Anda di halaman 1dari 8

Nasib Hukum Islam Dalam Kubangan Demokrasi

Antara Halal-haram dengan Legal-ilegal


Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang tidak menjamin keselarasan antara
kategori halal-haram dengan legal-ilegal, artinya, dalam sistem demokrasi keduanya tidak harus
selalu pararel. Dengan begitu, jika proses politik menghasilkan keputusan hukum yang tidak
sejalan dengan ketentuan hukum syara, bahkan yang definitif (qothi) sekalipun, maka ia harus
diterima secara legowo sebagai sebuah keputusan politik, meski bisa jadi -secara pribadi- kita
tidak menyetujuinya.
Sebagai contoh, seandainya rakyat menuntut negara untuk membolehkan berdirinya bankbank ribawi dan membangun sendi-sendi ekonominya dengan riba, maka pemerintah harus
tunduk pada kehendak rakyatnya, meskipun diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menyatakan
apabila zina dan riba telah tampak nyata di sebuah negeri, maka sungguh mereka telah
menghalalkan adzab Allah untuk diri mereka[1]. Contoh lain, seandainya rakyat melalui saluran
politik yang ada- menghendaki agar diperbolehkan untuk tetap memakai busana adat atau
menampilkan berbagai kesenian rakyat, meski di sana ada unsur ikhtilath dan buka-bukaan aurat,
maka pemerintah tidak berhak untuk melarang itu semua, meskipun Allah jelas-jelas
melarangnya (itulah mengapa UU pornografi-pornoaksi tidak gol). Contoh lain, kebebasan
beragama adalah nilai mutlak yang harus terinstall dalam sistem demokrasi, sehingga
seandainya aspirasi yang ada menghendaki agar masyarakat boleh pindah dari/ke agama mana
saja, maka pemerintah tidak boleh menghukum seorang muslim yang meninggalkan agamanya,
meskipun diriwayatkan bahwa Rasulullaah saw bersabda barang siapa mengganti agamanya
maka bunuhlah ia[2]. Semua itu ada dalam realitas kehidupan kita di alam demokrasi ini-, dan
sulit menghitung contoh-contoh lain yang bisa kita ajukan.
Memang, semua itu mungkin tidak sejalan dengan hukum Islam, tetapi juga bukan
merupakan suatu yang menyimpang dalam sistem demokrasi. Bahkan semua Itu merupakan
suatu hal yang lumrah mengingat, dalam sistem ini, tidak ada ketentuan yang mewajibkan bahwa
yang halal harus legal dan yang haram harus dilarang (secara hukum). Seorang pemimpin dalam
sistem demokrasi wajib menjalankan aspirasi rakyat yang telah menjadi keputusan sistem, meski
jelas bertentangan dengan syara, dan meski hati-nuraninya tidak menyetujuinya.
Gambaran tentang realitas yang kami uraikan di atas merupakan konsekuensi langsung
dari faham kedaulatan rakyat, yang secara teori berarti: pemerintah harus tunduk kepada
kehendak rakyat karena mereka memiliki kekuasaan tertinggi dan mutlak meminjam istilah
tokoh kita tadi- dalam menentukan mana yang legal dan mana yang tidak legal. Meski dalam
prakteknya, apa yang disebut dengan rakyat ini lebih sering direduksi menjadi wakil rakyat,
sedangkan aspirasi rakyat pada kenyataannya lebih sering dibajak oleh nafsu-tamak para pemilik
kepentingan yang ber-uang.
Apa yang ada dalam sistem demokrasi tersebut akan sangat aneh jika kita bandingkan
dengan pemahaman negara dalam islam yang berfungsi untuk menegakkan hukum agama dan
menjaganya dengan menindak setiap pelanggaran terhadap agama, sebagaimana diutarakan
oleh para ulama. Ibnu Kholdun dalam Muqoddimahnya mengatakan: Pada hakekatnya dia
(khilafah) merupakan wakil dari pemilik syariat (Shohibusy Asy Syari) dalam menjaga agama
dan mengatur urusan dunia dengan agama tersebut.
Ibnu Taimiyyah menyatakan: Amar maruf nahi munkar tidak bisa sempurna kecuali
dengan penegakkan sanksi-sanksi syariat, sebab Allah mencegah dengan kekuasaan terhadap
hal-hal yang tidak bisa dicegah dengan Al Quran. Menegakkan sanksi-sanksi hudud wajib bagi
pemerintah, itu dilakukan dengan menerapkan hukuman ketika ada yang meninggalkan
kewajiban maupun melaksanakan keharaman[3]. Imam Al Ghozali mengatakan: agama adalah
asas sedangkan kekuasaan adalah penjaga, apa yang tidak memiliki asas akan runtuh dan apa
yang tidak memiliki penjaga akan lenyap[4]. Jadi sangat aneh, jika Islam mentolelir sistem politik

yang tidak mewajibkan penguasanya untuk melegalkan yang halal dan meng-ilegalkan yang
haram, seperti halnya demokrasi.

Demokrasi Bisa Berujung Pada Kedaulatan Tuhan?


Benar, hukum positif dalam sistem demokrasi memang tidak selalu bertentangan dengan
syara. Terbuka peluang dalam sistem demokrasi bagi dihasilkannya keputusan hukum yang
serupa dengan hukum Allah. Misalnya, negara melarang peredaran daging babi dan menghukum
siapa saja yang mengedarkannya, kemudian masyarakat luas pun mentaatinya. Di sini seolaholah hukum syara berdaulat. Padahal tidak. Sebab, negara hanya akan berani mengambil
keputusan tersebut jika arus aspirasi yang ada menghendaki demikian. Ini menunjukkan bahwa
negara demokrasi selalu menjadikan kehendak manusia sebagai faktor penentu bagi keputusan
negara. Sebab, ketundukan negara itu tetap tertuju kepada manusia, bukan kepada syara itu
sendiri. Maka pada hakekatnya, negara dengan sistem demokrasi tetap menghamba kepada
manusia, tidak tunduk kepada Syariat., Kehendak manusialah yang memegang kunci, bukan
syara; manusialah yang dianggap oleh negara sebagai pemegang supremasi hukum tertinggi,
bukan syara; manusialah yang dianggap oleh negara sebagai pemilik kehendak yang absolut,
bukan syara; manusialah yang dianggap oleh negara sebagai pemilik kekuasaan orisinil yang
tidak tersandar kepada pihak manapun, bukan syara; singkatnya, kehendak manusialah yang
tetap dianggap berdaulat, bukan syara.
Hukum syara di dalam sistem demokrasi, jika ada yang menyuarakannya, paling jauh
hanya akan dipandang sebagai suatu bentuk aspirasi yang tidak mengikat dengan sendirinya. Jika
dukungan (suara dan dana) terhadap aspirasi itu lemah, maka tidak akan dihiraukan; jika
dukungan aspirasi kuat, baru akan diperhatikan. Begitulah, negara yang menganut sistem
demokrasi akan meletakkan manusia pada posisi yang tertinggi, bahkan lebih tinggi dari pada
syara. Karenanya, negara harus tunduk kepada kehendak manusia, sedangkan apa yang sejalan
dengan syara hanya bisa diterapkan jika dikehendaki oleh rakyat (dalam hal ini adalah para
wakilnya). Itu merupakan kenyataan yang tidak bisa dibantah, dan tidak perlu bertele-tele
dengan literatur akademis untuk menjelaskan kenyataan yang begitu gamblang ini.
Lebih dari itu, kalau pun negara demokrasi menerapkan hukum yang serupa dengan
hukum syara pada hakekatnya ia tetap tidak menerapkan hukum syara karena dua alasan:
pertama, negara demokrasi tidak melihat hukum yang serupa dengan syara itu sebagai hukum
syara. Negara hanya menerapkannya sebagai sesuatu yang dituntut oleh proses politik yang
ada. Itu karena negara memang tidak dirancang untuk tunduk kepada syara, tapi tunduk kepada
apa yang diklaim sebagai aspirasi rakyat. Negara yang menjalankan hukuman potong tangan
bagi pencuri semata-mata bertujuan untuk mencegah pencurian, bukan karena ketundukkan
kepada syariah Islam, tidak dianggap menerapkan hukum syara. Alasan kedua, kalau hukum
syara dalilnya adalah Al Quran dan As Sunnah, maka negara demokrasi mendalili hukum yang
diterapkannya dengan keputusan suara terbanyak. Ini menunjukkan bahwa hukum yang
diterapkannya bukanlah hukum syara, meskipun secara kasat mata serupa dengan hukum
syara.
Demikianlah, dalam tataran filosofis, sistem demokrasi memberikan kedaulatan kepada
rakyat. Jelas, hal tersebut bertentangan dengan konsep sistem pemerintahan dalam Islam.
Sebagai konsekuensi dari falsafah kedaulatan rakyat, dalam tataran praktis, munculah hukumhukum positif yang tidak sesuai dengan syariat (meskipun kadang, ada juga yang kebetulan
sesuai dengan syariat). Kenyataan itu terjadi bukan karena sistem demokrasi tidak berjalan
secara normal (menyimpang dari prosedur), tapi lebih disebabkan karena konsep dasarnya yang
bathil, tidak dirancang untuk selalu selaras dengan Islam. Akibatnya, ketika sistem ini berjalan
dengan baik, ia bukan hanya bisa menghasilkan keputusan yang secara kebetulan- sesuai
dengan islam, tapi juga kenyataannya- lebih banyak dan lebih sering menelurkan produk hukum
yang tidak sesuai dengan Islam.

Karena hal di atas, sistem demokrasi tidak bisa diharapkan untuk diterapkan dalam sebuah
negara yang ingin mengaplikasikan Islam secara sempurnya. Jika diibaratkan mesin, tatkala
dalam kondisi yang baik dan dijalankan dengan prosedur yang benar, sistem demokrasi lebih
sering menghasilkan produk gagal daripada produk yang kita kehendaki. Kesalahan bukan terjadi
dalam menjalankan prosedur operasional mesin, tapi kesalahan terjadi saat memilih mesin yang
tidak cocok dengan produk yang ingin dihasilkan. Artinya, kesalahan tidak terjadi pada saat kita
menjalankan demokrasi, tapi justru terjadi ketika kita memilih demokrasi untuk selalu
menghasilkan kebijakan yang syari, padahal demokrasi tidak didesain untuk itu.
Negara Dalam Islam Dirancang Untuk Selalu Tunduk Kepada Syara
Tidak seperti demokrasi, negara yang menganut Sistem Islam akan menempatkan syara
sebagai pemegang kedaulatan, sehingga secara konstitusional- seluruh kebijakan negara harus
didasari pada hukum syara[5]. Hal ini berarti, syara bukan dipandang sekedar sebagai aspirasi,
akan tetapi syara adalah ketentuan yang mengikat penyelengaaraan negara. Sehingga, ibarat
mesin, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang didesain untuk selalu menghasilkan
kebijakan dan hukum yang Islami (syari), tidak seperti layaknya demokrasi.
Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah adanya kewajiban penguasa untuk selalu
mengeluarkan keputusan atas dasar hukum syara dan tidak mengikuti aspirasi siapapun yang
menyimpang dari hukum-hukum syara. Jika penguasa menyimpang dari ketentuan pokok ini,
maka dia bukan hanya menyalahi hukum syara, tapi juga menyalahi ketentuan dasar Negara
Islam. Allah SWT berfirman:

{}
Maka hukumilah (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturnkan oleh Allah, dan
janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka (untuk berpaling) dari kebenaran yang telah
datang kepadamu (Al Maidah ayat 48)
Ayat ini memberi perintah tegas kepada Nabi -yang waktu itu berperan sebagai penguasauntuk memutuskan suatu permasalahan dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Kata uhkum
merupakan fil amr, dari hakama-yahkumu, yang menurut kamus Al Munawir artinya adalah
menetapkan atau memutuskan (qorroro)[6]. Maka dari itu, tidak bisa dikatakan bahwa ayat ini
merupakan perintah kepada Nabi saw untuk menjelaskan dan menyatakan secara tegas bahwa
yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram semata, akan tetapi, ayat di atas justru
memberi perintah kepada Rasulullaah saw untuk mengeluarkan keputusan hukum formal sesuai
dengan apa yang diturunkan Allah (hukum syara).
Maka dari itu, dalam menjelaskan kalimat fahkum bainahum bimaa anzalaLlaah itu, Ibnu
Katsir mengatakan : berilah keputusan hukum wahai Muhammad di tengah-tengah manusia,
baik Arab maupun non-Arab, baik kalangan yang ummi maupun ahli kitab, dengan apa yang
diturunkan oleh Allah[7]. , Sementara itu Imam Ath Thobari mengatakan: ini adalah perintah
Allah Taala, peringatanNya untuk nabiNya, Muhammad saw, agar beliau memberi keputusan
hukum terhadap pihak-pihak yang minta keputusan hukum kepada beliau -dari kalangan ahli
kitab dan penganut semua agama yang ada- dengan menggunakan kitab yang Allah turunkan
kepada beliau[8].
Terlebih lagi, sebab turunnya ayat ini terkait dengan pemberian putusan hukum kepada
non-muslim, yakni orang yahudi yang melakukan zina dalam keadaan muhshon (telah menikah).
Ketika ia dibawa ke hadapan Rasulullah saw, Allah memerintahkan beliau untuk menghukumnya
dengan hukum yang turun kepada beliau, yakni rajam[9]. Atas dasar itu, tidak mungkin jika ayat
ini dikaitkan dengan masalah penghalalan dan pengharaman, karena Rasulullah saw tidak
berkepentingan terhadap urusan halal-haram dalam agama lain. Tapi, sebagai penguasa, beliau
berkepentingan untuk menegakkan hukum yang berlaku secara formal kepada seluruh manusia

yang hidup dalam yurisdiksi Negara Islam. Dalam konteks inilah, Allah memerintahkan beliau
untuk memberi keputusan hukum kepada mereka (orang yahudi) berdasarkan syariah Islam.
Perintah tersebut, meskipun tertuju kepada Nabi saw, namun juga berlaku kepada seluruh
penguasa muslim, sebagaimana dikatakan oleh Al Qurthubi annal khithoba liNabi alaihis salam
khithobun li-ummatihi[10] (bahwasannya seruan kepada Rasul adalah juga seruan kepada
umatnya), tentu selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Jadi, ini adalah ketentuan legeslasi
dan penegakkan hukum di dalam Negara Islam yang harus senantiasa terikat dengan hukum
yang diturunkan oleh Allah.
Berdasarkan hal di atas, Kepala Negara Islam diangkat, didengar dan ditaati atas dasar
aqad untuk menegakkan Al Quran dan As Sunnah, sebagaimana lafadz baiat Abdullah bin Umar
ra kepada Kholifah Abdul Malik bin Marwan : Sesungguhnya aku mengakui Abdul Malik bin
Marwan, Amirul Muminin, untuk didengar dan ditaati atas dasar sunatuLlah dan sunah rasulNya,
dalam hal yang aku mampu[11].
Jadi jelas, kepala Negara Islam itu diangkat untuk menegakkan kitabullah dan sunnah rasul,
didengar dan ditaati selama melaksanakan ketentuan tersebut. Jika dia keluar dari ketentuan itu,
maka dia sah untuk dimazulkan. Ini jelas kontras dengan sistem demokrasi, di mana seorang
presiden tidak akan diturunkan sekalipun terang-terangan menerapkan kebijakan dan hukum
yang tidak diambil dari kitabullah dan sunnah Rasul, selama dia masih mentaati aspirasi (wakil)
rakyat.
Dalam Negara Islam, Aspirasi Yang Tidak Islami Wajib Diabaikan
Adapun perintah untuk tidak mengikuti hawa nafsu manusia dalam kedua ayat tadi yakni:
janganlah engkau mengikuti hawa nafsu (ahwaa) mereka agar mereka tidak memalingkan kamu
dari kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS Al Maidah 48)
Serta: janganlah engkau mengikuti hawa nafsu (ahwaa) mereka dan berhati-hatilah terhadap
mereka agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah
kepadamu (TQS Al Maidah 49)
Keduanya merupakan peringatan yang jelas bagi Rasulullah saw dan para penguasa agar
tidak mendengar pendapat-pendapat manusia yang menyimpang dari hukum syara. Ahwaa
(hawa nafsu) menurut Ibnu Katsir adalah :pendapat-pendapat yang mereka sepakati yang
menyebabkan mereka meninggalkan apa yang diturunkan oleh Allah[12]. Kemudian, beliau
membahasakan potongan ayat tersebut dengan ungkapan : janganlah engkau berpaling dari
kebenaran yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu kepada hawa nafsu orang-orang yang
bodoh lagi celaka[13]. Peringatan ini memberi penegasan terhadap perintah yang pertama,
yakni untuk menerapkan hukum Allah semata dan tidak mengikuti aspirasi-aspirasi rakyat yang
muncul dari hawa nafsu mereka, yang pada gilirannya akan memalingkan keputusan penguasa
dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia. Jadi, dalam Negara Islam, aspirasi
yang tidak sesuai dengan Islam wajib diabaikan.
Sebagai catatan, meskipun ayat ini dilatarbelakangi oleh sikap Yahudi, akan tetapi
ketentuannya berlaku umum, yakni tidak boleh berpaling dari hukum Allah seraya mengikuti
kehendak manusia, sebab para ulama mengatakan: al ibrah bi umuumil lafdzi laa bi khushuusis
sabab[14](yang diperhitungkan adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab).
Tentang Suara Mayoritas
Jurang antara sistem demokrasi dengan Islam terasa lebih lebar lagi ketika kita membahas
standar yang digunakan oleh sistem demokrasi untuk mengukur kebenaran. Kebenaran praktis
menurut demokrasi adalah suara umumnya masyarakat, yang oleh Rouseau disebut sebagai la
volonte generale (general will / kehendak umum)[15] . John Locke, yang oleh para akademisi
dianggap sebagai salah satu tokoh utama peletak prinsip dasar demokrasi,[16] menyatakan

dalam salah satu magnum-opusnya, Second Treatise : Jadi setiap orang -dengan membuat
perjanjian bersama orang lain untuk membentuk suatu badan politik di bawah satu
pemerintahan- bersama orang lain dari masyarakat tersebut, menempatkan dirinya di bawah
kewajiban untuk tunduk pada keputusan mayoritas dan diatur olehnya[17].
Para penganjur demokrasi, seperti Locke, tidak punya pilihan lain untuk mengukur
kebenaran kecuali dengan kehendak mayoritas. Sebab, sebagai seorang penganut empirisme,
Locke percaya bahwa nilai kebaikan itu bersifat empiris, objektif dan bisa ditangkap oleh semua
manusia secara universal, mirip seperti pandangan Mutazilah terhadap kategori hasan dan qobih
(terpuji dan tercela)[18]. Locke percaya bahwa akal budi manusia layak menjadi hukum karena ia
membawa karakter keTuhanan[19]. Lebih dari itu, mereka tidak percaya jika kebaikan itu harus
didekte oleh sesuatu yang tidak rasional, seperti klaim-klaim dari otoritas keagamaan. Namun,
ketika dalam kenyataannya manusia itu sering kali berbeda pendapat, faham relativisme
kebenaran menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Maka, asumsi dasar bahwa kebenaran itu
bersifat relatif selalu tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Sehingga, suara terbanyaklah
yang menjadi penentu. Itulah mengapa, Ebenstain menyatakan bahwa empirisme rasional -yang
berbuntut pada relativisme kebenaran- menjadi kriteria dan dasar psikologis bagi demokrasi.[20]
Sementara itu, Islam mengakui adanya sumber kebenaran yang bersifat absolut dan tidak
bisa didongkel dari kedudukannya, dan negara harus tunduk dengan sumber kebenaran yang
absolut ini. Dua ayat dari surat Al Maidah tadi jelas menegaskan bahwa al haq itu hanyalah apa
yang diturunkan oleh Allah, bahkan, akhir ayat ke 49 dari Al Maidah tadi jelas menyatakan: wa
inna katsiron minannaasi lafaasiquun:dan sesungguhnya sebagian besar manusia itu benarbenar orang-orang yang fasiq (TQS Al Maidah 49). Ibnu Katsir mengatakan: yakni, sebagian
besar manusia itu keluar dari ketaatan kepada Tuhan mereka, menyimpang dari al haq, serta
menjauhinya[21]. Jika demikian, lantas bagaimana mungkin suara kebanyakan manusia bisa
dijadikan sebagai standar kebenaran? Dan ingat, padahal demokrasi memberi hak kepada seluruh
warga untuk bericara, tanpa memandang aqidah dan kepribadian mereka.
Penutup
Dari apa yang telah kami uraikan, kiranya sangat jelas, ada perbedaan yang begitu kontras dan
mendalam antara sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam. Kedaulatan rakyat dalam
sistem demokrasi memberikan kedudukan teratas kepada manusia dalam menentukan yang legal
dan yang tidak legal tanpa terikat oleh ketentuan syara secara mutlak. Sehingga dalam
kubangan demokrasi, yang halal bisa ilegal sementara yang haram bisa jadi legal. Sementara
sistem Islam -yang menganut kedaulatan syara- mengharuskan penguasa untuk terikat dengan
syara dalam melakukan legeslasi hukum dan menerapkan kebijakan-kebijakannya, sehingga
Kholifah bisa dimazulkan apabila tidak mengindahkan ketentuan asasi ini. Artinya, tasyrii
(penentuan hukum halal-haram) yang menjadi domain Allah SWT harus ditindaklanjuti dengan
sannul qowanin (legalisasi hukum) yang menjadi domain pemerintahan Islam yang manusiawi itu.
Bahkan, dalam kaitannya dengan legeslasi ini, Ibnu Kholdun pun telah mengajari kita untuk
membedakan sistem politik yang syari dengan yang tidak, ketika beliau mengatakan : apabila
undang-undang ini ditentukan dari gagasan kaum pemikir atau pembesar-pembesar negara atau
para cerdik-pandai maka ia merupakan sistem politik aqliyah (siyasah aqliyah) dan apabila
ditentukan dari Allah dengan hukum-hukum yang ditetapkan dan disyariatkan olehNya maka ia
merupakan politik diniyah (siyasah diniyah) yang akan memberi manfaat bagi kehidupan dunia
dan akhirat[22]. WaLlahu Alam

[1] Hadit riwayat Al Hakim,


[2] Hadits riwayat Al Bukhori
[3] Ibnu Taimiyah. Tt. Al Hisbah fil Islam au Wadhifatul Hukumatil Islamiyah.Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut.Hlm 45
[4] Al Ghozali. 1997. Al Iqtishod fil Itiqod. Darul Fikr, Beirut. Hlm 168

[5] Dr. Abdul Majid Al Kholidi, Qowaidu Nidhomil Hukmi fil Islam, hlm 364; An Nabhani, Nidhomul Hukmi fil Islam.hlm
105
[6] AL Munawir, bab ha kaf - mim
[7] Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil Adhim
[8] Ath Thobari. Jamiul Bayan min Tawili Aay Al Quran
[9] Lihat, AS Suyuthi, lubabun Nuqul fii asbabin nuzul, dicetak bersama Tafsir Jalalain, Darul Fikr, Beirut
[10] Lihat, Al Qurthubi. Al Jami liahkamil Quran, tafsir suarat Al Anam ayat 56
[11] Hiriwayatkan oleh Al Bukhori
[12] Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil Adhim
[13] Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil Adhim
[14] Prof. Dr. Ali Ash Shobuni. 2003. At Tibyan fi ulumil Quran. Darul kutubil Islamiyah, Jakarta. Halaman 29.
[15] Straus dan Cropsey (Ed). 1987. History of Political philisophy. Ed III. Thr University of Chicago Press, Chicago dan
London. Halaman 570. Lihat juga: Azhari, A.F., 2005. Menemukan Demokrasi. Muhammadiyah University Press, UMS.
Surakarta. Hal 31
[16] Lihat misalnya Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu Politik (hlm 57); Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (hlm
300); Revitch dan Thernstrom, Demokrasi Klasik dan Modern (hlm 54)
[17] Schmand,Fisafat Politik, halaman344.
[18] Al Ghozali, Al Mustashfa min ilmil Ushul; An Nabhani, Asy Syakhshiyyah juz iii
[19] Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik barat, 191
[20] Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik barat, hlm 304.
[21] Ibnu Katsir. Tafsirul Quranil Adhim
[22] Abdur Rahman Ibnu Kholdun. 2006. Muqoddimah Ibni Kholdun. Darul Kutubil Ilmiyah, hlm 150

Anda mungkin juga menyukai