diskusi, bermusyawarah dan saling mengisi dalam proses peran
pengambilan keputusan. Peran pengambilan keputusan merupakan peran yang

cukup urgen, dan berat jika hanya dibebankan terus menerus pada salah satu di
antara suami dan istri.3
Pembakauan peran suami dan istri secara dikotomis publik-produktif
diperankan oleh suami, sedangkan peran domestik-reproduktif merupakan peran
istri telah mengakar dimasyarakat. Pembakauan peran ini sesungguhnya tidak
menjadi masalah jika istri menghendaki, memutuskan untuk memilih menjadi ibu
rumah tangga

tanpa tekanan siapapun, dan didasari oleh argumentasi dan

pertimbangan yang justru memberikan kenyamanan bagi istri, maka pemilihan


peran ini tidak menjadi persoalan.
Dalam konteks yang lebih luas, keluarga mengalami perubahan-perubahan
pola hubungan, gaya hidup, dan nilai-nilai yang dianut, sejalan dengan perubahan
masyarakat. Ketika masyarakat mengandalkan cocok tanam sebagai mata
pencaharian khususnya pada masyarakat nomaden dan agraris, laki-laki dan
perempuan bekerjasama dalam mencari penghidupan melalui pengolahan tanah
dengan pola pembagian kerja satu rumpun dengan tingkat kesulitan yang tidak
menimbulkan disparitas beban kerja.
Namun berbeda ketika perubahan sumber penghasilan lebih bervariasi,
seperti berdagang, bekerja di pabrik, di perkantoran dan sebagainya, turut
merubah pola pembagian kerja yang tidak lagi serumpun tetapi telah terbagi ke
dalam ranah terpisah yaitu publik dan domestik. Pada pembagian wilayah kerja ini
laki-laki mengambil wilayah kerja publik, sedangkan perempuan di wilayah
domestik. Peran-peran di wilayah publik mempunyai karakteristik menantang,
dinamis, leluasa, independen, diatur dengan jam kerja, prestasi, gaji, jenjang
karier, kemudian dikenal dengan peran produksi yang langsung mengahasilkan
uang. Sebaliknya, karakteristik peran pada ranah domestik antara lain statis,
sempit, tergantung, tidak ada jenjang karier dan penghargaan, tidak menghasilkan
uang, tidak mengenal jadwal kerja, yang kemudian dikenal dengan peran
reproduksi.
Peran produktif diambil oleh laki-laki karena dia dianggap lebih kuat,
struktur dan kekuatan fisiknya mendukung, memiliki kelebihan emosional
maupun mental di banding laki-laki, berani mengahadapi tantangan, tanggung
jawab, dan mandiri. Pencitraan pada perempuan seperti ini telah berlangsung
sangat lama, bahkan sulit untuk dilacak awal mulanya, dan kapan memulainya,
3. Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, (Malang: UINMalang Press, 2008), hlm. 138-139.
4

siapa yang memiliki inisiatif pertama. Oleh karena itu hampir di semua budaya,
adat istiadat termasuk aturan agama di seluruh dunia menempatkan laki-laki
sebagai pencari nafkah untuk keluarganya.
Peran reproduktif menjadi bagian hidup perempuan dengan argumentasi
yang mudah dilacak, bahwa perempuan mempunyai fungsi reproduksi biologis
seperti haid, hamil, melahirkan, menyusui, kemudian dicitrakan sebagai makhluk
yang lemah, tergantung, tidak berani tantangan, harus di kontrol. Peran yang
ditempelkan pada perempuan yang dekat dengan stereotype yang diberikan
kepadanya, seperti bercocok tanam, beternak, merawat dan mengasuh anak,
memasak, mencuci, mengatur rumah dan seterusnya.
Pembagian peran ini sesungguhnya tidak menjadi masalah jika kedua
wilayah tersebut mendapat penghargaan yang setara. Namun kenyataan yang
terjadi di masyarakat justru telah membentuk suatu emage bahwa pekerjaan publik
produktif lebih tinggi karena mendapatkan penghasilan (dibayar). Sedangkan
pekerjaan domestik rumah tangga lebih rendah karena tidak menghasilkan uang.
Pembagian tersebut kemudian berlanjut pada laki-laki (Suami) lebih tinggi
derajatnya dari perempuan (istri) karena dialah yang menjadi tulang punggung
kelauarga, pencari nafkah dan pengendalian hak-hak keluaga ditanggungnya.
Perempuan sebagai pengelola buah kerja suami dari sektor publik,
sepintas dia yang memegang uang, tetapi survey di tingkat Dunia, bahwa aset
perempuan hanya 10% sedangakan laki-laki 90%. Artinya, istri pada
dasarnyahanya mengelola nafkah suami bukan memiliki sepenuhnya. Dalam
kondisi seperti ini sering mengalami perasaan asing terhadap keungan keluarga,
bahkan dialteraleneasi karena dirinya juga bagian dari harta benda milik
suaminya.
Hak property yang tidak seimbang inilah istri menjadi termarjinalkan
dalam kehidupan. Jika dia terpaksa cerai dari suaminya maka beban kehidupannya
lebih berat. Karena itulah mengapa kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi,
istri tetap bertahan dengan penderitaannya,

antara lain karena faktor

ketergantungan secara ekonomi ini.4


Dalam realitas kehidupan masyarakat yang telah mengalami perubahan,
terutama

fenomena

pemenuhan

kebutuhan

dan

upaya-upaya

untuk

mempertahankan hidup keluarga, meningkatnya kebutuhan terhadap pendidikan


dan kesehatan, maka pencari nafkah tunggal Sesungguhnya bukan masalah jika
4. Ibid., hlm. 142-144.
5

telah mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga dapat menciptakan kehidupan


sejahtera dan sakinah. Namun jika pencari nafkah tunggal tidak mampu
mencukupi kebutuhan keluarga, maka dalam kenyataan masyarakat telah terjadi
pergeseran dimana siap atau tidak siap, mampu atau tidak mampu istri mengambil
peran produktif di luar tugas reproduksinya di wilayah domestik.
Masyarakat berpandangan bahwa istri bekerja di luar rumah adalah keluar
dari habitatnya, karena itu masyarakat memberikan label kepada istri sebagai
pencari nafkah tambahan. Kata tambahan pada awalnya dimaksud untuk
membedakan tingkat kewajiban dan tanggung jawab nafkah utama dalam keluarga
adalah suami, namun istilah tersebut menjadi kurang nyaman bagi istri yang
bekerja dengan posisi dan penghasilan suaminya. Istilah inilah yang kemudian
digugat oleh perempuan yang sadar gender, karena terkesan merendahkan peran
perempuan.
Teori perubahan sosial, peran pencari nafkah didasarkan pertukaran antara
suami dan istri. Suami bekerja untuk penyedia nafkah yang ditukarkan kepada istri
dalam bentuk penyediaan cinta, kasih sayang, dampingan, dan layanan dalam
relasi sosial maupun relasi seksual. Karena itu pembagian tugas dikotomis publikdomestik dibakukan sedemikian rupa. Kemudian tahun 70an teori feminis
mengidentifikasi ketidaksetaraan beban kerja suami dengan istri, di mana
pekerjaan istri lebih berat dan berlipat dibanding suami, dari sini muncul
pandangan bahwa peran domestik rumah tangga merupakan eksploitasi istri.
Karena itu perlu perubahan untuk menciptakan keseimbangan beban keduanya.
Perkembangan terkahir, terjadi perubahan peran pencari nafkah secara cepat.
Tidak dapat dielakkan lagi dalam prakteknya, siapa menafkahi siapa menjadi
rancu. Teori pembagian peran dikotomis berubah menjadi teori perubahan peran
pencari nafkah, dimana suami dan istri sama berperan sebagai pencari nafkah.5
Di seluruh Amerika.perempuan memperoleh bagian yang luas dari hak
publik mereka. Perempuan telah memiliki kebebasan untuk mengaplikasikan
hukum dan membela beragam kasus sebelum ke pengadilan. Banyak terdapat
hakim perempuan di daerah Kansas dan Wyoming (sebaik di kolombia, Chili dan
Selandia Baru). Beberapa perempuan telah ditetapkan sebagai penuntut umum,
namun jumlah yang signifikan terdapat di Departemen Luar Negeri, Departemen
Dalam Negeri dan Departemen Pertahanan. Pada akhirnya, salah satu dengan
5. Ibid., hlm. 146-148.
6

susah payah dapat menghitung angka perempuan yang menjadi stenograf (ahli
tulisan kuno), menteri, insinyur, editor, pejabat dalam observatorium, atau bekerja
pada pelayanan pos dan pegawai telegrap. Banyak juga perempuan yang
menempati posisi di Departemen Pendidikan. Di sekolah-sekolah dasar, 95% dari
mereka adalah stafnya.
Untuk menunjukkan kemajuan perempuan di Amerika, cukup dengan
melihat sensus tahun 1880 yang mengindikasikan bahwa 75% perempuan
memiliki profesi dalam ilmu pengetahuan dan kesenian, 63% dalam bidang
perdagangan dan 62% dalam bidang industri.
Sementara bila kita memperhatikan Inggris, negara yang sangat mirip
dengan Amerika, kita akan menemukan bahwa keterlibatan perempuan dalam ilmu
pengetahuan dan industri kurang signifikansinya. Menurut data statistik yang
berakhir, 1 juta perempuan bekerja pada bidang ilmu pengetahuan dan kesenian,
sementara 3 jutanya berkecumpung dalam bidang perdagangan dan industri.
Perempuan Inggris memiliki hak pilih dalam pemilihan wali kota, dalam
masyarakat yang terpelajar dan organisasi kedermawanan. Perempuan juga
menikmati hak tersebut di sebagian daerah jajahan Inggris di Afrika Selatan,
Kanada dan Australia.6
Pada umumnya, kontradiksi yang banyak terjadi di antara kita dan bangsa
Barat adalah pada pemahaman sifat-sifat manusia, dan pengertian terhadap
individualitas manusia. Dengan demikian, mereka telah memberikan perempuan
hak yang sama, yang mereka telah memberikan perempuan hak yang sama, yang
mereka nikmati dalam kehidupan mereka. Mereka tidak mempersilahkan hak
perempuan pada kebebasan fisik dan mental. Satu-satunya pemaksaan ialah
tingkah laku yang dilarang oleh desensi (kesopanan). Tapi mereka membantu
persoalan tentang kesamaan perempuan dalam lingkup publik. Beberapa orang
merasakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kerja publik berada di luar peran
naturalnya, sementara yang lain berpendangan bahwa peran naturalnya ini tidak
menempati seluruh kehidupan perempuan dan telah ditentukan atas kesejajaran
antar seks (jenis kelamin) dalam kehidupan publik
Mengenai kita, masih belum menganggap bahwa perempuan memiliki
status seperti laki-laki. Pikiran kita belum mampu untuk memahami kebenaran
yang nyata tentang humanitas perempuan. Kita telah merampas semua hak
6. Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan Menggugat Islam Laki-laki
Menggurat Perempuan Baru , (Yogyakarta:IRCiSoD, 2003), 36-38.
7

kemanusiaan perempuan, dan telah mencegahnya untuk menikmati semua haknya.


Perempyan mungkin juga telah berpengalaman dalam publik dan dalam bidangbidang khusus.7
B. Kewajiban Perempuan terhadap keluarganya.
Setiap orang mengakui bahwa status dan manajemen keluarga yang paling
utama adalah responsibilitas perempuan. Walaupun begitu, tidak semua orang
memahami responsibilitas ini dengan cara yang sama. Mayoritas orang melayani hal
itu dengan mengatakan bahwa perempuan akan melayani suami dan dan anakanaknya jika keluarganya miskin yang menjalankan tugas ini jika keluarganya kaya.
Di sinilah mayoritas pikiran orang-orang keterbekukan.
Padahal, inilah kesalahan kita yang telah mereduksi hak perempuan di
semua tingkatan masyarakat. Setelah mencabut hak perempuan, dan merampas
kesempatan mempersiapkan dirinya untuk mencari penghasilan hidupnya, kita telah
membatasi lapangan pekerjannya dengan beban keluarga. Dan pernyataan ini lebih
jelas menunjukkan adanya interpendensi dalam semua masalah yang berkaitan
dengan kemajuan perempuan. Pendidikan yang baik bertujuan untuk mengembangkan
keterkaitan perempuan yang memiliki pengaruh yang signifikan dalam keluarganya,
dengan

menggugat

kebodohan

atau

perbudakan

perempuan

yang

hanya

mengakibatkannya tidak memiliki otoritas lain di rumahnya daripada sekedar seorang


pimpinan pelayan.
Kaum Muslim telah kadung beranggapan bahwa independensi perempuan
dan membebaskannya memperoleh pendidikan yang luas telah melampui urusan lakilaki, yang hanya akan melalaikannya dari tanggung-jawabanya terhadap keluarga.
Mereka telah memisah kesempurnannya dari dunia luar dengan keyakinan kondisi
tersebut hanya akan merusak tangung-jawabnya terhadap suaminya, manajemen
rumah tangganya dan pengasuhan anaknya. Tetapi bila melihat hasilnya, sungguh
kenyataan ini berseberangan dengan apa yang kita harapkan. Perempuan Mesir tidak
mampu berinteraksi dengan suaminya, tidak sanggup mengatur rumah tangganya, dan
tidak layak mendidik anak-anak mereka.
Hal ini karena semua tingkah laku manusia, bagaimana pun mereka
berubah-ubah, berasal dari satu sumber ilmu pengetahuan dan emosi. Jika sumber ini
tersaring, maka dampaknya pada segala sesuatu dapat dipertimbangkan, berguna, dan
pantas untuk dihargai. Dan bila hal itu berada pada tingkatan inferior, maka
dampaknya hanyalah kenistaan, marabaya dan karenanya layak dicela.
7. Ibid., hlm. 44-45.
8

Kita melihat seperti yang dialami perempuan Mesir saat ini, juga tercakup
penjelasan tentang peranan yang tidak begitu penting dalam keluarga. Namun begitu,
ketidakmampuan perempuan kita saat ini untuk melakukan berbagai responsibilitas
yang dipercayakan pada mereka tidak menjadikannya berputus-asa pada peluang
kemajuan mereka atau memastikan kita untuk menilai bahwa mereka tidak sanggup
untuk mencapai standar yang diharapkan.
Perempuan memiliki responsibilitas yang lebih ekstensif dari yang kita
pikirkan. Mendidik anak-anak adalah salah satu responsibilitas terpenting. Melalui
pertimbangan dan komparasi kita tentang statistika kematian bayi yang ada di london,
kita akan memperoleh beberapa wawasan pada tingkat kebodohan perempuan Mesir.
Kematian bayi Mesir lebih banyak dua kali lipat dari pada di London: Statistika
Public Health Office tahun ini dengan keterangannya menyatakan bahwa tingkat
kematian anak di bawah usia lima tahun di Kairo adalah 145 per 1000 dibandingkan
dengan 68 per 1000 di London.
Jika sehat dan sakit, kehidupan dan kematian, anak-anak kita berkaitan
dengan cara didikan perempuan kita, lalu apakah itu bukan karena lemahnya pikiran
dan kebodohan yang ditimpakan pada mereka dengan menempatkan mereka pada
ketakhayulan seorang pembantu yang menyusui bayi orang lain dan nasehat
perempuan tua yang ditujukan pada anak-anak kita hanya sebagai kesenangan mereka
belaka?
Jumlah anak yang terbunuh oleh kebodohan perempuan setiap tahunnya
melebihi jumlah orang yang mati dalam kekejaman peperangan. Banyak perempuan,
karena kebodohan mereka tentang kesehatan menjadi penyebab penyakit kronik
terhadap anak-anak mereka, dengan memberikan beban yang berat bagi mereka untuk
bisa menggapai kebahagiaan hidupnya kelak. Bila seorang ibu memahami kesehatan
anak, rumah, pakaian, tidur, dan bermain yang mempengaruhi jasmaninya, maka ia
akan melindunginya dari sumber penyakit berdasarkan pengetahuannya tentang
kesehatan. Dan bila seorang ibu bertanggung-jawab atas baik buruknya kesehatan
anaknya, maka ia tidak akan membiarkannnya terjerumus kedalam marabahaya. Akan
tetapi bagaimana ia akan mendapatkan pengetahuan kalau kebodohan senantiasa
menindihnya sehingga ia berpikir bahwa sesuatu yang terjadi pada anaknya tidak
memiliki penyebab yang jelas?
Mendidik anak memiliki keterkaitan yang besar dengan ilmu pengetahuan.
Mayoritas semua ini berkaitan dengan prinsip-prinsip kesehatan, dan pengetahuan
tentang prinsip-prinsip ini menuntut hubungan yang kuat dengan bidang pengetahuan
9

lain yang memfasilitasi pemahaman mereka. Seorang ibu seharusnya mengenal


bagaimana cara yang terbaik untuk memberi makan pada anak-anaknya. Sejak tubuh
berkembang teratur, otot dan jaringan otak membutuhkan makanan yang baik.
Beberapa sarjana kedokteran mengklaim bahwa negara yang memiliki makanan yang
lebih baik akan mampu mengurangi konsumsi makanan yang kurang bergizi. Seorang
ibu seharusnya juga mengetahui bagaimana cara melindungi tubuh anaknya dari panas
dan dingin, dan mengetahui temperatur yang baik untuk memandikan anaknya. Ia
seharusnya menyadari udara yang segar dan sinar matahari dapat memberikan
pengaruh yang baik bagi kesehatan anak sehingga ia tidak akan mencegah anaknya
untuk menikmati semua itu. Cara yang sama juga dapat dilakukan dengan
memperhatikan tidur, bermain, dan lain sebagainya.
Spiritualitas, intelektualitas dan kapabilitas moral anak merupakan aspek
lain yang sangat signifikan yang harus ibu pahami. Kebodohan perempuan pada aspek
ini terhadap kehidupan anak bisa mengakibatkan keburukan moralnya. Mengingat
cara perempuan Mesir membesarkan anak-anak mereka, anda akan menyadari bahwa
semua itu tidak merefleksikan kecakapan seseorang yang menhargai konsekuensi
tingkah laku mereka. Sebagai misal, seorang ibu melarang anaknya bermain karena
itu dianggap mengganggunggnya. Ia tidak menyadari bahwa dengan melarangnya
bermain berarti telah menghalangi pertumbuhan dan perkembangannya. Lalu ketika
ia ingin menanamkan kedisiplinan padanya, ia mengancamnya dengan hukuman atau
menakutinya dengan figur imajiner yang menimbulkan fantasi dalam pikiran anak
yang akan menghantuinya dalam setiap jenjang hidupnya. Ia juga berjanji padanya
untuk memberinya hadiah yang ia sendiri sebetulnya tidak bisa memenuhinya,
sehingga dapat menghadirkan gambaran seorang pembohong pada anak. Ini
menyebabkannya kehilangan kepercayaan pada apa yang ibu katakan. Ia sering kali
menunjukkan kemarahannya dengan mencaci anaknya, dengan suara yang keras atau
dengan ancaman fisik padanya: hal ini adalah bukti yang terjelas baginya bahwa ia
tidak mampu mengendalikan atau menenangkan dirinya, padahal tentu saja
kemarahannya tidaklah pantas bagi seorang ibu. Saat ia mengamati relasi anaknya
ketika ia memarahinya dan menyadari bahwa itu tidaklah dibutuhkan, ia memeluknya
dan tersenyum pada dan membisikkan apologi (kata maaf) yang terdalam. Anak yang
bodoh tidak mampu untuk memahami mengapa ia sangat marah pada awalnya dan
tiba-tiba tenang dan damai kembali.

10

Karakter yang buruk ini tidak hanya terjadi pada seorang ibu. Seorang
ayah, karena kebodohan tentang sifat dasar manusia dan kejiwaan anak, menggunakan
pendekatan repulsive dalam membesarkan anak mereka atau dengan cara yang tidak
masuk akal seperti yang dipergunakan oleh perempuan. Menghina dan memaki anak,
sebagai contoh, adalah salah satu tingkah laku yang paling tidak disukai, yang
dilakukan seorang ayah terhadap anak mereka. Makna seperti itu seringkali tidak
dapat dimengerti oleh anak dan seingkali pula di tanggapai kembali dengan
pengulangan ekspresi sikap yang serupa. Seoarng ayah seringkali menganggap
jawaban yang demikian membuat orang tertawa, refleksi kejenakan anak: ayah
tertawa, menganggap kata-kata anaknya adalah pertanda yang baik bagi
kesuksesannya di masa yang akan datang. Seorang ayah juga memerintah anaknya
terhadap suatu hal yang tidak ada gunanya. Dan bila si anak tidak mematuhi, ia akan
menerkamnya seperti binatang liar, memukulnya dengan sembarangan ke setiap
bagian tubuhnya. Hal ini tidak akan terjadi bila ayah tidak merasa bahwa
ketidakpatuhan anaknya sebagai sebuah pelanggaran terhadap otoritasnya atau
penghinaan terhadap kewibawaannnya.
Jika seorang ayah memahami bahwa tingkah lakunya terhadap anaknya
memiliki pengaruh yang kuat padanya, ia tidak akan membiasakannya pada tingkah
laku yang tidak disetujui anak. Jika ia tahu bahwa maksud dari membesarkan anak
bukanlah memaksanya untuk patuh pada segala perintahnya tetapi lebih pada
membiasakannya untuk membangun pengendalian dirinya, ia akan menghindari
perintah, ancaman, atau pukulan terhadap anaknya. Perilaku kasar seperti ini tidak
membantu anak untuk memahami pengendalian diri. Di sinilah dibutuhkan upaya
orang tua untuk menerangkan signifikansi pengendalian diri dan konsekuensi tingkah
laku anak, hingga ia menyadari dengan sendirinya bahwa apa pun yang baik dan
buruk akan menimpanya pada responsibilitas yang ia jalani nantinya.
Membiarkan anak mengalami akibat dari tingkah lakunya adalah salah
satu metode pengajaran terbaik padanya yang bermaksud untuk mengenali
pengendalian dirinya. Campur tangan dalam kehidupan anak seharusnya terjadi hanya
ketika menasehati, membimbing, atau menjelaskan akibat dari tingkah laku yang
dilakukannya. Jika seorang anak melakukan suatu hal yang berlawanan dengan
nasehat yang ia dapatkan, maka ia akan mampu menghadapi konsekuensinya.
Pengawasan yang ketat, bagaimana pun juga, harus ditujukan untuk memastikan
bahwa anak tidak melakukan kerugian pada dirinya, dengan intervensi orang tua bila
11

dibutuhkan. Seorang anak akan belajar, pada akhirnya, untuk menjadi seorang yang
dewasa dan percaya diri, yang akan sanggup menjaga dirinya saat tak ada seorang pun
yang mampu melindungi dan mempertahankannya.
yakin bahwa semua kesalahan yang dapat diketemukan di antara anakanak termasuk berbohong, kemalasan, dan kebodohan disebabkan oleh ketidaktahuan
orang tua yang menjadi dasar dalam mendidik anak-anak mereka, melindungi anak
dari penyakit dan menolongnya dengan menanggulangi gangguan jasmani,
membutuhkan pemahaman yang besar terhadap ilmu pengetahuan, maka ilmu
pengetahuan yang lebih ekstensif dan komperhensif juga dibutuhkan bagi anak untuk
membantu pembangunan moral dan fisiknya.
Mayoritas orang menyakini bahwa jalan yang telah didapatkan anak
tidaklah begitu penting. Tetapi yang benar-benar memahami menyetujui bahwa tidak
ada aktivitas menusia, bagaimana pun besarnya, yang tidak membutuhkan
pengetahuan yang lebih ekstensif, perhatian yang teliti, atau usaha yang keras
daripada yang diperlukan dalam mendidik anak. Pengetahuan yang diharapkan harus
datang dari semua disiplin yang bisa menunjukkan pada pemahaman kita terhadap
pembangunan fisik dan spiritualitas manusia. Kerja keras dan perhatian yang besar,
dengan mempergunakan prinsip ini pada semua tahap perkembangan anak yang mulai
saat dilahirkan hingga menjadi dewasa, membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan
pengamatan yang ketat dan pengawasan yang jarang dikaitkan dalam kewajibankewajiban lain. Tetapi itu tidaklah harus diambil dari semua langkah tersebut.
Yakinlah bahwa setiap ibu sepenuhnya mengetahui ekstensivitas disiplin ini. Tapi
yang dibutuhkan, paling tidak, mereka mengenali prinsip-prinsip umumnya, sehingga
akan menguatkan persiapan mereka untuk membesarkan anak-anak mereka.
C. Kepemimpinan Perempuan(Istri) dalam Keluarganya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin
publik, yang berhak adalah kaum lelaki. Kaum lelaki adalah pemimpin kaum wanita.
Dalil yang mereka gunakan adalah surat al-Nisa ayat 34:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
mereka.
Agaknya pendapat mayoritas ini didasarkan pada pendekatan bahasa.
Pertama, mereka menafsirkan kata (qawwamum) dengan pemimpin. Karena itu,
dalam terjemahan al-Quraan Departemen Agama RI, kalimat (Al-Rijalu Qawwamuna
ala al-Nisa) diterjemahkan dengan Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
12

wanita. Kedua, kata ganti (dhamir) (hum) dalam kalimat (badhahum) dipahami
merujuk kepada laki-laki. Sehingga kalimat (b i m a fadhdhalallahu badhahum ala
badhin) dalam ayat itu diartikan dengan oleh karena kelebihan yang diberikan Allah
kepada sebagian mereka (yaitu laki-laki) atas sebagian yang lain (yaitu wanita).
Berdasarkan analisis bahasa, disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah
dibebankan kepada kaum lelaki karena kelebihan yang mereka miliki. Menurut alZamakhsyari (w, 538 H) kelebihan ini terletak pada akal, keteguhan hati, kemauan
keras, kekuatan fisik, dan keberanian atau ketangkasan. Oleh karena itu, kenabian,
keulamaan, kepemimpinan besar yang bersifat publik dan jihad hanya diberikan
kepada laki-laki. Senada dengan al-Zamakhsyari (w. 538 H), al-Alusi (w. 1270 H)
mengemukakan dua kelebihan kaum pria yaitu wahbi dan kasabi. Kelebihan pertama
didapat dengan sendirinya berupa pemberian dari Tuhan. Sedangkan kelebihan kedua
digapai dengan jalan usaha. Menurut Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) kelebihan lakilaki atas perempuan meliputi dua hal, yaitu ilmu pengetahuan (al-ilm) dan
kemampuan fisik (al-qudrah). Akal dan pengetahuan laki-laki, menurutnya, melebihi
akal dan pengetahuan perempuan. Oleh karena itu, untuk pekerjaan-pekerjaan keras,
laki-laki lebih pantas. Dengan redaksi yang berbeda, Muhammad Husain alThabathabai (w. 1981 M) mengungkapkan hal yang senada. Laki-laki, tulisanya,
memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan dalam kekuatan intelektual, yang
oleh karena itu laki-laki lebih tahan dan tabah dalam menghadapi tantangan hidup dan
kesusahan. Sementara kehidupan perempuan adalah kehidupan emosional yang
dibangun atas sifat kelembutan dan kehalusan. Al-Alusi (w. 1270 H) menambahkan
bahwa meskipun ayat tidak mengungkapkan secara langsung persoalan kelebihan
laki-laki, itu karenakan kelebihan laki-laki atas perempuan sudah sangat jelas
sehingga tidak memerlukan lagi penjelasan secar rinci.
Berdasarkan pendapat dan interpretasi mayoritas ulama di atas, maka
terjemahan surat al-Nisa ayat 34 tersebut secara lengkap berbunyi: Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka .
Menjadikan ayat di atas sebagai dasar pelarangan kepemimpinan wanita
ditolak kaum feminis, karena interpretasi tersebut mengabaikan aspek historis dan
analisis bahasa secara mendalam. Dalam kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,
karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) disebutkan bahwa Ibnu Abi Hatim dari
al-Hasan berkata: Seorang wanita datang kepada Nabi. Ia melaporkan karena ditampar
13

oleh suaminya. Nabi berkata: Balas saja. Kemudian turun ayat ini. Akhirnya wanita
ini pulang, sedang ia tidak membalas tamparan suaminya. Masih dalam kita ini, Imam
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) meriwayatkan melalui al-Hasan. Bahwa ada seorang
Anshar memukul istrinya. Lalu istrinya datang kepada Nabi. Ia datang untuk
menuntut balas (qishash) suaminya. Kemudian Nabi Saw. Memanggil mereka untuk
urusan qishash. Lalu turunlah ayat ini. Kedua riwayat di atas menyebutkan bahwa istri
wanita Anshar datang menemui Nabi. Sementara dalam riwayat Ibnu Mardiwih dari
Ali menyebutkan seorang laki-laki Anshar yang datang kepada Nabi dengan istrinya.
Istrinya berkata: Suamiku memukulku hingga melukai wajahku. Suaminya
mejawab: Tidak Nabi. Lalu Nabi Saw. Berkata: Tidak pantas kamu berbuat
begitu. Lalu turunlah ayat ini.
Siapa nama suami-istri tersebut, dan mengapa sang suami menampar muka
istrinya? Ketiga riwayat di atas tidak menyebutkannya. Tetapi dalam buku Asbab
Nuzul al-Quran, karya Ali bin Ahmad al-Wahidi menyebutkannya bahwa ayat alNisa : 34 di atas turun berkenaan dengan kasus istri Saad bin Rabi, seorang
pembesar golongan Anshar. Istrinya bernama Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair
diajak untuk berhubungan badan, tetapi menolak. Lalu Saad menamparnya. Atas
perlakuan Saad, istrinya mengadukannya kepada Rasulullah Saw. Kepada Habibah,
Nabi Saw. Memerintahkan agar ia menjauhi suaminya, dan terhadap Saad akan diberi
hukuman qishash atas sikap kesewenangannya. Akan tetapi, begitu Habibah beserta
ayahnya mengayunkan beberapa langkah untuk melaksanakan qishash, tiba-tiba Nabi
Saw. Memanggil keduanya seraya berkata: Jibril datang kepadaku. Allah
menurunkan Firman-Nya, yang artinya: : Kaum laki-laki itu qawwam bagi kaum
wanita. Selanjutnya beliau bersabda: Ia menginginkan sesuatu tetapi Allah
berkehendak lain.
Berdasarkan sabab al-nuzul (sebab turunnya ayat) di atas, maka konteks ayat
tersebut bukan bekenaan dengan kepemimpinan. Sebaliknya, secara kontekstual ayat
tersebut justru berhubungan dengan kasus rumah tangga. Bahkan lebih khusus lagi,
berkaitan dengan kebutuhan biologis suami. Hal ini dipahami dari sebab penamparan
suami atau penolakan istrinya yang menolak berhubungan badan. Oleh karena itu,
pernyataan ayat tersebut bukan bersifat normatif-yuridis, melainkan pernyataan
sosiologis, karena ia turun berkaitan dengan urusan rumah tangga. Dalam bahasa
Said Aqil Siraj, ayat ini adalah ayat ranjang, dan karenanya tidak benar dijadikan
alasan keharaman kepemimpinan publik perempuan dan Kepemimpinan Dalam
14

keluarga. Tidak berlebihan jika kemudian

Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)

menandaskan bahwa pemimpin wanita bukanlah mani (penghalang) dalam hukum


Islam. Pendapat ini kemudian di kuatkan oleh sebagian ulama Malikiyyah dalam
memberikan legitimasi Ratu Syajaratu al-Dur di Mesir. Oleh karena itu, menurut
kaum feminis, mengartikan kata al-rijal dengan laki-laki kurang tepat. Terjemahan
yang tepat adalah para suami. Sedangkan untuk kata al-nisa diartikan dengan istri,
bukan wanita.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses industrialisasi membuat kondisi wanita lebih buruk lagi.
Industrialisasi memisahkan antara rumah dan publik. Sektor publik
selalu memberi nilai materi, sedangkan pekerjaan rumah tidak.
Akhirnya wanita hanya dianggap sebagai kepala pembantu dalam
rumah tangga. Penguasaan pria terhadap basis material yang lebih
besar yang membuatnya mampu menafkahi keluarganya menjadikan
posisi suami lebih kuat dalam keluarganya dibanding istri serta dan

15

anak-anaknya. Dalam kondisi ini, tegas Haedar Nashir, berimplikasi


terhadap ketergantungan ekonomi mereka pada kepala keluarga.
Sedangkan ditilik dari perspektif Islam, ketentuan Undang-undang
tersebut

tidak

mencerminkan

prinsip

kesetaraan

Laki-laki

dan

perempuan. Dalam al-Quran laki-laki dan perempuan mempunyai


status yang setara di hadapan Allah. Dalam bahasa Riffat Hasan, alQuran tidak menciptakan hierarki-hierarki yang menempatkan laki-laki
di atas perempuan; tidak juga menempatkan keduanya pada posisi
saling

bermusuhan.

Selain

prinsip

tauhid,

keadilan

(al-adalah),

persamaan (al-musawah) dan musyawarah (al-syura), adalah nilai dan


prinsip dasar yang dibawa Nabi Muhammad saw kata Husain. Maka
setiap pendapat yang dijustifikasi pada al-Quran, tetapi bertentangan
dengan prinsip di atas, maka itu bukanlah ajaran al-Quran, tegas
Khalid. M. Khalid. Karena itu, segala bentuk ketidakadilan, seperti
eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dominasi budaya, dominasi
gender, dan segala corak

disequilibirium dan apartheid adalah

bertentangan dengan al-Quran.


Dengan prinsip di atas, maka ulama feminis kontemporer
memaknai ayat 34 surat al-Nisa secara teologis-sosiologis, berbeda
dengan ulama klasik yang memahaminya secara teologis-normatif.
Pendekatan yang disebut terakhir menyimpulkan bahwa laki-laki
adalah pemimpin kaum wanita, karena kelebihan biologisnya dan
karena nafkah yang mereka keluarkan untuk keperluan istri dan rumah
tangga lainnya. Penyimpulan normatif ini akan berbahaya, tulis Riffat
Hasan, jika ayat tersebut ditujukan bukan hanya kepada suami-istri
secara khusus, tetapi juga berlaku bagi umat Islam secara keseluruhan.
Pemikiran ini, membawa pengaruh yang besar terhadap

sistem

patriarki, yang pada akhirnya dianggap sebagai suatu kemampuan dan


doktrin resmi Islam.
Sedangkan pendekatan

pertama

menegaskan

bahwa

ayat

tersebut bukan menunjukkan perbedaan hakiki melainkan fungsional,


tegas Fazlur Rahman. Artinya jika seorang istri di bidang ekonomi dapat
berdiri sendiri, baik karena warisan, maupun karena upaya sendiri, dan
memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka
16

keunggulan suami akan berkurang karena sebagai seorang manusia ia


tidak memiliki keunggulan dibandingkan dengan istrinya. Dengan
ungkapan lain, superioritas tidak otomatis melekat pada diri setiap lakilaki sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang
bersangkutan memenuhi kriteria: memiliki kelebihan dan memberikan
nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki tetapi juga bagi
perempuan. Di samping ayat itu sendiri tidak menyebutkan bahwa
semua laki-laki otomatis superior atas perempuan, ungkap Amina
Wadud Muslim, seorang feminis Malaysia.8
Secara sosiologis kelebihan laki-laki

memberikan

nafkah,

disebabkan dua hal, kata Engineer, yaitu: Pertama, karena kesadaran


sosial perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan
domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan. Kedua, Karena lakilaki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan
kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
perempuan.
Apabila kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh, bahwa
peran-peran

domestik

yang

mereka

lakukan

harus

dinilai

dan

diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif secara ekonomi, dan bukan


semata-mata merupakan kewajiban yang harus mereka lakukan, maka
perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki terhadap mereka
tidak lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki. Karena peran
domestik

yang

dilakukan

perempuan,

maka

laki-laki

harus

mengimbanginya dengan melindungi dan memberikan nafkah yang


oleh al-Quran disebut sebagai qawwam itu. Dengan jalan pikiran
seperti itu, menurut Engineer, pernyataan Al-Rijalu Qawwamuna ala
al-Nisa(laki-laki pemimpin kaum wanita, [Q.S. Al-Nisa: 34]) bukanlah
pernyataan normatif, melainkan pernyataan kontekstual. Atau dalam
ungkapan Said Aqil Siraj, ayat itu bersifat sosiologis dan bukan
yuridis-legalistik.
Dengan Demikian, Islam sangat menghargai dan mengangkat
harkat

martabat

kaum

wanita.

Islam

sesungguhnya

tidak

8. Sofyan A. P. Kau, Fikih Alternatif, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2013), hlm.


188-191.
17

mengharuskan para suami harus menjadi pemimpin rumah tangga.


Demikian juga tidak mewajibkan para istri untuk tetap bekerja di sektor
domestik.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Qasim, Sejarah Penindasan Perempuan Menggugat Islam Lakilaki, menggurat Perenpuan Baru, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, cet ke-1,
Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Kau, P, A Sofyan dkk, Fikih Feminis Menghadirkan Teks Tandingan, cet ke1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Kau, P, A Sofyan, Fikih Alternatif, cet ke-1, Yogayakarta: Mitra Pustaka,
2013.

18

Anda mungkin juga menyukai