Bermain Dan Permainan
Bermain Dan Permainan
: Suraya Atika
NIM
: 06141281419062
Mata Kuliah : Bermain dan Alat Permainan
TEORI BERMAIN MENURUT AHLI
Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para ahli ilmu jiwa, karena
terbatasnya pengetahuan tentang psikologi perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka
pada perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk meletakkan dasar
tentang bermain adalah Plato, seorang filsuf Yunani. Plato dianggap sebagai orang pertama yang
menyadari dan melihat pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan
lebih mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan apel kepada anak-anak. Juga
melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok kepada anak usia tiga tahun pada
akhirnya akan mengantar anak tersebut menjadi seorang ahli bangunan.
Ada beberapa teori yang menjelaskan arti serta nilai permainan, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Rekreasi yang dikembangkan oleh Schaller dan Nazaruz 2 orang sarjana Jerman
diantara tahun 1841 dan 1884. Mereka menyatakan permainan itu sebagai kesibukan
rekreatif, sebagai lawan dari kerja dan keseriusan hidup. Orang dewasa mencari kegiatan
bermain-main apabila ia merasa capai sesudah berkerja atau sesudah melakukan tugas-tugas
tertentu. Dengan begitu permainan tadi bisa me-rekriir kembali kesegaran tubuh yang
tengah lelah.
2. Teori Pemunggahan ( Ontlading Stheorie ) menurut sarjana Inggris Herbert Spencer,
permainan disebabkan oleh mengalir keluarnya enegi, yaitu tenaga yang belum dipakai dan
menumpuk apad diri anak itu menuntut dimanfaatkan atau dipekerjakan. Sehubungan
dengan itu energi tersebut mencair dan menunggah dalam bentuk permainan.
3. Teori ini disebut juga sebagai teori kelebihan tenaga ( krachtoverschot-theorie ). Maka
permainan merupakan katup-pengaman bagi energi vital yang berlebih-lebihan.
4. Teori atavistis sarjana Amerika Stanley Hall dengan pandangannya yang biogenetis
menyatakan bahwa selama perkembangannya, anak akan mengalami semua fase
kemanusiaan. Permainan itu merupakan penampilan dari semua factor hereditas ( waris,
sifat keturunan ): yaitu segala pengalaman jenis manusia sepanjang sejarah akan diwariskan
kepada anak keturunannya, mulai dari pengalaman hidup dalam gua-gua, berburu,
menangkap ikan, berperang, bertani, berhuma, membangun rumah sampai dengan
menciptakan kebudayaan dan seterusnya. Semua bentuk ini dihayati oleh anak dalam bentuk
permainan-permainannya.
5. Teori biologis, Karl Groos, sarjana Jerman ( dikemudian hari Maria Montesori juga
bergabung pada paham ini ) : menyatakan bahwa permainan itu mempunyai tugas biologis,
yaitu melatih macam-macam fungsi jasmani dan rohani. Waktu-waktu bermain merupakan
kesempatan baik bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkunagn hidup itu
sendiri. Sarjana William Stren menyatakan permainan bagi anak itu sama pentingnya dengan
taktik dan manouvre- manouvre dalam peperangan , bagi orang dewasa. Maka anak manusia
itu memiliki masa remaja yang dimanfaatkan dengan bermain-main untuk melatih diri dan
memperoleh kegembiraan.
6. Teori Psikologis Dalam, menurut teori ini, permainan merupakan penampilan dorongandorongan yang tidak disadari pada anaka anak dan orang dewasa. Ada dua dorongan yang
paling penting menurut Alder ialah : dorongan berkuasa, dan menurut Freud ialah dorongan
seksual atau libidi sexualis. Alder berpendapat bahwa, permaina memberikan pemuasann
atau kompensasi terhadap perasaan- perasaan diri yang fiktif. Dalam permainan juga bisa
disalurkan perasaan-perasaan yang lemah dan perasaan- perasaan rendah hati.
7. Teori fenomenologis, professor Kohnstamm, seorang sarjana Belanda yang mengembangkan
teori fenomenologis dalam pedagogic teoritis,nya menyatakan, bahawa permaina merupakan
satu, fenomena/gejala yang nyata. Yang mengandung unsure suasana permainan. Dorongan
bermain merupakan dorongan untuk menghayati suasana bermain itu, yakni tidak khusus
bertujuan untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, akan tetapi anak bermain untuk
permainan itu sendiri. Jadi, tujuan permainan adalah permaianan itu sendiri.
Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang berkembang sehingga
pembahasan teori bermain banyak dipengaruhi oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi
untuk memulihkan tenaga sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan
karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan bermain. Jadi penjelasan
mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada makhluk hidup belum dapat dijawab secara
memuaskan.
Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat dikategorikan dalam
teori klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa muncul perilaku bermain serta apa tujuan
dari bermain. Ellis (dalam Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena
teori itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset eksperimental. Teori
klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan
teori rekreasi, serta (2) teori rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller seorang penyair
berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf Inggris (abad 19)
mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan mengapa ada perilaku bermain. Herbert
Spencer di dalam bukunya Principles of Psychology,pertengahan abad 19 (dalam Millar, 1972)
mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat, bergulingan yang menjadi
ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak binatang perlu dijelaskan secara berbeda.
Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan dan ini hanya berlaku
pada manusia serta binatang dengan tingkat evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai
tingkat evolusi lebih rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk
mempertahankan hidup. Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat evolusi rendah sangat
terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga untuk mempertahankan hidup. Energi lebih ini
dapat diumpamakan sebagai sistem kerja air atau gas yang akan menekan ke semua arah untuk
mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan butuh penyaluran yang lebih banyak bila
volume air atau gas sudah melebihi daya tampungnya.
Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh besar terhadap psikologi,
namun teorinya dirasakan kurang tepat dan mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan
cepat-cepat akan menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya selesai.
Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain dengan mainannya. Dari kedua
contoh tersebut, jelas tergambar bahwa bermain merupakan suatu insentif, dan bukan muncul
akibat kelebihan energi.
Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi tentang anak. Apa yang
dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di
dalam bukunya Origin of Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa
manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah akhirnya merangsang dan
mendorong minat para ilmuwan untuk mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai
menjadi dewasa. Kalau sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari perilaku
manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih ilmiah, melalui metode
observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat pencatatan atas perkembangan anak-anak
mereka.
G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat terhadap teori
evolusi dan bidang pendidikan, dia juga mempelajari perkembangan anak. G. Stanley Hall
meninjau bermain dari teori rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: anak
merupakan mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia. Artinya anak
menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel satu) sampai menjadi
janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur dengan sperma sampai anak lahir, melampaui
beberapa tahap perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari species ikan
sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan sesorang akan mengulangi
perkembangan ras tertentu sehingga pengalaman-pengalaman nenek moyangnya akan tertampil
didalam kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al, 1999). Teori
rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai tahapan kegiatan bermain yang
mengikuti urutan sama seperti evolusi makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk
bermain air dapat dikaitkan dengan kegiatan nenek moyangnya, species ikan yang mendapat
kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk memanjat pohon dan berayun dari satu
dahan ke dahan lain sebagai cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul
sebelum anak terlibat dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 12 tahun, anak senang
berkemah, berperahu, memancing, berburu bersama sekelompok teman dan ini merupakan
cermin kebiasaan masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja
mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai peran besar karena
berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap
usia.
Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang meyakini bahwa
bermain berfungsi untuk memperkuat instink yang dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa
mendatang. Dasar teori Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles
Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia mempunyai ketrampilan yang
diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru lahir dan juga binatang mewarisi sejumlah instink
yang tidak sempurna dan instink ini penting guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat
bagi yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instinknya. Jadi tujuan bermain
adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.
Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih ketrampilan untuk bertahan
hidup dapat kita amati pada anak-anak kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai
latihan menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada lain sebagai
latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan
untuk bicara.
Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi sekaligus memberi
sumbangan karena kegiatan bermain yang dulunya dianggap tidak berguna, pada kenyataannya
mempunyai manfaat secara biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu
pendapat bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih bisa diterima.
buah apel. Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan
aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.
Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang sangat
erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa yang akan
datang. Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan
ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa
dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan
lain sebagainya.
Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak
memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang
mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan
manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer bertujuan untuk
mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain berfungsi
untuk mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi kecemasan yang
berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa bermain fantasi dan
imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut Freud, melalui bermain dan
berfantasi anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak
dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak main perang-perangan untuk
mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-pura bertarung untuk
menunjukkan kekesalannya.
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa bermain
mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan kiri secara
seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman
yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang
sangat baik untuk menerima pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena
melalui bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek
fisik, sosial emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui
permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar
keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun dampak
jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan lebih percaya
diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif . Pengembangan aspek fisik
motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial emosional anak.
Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak
mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk hidup
dan bekerja sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam
kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak yang lain,
belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri, mampu mengatur emosi, dan
belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi, keinginan yang tak terucapkan juga
semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan sosiodrama.
Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan perhatian
dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen, melatih ingatan,
3. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan bahagia
dalam melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress. Biasanya
ditandai dengan tertawa dan komunikasi yang hidup.
4. Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada anak usia
prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak mampu membangun
suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada, sesuai dengan mimpi-mimpi
indah serta kreativitas mereka yang kaya.
5. Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun
keduanya sekaligus.
Perbedaan Permainan Tradisional dan Modern
a. Pengertian Permainan Tradisional
Permainan tradisional menurut James Danandjaja (1987) adalah salah satu bentuk yang
berupa permainan anak-anak, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu,
berbentuk tradisional dan diwarisi turun temurun serta banyak mempunyai variasi. Sifat atau cirri
dari permainan tradisional anak sudah tua usianya, tidak diketahui asal-usulnya, siapa
penciptanya dan darimana asalnya. Biasanya disebarkan dari mulut ke mulut dan adang-kadang
mengalami perubahan nama atau bentuk meskipun dasarnya sama. Jika dilihat dariakar katanya,
permainan tradisional tidak lain adalah kegiatan yang diatur oleh suatu peraturan permainan yang
merupakan pewarisan dari generasi terdahulu yang dilakukan manusia (anak-anak) dengan
tujuan mendapat kegembiraan.
Menurut Atik Soepandi, Skar dkk. (1985-1986), permainan adalah perbuatan untuk
menghibur hati baik yang mempergunakan alat ataupun tidak mempergunakan alat. Sedangkan
yang dimaksud tradisional adalah segala sesuatu yang dituturkan atau diwariskan secara turun
temurun dari orang tua atau nenek moyang. Jadi permainan tradisional adalah segala perbuatan
baik mempergunakan alat atau tidak, yang diwariska secara turun temurun dari nenek moyang,
sebagai sarana hiburan atau untuk menyenangkan hati.
Permainan tradisional ini bisa dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu : permainan untuk
bermain (rekreatif), permainan untuk bertanding (kompetitif) dan permainan yang bersifat
edukatif. Permainan tradisional yang bersifat rekreatif pada umumnya dilakukan untuk mengisi
waktu luang. Permainan tradisional yang bersifat kompetitif, memiliki ciri-ciri : terorganisir,
bersifat kompetitif, diainkan oleh paling sedikit 2 orang, mempunyai criteria yang menentukan
siapa yang menang dan yang kalah, serta mempunyai peraturan yang diterima bersama oleh
pesertanya. Sedangkan perainan tradisional yag bersifat edukatif, terdapat unsur-unsur
pendidikan di dalamnya. Melalui permainan seperti ini anak-anak diperkenalkan dengan
berbagai macam ketrampilan dan kecakapan yang nantinya akan mereka perlukan dalam
menghadapi kehidupan sebagai anggota masyarakat. Berbagai jenis dan bentuk permainan pasti
terkandung unsur pendidikannya. Inilah salah satu bentuk pendidikan yang bersifat non-formal di
dalam masyarakat. Permainan jenis ini menjadi alat sosialisasi untuk anak-anak agar mereka
dapat menyesuaikan diri sebagai anggota kelompok sosialnya.
Jamuran ya ge ge thok
Sira badhe jamur apa?
Bermacam-macam jawaban jamuran tempo dulu:
Jamur gagak : anak berlari sambil merentangkan tangan sambil mengucap nama anak
yang dikejar, jika hampir tertangkap segera jongkok agar tidak jadi.
Jamur parut : mempersiapkan telapak kaki untuk digelitiki, pemain yang kelihatan
giginya jadi.
Jawaban yang lain adalah jamur kethek menek, jamur kendi bocor, jamur lilin, jamur bunga,
jamur kulkas, jamur kursi, jamur payung, dan sebagainya.
5. Cinciripit (petak umpet)
Cinciripit atau petak umpet minimal dimainkan oleh tiga orang anak. Seorang yang terpilih
dengan undian cinciripit akan berjaga dan menutup matanya, dan peserta lain bersembunyi.
Setelah itu yang berjaga mencari peserta lain, siapa yang paling awal ditemukan akan berganti
jaga dan bertugas mencari. Dalam bermain petak umpet diperlukan kejujuran dalam
permainannya.
6. Gapyak atau Bakiak
Gapyak atau bakiak mengadu keseimbangan dan kekompakan tim, dan termasuk permainan yang
kompetitif. Setiap kelompok biasanya terdiri dari tiga orang anak mengenakan sandal tandem
yang terbuat dari kayu. Pemenangnya adalah kelompok yang tidak terjatuh dan tercepat
mencapai garis finish.
7. Dakon
Dakon dimainkan oleh dua orang anak dengan membagikan biji dakon ke dalam lubang-lubang
dakon secara bergiliran. Pemain yang mendapatkan biji dakon terbanyak saat biji dakon habis
dinyatakan sebagai pemenang. Dengan bermain dakon, aspek emosional dan kemampuan
motorik anak dapat terlatih. Juga terdapat unsur kejujuran dalam permainannya.
8. Benthik
Permainan benthik ini membutuhkan alat berupa dua patahan ranting panjang dan pendek.
Ranting panjang sebagai pemukul. Pada intinya, benthik memperagakan ketrampilan memainkan
ranting kecil dengan memukul dan mengarahkan agar tidak tertangkap oleh lawan.
Setiap permainan tradisional di atas tentunya mempunyai kelebihan serta manfaat masingmasing. Namun secara umum, permainan-permainan tradisional memberikan manfaat yang luar
biasa pada perkembangan anak. Seperti dapat melatih kemampuan motorik anak, kejujuran,
kerjasama, kekompakan, ketrampilan, ketangkasan, keseimbangan, dan sikap, serta dapat melatih
jiwa kesosialan anak dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat. Permainan tradisional juga
memberikan pembelajaran kepada anak mengenai pentingnya menjaga lingkungan, menghormati
sesama, hingga cinta kepada Tuhan.
Permainan Tradisional Sebagai Media Pembelajaran
Permainan gatheng sebagai media pembelajaran penjumlahan matematika.
Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di kelas kadang terasa monoton hingga menyebabkan
siswa merasa jenuh. Untuk menghindari kejenuhan siswa maka dapat diselipkan permainan