Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal
Tuhan (Marifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) menuju ke tingkat tinggi,
dan itu bukan hanya mengenal Tuhan saja (marifatullah), melainkan kesatuan
wujud (Wahdatul Wujud). Tasawuf falsafi juga bisa di katakan sebagi tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran orang filsafat. Lahirnya tasawuf falsafi
ini dimulai dari asal mula pemahaman tasawuf yang bermacam-macam,
sehingga banyak yang mencari tahu untuk mengungkapkan pertama kali ajaran
tasawuf tersebut.
Berkembangnya tasawuf membuat orang-orang sufi menyingkap arti dari
tasawuf falsafi itu seperti halnya Ibnu Al-Arabi, seorang sufi ayng berpendapat
bahwa proses segala sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu kesatuan
eksistensial (Wihdatul Wujud). Dan begitu juaga al-jilli yang mengemukakan
konsep tentang Insan Kamil. Yang diartikan sebagai manusia sempurna.
Adapun perbandingan ataupun perbedaan dari kedua paham tersebut akan
dibahas pada makalah ini dengan rumusan masalah sebagai berikut.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan wahdatul wujud?
2. Siapa tokoh yang membawa paham wahdahtul wujud?
3. Apa yang dimaksud dengan insan kamil?
4. Apa ciri-ciri dari insan kamil?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian wahdatul wujud.
2. Untuk mengetahui tokoh yang membawa paham wahdatul wujud.
3. Untuk mengetahui pengertian insan kamil.
4. Untuk mengetahui ciri-ciri insan kamil.
BAB II
PEMBAHASAN
A. WAHDAH AL-WUJUD
1. Pengertian wahdah al-wujud

Wahdat al-wujud

adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu

wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan
al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan
wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam.
Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wadah sebagai sesuatu yang
zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata alwahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu
kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara
yang nampak (lahir) dan batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi
hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya
digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada
hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut
menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat alwujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut
menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu.
Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut
haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-arad
(accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir-luar-tampak), dan albathin (dalam, tidak tampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek
luar yang disebut al-khalq (makhluk) al-arad (accident-kenyataan luar), zahir
(luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar
(substance-hakikat), dan al-bathin (dalam). Selanjutnya paham ini juga
mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada
dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat,
esensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan yang tampak
merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama (al-haqq).

Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulya paham bahwa antara


makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud
Tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud
makhluk hanya bayang atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun
dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam al-hulul,
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya, dan oleh karena itu dijadkan-Nya alam
ini. Dengan demikian alam ini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat Ia ingin
melihat diri-Nya, Ia cukup dengan melihat alam ini. Pada benda-benda yang
ada di alam ini Tuhan dapat melihat diri-Nya, karena pada benda-benda alam
ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham
ini juga mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak tetapi
sebenarnya satu. Hal ini tak ubanhnya seperti orang yang melihat dirinya dalam
beberapa cermin yang diletakan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat
dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Tuhanlah yang
sebenarnya mempunyai wujud hakiki atau yang wajibul wujud. Sementara itu
mahkluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang
bergantung kepada wujud yang berada didirinya, yaitu Tuhan.
Paham Wahdatul Wujud mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsur
lahir dan batin, dan pada Tuhan pun ada unsur lahir dan batin. Unsur lahir
manusia adalah wujud fisiknya yang tampak, sedangkan unsur batinnya adalah
roh atau jiwanya yang tidak tampak yang hal ini merupakan pancaran,
bayangan atau foto copy Tuhan. Selanjutnya unsur lahir pada Tuhan adalah
sifat-sifat ketuhannya yang tampak di alam ini, dan unsur batinnya adalah dzat
Tuhan. Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya wujud batin
manusia dengan wujud lahir Tuhan, atau bersatunya unsur lahut yang ada pada
manusia dengan unsur nasut yang ada pada Tuhan sebagaimana dikemukakan
dalam paham hulul. Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud ini
tidak mengganggu dzat Tuhan, dan dengan demikian tidak akan membawa
keluar dari Islam.

Dalam Al-Quran diterangkan bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan


batin sebagaimana dikemukakan paham wahdatul wujud itu, dalam ayat yang
berbunyi :

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Hadid, 57 : 3).
Dapat dipahami bahwa manusia sebagai makhluk yang butuh dan fakir,
sedangkan Tuhan Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai pula dengan
isyarat ayat yang berbunyi :

Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah
Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS. Fathir,
35 :15)
Dalam Al-Quran dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama tahun
1984, halaman 90, kata al-awwal pada surat al-Hadid ayat 3 di atas diartikan
yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, dan al-akhir ialah yang tetap ada
setelah segala sesuatu musnah. Yang Zahir juga artinya yang nyata adanya
karena banyak bukti-buktinya dan Yang Batin" ialah yang tak dapat
digambarkan hakikat Zat-Nya oleh akal. Namun dalam pandangan sufi bahwa
yang dimaksud dengan yang zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak,
sedangkan yang batin adalah dzat-Nya. Manusia dianggap mempunyai kedua
unsur tersebut karena manusia berasal dari pancaran Tuhan, sehingga antara
manusia dengan Tuhan pada hakikatnya satu wujud.
2. Memahami doktrin wahdat al-wujud
Agar semuanya memahami bahwa segala sesuatu yang mungkin ada (almumkinat-makhluk), tidak memiliki wujud bebas, yakni tidak dapat

mempertahankan eksistensinya tanpa ada pancaran (fuyudh, emanasi) dari


Allah Yang Maha abadi. Yang jelas, segala yang ada (al-maujudat) itu, untuk
memelihara eksistensinya, dalam setiap detik, sangat memerlukan yang lain.
sesungguhnya segala yang ada (al-maujudat) itu adalah satu, jika dilihat dari
segi asal sumber dan kesempurnaan. Wujud selain Allah berada dalam derajat
kenihilan, seperti cahaya bulan dan bintang-bintang lainnya, seandainya berada
di hadapan sinar matahari.
Berawal dari sini, Allah menyebut zat-Nya Yang Mahaperkasa dengan
masa (al-dahr), sebagaimana dalam hadis qudsi:
Aku disakiti oleh anak Adam. Ia memcaci masa (al-dahr), padahal Aku
adalah masa, dan pada tangan-Kulah segala urusan. Aku membolakbalikkan malam dan siang, (HR Bukhari).
Makna firman Allah tersebut ialah bahwasanya masa, yakni alam semesta
(al-kainat), serta fluktuasi dan perubahannya, bukan apa-apa jika dipandang
dari sudut kesempurnaan (kamal) Allah. Segala perubahan, fluktuasi, dan
peristiwa yang nampak pada layar malam dan siang, Aku sendirilah yang
mengaturnya. Segala yang ada (al-maujudat), baik yang berjalan, yang diam,
yang bergerak, maupun yang terjangkau oleh indra malaikat, manusia dan jin
kepada mereka berlaku perintah-perintahKu menurut martabat-martabat
masing-masing, serta tak dapat terlepas sedikitpun. Aku adalah pengatur
tunggal yang haqiqi di belakang layar.
Jelasnya, masalah wahdat al-wuhjud adalah masalah penyingkapan tabir
(kasifiyah). Kedalamannya tak akan dapat terselami tanpa iman dan mujahadah
(perang batin). Dalam masalah ini mayoritas peneliti muslim sebetulnya telah
melakukan kekeliruan, mereka mengkuti metode para orientalis dan
menjelaskan dengan pemikiran filsafat. Pada kenyataannnya, masalah wahdat
al-wuhjud tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan filsafat Platonisme
atau Ghidanita Hinduisme.
Sumber kekeliruan adalah pada para orientalis yang menyesatkan pendapat
umum dan mengembalikan permasalahan tasawuf kepada pikiran filsafat,
padahal diantara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Masalah yang
sebenarnya ialah bahwa selama periode menjalankan sebagian tugas dzikir,
khususnya selama asyghal al-nafy wa al-itsbat atau tugas-tugas peniadaan dan

penetapan,kepada sang dzakir (pezikir) suka muncul kondisi spesial,


menyerupai tidur, dan berlangsung sekitar seperempat jam atau lebih,
tergantung pada kuat dan lemah sang dzakir.
Kalbu dapat memperoleh penyingkapan

tabir

(mukasyafah)

dan

penyaksian (musyahadah) sesuai dengan ahwal atau kondisi kejiwaannya. Hal


ini sulit dipahami oleh bayak ulama, karena mereka menganalogikan
muraqabah dzikirriyah (upaya senantiasa mendekatkan diri kepada Allah
melalui dzikir), kondisi fana dan ishtilam dengan kondisi bangun (tidak tidur).
Kemudian mereka mengingkari bolehnya musyahadah (penyaksian) cahayacahaya Allah dan tajliyyat (penampakan)Nya dalam kondisi dzikir.
Imam Al-Tahanuwi r.a berkata, dalam setiap sifat ada dua derajat, yaitu
sempurna dan kurang. Kaidah mengatakan bahwa yang kurang selalu dianggap
tidak ada jika berada di hadapan wujud sempurna. Contoh seperti seorang
hakim. Ia memiliki kedudukan lemah. Ia menyelenggarakan pertemuan,
dimana ia menentukan berbagai hukum bagi orang-orang yang hadir.tinggilah
kedudukannya, dan besarlah pengaruhnya. Dalam kesukacitaan berkuasa, ia
tidak memberikan atensi kepada siapapun. Pada saat pertemuan itu
berlangsung, datanglah raja dengan tiba-tiba memasuki majlisnya. Dengan
hanya melirik keagungan sang raja, lenyaplah kecerdasannya, serta ia sadar
atas kesukacitaan merasa besar dan arogansinya. Dihadapan keagungan
hadapan sang raja, sang hakim tak ada apa-apanya. Suaranya menjadi serak
dan turun dari kursi. Dalam kondisi ini, walaupun jabatannya tidak hilang,
namun menjadi seperti tidak ada.
Maka makna wahdah (unity,kesatuan) adalah bahwa walaupun yang lain
itu ada, namun bagi si arif (orang yang marifat) tak terlihat selain wujud
hakiki di hadapan maujudat (segala yang ada) yang banyak itu, seperti tak
nampaknya cahaya kunang-kunang di siang hari di hadapan siang hari.
Ringkasnya, para sufi meyakini bahwa semua makhluk itu berada pada
tempatnya masing-masing, tetapi di hadapan wujud hakiki (Allah), wujudnya
itu hilang dan menjadi seperti tidak ada.
Kesaksian kalbu terkadang terkalahkan oleh Zat yang dicintai dan yang
diingat-ingatnya, sehingga ia melenyapkan dan memfanakan diri karena-Nya.

Kemudian ia menduga bahwa dirinya menyatu dan bersintesis, bahkan dalam


dugaannya lebih dari itu, Dia (kekasinya) itu adalah dirinya sendiri. Pencipta
berbeda dari ciptaanNya. Dalam ciptaan-ciptaan (makhluk)Nya tak ada
sedikitpun ZatNya. Demikiian juga dalam ZatNya, tak ada sedikitpun yang
berasal dari makhlukNya.

B. TOKOH YANG MEMBAWA PAHAM WAHDATUL WUJUD


Ibnu Arabi adalah tokoh pertama penyusun paham kesatuan wujud dalam
tasawuf. Aliran ini pada dasarnya berdasar pada tonggak-tonggak rasa (dzauq),
seperti halnya terungkap dalam perkataannya, Mahasuci Dzat yang
menciptakan segala sesuatu dan dia adalah segala sesuatu itu sendiri.
Ungkapan terkenal para penganut kesatuan wujud, melalui ucapan Ibnu Arabi
inilah, sandaran mereka menolak tentang penciptaan dari tiada (Greatio ex
Nibilo). Mereka menolak kepercayaan bahwa pada suatu masa, alam mengada
dari ketidakadaan. Persoalan ini bagi kaum sufi yang tidak menganut paham
kesatuan wujud, terkenal sebagai masalah penciptaan alam.
Dalam teorinya tentang wujud, Ibnu Arabi memercayai terjadinya emanasi
(pelimpahan), yakni Allah menampakkan segala sesuatu dari wujud ilmu
menjadi wujud materi. Ia menginterpretasikan wujud segala yang ada sebagai
teofani abadi yang tetap berlangsung dan tertampaknya Yang Mahabenar
disetiap saat dalam bentuk yang terhitung bilangannya.
a. Paham kesatuan ini telah memustahilkan mengatakan hal mungkin sebagai
kebalikan dari hal yang wajib. Hal yang mungkin adalah hal yang ada, baru,
dan selalu berubah. Jika hal ini dipandang dari dirinya sendiri, sebelumnya
justru hal itu tidak ada. Istilah lain, hal yang mungkin adalah hal yang
diadakan oleh hal lain yang di dalamnya tergambarkan ada dan tiada,
sekalipun hal itu dikatakan sebagai hal yang tetap (ciptaan yang mungkin).
Sebab, hal yang tetap itu diperlukan. Pemahaman ini oleh para filosofi,
disebut sebagai hal yang wajib adanya oleh hal yang lain dan terletak

diantaranya yang mungkin dan yang wajib, yang keberadaannya


memerlukan yang lain.
b. Menurut Ibnu Arabi, terdapat dua macam tentang hal, yakni hal yang perlu
dan hal yang tidak perlu. Ia sering menggunakan logika alirannya, yaitu
seandainya alam merupakan hal yang mungkin, hal ini menunjukkan bahwa
alam ini mengada pada suatu masa serta alam bukan yang mengadakannya.
Ini bertentangan dengan pernyataan alirannya, yang menyatakan bahwa
pada kenyataannya, wujud adalah satu dan menjadi banyak hanya secara
filosof. Mengenai masalah ini, Ibn Arabi berpendapat Lalu yang rahasia
dalam persoalan ini adalah hal-hal yang mungkin, berasal dari tiada. Dan
yang ada dalam wujud Yang Mahabenar.
c. Mengenai penciptaan makhluk, yang terkandung dalam sebuah hadist qudsi,
Aku adalah karunia tersembunyi yang tidak Ku-ketahui, maka Aku pun
menciptakannya (makhluk) sehingga dengannya mereka mengetahui-Ku.
Ibnu Arabi mengemukakan, maksud Allah menciptakan semua makhluk
pada umumnya dan manusia pada khususnya adalah agar Dia bisa melihat
dan mengetahui diri-Nya, dalam suatu bentuk yang dengan hal itu tampak
jelas sifat-sifat dan atau nama-nama-Nya. Dengan begitu, Dia pun
tersingkap dari karunia yang tersembunyi (Dzat Mutlak) yang bebas dari
segala hubungan dan ikatan, tetapi karunia yang terungkap dari Dzat Mutlak
tersebut, tidak dalam kemutlakan dan kebebasan itu, melainkan dalam
keterikatan serta keterbatasannya.
d. Realitas wujud ini hakikatnya tunggal, sedangkan perbedaan antara dzat dan
hal yang mungkin, hanyalah perbedaan relatif. Perbedaan haqiqi antara
keduanya adalah akibat perbedaan yang dilakukan akal budi yang terbatas.
Ibnu Arabi dalam syairnya mengatakan, Perpisahan dan perpaduan itu
sesuatu yang tunggal atau bangsanya jamak yang tidak menentu dan tanpa
mengasal. Bahwa wujud hal yang mungkin adalah wujud Allah semata.
Karena itu, jika dipandang esensinya hal itu adalah Yang Mahabenar atau
Tuhan dan jika dipandang dari aspek sifat-sifatnya adalah makhluk.
e. Wujud itu hanyalah satu, itulah wujud yang berdiri sendiri. Itulah Yang
Mahabenar (Tuhan). Alam yang banyak ini tidaklah berwujud alam sendiri,

tetapi alam ini berwujud dengan wujud Tuhan. Wujud alam ini adalah
khayal, dengan pengertian bahwa ia tampak sebagai wujud yang berdiri
sendiri, padahal sebenarnya berwujud dengan wujud Tuhan. Oleh karena itu,
dikatakan bahwa wujud Tuhan dan alam adalah satu, bukan dua atau
banyak.
C. PENGERTIAN INSAN KAMIL
Ke dalam dimensi esoterik dikalangan kaum sufi, melahirkan konsep
Insan Kamil. Yang dimaksud dengan Insan Kamil ialah suatu tema yang
berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak,
Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni
yang baik dan yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut yang ditiru
manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri kepada sifat sempurna dari
Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya. Dalam pengertian awam,
insan kamil berfungsi sebagai penguasa alam, dan mediator yang mendatang
kansyafa`at.
Berbicara tentang insal kamil tidak bisa melepaskan diri dari Ibn Arabi.
Dan berbicara tentang konsep Ibn Arabi tidak bisa terlepas dari konsep
wahdatul wujudnya. Dalam teorinya ini, Insan Kamil adalah duplikasi Tuhan
(nuskhak al-Haqq). Yaitu Nur Muhammad yang merupakan tempat
penjelmaan (tajalli) asma`, dan dzat Allah yang paling meyeluruh, yang
dipandang sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Manusia Sempurna adalah Sebab dari Alam. Dengan cinta yang mendalam
dari Yang Maha Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka Tuhan
mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia Fenomena. Sebagai landasan kaum
sufi, khususnya Ibn Arabi ialah hadist Qudsi yang artinya: Aku adalah
pendaharaan yang tersembunyi, Aku senang untuk diketahui maka Aku
menciptakan makhluk, yang denganya Aku dikenal.
Al-Kamal (kesempurnaan) menurut al-Jili mungkin dimiliki manusia
secara potensial (bilquwwah), dan mungkin pula secara actual (bilfi`li) seperti
yang terdapat dalam diri wali dan Nabi, walaupun intensitasnya berbeda-beda.
Intensitas yang tertinggi, menurut al-Jili terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Muhammad adalah al-quthb (poros, sumbu) dari awalnya hingga akhir, sejak
adanya wujud untuk selama-lamanya (abad al-abidin), dan bahkan Muhammad
dapat menjelma dalam berbagia bentuk, yang hanya diketahui oleh ahl alkasyf.
Disamping al-Jili, Nuruddinar-Raniri juga mempunyai konsep insan kamil
yang intinya tidak jauh berbeda dengan konsep para pendahulunya. Insan kamil
bagi Nuruddin ialah hakikat Muhammad, merupakan hakikat pertama yang
lahir dari proses tajalli satu dzat ke dzat yang lain (Allah dengan Nur
Muhammad). Hakikat itu menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena
seluruh kenyataan alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat Allah.
Hanya dia yang sanggup menerima tajalli-Nya, dan dalam qalbunya tersimpan
segalarahasia-Nya dengan segala sifat jamal dan jalal-Nya, yang kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
D. CIRI-CIRI INSAN KAMIL
1. Berfungsi akalnya secara optimal
Fungsi akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum
Muktazilah. Menurutnya manusia yang akalnya berfungsi secara optimal
dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak
sesuai dengan esensinya dan merasa wajib melakukan semua itu walaupun
tidak diperintahkan oleh wahyu.
2. Berfungsi intuisinya
Intuisi dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul).
Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa
manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati
kesempurnaan.
3. Mampu menciptakan budaya
Sebagai bentuk pengalaman dari berbagai potensi yang terdapat pada
dirinya sebagai insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang
mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaninya secara optimal.
Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-sifat
semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan
berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga

menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.


Proses-proses semacam ini melhirkan peradaban.
4. Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
Manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia
cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal.
Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri. Manusia yang
ideal itulah yang disebut insan kamil, yaitu manusia yang dengan sifat-sifat
ketuhanan yang ada pada dirinya dapat mengendalikan sifat-sifat rendah
yang lain.
5. Berakhak mulia
Insan kamil adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ali Syariati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna
memiliki tiga aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan, dan keindahan.
Dengan kata lain, ia memiliki pengetahuan, etika, dan seni. Semua ini dapat
dicapi dengan kesadaran, kemerdekaan, dan kreativitas.
6. Berjiwa seimbang
Sikap seimbang dalam kehidupan sangat diperlukan, yaitu seimbang antara
pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhaniah. Ini berarti
perlu ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengalaman syariat
Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengertian wahdatul wujud yang digunakan para sufi, yaitu paham bahwa
antara manusia dan Tuhan pada hakikatya adalah satu kesatuan wujud. Ibnu
Arabi adalah tokoh pertama penyusun paham kesatuan wujud dalam tasawuf.
Aliran ini pada dasarnya berdasar pada tonggak-tonggak rasa (dzauq), seperti
halnya terungkap dalam perkataannya, Mahasuci Dzat yang menciptakan
segala sesuatu dan dia adalah segala sesuatu itu sendiri.
Insan Kamil ialah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, Tuhan. Yang Mutlak tersebut
dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan yang sempurna.
Sifat sempurna inilah yang patut yang ditiru manusia. Seseorang yang makin
memiripkan diri kepada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, makin
sempurnalah dirinya. Ciri-ciri insan kami yaitu berfungsi akalnya secara
optimal, berfungsi intuisinya, mampu menciptakan budaya, menghiasi diri
dengan sifat-sifat ketuhanan, berakhak mulia, dan berjiwa seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1994. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka
panjimas.
Nata, Abuddin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
Nata, Abbudin. 2013. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia Edisi Revisi. Jakarta:
RajaGrafindi Persada.
Rifi, A. Bachrun. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, M. Amin. 2002. Menggugat Tasawuf Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Anda mungkin juga menyukai