Dalam film Lewat Jam Malam, Iskandar (dimainkan dengan bagus oleh A.N. Alcaff)
akhirnya hanya duduk: bi ngung tak tahu mau apa, malu pada diri sendiri dan
nyaris putus asa. Revolusi sudah tak ada lagi, debur jantung menghadapi mati atau
hidup, kalah atau menang, menye rah atau berkorban, kini jauh. Yang disaksikannya
cuma kemenangan yang diborong si culas dan korban yang jatuh tanpa ada
hubungannya dengan usaha kemerdekaan.
Apa arti hari ini? Film yang dibuat pada 1954 ini agaknya merumuskan zamannya: si
bekas pejuang (kata itu lazim waktu itu) makin tampak sebagai bekas, dan arti
pejuang makin jadi kabur. Iskandar pada akhirnya seperti ampas: ia tak
melakukan hal yang berbahaya tapi tertembak mati oleh polisi militer republik yang
ditegakkannya.
Pada 1950-an, republik itu tengah ingin jadi republik yang normal, dan normalisasi
memang membasmi yang dianggap ganjil dan asing. Rasa kecewa pun meluas di
antara mereka yang tersisih. Kelesuan berkecamuk. Juga rasa ngilu, lelah, dan
pedih, dengan kenangan tentang sebuah masa yang penuh suspens tapi telah
hilangperasaan yang oleh Ramadhan K.H. disebut royan, mirip yang dialami
seorang ibu sehabis melahirkan, seperti dilukiskannya dalam novelnya Royan
Revolusi.
Pada suasana itu, ada satu kata yang tak putus-putusnya diutarakan: krisis. Koran
dan majalah di Jakarta masa itu gemar menyebutnyaseakan-akan Indonesia
seperti tergambar dalam film Krisis yang dibuat Usmar Ismail pada 1953: ruang
hidup yang sesak, hubungan manusia yang getir tapi menggelikan, dan tak ada
jalan keluar.
Mulanya ia berbicara tentang krisis dalam sastra Indonesia, tapi keadaan sekitar
juga ia lihat gawat tampaknya. Kini kita tak mudah membayangkannya. Seorang
cende kiawan lain, Boejoeng Saleh, tak sepenuhnya menyetujui tulisan di
Konfrontasi itu. Dalam majalah Siasat pada bulan yang sama ia membantah
Soedjatmoko. Tapi ia juga bicara tentang krisis.
Kita bisa melihat, kedua suara itu praktis paralel. Keduanya bersungguh-sungguh.
Dengan catatan: dalam banyak hal Boejoeng Saleh lebih unggul. Argumennya
menunjukkan ia punya acuan ke sejarah sosial Indonesia. Pilihan katanya disertai
tanggung jawab; ia tak cuma latah dengan kata krisis. Bahasa Indonesianya hidup
dan lebih segar (ia pakai perumpamaan pisang berkubak dan ia perkenalkan kata
gawai). Dan bila Soedjatmoko bicara tentang krisis kesusastraan tanpa
menunjukkan contoh, Boejoeng Saleh menangkisnya dengan menyebut sederet
judul roman Indonesia mutakhir.
Jalan keluar dari krisis yang ditawar -kan Boejoeng Saleh juga terasa lebih tegas. Ia,
seorang pendukung PKI yang piawai, mengatakan perlunya mengendalikan
revolusi nasional demokratis kita. Soe djatmoko, yang tak datang dengan
perlengkapan teori Marxis-Leninis tentang dua-tahap-revolusi, hanya menawarkan
imbauan normatif yang sudah biasa: pengerahan tenaga nasional yang bulat,
dengan melepaskan diri dari pertengkaran-pertengkaran. Ia terlampau gampang
menganggap masyarakat bisa bulat dan hidup tanpa pertengkaran.
Tapi di sisi lain Boejoeng Saleh punya kelemahan seperti Soedjatmoko: kedua
cendekiawan tahun 1950-an ini memandang sejarah sebagai satu feuilleton.
Riwayat manusia mereka lihat sebagai sebuah kontinuitas dengan ruas-ruas yang
tegas terpisah. Bila mereka bicara tentang krisis, mereka bicara tentang sebuah
ruas yang buruk dari cerita bersambung yang sama.
Saya kira akan lain analisisnya seandainya mereka memandang sejarah sebagai
cerita pendek yang berhamburan. Masing-masing punya krisis-nya, tapi juga
punya yang bukan-krisis dan kontra-krisis. Tiap cerita mencoba, dengan sia-sia,
menyatukan multiplisitas yang tak tepermanai itu, tapi ragam yang ada senantiasa
tak konsisten.
Mengabaikan ragam itulah yang membuat orang bicara tentang krisis atau
keadaan terpuruk seraya melihat kini sebagai satu totalitas, sambil
membandingkannya dengan totalitas sebelumnya. Bila mereka mengeluh, keluhan
itu diterjemahkan sebagai ingatan. Nostalgia berkuasa: jika kita bicara tentang
orang masa lalu (Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan seterusnya), mereka selalu
dikatakan lebih baik ketimbang generasi hari ini.
Tak aneh jika banyak orang duduk, terhenyak, melihat kini bukan sebagai kini,
melainkan sebagai masa silam yang cacat. Seperti Iskandar, mereka tak berbuat
apa-apa. Sampai lewat jam malam yang tak mereka tentukan. Sampai korban jatuh,
kadang-kadang tak sengaja.