Abstract
Post 9/11 terrorist attack, US military foreign policy focused on
facilitating establishment of democracy in Middle East as a fundamental base
in Global War on Terrorism. This policy had been implemented till the war in
Iraq was ended in August 2010 and followed by the transition process in
Afghanistan government which started in early 2011. After that, US closed its
military bases and withdrew its military personnel from Middle East Region
gradually. In November 2011, US government announced that US would
change its military foreign policy focus where Asia Pacific region became the
main priority. The result indicates that this policy is made due to the rising of
China and its possibility of becoming a potential hegemony which can endanger
US position in Asia Pacific. In supporting its objective to do power projection,
China has been developing its military power with high technology and wide
range of attack capacity that possible to create anti-access/ area denial (A2/AD)
towards Sea Lines of Communication (SLOCs) in Asia Pacific. It cause China
estimated as a potential threat to the security and freedom of access in SLOCs
which is vital for US interest. This situation leads US to project and strengthen
its military power through creating and enhancing its military alliances with
Asia Pacific countries.
Key Words: United States Military Foreign Policy, Sea Lines of Communications
(SLOCs), Asia Pacific Region, and the Rising of China
Pendahuluan
Merespon terhadap serangan teroris 11 September 2001, AS di bawah
pemerintahan George Walker Bush menetapkan War on Terror sebagai agenda
utama dalam kebijakan luar negerinya. Hal ini menyebabkan AS aktif terlibat
dalam upaya memerangi terorisme, pemerintahan otoriter, dan penegakan hak
asasi manusia di seluruh kawasan dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Selama kurang lebih 10 tahun AS telah mengerahkan kekuatan militernya,
khususnya dalam hal operasi perdamaian dan stabilitas di Irak dan Afghanistan.
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman. Email: me.khairunnisa@gmail.com
Mencapai dua periode masa pemerintahan, presiden Bush digantikan oleh Barrack
Hussein Obama yang resmi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat pada
Januari 2009. Berbeda dengan Bush yang cenderung memfokuskan implementasi
kebijakan militernya di kawasan Timur Tengah, Obama sejak awal masa
kepemimpinannya telah melakukan berbagai pendekatan dengan negara aliansinya
di Asia Pasifik melalui kunjungan maupun dialog kerjasama keamanan antar
pemerintah khususnya di sub-kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini
disebabkan negara-negara Asia cenderung menjadi second front dalam kerangka
kebijakan militer luar negeri AS pasca terjadinya serangan 9/11 sehingga
mempengaruhi posisi AS di kawasan Asia Pasifik. (Hoadley & Ruland, 2006)
Upaya untuk memperkuat hubungan aliansi AS di kawasan Asia Pasifik sejalan
dengan berlangsungnya demokratisasi di kawasan Timur Tengah. Berakhirnya
perang Irak pada Agustus 2010 dan dimulainya proses transisi dalam
pemerintahan Afghanistan di awal tahun 2011 menyebabkan AS menutup basis
militer dan menarik mundur pasukannya secara bertahap dari wilayah negara
tersebut. Pengurangan kekuatan militer AS di Timur Tengah semakin menguatkan
indikasi perubahan strategi dalam kebijakan militer AS untuk mengalihkan fokus
kebijakan militernya ke kawasan Asia Pasifik. Hal ini kemudian dipertegas oleh
Obama dalam pidato kunjungannya di Australia pada November 2011 bahwa
kawasan Asia Pasifik akan menjadi prioritas dalam kebijakan militer AS.
(www.whitehouse.gov, 2011)
Sejak empat dekade terakhir, negara-negara Asia Pasifik mengalami
perkembangan signifikan khususnya dalam bidang ekonomi dan militer yang
kemudian memunculkan kawasan Asia Pasifik sebagai suatu pusat kecenderungan
aktivitas dunia internasional.(www.apfed.net) Kemajuan signifikan yang dialami
negara-negara Asia Pasifik berdampak terhadap konstelasi politik dan keamanan
di kawasan tersebut. Terjadi peningkatan masalah keamanan yang dihadapi
negara-negara Asia Pasifik, salah satunya ialah meningkatnya klaim kedaulatan
atas wilayah perairan di Laut China Timur dan Laut China Selatan hingga menjadi
potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan bagi negara kawasan. Konflik
wilayah perairan ini terjadi selaras dengan persaingan peningkatan kekuatan
maritim antar negara Asia Pasifik, khususnya China, Jepang, dan India. Diantara
negara-negara yang tengah membangun kekuatan maritim mereka tersebut, China
cenderung dianggap sebagai negara yang memiliki potensi konflik paling dominan
yang dapat mengganggu stabilitas kawasan. (Prabhakar, Ho, & Bateman, 2006)
Situasi tersebut menguatkan kebijakan pemerintah AS untuk mengerahkan
kekuatan militernya ke kawasan Asia Pasifik sebagai misi militer utama. Dan
penelitian ini akan menganalisis latar belakang Pemerintah AS memprioritaskan
kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya tahun 2009-2012.
590
591
SLOCs yang memegang peranan vital sebagai jalur arterial dalam perdagangan
internasional, seperti Laut China Selatan, serta chokepoints di sub-kawasan Asia
Tenggara yang terdiri dari selat-selat. Laut China Selatan merupakan jalur paling
strategis dalam aktivitas perdagangan sumber energi yang memanjang sekitar
1800 mil dari Sumatera hingga Taiwan dan menghubungkan Samudera Pasifik
dan Hindia. Jutaan minyak bumi yang ditujukan ke Jepang, Korea Selatan, dan
China harus melalui Laut China Selatan sebelum mencapai negara tersebut.
Sedangkan, wilayah perairan rimland di sub-kawasan Asia Tenggara yang
meliputi Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar juga
merupakan jalur penghubung yang memiliki peran signifikan dalam aktivitas
pengiriman sumber-sumber energi dari dalam maupun keluar kawasan Asia
Pasifik. Wilayah perairan rimland Asia Tenggara atau dikenal dengan nama choke
points merupakan jalur perairan penting yang terhubung langsung dengan Laut
China Selatan, perairan Pasifik, dan Samudera Hindia.
Bagi ekonomi dan perdagangan AS, SLOCs Asia Pasifik memiliki peran yang
siginifikan dikarenakan hubungan dagang berskala besar yang dimiliki AS dengan
negara-negara Asia Pasifik. Kawasan Asia Pasifik telah menjadi pasar impor
terbesar pertama dan merangkap merupakan penyedia terbesar bagi sumber energi
AS dimana kawasan ini berada dalam peringkat pertama dengan kuota impor
terbesar bagi AS. Selain itu, kawasan Asia Pasifik merupakan sebagai pasar
ekspor terbesar kedua setelah Amerika Utara bagi produk AS mencapai 23,5% di
tahun 2010. Volume ekspor dan impor AS ke negara kawasan Asia Pasifik
mencapai lebih dari 20% dari total volume ekspor impor AS di dunia.
(www.fas.org) Keberadaan negara Asia Pasifik sebagai mitra ekspor impor
perdagangan AS mengharuskan AS untuk melalui jalur SLOCs dalam pengiriman
barang ataupun sumber energi yang berasal maupun menuju ke negara-negara di
Asia Pasifik, seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, Singapura, Indonesia,
Thailand, maupun Vietnam.
Perkembangan ekonomi signifikan yang dialami negara-negara Asia Pasifik
mengakibatkan posisi kawasan ini diprediksikan akan menjadi lebih penting dan
esensial bagi ekonomi Amerika Serikat, sebagaimana meningkatnya kuantitas
dalam jalur perdagangan di SLOCs Asia Pasifik, khususnya Laut China Selatan
dan Selat Malaka. Pemerintahan Obama telah berupaya membentuk Trans Pacific
Partnership (TPP) dan membuat negara-negara Asia menjadi pusat dalam
National Export Initiative AS. Oleh karena itu, stabilitas ekonomi Amerika
Serikat bergantung pada keamanan SLOCs sebagai jalur penghubung vital dalam
perdagangan, pemenuhan kebutuhan energi, dan barang hasil produksi.
Tidak hanya untuk aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek militer dimana jalur
SLOCs memiliki peran signifikan bagi militer AS yang menempatkan personilnya
di wilayah Teluk Persia dan Samudera Hindia. Dalam beberapa dekade terakhir,
593
dan Filipina Selatan). Pada tahun 2020, tujuan China adalah mengembangkan
kekuatan maritim dalam lingkup kawasan yang dapat mencapai Second Chain of
Islands hingga mencapai posisi kekuatan maritim dunia di tahun 2040. Sebagai
resikonya, China kemudian mengembangkan strategi maritim dari green water
navy menuju blue water navy. (www.carlisle.army.mil)
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa ada suatu bentuk adanya persaingan
dalam upaya pencapaian kepentingan yang cukup siginifikan khususnya antara AS
dengan China. AS dan China memiliki kepentingan yang serupa yakni pengaruh
yang besar di jalur SLOCs Asia Pasifik. Sasaran kepentingan yang sama
mengakibatkan timbulnya kondisi pertentangan kepentingan antara AS dengan
China (conflicting interest). Pertentangan kepentingan antara AS dan China
mengakibatkan kepentingan AS di kawasan ini menjadi semakin vital dalam
upaya pencapaiannya. Hal ini ditunjukkan dengan strategi pengerahan kekuatan
militer dalam melindungi kepentingan nasionalnya melalui pembentukan
kerjasama keamanan dan penguatan hubungan aliansi militer dengan negaranegara Asia Pasifik. Perluasan pengaruh China mengkhawatirkan pemerintah AS
karena selain dapat membahayakan pencapaian kepentingan nasionalnya juga
ditakutkan China akan menjadi potensial hegemoni dan menyaingi pengaruh besar
AS di kawasan. Oleh karena itu, pemerintah AS mengambil kebijakan untuk
memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya. Melalui
pengerahan kekuatan militer ke kawasan ini diharapkan pemerintah AS mampu
membendung perluasan pengaruh China yang dikhawatirkan akan berdampak
terhadap stabilitas kawasan secara keseluruhan dan kepentingan nasional AS pada
khususnya.
Kepentingan Amerika Serikat untuk Menjadi Penyeimbang di Kawasan Asia
Pasifik
Sejak berakhirnya Perang Dingin, kekuatan ekonomi dan militer AS di kawasan
Asia Pasifik cenderung semakin melemah, salah satunya dapat dilihat melalui
pemotongan anggaran belanja untuk program kesejahteraan dan misi militernya.
Anggaran pertahanan AS yang mencapai angka sekitar US$ 331 juta pada tahun
1987 menurun signifikan hingga US$ 226 juta di tahun 1996. (Acharya, 2003)
Penurunan anggaran belanja militer menguatkan fakta terjadinya pengurangan
kekuatan dan pengaruh AS secara berkelanjutan di kawasan Asia Pasifik.
Pengurangan kehadiran militer AS secara signifikan di kawasan Asia Pasifik
menimbulkan peluang bagi negara lain untuk menancapkan pengaruh dan
hegemoninya di kawasan. Hal ini juga menimbulkan ketidakpastian akan potensi
konflik maupun ancaman keamanan karena perlombaan peningkatan kekuatan
militer yang terus berkembang mengakibatkan negara-negara Asia Pasifik
kemudian mengalami dilema keamanan serta terganggunya balance of power di
kawasan.
595
Stabilitas Asia Pasifik menjadi semakin sulit untuk diprediksikan seiring dengan
perkembangan kekuatan militer secara signifikan yang dialami oleh beberapa
negara, seperti China, Korea Utara, India, maupun Jepang. Perkembangan negaranegara tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintah AS karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap stabilitas keamanan
kawasan.
Berdasarkan peta perimbangan kekuatan militer kawasan Asia Pasifik dari
Defense of Japan tahun 2009, China merupakan negara dengan kekuatan militer
terbesar di kawasan melebihi kekuatan militer Jepang, Korea Utara, Korea Selatan
dan kekuatan AS di Pasifik. Penguasaan kekuatan militer secara signifikan oleh
suatu negara menjadi suatu potensi ancaman ketika negara-negara lain di kawasan
tidak cukup kuat untuk mengimbangi kekuatan negara tersebut.
Gambar 1. Peta Perimbangan Kekuatan Militer Kawasan Asia Pasifik
berbasis pada kerangka CSS-5 (DF-21). Dalam salah satu media di tahun 2011,
China menyatakan konfirmasi kebenaran bahwa negara tersebut tengah
mengembangkan sebuah Anti-Ship Ballistic Missile (ASBM) yang dikembangkan
dari jenis DF-21 (CSS) Medium-Range Ballistic Missile (MRBM).
ASBMs China atau DF-21D (CSS-5 Mod 5) ditujukan untuk meningkatkan
kapabilitas militer China (People Liberation Army) dengan kemampuan untuk
menempatkan atau melancarkan terminal sensitif sebagai penetrasi peluru
tembakan dan untuk menghancurkan pesawat-pesawat induk milik musuh,
kontrol pusat pesawat induk tersebut, dan berbagai objek militer vital lainnya.
Misil tersebut memiliki lingkup jangkauan hingga 1.500 km yang dilengkapi
dengan kemampuan untuk melakukan maneuver, dan ketika dihubungkan dengan
sistem kontrol maupun komando militer, maka misil tersebut mampu untuk
melakukan serangan terhadap kapal-kapal besar maupun kapal induk yang berada
di wilayah Samudera Pasifik.(www.defense.gov) Kemampuan militer tersebut
memungkinkan China untuk menciptakan Anti-Access/ Area Denial (A2/AD)
diperairan Laut China Selatan hingga mencapai Samudera Pasifik yang tentu
berbahaya bagi kebebasan akses perairan dalam jalur perdagangan internasional.
Anti Access/ Area Denial (A2/AD) dapat terbentuk melalu kemampuan senjata
militer misil balistik dengan jangkauan jarak luas yang dimiliki China. Daya
jangkau misil balistik tersebut memungkinkan China untuk melakukan block
(penutupan) akses bagi negara lain, khususnya di perairan Laut China Selatan.
Disamping karena negara lain di Asia Pasifik tidak memiliki kemampuan setara
dengan misil balistik china, A2/AD merupakan suatu bentuk investasi yang
dimiliki China untuk dapat menyaingi negara yang lebih kuat secara militer,
khususnya AS.
Kemampuan militer China juga memungkinkan China bersifat pre-emptive
ataupun coercive dalam menghadapi krisis stabilitas keamanan kawasan yang
mungkin terjadi dalam perkembangannya terkait berbagai sengeketa wilayah
teritorial, khususnya di wilayah Asia Timur dan Tenggara sebagian besar di
dominasi oleh China. Hingga saat ini, sengketa teritorial tersebut masih belum
terselesaikan secara menyeluruh, bahkan beberapa sengketa telah mencapai
tahapan krisis. Hal ini tentu akan meningkatkan posisi China dalam penyelesaian
sengketa kawasan ataupun penguasaan akses perairan, dimana China dapat
melakukan penekanan secara diplomatis dalam upaya mengurangi ketegangan
sengketa demi pencapaian kepentingan nasionalnya.
Dalam sengketa klaim kedaulatan wilayah, China menunjukkan agresifitasnya
dalam menangani masalah tersebut. China terlibat dihampir semua sengketa
wilayah yang ada di kawasan Asia Pasifik, seperti sengketa pulau Senkaku antara
China-Jepang, sengketa China-Taiwan, klaim sepihak China atas wilayah Aksai
597
Chin dan Arunachal Pradesh yang ditentang oleh pemerintah India, serta sengketa
Laut China Selatan antara China, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina,
Vietnam, dan Taiwan. Untuk sengketa Laut China Selatan khususnya, beberapa
negara yang terlibat hanya mengklaim bagian tertentu dari perairan tersebut,
sedangkan China mengklaim hampir keseluruhan wilayah perairan Laut China
Selatan sebagai kedaulatan teritorialnya. Dalam upaya memperjuangkan klaimnya
tersebut, China mengeluarkan beberapa kebijakan militer, seperti latihan militer
live-fire yang disertai patroli berkala kapal militer China di perairan Laut China
Selatan untuk menegaskan komitmennya atas klaim kedaulatan wilayah perairan
tersebut. Pemerintah China juga melakukan penangkapan atas kapal nelayan asal
Vietnam dan Filipina yang berlayar dan menangkap ikan di perairan tersebut,
serta menganggu proses eksplorasi minyak oleh kapal Vietnam di wilayah
perairan Laut China Selatan. (www.fas.org)
Upaya China semakin agresif dengan menempatkan tiga kapalnya di Scarborough
Shoal sejak April 2012 lalu yang dianggap melanggar batas teritorial Filipina.
Pemerintah Filipina meminta China menarik mundur kapalnya dari perairan
tersebut, akan tetapi tidak mendapat tanggapan positif oleh pemerintah China.
Dalam menghadapi sikap China, pemerintah Filipina kemudian mengajukan
masalah ini untuk ditangani oleh Mahkamah Internasional yang kemudian ditolak
secara tegas oleh pemerintah China.(www.thejakartapost.com) Upaya
penyelesaian yang berlarut-larut serta agresifitas China dalam menghadapi
masalah tersebut menunjukkan keengganan pemerintah China menyelesaikan
sengketa Laut China Selatan dan menerima klaim beberapa bagian perairan
tersebut oleh negara lain.
Peningkatan kekuatan maritim yang signifikan dan perilaku agresif pemerintah
China menjadikan China sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas kawasan
Asia Pasifik. Kecenderungan China untuk menjadi hegemoni di kawasan Asia
Pasifik dapat membahayakan dan mengganggu kondisi balance of power yang
esensial bagi kebebasan akses perairan SLOCs serta perkembangan ekonomi
negara-negara Asia Pasifik dan Amerika Serikat yang cenderung bergantung pada
akses SLOCs tersebut. Sebagai hegemoni Asia Pasifik bukan tidak mungkin
China akan mendominasi akses jalur perairan SLOCs ataupun menetapkan
ketentuan tertentu yang harus dipatuhi oleh negara lain yang lebih lemah daripada
China untuk dapat mengakses jalur perairan SLOCs. Kondisi tersebut tentu akan
melemahkan posisi negara selain China serta membatasi akses SLOCs bagi
mereka. Hal inilah yang mendasari pemerintah AS mengeluarkan kebijakan untuk
memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan militernya. AS memiliki
kepentingan vital untuk menjadi penyeimbang (balancer) dan membatasi
perluasan pengaruh China di kawasan Asia Pasifik.
598
berada di Australia akan bersifat rotasional di wilayah perairan Pasifik dan Asia
Tenggara, termasuk di dalamnya SLOCs utama di Indonesia dan Filipina, yakni
Selat Lombok, Selat Sunda, Selat Makassar, Laut Timur, dan Laut Andura, serta
akses langsung ke Samudera Hindia. Selain itu, pada tahun 2010 AS melakukan
pendekatan kembali dengan New Zealand Declaration of Wellington 2010 yang
semakin menguat dengan disepakatinya Washington Declaration 2012. Dalam
dokumen kerjasama tersebut terangkum kesepakatan untuk kerjasama yang lebih
luas antara AS dan New Zealand, khususnya dalam bidang maritim di perairan
Pasifik.
d. Asia Selatan
Kerjasama keamanan AS di sub-kawasan Asia Selatan cenderung fokus dengan
kerjasama keamanan yang dibentuk AS dengan India. AS dan India membentuk
Defense Policy Group (DPG) yang menjadi inti dalam kerjasama keamanan
bilateralnya. Pada tahun 2010, U.S. Pacific Command (USPACOM) mengadakan
latihan militer gabungan tahunan dengan Indian Integrated Defense Staff (IIDS).
Dalam implementasinya, angkatan laut AS dan India mengadakan latihan
gabungan angkatan laut sebanyak empat kali dalam setahun, meliputi latihan
militer dengan menggunakan meriam ledak pemusnah (spitting cobra), latihan
menyelam dan tindakan penyelamatan (salvex), latihan gabungan tahunan untuk
meningkatkan kualitas taktis, teknik, dan prosedur militer (Malabar), dan latihan
mengembangkan kemampuan operasi militer di darat dan perairan (habu nag).
(www.defense.gov)
Salah satu misi militer utama AS adalah untuk mencegah mencegah pembentukan
Anti-Access/ Area Denial (A2/AD) yang dapat membatasi akses di wilayah
perairan internasional oleh China, seperti yang tercantum dalam dokumen
Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense.
Kemampuan militer China yang dianggap mampu menciptakan A2/AD membuat
pemerintah AS mengambil strategi militer untuk memperkuat dan memperluas
akses militernya diperairan Asia Pasifik terkait kepentingan AS terhadap SLOCs
di kawasan tersebut.
Penempatan personil militer AS yang bersifat rotasional di pangkalan militer
Australia dan basis militer AS di Guam akan memperluas akses bagi militer AS
terhadap perairan SLOCs Asia Pasifik yang semakin diperkuat dengan perjanjian
kerjasama keamanan untuk akses perairan yang lebih luas dengan negara-negara
Asia Pasifik. Selain itu, kebijakan AS untuk menempat dua hingga empat LCS di
wilayah perairan Selat Malaka pada dasarnya adalah strategi AS untuk melindungi
jalur vital dalam perdagangan internasional dari potensi dominasi China.
602
Kesimpulan
Kebijakan AS untuk memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam kebijakan
militernya (2009-2012) merupakan upaya yang dilakukan pemerintah AS untuk
melindungi kepentingan nasionalnya di kawasan Asia Pasifik. Stabilitas ekonomi
dan keamanan AS bergantung terhadap akses perairan jalur SLOCs Asia Pasifik
yang merupakan penghubung vital bagi AS dan mitra dagang dan partner
militernya di Asia maupun Teluk Persia. Terganggunya stabilitas keamanan
SLOSs kawasan dapat berpengaruh buruk terhadap ekonomi dan militer AS
maupun negara-negara Asia Pasifik. Oleh karena itu, terjaganya keamanan dan
kebebasan akses jalur perdagangan tersebut bersifat vital bagi AS.
Dalam perkembangannya, munculnya China sebagai potensi ancaman di
kawasan menimbulkan kekhawatiran AS dan negara-negara Asia Pasifik yang
menginginkan terjaganya balance of power di kawasan. China yang memiliki
kepentingan besar terhadap SLOCs terkait pemenuhan kebutuhan energi melalui
jalur tersebut berupaya melakukan power projection di perairan Asia Pasifik.
Peningkatan kekuatan militer China disertai dengan agresifitasnya dalam
menghadapi sengketa teritorial di kawasan membahayakan stabilitas keamanan
SLOCs Asia Pasifik. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah AS mengambil
kebijakan militer soft balancing untuk membatasi pengaruh China dan mencegah
munculnya hegemoni China di kawasan.
Referensi
Buku
Acharya, Amitav.
2003. Regionalism and Multilateralism: Essays on
Cooperative Security in the Asia Pacific. Singapore: Eastern University
Press.
Hoadley, Stephen and Jurgen Ruland. 2006. Asian Security Reassessed.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies Publications.
Masoed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES.
Paul, T.V., James J. Wirtz, and Michel Fortmann. 2004. Balance of Power:
Theory and Practice in the 21st Century. California: Stanford University
Press.
Prabhakar, Lawrence W., Joshua H. Ho, and Sam Bateman. 2006. The Evolving
Maritime Balance of Power in the Asia Pacific. Singapore: Institute of
Defense and Strategic Security dan World Scientific Publishing Co. Pte.
Ltd.
Snow, Donald M and Eugene Brown. 2000. International Relations: The
Changing Contours of Power. New York: Addison Wesley Longman, Inc.
603
Internet
ANNUAL REPORT TO CONGRESS: Military Power of the Peoples Republic of
China 2009 dalam situs
Joint statement US-Thailand dalam situs
Littoral Combat Ship (LCS), United States of America dalam situs
http://www.naval-technology.com/projects/littoral/ diakses pada 7 Maret
2013.
Part
I:
Overview
of
the
Asia-Pacific
Region
pada
situs
http://www.apfed.net/pub/apfed1/final_report/pdf/overview.pdf
diakses
pada 22 November 2012.
Philippines taking S. China Sea fight to tribunal dalam situs
http://www.thejakartapost.com/news/2013/01/22/philippines-taking-schina-sea-fight-tribunal.html diakses pada 7 Maret 2013.
Pivot to the Pacific? The Obama Administrations Rebalancing Toward Asia
www.fas.org/sgp/crs/natsec/R42448.pdf diakses pada 7 November 2012.
Remarks By President Obama to the Australian Parliament pada
http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2011/11/17/remarkspresident-obama-australian-parliament diakses pada 18 November 2012.
Report to Congress on U.S.-India Security Cooperation dalam situs
http://www.defense.gov/pubs/pdfs/20111101_NDAA_Report_on_US_Indi
a_Security_Cooperation.pdf diakses pada 26 November 2012.
The Reassertion of the United States in the Asia-Pacific Region dalam situs
http://www.carlisle.army.mil/USAWC/parameters/Articles/2012spring/Str
uye_de_Swielande.pdf diakses pada 8 November 2012.
The U.S. Military Presence in Okinawa and the Futenma Base Controversy
dalam situs www.fas.org/sgp/crs/natsec/R42645.pdf diakses pada 7
November 2012.
U.S.-ROK
STRATEGIC
ALLIANCE
2015
dalam
situs
asiafoundation.org/resources/pdfs/CUSKPNewsletter29SepWEB.pdf
diakses pada 26 November 2012.
U.S.-South Korea Relations dalam situs www.fas.org/sgp/crs/row/R41481.pdf
diakses pada 25 November 2012.
http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2012/06/192397.htm#
www.defense.gov/pubs/pdfs/China_Military_Power_Report_2009.pdf
diakses pada 10 November 2012.
604