Penulis: M. Agung Arvianto (muhamadagung903@yahoo.co.id)
Sebagai ulama Minang, ia diberi gelar,Tuanku Syaikh, berarti
ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago. Sebagai intelektual Islam, ia memperoleh penghargaan gelar Ustadzyyah Fakhryyah (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, pada Maret 1959. Pada tahun 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan Promovendus Professor Doctor Hamka. Lahir pada tahun 1908, pada tahun 1927 ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan (Islam) pada ulama-ulama di sana. Dia sengaja kabur dari rumah sebagai jawaban atas kritik ayahnya. Dari Mekah, dia pun berkirim surat kepada ayahnya, memberitahukan bahwa dia telah menunaikan ibadah haji. Di Mekah, ia sempat bekerja di perusahaan percetakan penerbitan milik Tuan Hamid, putra Majid Kurdi yang merupakan mertua Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi, Imam dan Khatib Masjidil Haram, guru besar ayahnya. Di tempatnya bekerja itu, kegilaannya dalam membaca kitab terpenuhi dengan melimpahnya kitab-kitab klasik, buku-buku dan majalah buletin Islam dalam Bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Tujuannya bekerja, selain agar bisa menumpang hidup adalah untuk meyerap ilmu Syeikh Ahmad Khatib yang begitu diidolakan ayahnya. Setelah menunaikan haji (sejak saat itu menyandang nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka), dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa H. Agus Salim. Tokoh Muhammadiyah itu menyarankan agar Hamka segera pulang ke Tanah Air. Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri. Kata Agus Salim. Usai menjadi narator seminar di Pakistan dan Mesir, ia melanjutkan lawatan ke Saudi Arabia memenuhi undangan Raja Saud. Kesempatan itu
digunakannya untuk berziarah ke makam Rasulullah di Madinah dalam
kapasitas sebagai tamu negara. Pada desember 1960, Syaikh mahmoud Syaltout disertai Dr. Muhammad Al-bahay berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Salah satu agenda adalah menziarahi Masjid Agung Kebayoran Baru. Melihat sendiri perjuangan Hmka di masjid itu, dalam sambutannya, Mahmoud Syaltout mengatakan, Bahwa mulai hari ini, saya sebagai syaikh (Rektor) dari jami Al-Azhar memberikan bagi masjid ini nama AlAzhar, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Kairo. Sejak saat itu, semua orang sepakat melekatkan nama Masjid Agung Al-Azhar sebagai pengganti nama Masjid Agung Kebayoran Baru.