Anda di halaman 1dari 4

Krisis September 7, 2009

Posted by anick in All Posts, Film, Identitas, Indonesia, Kisah, Sejarah.


trackback
Ia hadir tapi ia asing di kantor itu: seorang bekas ge rilyawan di kehidupan yang
ditentukan oleh daftar absen. Oleh pukul 8-13. Oleh lajur lurus di permukaan kertas.

Dalam film Lewat Jam Malam, Iskandar (dimainkan dengan bagus oleh A.N. Alcaff)
akhirnya hanya duduk: bi ngung tak tahu mau apa, malu pada diri sendiri dan
nyaris putus asa. Revolusi sudah tak ada lagi, debur jantung menghadapi mati atau
hidup, kalah atau menang, menye rah atau berkorban, kini jauh. Yang disaksikannya
cuma kemenangan yang diborong si culas dan korban yang jatuh tanpa ada
hubungannya dengan usaha kemerdekaan.

Apa arti hari ini? Film yang dibuat pada 1954 ini agaknya merumuskan zamannya: si
bekas pejuang (kata itu lazim waktu itu) makin tampak sebagai bekas, dan arti
pejuang makin jadi kabur. Iskandar pada akhirnya seperti ampas: ia tak
melakukan hal yang berbahaya tapi tertembak mati oleh polisi militer republik yang
ditegakkannya.

Pada 1950-an, republik itu tengah ingin jadi republik yang normal, dan normalisasi
memang membasmi yang dianggap ganjil dan asing. Rasa kecewa pun meluas di
antara mereka yang tersisih. Kelesuan berkecamuk. Juga rasa ngilu, lelah, dan
pedih, dengan kenangan tentang sebuah masa yang penuh suspens tapi telah
hilangperasaan yang oleh Ramadhan K.H. disebut royan, mirip yang dialami
seorang ibu sehabis melahirkan, seperti dilukiskannya dalam novelnya Royan
Revolusi.

Pada suasana itu, ada satu kata yang tak putus-putusnya diutarakan: krisis. Koran
dan majalah di Jakarta masa itu gemar menyebutnyaseakan-akan Indonesia
seperti tergambar dalam film Krisis yang dibuat Usmar Ismail pada 1953: ruang
hidup yang sesak, hubungan manusia yang getir tapi menggelikan, dan tak ada
jalan keluar.

Para cendekiawan juga bicara. Soedjatmoko menulis dalam majalah kebudayaan


yang baru terbit pada Agustus 1954, Konfrontasi, dengan kalimat seperti ini:

Pada hakikatnya krisis politik yang dialami oleh

rakyat kita sekarang ini tidak lain merupakan

gambaran dari apa yang terlihat di lapangan

kebudayaan dan kesusastraan gejala-gejala

kekacauan, kelemahan, kehilangan kepercayaan,

dan lenyapnya nilai-nilai.

Mulanya ia berbicara tentang krisis dalam sastra Indonesia, tapi keadaan sekitar
juga ia lihat gawat tampaknya. Kini kita tak mudah membayangkannya. Seorang
cende kiawan lain, Boejoeng Saleh, tak sepenuhnya menyetujui tulisan di
Konfrontasi itu. Dalam majalah Siasat pada bulan yang sama ia membantah
Soedjatmoko. Tapi ia juga bicara tentang krisis.

Untuk memajukan kesusastraan agar lebih mendekati

keinginan-keinginan kita (yang akan selalu

bertambah besar), perlu diadakan krisis ekonomi,

politik, dan sosial yang ada saat ini.

Kita bisa melihat, kedua suara itu praktis paralel. Keduanya bersungguh-sungguh.
Dengan catatan: dalam banyak hal Boejoeng Saleh lebih unggul. Argumennya
menunjukkan ia punya acuan ke sejarah sosial Indonesia. Pilihan katanya disertai
tanggung jawab; ia tak cuma latah dengan kata krisis. Bahasa Indonesianya hidup
dan lebih segar (ia pakai perumpamaan pisang berkubak dan ia perkenalkan kata
gawai). Dan bila Soedjatmoko bicara tentang krisis kesusastraan tanpa
menunjukkan contoh, Boejoeng Saleh menangkisnya dengan menyebut sederet
judul roman Indonesia mutakhir.

Jalan keluar dari krisis yang ditawar -kan Boejoeng Saleh juga terasa lebih tegas. Ia,
seorang pendukung PKI yang piawai, mengatakan perlunya mengendalikan
revolusi nasional demokratis kita. Soe djatmoko, yang tak datang dengan
perlengkapan teori Marxis-Leninis tentang dua-tahap-revolusi, hanya menawarkan
imbauan normatif yang sudah biasa: pengerahan tenaga nasional yang bulat,
dengan melepaskan diri dari pertengkaran-pertengkaran. Ia terlampau gampang
menganggap masyarakat bisa bulat dan hidup tanpa pertengkaran.

Tapi di sisi lain Boejoeng Saleh punya kelemahan seperti Soedjatmoko: kedua
cendekiawan tahun 1950-an ini memandang sejarah sebagai satu feuilleton.
Riwayat manusia mereka lihat sebagai sebuah kontinuitas dengan ruas-ruas yang
tegas terpisah. Bila mereka bicara tentang krisis, mereka bicara tentang sebuah
ruas yang buruk dari cerita bersambung yang sama.

Saya kira akan lain analisisnya seandainya mereka memandang sejarah sebagai
cerita pendek yang berhamburan. Masing-masing punya krisis-nya, tapi juga
punya yang bukan-krisis dan kontra-krisis. Tiap cerita mencoba, dengan sia-sia,
menyatukan multiplisitas yang tak tepermanai itu, tapi ragam yang ada senantiasa
tak konsisten.

Mengabaikan ragam itulah yang membuat orang bicara tentang krisis atau
keadaan terpuruk seraya melihat kini sebagai satu totalitas, sambil
membandingkannya dengan totalitas sebelumnya. Bila mereka mengeluh, keluhan
itu diterjemahkan sebagai ingatan. Nostalgia berkuasa: jika kita bicara tentang
orang masa lalu (Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan seterusnya), mereka selalu
dikatakan lebih baik ketimbang generasi hari ini.

Tak aneh jika banyak orang duduk, terhenyak, melihat kini bukan sebagai kini,
melainkan sebagai masa silam yang cacat. Seperti Iskandar, mereka tak berbuat
apa-apa. Sampai lewat jam malam yang tak mereka tentukan. Sampai korban jatuh,
kadang-kadang tak sengaja.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 September 2009~

Anda mungkin juga menyukai

  • Lampiran Se Angk Xxvi 2020
    Lampiran Se Angk Xxvi 2020
    Dokumen7 halaman
    Lampiran Se Angk Xxvi 2020
    Affannul Hakim
    Belum ada peringkat
  • Latihan Cerpen
    Latihan Cerpen
    Dokumen2 halaman
    Latihan Cerpen
    Awaluddin Andhy M
    0% (1)
  • Morning Report 3-9 April 2019
    Morning Report 3-9 April 2019
    Dokumen11 halaman
    Morning Report 3-9 April 2019
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Belajar Menulis Adalah Belajar
    Belajar Menulis Adalah Belajar
    Dokumen8 halaman
    Belajar Menulis Adalah Belajar
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Morning Report 3-9 April 2019
    Morning Report 3-9 April 2019
    Dokumen11 halaman
    Morning Report 3-9 April 2019
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Dasar Dasar Menulis
    Dasar Dasar Menulis
    Dokumen9 halaman
    Dasar Dasar Menulis
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga 8-14mei
    Laporan Jaga 8-14mei
    Dokumen8 halaman
    Laporan Jaga 8-14mei
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Dokumen80 halaman
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Mangun Soegit
    100% (2)
  • Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Dokumen80 halaman
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Mangun Soegit
    100% (2)
  • Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Dokumen80 halaman
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Mangun Soegit
    100% (2)
  • Pohon
    Pohon
    Dokumen4 halaman
    Pohon
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Pram
    Pram
    Dokumen3 halaman
    Pram
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Pada Mulanya Adalah Kertas
    Pada Mulanya Adalah Kertas
    Dokumen5 halaman
    Pada Mulanya Adalah Kertas
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Memberi
    Memberi
    Dokumen3 halaman
    Memberi
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Padri
    Padri
    Dokumen3 halaman
    Padri
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Percakapan Ke 7
    Percakapan Ke 7
    Dokumen4 halaman
    Percakapan Ke 7
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Melihat
    Melihat
    Dokumen3 halaman
    Melihat
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Protes
    Protes
    Dokumen3 halaman
    Protes
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Irfan
    Irfan
    Dokumen3 halaman
    Irfan
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Origami
    Origami
    Dokumen3 halaman
    Origami
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Mereka
    Mereka
    Dokumen3 halaman
    Mereka
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Lupa
    Lupa
    Dokumen3 halaman
    Lupa
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Mati
    Mati
    Dokumen4 halaman
    Mati
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • MAKALAH-Meneliti Nilai Puitika Di Dalam Esai Jurnalistik
    MAKALAH-Meneliti Nilai Puitika Di Dalam Esai Jurnalistik
    Dokumen32 halaman
    MAKALAH-Meneliti Nilai Puitika Di Dalam Esai Jurnalistik
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Kakawin
    Kakawin
    Dokumen4 halaman
    Kakawin
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Marx
    Marx
    Dokumen3 halaman
    Marx
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Isis
    Isis
    Dokumen3 halaman
    Isis
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Hikayat Abdullah
    Hikayat Abdullah
    Dokumen2 halaman
    Hikayat Abdullah
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Hijau
    Hijau
    Dokumen4 halaman
    Hijau
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat