menyembunyikan
kewajiban.
Dalam
dunia
hukum
perusahaan
internasional, istilah SPV dikenal juga dengan istilah lain seperti pseudo-foreign
corporations, direct conduit company, dan shell company.
Direct conduit company adalah anak perusahaan yang dibentuk
berdasarkan kesepakatan untuk menghindari pembayaran pajak berganda dari
penerimaan, dimana sebuah holding company akan didirikan di Negara yang
memiliki perjanjian pajak dengan kedua Negara (Negara induk dan anak
perusahaan), yang akan berfungsi sebagai pipa penyambung penerimaan dari anak
perusahaan kepada induk perusahaan.1 Shell company adalah perusahaan yang
tidak memiliki kegiatan bisnis apapun dan tidak memiliki aset-aset, biasanya
memiliki fungsi untuk mempermudah suatu perusahaan listing2 di bursa efek,
menghindari
dari
kewajiban
membuat
laporan
keuangan,
dan
untuk
Bursa Efek Jakarta, Keputusan Direksi PT. Bursa Efek Jakarta Tentang Peraturan
Nomor I.A Tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan
oleh Perusahaan Tercatat, No. Kep-305/BEJ/07-2004, Pasal I angka (16). Listing adalah
pencantuman suatu Efek dalam daftar Efek yang tercatat di Bursa sehingga dapat diperdagangkan
di Bursa.
3
Universitas Indonesia
foreign corporations adalah suatu badan hukum yang didirikan di satu Negara dan
semua atau sebagian besar transaksi bisnisnya berada di Negara lainnya.4
Dasar hubungan hukum yang terjadi antara perusahaan pendiri dan SPVnya dapat dijelaskan dalam pendekatan holding-subsidiary. Dalam pendekatan
SPV sebagai subsidiary atau anak perusahaan pihak yang mendirikannya disebut
sebagai holding company. Holding company merupakan suatu perusahaan yang
dinamakan perusahaan induk dimana perusahaan itu mengendalikan kegiatan
perusahaan-perusahaan lainnya.5 Holding Company dapat diartikan juga sebagai
perusahaan yang memiliki cukup banyak saham dengan hak suara perusahaan lain
untuk
mengawasi
kebijakan
dan
manajemennya.6
Pengertian
menurut
K. Smith dan D.J. Keane, Company Law, 3rd edition (London: McGraw Hill Inc., 1980),
hal. 746. Dikutip dari Sigit Russeno, Skripsi untuk memenuhi gelar Sarjana Hukum, Tinjauan
HPI Penggunaan SPV/SPE dalam Bentuk Badan Hukum Sebagai Upaya Penghindaran Pajak,
(Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 48.
6
Joel G. Siegel. Dan Jae K. Shim, Kamus Istilah Akuntansi (Jakarta: Media Elex
Komputindo, 1996), hal. 221. Dikutip dari Sigit Russeno, Op. Cit.
7
Terjemahan bebasnya adalah Induk perusahaan yang memiliki seluruh atau sebagian
besar saham dari anak perusahaannya, atau perusahaan yang memiliki kebebasan mengendalikan
saham perusahaan lain berdasarkan atas tujuan investasi dan pengendalian.
8
Harry Simon dan W.E. Karen Brock, Advanced Accounting (Taipe: Meyya publication,
1989), hal. 194. Dikutip dari Sigit Russeno, Op. Cit., hal. 49.
Universitas Indonesia
subsidiary yang didirikan dengan tujuan khusus dimana saham (dengan hak
suara)-nya dimiliki dalam jumlah banyak oleh perusahaan pendiri sehingga
kebijakan dan manajemennya diawasi dan aktivitasnya dikendalikan oleh
perusahaan pendiri tersebut.9
2.1.
Transnasional
Dalam penerbitan global notes,10 maka SPV yang digunakan adalah SPV
yang didirikan di luar wilayah hukum tempat induk perusahaan didirikan atau
yang biasa disebut off-shore SPV. Induk perusahaan membentuk anak perusahaan
atau perusahaan terkendali atau perusahaan terafiliasi di Negara tempat global
notes tersebut akan diterbitkan. Biasanya Negara yang dipilih adalah Negara yang
secara ekonomis memiliki keringanan pajak ataupun Negara yang memiliki
Double Tax Agreement (DTA) atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dengan Negara tempat induk perusahaan didirikan. Skema ini
menyebabkan perusahaan yang memiliki off-shore SPV (untuk selanjutnya akan
ditulis SPV saja) dapat diklasifikasikan sebagai perusahaan transnasional.
John H. Dunning, meletakkan beberapa pandangan awal mengenai teori
keberadaan Transnational Corporations (TNC) atau perusahaan transnasional dan
memberi definisi Transnational corporations are enterprises which own or
control value-added activities in two or more countries. The usual mode of
ownership and control is by foreign direct investment.11
9
Pengertian dalam jumlah banyak di Indonesia diartikan sebagai lebih dari 50% (lima
puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya, dan dikendalikan
memiliki arti kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi dan
Komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya. Lihat Indonesia (a), Undang-undang
Tentang Perseroan Terbatas, No. 1, LN. No. 13 Tahun 1995, TLN. No. 3587, penjelasan pasal 29.
10
Pengertian dari global notes sudah dijelaskan pada catatan kaki bab pertama. A bond
issued and traded outside the country whose currency it is denominated in, and outside the
regulations of a single country; usually a bond issued by a non-European company for sale in
Europe.
11
Universitas Indonesia
Ibid.
14
Ibid.
15
16
Universitas Indonesia
Joint venture (patungan usaha) melibatkan kerja sama dari dua atau lebih
induk perusahaan yang terhubung, melalui venture tersebut, dalam usaha untuk
mendapatkan kegiatan perdagangan umum, keuangan, ataupun teknis.17 Tidak
seperti hubungan holding-subdiary, dimana dikontrol oleh satu perusahaan
dominan, joint venture biasanya melibatkan kontrol saham oleh beberapa
perusahaan, dan diperlakukan sebagai suatu perusahaan asosiasi untuk keperluan
akuntansi. Informal Alliances between MNEs (persekutuan informal antar
perusahaan
transnasional)
mengambil
bentuk
penggabungan
perusahaan
yang
mengadopsi
strategi
ekspansi
secara
internasional,
atau
18
19
Indonesia (b), Undang-undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, No. 19, LN. No.
70 Tahun 2003, TLN. 4297, Pasal 1 angka (12). Privatisasi adalah penjualan saham Persero,
baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan
nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
pemilikan saham oleh masyarakat.
20
Ibid., hal. 75. Publicly-owned disini menurut Muchlinski adalah state-owned enterprise
atau perusahaan yang (sahamnya) dimiliki negara.
21
Universitas Indonesia
Chidir Ali, Badan Hukum, Cet. 2, (Bandung: PT. Alumni, 1991), hal. 21.
Universitas Indonesia
para ahli yang berlaku, partnership seperti firma dan CV adalah badan hukum
terpisah yang artinya bisa memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para
mitra.23 Dalam sistem common law, partnership dianggap sebagai badan yang
tidak dapat memiliki kewarganegaraan, tetapi di beberapa Negara civil law
partnership adalah badan hukum sehingga dapat memiliki kewarganegaraan.24
Dalam kewarganegaraan perusahaan ada 3 teori yang banyak digunakan sebagai
penentu permasalahan ini:
a)
b)
c)
23
I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2005), hal. 49 dan 53.
Firma adalah bentuk permitraan yang pada umumnya digunakan dalam bidang komersial
seperti usaha perdagangan dan pelayanan. CV atau yang biasa disebut Persekutuan
Komanditer adalah suatu perusahaan yang didirikan oleh satu orang atau beberapa orang secara
tanggung-menanggung, bertanggung jawab untuk seluruhnya atau bertanggung jawab secara
solider, dengan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang.
24
25
Sudargo Gautama (a), Hukum Perdata Internasional (Jilid III Bagian I Buku ke-7), Ed.
2, Cet. 2, (Bandung: PT Alumni, 2004), hal. 337.
26
Indonesia (c), Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas, No. 40, LN. No.106
Tahun 2007, TLN. No.4756, pasal 5.
Universitas Indonesia
2.1.1.1.
28
29
Universitas Indonesia
a) saham dalam jumlah yang besar dari sebuah perusahaan dimiliki dari
warga Negara dari Negara tersebut, contohnya apabila sebuah perusahaan
A yang merupakan warga negara X memiliki saham dalam jumlah besar
atas perusahaan B (warga negara Y);
b) perusahaan dikendalikan dari sebuah kantor di dalam Negara tersebut,
contohnya apabila perusahaan B (warga negara Y) dikendalikan dari
kantor di dalam negara X; atau
c) perusahaan memiliki sebuah principal place of business di Negara
tersebut, contohnya perusahaan B (warga Negara Y) memiliki tempat
bisnis utama di negara X.30
Negara yang memiliki pertautan tersebut (negara X) kepada sebuah perusahaan
(perusahaan B, warga negara Y) dapat memperlakukan perusahaan tersebut
seperti warga negaranya sendiri paling tidak untuk tujuan-tujuan tertentu. Bahkan
dalam keadaan tertentu Negara dapat mengenakan hukumnya untuk perusahaan
tersebut untuk tindakan-tindakan yang dilakukan diluar negara tersebut.31
Negara Perancis (menganut teori tempat manajemen efektif atau siege
social) mengatur bahwa perusahaan yang dikendalikan di negara lain, walaupun
dikendalikan dari Perancis, tidak diakui sama sekali di mata hukum Perancis
apabila prosedur pendirian perusahaan Perancis tidak pernah dipenuhi.32 Klaim
negara untuk mengontrol aktivitas perusahaan asing yang sebagian besar
sahamnya dimiliki oleh perusahaan negara tersebut dapat dilihat dalam kasus
FRUEHAUF CORP. melawan MASSARDY di Court Appeal Paris tahun 1965.
Klaim dari Amerika Serikat untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan dari sebuah
perusahaan karena mayoritas sahamnya dimiliki oleh sebuah induk perusahaan
Amerika Serikat, melawan klaim dari Perancis atas keberlakuan hukum Perancis
karena siege social-nya berada di Perancis.
30
31
Jason S. Bell, Violation of International Law and Doomed U.S. Policy: An Analysis of
The Cuban Democracy Act dalam University of Miami Inter-American Law Review Volume 25
Fall 1993, (University of Miami, 1993), hal 107.
32
Universitas Indonesia
10
33
35
37
Universitas Indonesia
11
memberikan
semua
negara jurisdiksi
atas
serangan
yang
Ibid.
41
42
Ibid.
43
Ibid.
44
Universitas Indonesia
12
45
Jason S. Bell, Loc. Cit., hal. 108-109. Prinsip ini menjadikan prinsip extraterritoriality
jurisdiction terhadap subsidiary asing dalam U.S. Cuban Democracy Act 1992 menjadi
kontroversi, karena Amerika Serikat juga menerapkan embargo ekspor ke Kuba bahan makanan
dan peralatan panen yang tidak memiliki efek yang substansial di Amerika Serikat.
46
47
48
49
Universitas Indonesia
13
50
Bryan A. Garner, Blacks Law Dictionary, 8th Edition, (St. Paul: West, 2004), arms
lenght: adj. Of or relating to dealings between two parties who are not related or not on close
terms and who are presumed to have roughly equal bargaining power; not involving a confidential
relationship (an arm's-length transaction does not create fiduciary duties between the parties).
51
52
Ibid.
53
United States Supreme Court, FIRST NATIONAL CITY BANK v. BANCO PARA EL
COMERCIO EXTERIOR DE CUBA, Decision of 17 June 1983, hal. 633-634.
54
Universitas Indonesia
14
hukum Deltec karena menganggap Cia-Swift adalah satu kesatuan unit ekonomi
(economic unit) dengan Deltec.55
Dalam kasus The Wood Pulp, The European Court of Justice (ECJ)
mengeluarkan putusan pada Desember 1988 yang menganut doctrine effect.56
Bahkan perusahan-perusahaan dalam Wood Pulp Cartel yang terlibat dalam kasus
price fixing tidak ada yang memiliki afiliasi di dalam European Community,
hanya sebatas mengekspor ke dalam saja. Pengadilan banding akhirnya mengakui
keberlakuan prinsip teritorial objektif yang menjadi dasar bagi prinsip doctrine
effect, bahkan memodifikasinya.57
2.1.1.2.
i.
55
Ibid. Satu kesatuan unit ekonomi diterjemahkan dengan unified structure of decision
and interest which makes (the Deltec enterprise) a single unit.
56
Ibid., hal. 320. Doctrine effet telah dijelaskan pada pembahsan A.1.1. diatas. Disebut
memodifikasi karena doctrine effect seharusnya berlaku terhadap subsidiary dari negara yang
menerapkan doktrin ini.
58
About
ICSID,
<http://icsid.worldbank.org/ICSID/FrontServlet?requestType=
CasesRH&actionVal=ShowHome&pageName=AboutICSID_Home>, diunduh tanggal 20
November 2008.
Universitas Indonesia
15
59
Ibid.
60
62
Gabriel Bottini, Indirect Claims Under The ICSID Convention dalam University of
Pennsylvania Journal of International Law Volume 29 Spring 2008, (Trustees of the University of
Pennsylvania, 2008), hal 569-570.
63
Universitas Indonesia
16
ii.
iii.
Perjanjian Bilateral
The Area and its resources are the common heritage of mankind. No State shall claim
or exercise sovereignty or sovereign rights over any part of the Area or its resources, nor shall
any State or natural or juridical person appropriate any part thereof. No such claim or exercise of
sovereignty or sovereign rights nor such appropriation shall be recognized. All rights in the
resources of the Area are vested in mankind as a whole, on whose behalf the Authority shall act.
Ibid., pasal 136-137.
68
Ibid., pasal 153 ayat (2) huruf (b) dan pasal 4 annex III.
69
There is hereby established the International Seabed Authority. All States Parties are
ipso facto members of the Authority. Ibid., pasal 156.
Universitas Indonesia
17
FCN
biasanya
memperlakukan
sebuah
71
United States (a), Convention Between the United States of America and the Federal
Republic of Germany for the Avoidance of Double Taxation With Respect to Taxes on Income (US
Treaty T.I.A.S. No. 3133, 5 U.S.T. 2768, 1954 WL 43360), pasal II angka (1) huruf (f).
72
United States (b), Convention Between the United States and France With Respect to
Taxes on Income and Property (US Treaty T.I.A.S. No. 6518, 19 U.S.T. 5280, 1968 WL), pasal 2.
73
United States (c), Convention of Establishment Between the United States of America
and France (U.S. Treaty T.I.A.S. No. 4625, 11 U.S.T. 2398, 1960 WL 57354), pasal XIV (4).
Companies means:
Universitas Indonesia
18
diakui dalam teritori contracting party yang lain.74 Dan contracting party
tersebut dapat me-reserve (mencabut sebagian dari perjanjian) keuntungan
dari perjanjian (kecuali pengakuan terhadap status hukum dan akses
kepada pengadilan), kepada setiap perusahaan yang dimana warga negara
third country secara langsung maupun tidak langsung mengendalikan
kepentingannya dalam hal kepemilikan saham dan pimpinannya.75
Definisi perusahaan dalam perjanjian FCN Amerika Serikat
dengan Jepang tercermin dari kasus Sumitomo Shoji America, Inc.,
perusahaan yang didirikan di New York dan wholly-owned (dimiliki
seluruhnya) oleh perusahaan Jepang. Pengadilan distrik New York
memandang bahwa pengertian companies pada perjanjian FCN76 adalah
sebuah prinsip inkorporasi, sehingga yang masuk ke dalam pengertian ini
adalah kantor cabang, bukan subsidiary dari perusahaan Jepang.77 Namun
pengadilan Appeal menganggap bahwa wholly-owned subsidiary dapat
dimasukkan ke dalam pengertian companies dalam perjanjian FCN,
sama halnya dengan kantor cabang (dari perusahaan Jepang) yang
beroperasi di Amerika Serikat.78 Pengadilan Appeal ini menyertai dengan
75
76
United States (d), Treaty of Friendship, Commerce and Navigation Between the United
States of America and Japan (US Treaty T.I.A.S. No. 2863, 4 U.S.T. 2063, 1953 WL 44533), Pasal
XXII ayat (3). Companies means corporations, partnerships, companies and other associations,
whether or not with limited liability and whether or not for pecuniary profit. Companies
constituted under the applicable laws and regulations within the territories of either Party shall be
deemed companies thereof and shall have their juridical status recognized within the territories of
the other Party.
77
United States District Court South District New York (a), AVIGLIANO v. SUMITOMO
SHOJI AMERICA, INC., 473 F.Supp. 506, 5 Juni 1979, hal. 510.
78
United States Court of Appeals Second Circuit (a), AVIGLIANO v. SUMITOMO SHOJI
AMERICA, INC., 638 F.2d 552, 9 Januari 1981, hal. 555-556.
Universitas Indonesia
19
alasan
mengapa
subsidiary
dimasukkan
kedalam
pengertian
2.1.1.3.
Saham
Ibid., hal. 556. Pertama, pengadilan distrik seharusnya melihat perjanjian FCN ini
untuk melindungi investasi asing secara umum dan tidak dibatasi oleh investasi asing melalui
kantor cabang. Kedua, perusahaan Jepang dapat saja dengan mudah mengelak dari pendapat
pengadilan distrik dengan cara merubah wholly-owned subsidiary-nya menjadi kantor cabang. Dan
yang terakhir, sejak pasal VI(4), VII(1), and VII(4) dari perjanjian memberikan subsidiary secara
eksplisit perlindungan dan hak-hak, maka mengeluarkan mereka dari hak-hak dalam pasal VII
adalah "crazy-quilt pattern."
80
81
United States (e), Agreement Between The Government of the United States of America
and the Government of the Polish People's Republic Regarding Claims of Nationals of The United
States (U.S. Treaty T.I.A.S. No. 4545, 11 U.S.T. 1953, 1960 WL 57278), pasal A Huruf (b) Annex.
82
American Law Institute, Loc. Cit., hal 65. Tidak memiliki genuine link diartikan
perusahaan didirikan di negara tersebut hanya untuk kenikmatan hukum atau legal convenience
(negara tax heaven) dan/atau perusahaan tidak memiliki hubungan yang berarti dengan negara
tersebut seperti properti, pendirian kantor atau pembukaan perdagangan atau industri, aktivitas
bisnis yang penting, atau kediaman yang berarti dari pemegang saham.
Universitas Indonesia
20
dari
perusahaan
kekurangan
kapasitas
untuk
melakukan
perlindungan.87
Kasus Barcelona Traction akhirnya memberikan preferen kepada negara
tempat berdirinya perusahaan (Kanada) daripada negara dengan pertautan yang
lebih banyak (Belgia), dalam hal mewakili perusahaan melawan negara ketiga
83
Case Concerning Barcelona Traction, Light and Power Company, Limited, Judgement
of
5
February
1970
(second
phase),
<http://ita.law.uvic.ca/documents/ICJBarcelonaSecondDecision.pdf.>, diunduh pada 23 Oktober 2008.
84
Ibid.
85
Ibid.
86
Universitas Indonesia
21
88
89
90
International Court of Justice (a), Op. Cit., hal. 48-49 (Delivers Judgement), poin. 95.
91
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.5, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal 227-228.
92
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Cet.2, (Malang: UMM Press, 2007), hal 112.
93
Indonesia (c), Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas, No. 40, LN. No.106
Tahun 2007, TLN. No.4756, pasal 142 ayat (1) huruf (d).
94
Universitas Indonesia
22
saham
inilah
menjadi
sebuah
tes
dari
kewarganegaraan
perusahaan.100
95
Bryan A. Garner, Op. Cit., Calvo clause: A contractual clause by which an alien
waives the right to invoke diplomatic immunity. Such a clause typically appears in a contract
between a national government and an alien.
96
97
99
Detlev F. Vagts, The Corporate Alien dalam Harvard Law Review Volume 74 June
1961, (Harvard Law review Association, 1961), hal. 1537.
100
Universitas Indonesia
23
2.1.1.4.
Pseudo-foreign Corporations
dengan
pseudo-foreign
corporations
telah
dikeluarkan.103
Ervin R. Latty, Pseudo-foreign Corporations dalam S.J. Rubin and Don Wallace, Jr.
(eds), United Nations Library on Transnational Corporation Volume 19 (Transnational
Corporations and National Law), (London: Routledge, 1994), hal.72.
102
North Carolina Business Corporation Act, 1955 North Carolina Session Law 1432,
Chapter 1371.
103
Ibid.
Universitas Indonesia
24
yang berlaku. Lalu keabsahan dari kontrak tersebut ditentukan dari tempat
berlangsungnya kontrak, yaitu negara tempat inkorporasi. Kebebasan dalam AD
tetap memiliki batasan dalam bentuk aturan-aturan khusus yang diharuskan atau
dilarang oleh pengadilan maupun undang-undang. Sangatlah tidak logis apabila
hukum lokal secara otomatis dikeluarkan keberlakuannya hanya karena pihakpihak, dengan memilih negara inkorporasi, menerapkan kebebasan berkontrak
dalam hal hukum lokal tidak secara sepenuhnya membiarkan kebebasan
berkontrak.104 Supremasi eksklusif hukum dari negara inkorporasi mungkin
diberikan karena menghasilkan kepastian dan kemudahan aplikasi. Namun itu
bukan berarti hukum lokal bagi pseudo-foreign corporations akan mempersulit,
tetapi bukan berarti pula hukum tersebut berlaku penuh karena formalitas
prosedural adalah murni hukum negara inkorporasi. Doktrin yang menyebutkan
bahwa perusahaan adalah entitas terpisah dari para pemegang sahamnya
memanglah memberikan kemudahan dan kepastian, tetapi seringkali aplikasinya
tidak realistis.105 Penyelesaiannya adalah pemisahan entitas akan dikesampingkan
apabila sangat diperlukan untuk menghindari hasil yang tidak menyenangkan,
seperti apabila sebuah perusahaan memiliki modal yang terlalu tipis sehingga
pendiri dianggap tidak memiliki limited liability.106
b. Pseudo-foreign
corporations
sebagai
pengecualian
teori
inkorporasi
Sebagian besar pembicaraan hukum di Perancis memusat kepada konsep
dari kewarganegaraan dari sebuah perusahaan, yang akan mengatur hukum
personal yang dapat diterapkan kepada perusahaan. Seperti telah disebutkan
sebelumnya banyak para ahli yang mempertentangkan konsep nasionalitas ini,
namun terlepas dari apakah hukum yang mengatur perusahaan adalah melalui
konsep nasionalitas atau yang lain, faktor yang menentukan dalam menentukan
lokasi perusahaan adalah manajemen aktif atau social seat.107 Selalu ada
104
105
106
107
Ibid., hal. 78. The concept of social seat is an attempt to get at the place where the
center of the corporate activities mat be logically said to be-the brain or nerve center, if one
Universitas Indonesia
25
kelemahan untuk semua teori, begitu juga dengan social seat ini, tetapi jarang
sekali ada kejadian dimana markas eksekutif atau kantor utama tidak dapat
ditentukan, paling tidak diantara dua negara.
Walaupun adanya perbedaan pendapat mengenai doktrin diantara otoritas
hukum negara-negara, tetapi ada satu kebulatan suara atas satu hal yaitu tempat
inkorporasi tidak membuat pada kenyataannya mengatur hukum yang mengatur
perusahaan. Ervin R. Latty dalam artikelnya Pseudo-foreign corporations
menyebutkan dan menterjemahkan beberapa pandangan ahli hukum internasional
yang diambil dari buku mereka:108
It would permit the most notorious frauds, since a quick trip to London or
Guernsey would suffice to fix the companys nationality....Nationality
would thus depend on the founders arbitarty will, and this is very danger
that case law...has sought to avoid. COPPER ROYER, SOCIETES
ANONYMES 21 (3d ed. 1925).
"Nationality cannot depend on the will of the founders .... Otherwise, it
would be too easy for the founders to evade the laws that they deem too
severe .... For the same reason the nationality of a company cannot
depend, jure soli, on the country where ... the formalities or organization
were accomplished. HOUPIN & BOSVIEUX, SOCIETES 223-24 (6th ed.
1928).
"French case-law has never viewed the place of formation of the
corporation as the determinative element serving as a base for the
applicable law .... Since the founders would be able to form their
corporation in any country they choose, the situation would be exactly as
if one applied the rule of autonomy [i.e., let the incorporators arbitrarily
choose the law for the corporation]. LOUSSOUARN, CONFLITS DE
LOIS EN MATIERE DE SOCIETES 54,51 (1949).
"One cannot permit the founders ... to decide at their pleasure whether the
company they are forming shall be French or foreign. Otherwise, the
founders could take the company out from under the provisions of the
[French corporation] laws. These laws would thereby become a dead
letter, to be evaded whenever they seem inconvenient. LYON-CAEN &
RENAULT, TRAITE DE DROIT COMMERCIAL 1023-24 (5th ed. 1929).
may resort to anthropomorphic language. Perhaps a rough approximation, for our purpose, would
be the main office or the executive headquarters.
108
Universitas Indonesia
26
"Nationality cannot be fixed by the laws of the place where the act of
incorporation took place since thereby the founders could ... elude the
protective rules of the law .... SURVILLE, DROIT INTERNATIONAL
PRIVE 720 (7th ed. 1925).
Percobaan untuk membawa urusan perusahaan dibawah hukum dari negara yang
salah dipandang sebagai penipuan hukum walaupun terbukti tidak adanya
maksud subjektif untuk menghindari atau menipu siapapun, jadi apabila social
seat adalah lokal maka inkorporasi di luar negeri tidak membuat perusahaan
menjadi asing untuk kebutuhan hukum perselisihan.109
Social seat harus diterapkan senyatanya, sehingga apabila social seat
sebenarnya adalah negara inkorporasi, walaupun secara logika semestinya
memiliki karakter lokal, maka perusahaan berhasil dianggap sebagai perusahaan
asing. Maka dari itu banyak penulis yang menyatakan bahwa social seat tidaklah
cukup hanya dengan yang nyata atau riil tetapi juga yang serius, yang berarti
alasannya harus bisa memenuhi alasan bisnis yang serius, tidak hanya keinginan
untuk lepas dari hukum lokal saja.110 Tetapi ini bukan berarti apabila sebuah
alasan bisnis yang substansial ada untuk meng-inkorporasi di jurisdiksi tertentu,
perusahaan dapat diatur oleh hukum negara inkorporasi dimanapun social seatnya berada. Karena alasan bisnis yang substansial hanya berfungsi memperkuat
alasan apabila social seat-nya sama dengan tempat inkorporasi.
Apabila pengadilan di Eropa telah menetapkan sebuah perusahaan adalah
lokal, walaupun didirikan di luar negeri, maka akan berlaku hukum lokal
baginya.111 Bahkan dapat dinyatakan tidak ada apabila tidak dapat memenuhi
hukum lokal tersebut, atau bisa juga perusahaan dinyatakan tidak sempurna yang
akan menghilangkan sifat limited liability.112 Banyak sekali istilah-istilah hukum
yang dapat digunakan pengadilan-pengadilan (pada kasus yang tepat) untuk
mengesampingkan entitas perusahaan, maka aturan perselisihan yang pada intinya
109
110
111
Ibid.
112
Ibid., hal. 80. Hemard, Nullits de Socits (1926), hal 456 dan 839.
Universitas Indonesia
27
Ibid., hal 86. istilah-istilah hukum tersebut: alter ego, buffer, blind, cloak, cover,
delusion, dummy, mere fiction, mere form, mere formality, illusory mirage, screen, sham,
simulacrum, subterfuge, tool.
114
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 8.
115
Universitas Indonesia
28
perusahaan dan mengenakan tanggung jawab kepada pemilik perusahaan. Jadi hal
yang paling utama adalah membuktikan bahwa perusahaan dan pemiliknya tidak
lagi bertindak sebagai subjek hukum yang terpisah dan ada tindakan yang
melanggar hukum yang dilakukan oleh perusahaan.116 Terdapat dua teori yang
dapat membuktikan bahwa perusahaan dan pemiliknya tidak bertindak sebagai
subjek hukum yang terpisah, yaitu alter ego theory dan instrumentality theory.
Dalam alter ego theory, pengadilan akan mengabaikan asas keterpisahan
keberadaan perusahaan apabila tampaknya pemilik perusahaan itu telah
melakukan seperti itu pula. Dua elemen yang harus dibuktikan oleh penutut
adalah: (1) bahwa perusahaan sangat terpengaruhi dengan tindakan pemiliknya
sehingga batasan mereka menjadi hilang; dan (2) apabila dipertahankan asas
keterpisahan badan hukum dengan pemiliknya pada kasus tersebut maka akan
menimbulkan ketidakadilan atau penipuan/pemalsuan.117 Pengadilan menentukan
suatu perusahaan merupakan alter ego dari pemiliknya apabila terdapat salah satu
faktor-faktor: (1) permodalan yang tidak pantas; (2) kegagalan memenuhi
formalitas perusahaan; (3) percampuran dana; dan (4) memperlakukan aset
perusahaan sebagaimana milik individual.118
Instrumentality theory menyatakan pemilik perusahaan bertanggung jawab
atas tindakan perusahaan apabila penuntut dapat membuktikan tiga syarat, yaitu:
(1) penggunaan perusahaan sebagai instrumen pemilik, syarat ini diartikan sebagai
penguasaan mutlak atas suatu subjek hukum; (2) tujuan yang melawan hukum;
dan (3) akibat kerugian atau kehilangan yang tidak adil dikarenakan tindakan
perusahan
tersebut.119
Penguasaan
mutlak
memerlukan
penuntut
untuk
membuktikan adanya kontrol yang luar biasa atas perusahaan yang digunakan
pemiliknya untuk melakukan penipuan atau pelanggaran, melanggar kewajiban
perusahaan, melakukan tindakan yang tidak jujur dan tidak adil atas hak hukum
116
117
Handel C.H. Lee dan David M. Blumental, Parent Company and Shareholder
Liability: Piercing the Corporate Veil of Chinese Corporate Subsidiaries dalam Business Law
International Volume 5 No. 2, ((G) Business Organisations, 2004), hal 223.
118
119
Handel C.H. Lee dan David M. Blumental, Op. Cit., hal. 224.
Universitas Indonesia
29
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
120
Universitas Indonesia
30
tindakan-tindakan subsidiary.122
Dapat dilihat bahwa salah satu hal pokok yang dapat menyebabkan
hilangnya pertanggungjawaban terbatas dalam perusahaan adalah adanya
domination and control.123 Dalam hal ini terkait dengan kegiatan atau perbuatan
curang yang berlidung di balik tameng perusahaan dalam bentuk perseroan yang
oleh hukum diberikan atau mempunyai tanggung jawab terbatas. Dalam
melakukan uji tersebut diatas, yaitu dengan menentukan apakah suatu perusahaan
berada dalam kendali penuh, dapatlah diketahui sampai seberapa jauh perusahaan
telah menjadi perpanjangan tangan pemegang saham. Apabila terbukti maka
piercing the corporate veil akan menghapuskan sifat pertanggungjawaban terbatas
pemegang saham terhadap setiap bentuk kerugian.
2.1.2.2.
Gunawan Widjaja (b), Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Cet.
2, (Jakarta: ForumSahabat, 2008), hal. 30.
122
123
124
Kasus ini sudah dijelaskan sedikit pada pembahasan 2.1.1.3. tentang Perlindungan
Diplomatik Perusahaan dalam Melindungi Pemegang Saham atau Anak Perusahaan Melawan
Negara Inkorporasi hal. 27 laporan penelitian ini.
Universitas Indonesia
31
International Court of Justice (a), Op. Cit., Separate Opinion of Judge Jessup, hal. 166167, poin. 13.
126
Ibid., hal. 167., poin 14. In so far as there has been an increase in the permissible
limits of the exercise of State authority over foreign corporate enterprises, there must be an
accompanying realistic liberalisation of rules identifying the State or States which may, in case of
abuse, invoke the right of diplomatic protection.
127
128
Universitas Indonesia
32
perusahaan berkenaan dengan hubungan yang nyata dan efektif antara perusahaan
dengan negara seperti yang tercermin dari kewarganegaraan individu dalam kasus
Nottebohm.129 Hanya kasus ini saja di ICJ yang sehubungan dengan piercing the
corporate
veil,
kebanyakan
kasus-kasus
penyingkapan
tabir
diputuskan
Adjudicatory Jurisdiction
J.P. Griffin, Power of Host Counties over Multinationals: Piercing the Corporate
Veil dalam S.J. Rubin and Don Wallace, Jr. (eds), United Nations Library on Transnational
Corporation Volume 19 (Transnational Corporations and National Law), (London: Routledge,
1994), hal. 278.
131
132
Fakta-fakta seperti: jumlah kepemilikan saham dari subsidiary; kehadiran petugas atau
direksi yang sama; mencampuradukan kegiatan kedua entitas daripada memisahkan dengan teliti
pemisahan rekening dan pengembalian pajak; kapitalisasi dari subsidiary; perwakilan dari entitas
lain yang membuat kabur pemisahan dari dua unit; kemungkinan kesalahan karena itikad buruk,
penggelapan, atau sifat ilegal; tingkat pengawasan sampai kegiatan perhari subsidiary; dan
tanggung jawab utama untuk kegiatan dari subsidiary.
Universitas Indonesia
33
subsidiary dari induk perusahaan negara lain dapat jatuh ke dalam jurisdiksi
mereka.133 Dua aliran dari penyingkapan tabir (lifting the veil) telah dihasilkan.134
Yang pertama dan yang paling umum adalah merging separate entities, yaitu
memperlakukan dua atau lebih entitas sebagai satu entitas dalam hal berurusan
dengan realitas bisnis atau perwakilan dari grup perusahaan. Dan yang kedua
adalah pengadilan menerapkan konsep dari agency dalam hubungannya antara
dua entitas yang berbeda.
a. Merging Separate Entities
Contoh dari aliran ini adalah kasus Swiss Matchmakers Case tahun
1985, dimana pengadilan distrik Amerika Serikat mengakui bahwa
kegiatan perniagaan yang menyeluruh dan dominasi finansial sebuah
induk
perusahaan
kepada
subsidiary-nya
tidak
membawa
induk
Commercial
Solvents
(Amerika
Serikat)
dan
lInstituto
133
135
United States District Court South District New York (b), UNITED STATES v.
WATCHMAKERS OF SWITZERLAND INFORMATION CENTER, 133 F. Supp. 40, hal. 45.
136
Ibid.
Universitas Indonesia
34
137
Ibid., point 6.
139
140
United States Court of Appeals Second Circuit (b), FRUMMER v. HITON HOTELS
INTERNATIONAL (Judgement of 18 may 1967), 19 N.Y.2d 533, 227 N.E.2d 851, 281 N.Y.S.2d
41., hal. 42.
141
Universitas Indonesia
35
tidak
memberi
penjelasan
lebih
lanjut
atas
Legislative Jurisdiction
hukum
nasional.
Permasalahan
mengenai
batasan
oleh
hukum
internasional, atas penerapan dari kekuasaan oleh negara tuan rumah terhadap
tindakan induk perusahaan asing yang tidak bertransaksi bisnis di dalam forum
(hukum personal)-nya sendiri, dapat muncul dalam dua situasi: mereka yang
142
United States Court of Appeals Second Circuit (b), Loc. Cit., hal. 47.
143
144
Universitas Indonesia
36
unsur penting dari kegiatan induknya berada di dalam forum, dan mereka yang
kegiatannya terjadi seluruhnya di luar forum.145
2.2.
lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk
perusahaannya
b.)
lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh
induk perusahaannya; dan atau
145
146
BPHN, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Buku I (Jakarta: BPHN, 2003),
hal. 10.
Universitas Indonesia
37
c.)
dan
perusahaannya.
Komisaris
sangat
dipengaruhi
oleh
induk
147
b.)
c.)
147
148
149
Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (a), Keputusan Ketua
Bapepam&LK Tentang Peraturan Nomor IX.H.1 Tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka,
Nomor Kep-259/BL/2008, Angka 1 huruf d.
Universitas Indonesia
38
d.)
langsung,
mengendalikan
atau
dikendalikan
oleh
perusahaan tersebut;
e.)
f.)
Indonesia (d), Undang-undang Tentang Pasar Modal, No. 8, LN. No. 64 Tahun 1996,
TLN. No. 3608, Pasal 1 Angka 1.
151
Universitas Indonesia
39
yang jatuh temponya lebih dari 2 tahun.153 Kesepakatan itu segera dimanfaatkan
perusahaan-perusahaan Indonesia yang membutuhkan dana dari luar negeri, dan
mendirikan perusahaan di Belanda. Perusahaan yang lazim disebut sebagai SPV
itulah yang akan berburu dana dari kreditur di luar negeri, dan dana itulah yang
lalu dipinjamkan ke induk perusahaan di dalam negeri.
Dalam merespons kegiatan perusahaan terhadap negara mitra P3B
Indonesia seperti di atas, pemerintah mempertegas aturan mengenai pengertian
pemilik manfaat atau beneficial owner dari penerima pemotongan pajak ini. Pada
Juli 2005, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan
mengeluarkan aturan secara resmi mengenai beneficial owner. Aturan tersebut
mengatur mengenai pengertian dan kriteria beneficial owner, dan secara jelas
menyebutkan bahwa SPV tidak termasuk ke dalam pengertian beneficial owner
sehingga tidak dapat merasakan keringanan pajak dari P3B dan tetap tunduk
terhadap undang-undang pajak penghasilan Indonesia.154 Beneficial Owner sendiri
dijelaskan sebagai pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen,
Bunga dan atau Royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara
langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.155
Agustus 2008 Pemerintah memperbaharui aturan tersebut. Pengertian
benecial owner masih tidak berubah namun pemerintah menambah penegasan
bahwa Wajib Pajak luar negeri (WPLN) yang menerima atau memperoleh
penghasilan dividen, bunga, atau royalti adalah:
a.)
Pencegahan Pengelakan Pajak Yang Berkenaan Dengan Pajak Atas Penghasilan, No. 92, LN.
No. 130 tahun 2003, Pasal 11 ayat (2).
153
154
Direktorat Jenderal Pajak (a), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Tentang Petunjuk
Penetapan Kriteria Beneficial Owner Sebagaimana Tercantum Dalam Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Lainnya, No.SE-04/PJ.34/2005.
155
Ibid.
Universitas Indonesia
40
b.)
Direktorat Jenderal Pajak (b), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Tentang
Penentuan Status Beneficial Owner Sebagaimana Dimaksud Dalam Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda Antara Indonesia dengan Negara Mitra, No. SE-03/PJ.03/2008.
157
159
Universitas Indonesia
41
dan sebagai penerbit surat utang, dan dijelaskan bahwa memiliki sifat bankruptcy
remote terhadap kreditor asal.160
Awal 2008 pemerintah memperbaharui aturan mengenai pembiayaan
sekunder perumahan ini tanpa mencabut aturan yang lama. Beberapa aturan yang
dirubah dalam Perpres baru ini merubah fungsi dari SPV, seperti sekarang dalam
EBA yang memiliki instrumen surat utang dan surat partisipasi, SPV hanya
menerbitkan instrumen yang pertama saja.161 Dalam aturan yang baru ini ini juga
menambah pengaturan bahwa SPV tidak bersifat permanen sampai berakhir fungsi
dan tugas SPV dalam transaksi sekuritisasi.162
Pembiayaan sekunder perumahan, atau yang lebih dikenal dunia dengan
subprime mortgage, telah membuat Amerika Serikat mengalami economic crunch
dan menyebabkan raksasa-raksasa keuangan seperti Lehmann Brothers bangkrut
pada pertengahan 2008. Hal ini disebabkan banyaknya dana investor tersedot ke
dalam skema pembiayaan perumahan ini sedangkan pada kenyataannya sejak
2003 industri perumahan tidak menghasilkan dana seperti yang diprediksikan oleh
para lembaga keuangan yang mengelola dana tersebut. Apabila melihat kenyataan
pembiayaan perumahan di Indonesia, yang aturannya baru dibentuk pada tahun
2005 dan diperbaharui tahun 2008, masih sedikit sekali dana yang tersedot karena
masih diragukannya konsep SPV dalam skema pembiayaan ini.
160
161
Universitas Indonesia
42
mempercepat
penerbitan
KIK-EBA
dari
beberapa
perusahaan.168
163
Indonesia (h), Undang-undang Tentang Surat Berharga Syariah Negara, No. 19, LN.
No. 70 tahun 2008, TLN. No. 4852,Mukadimah.
164
165
Ibid., Pasal 7.
167
168
Skim Pajak untuk REITs dan KIK EBA Segera Terbit, <http://pajak.com/content/view/
1681/48/>, diunduh tanggal 13 Oktober 2008.
Universitas Indonesia
43
2.2.4. SPV sebagai Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA)
dalam Pasar Modal
Dalam praktek istilah sekuritisasi aset diidentikkan dengan Asset Backed
Securities atau Efek Beragun Aset (EBA). Adapun piutang yang dapat dijadikan
underlying meliputi: piutang hipotek rumah, kredit mobil, kartu kredit, sewa guna
usaha. Perkembangan EBA di Indonesia terbilang sangat baru, dimana tercatat
pertama kali terjadi adalah sekuritisasi aset kartu kredit oleh City Bank pada tahun
1995, dan inipun dilakukan di luar negeri.170
EBA merupakan salah satu instrumen Pasar Modal yang mempunyai latar
belakang aspek hukum yang cukup kompleks, terutama mengenai bentuk hukum
yang dapat dipakai sebagai SPV dan pengalihan hak atas aset. SPV sendiri dalam
hal ini di kebanyakan negara memiliki bentuk trust atau sebagai trustee, namun
Indonesia tidak mengenal konsep ini. Bapepam selaku pemegang otoritas pasar
modal di Indonesia menentukan bahwa bentuk dari SPV adalah Kontrak Investasi
Kolektif (KIK) antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat
pemegang Unit Penyertaan dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk
mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang
untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.171 Dalam undang-undang pasar modal
Indonesia bentuk hukum ini dinyatakan secara jelas dalam kaitannya dengan
Reksa Dana.172
KIK-EBA yang dibuat antara Manajer Investasi dengan Bank Kustodian
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
169
Ibid.
170
Tim Studi Perdagangan EBA, Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset
(Jakarta: Proyek Peningkatan Efisiensi Pasar Modal Bapepam, 2003), hal. i.
171
Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (b), Keputusan Ketua Bapepam
Tentang Peraturan Bapepam Nomor IX.K.1 Tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset, No. Kep-28/PM/2003, angka 1 huruf a.
172
Universitas Indonesia
44
a.)
b.)
c.)
d.)
e.)
Melihat bentuk dan karakteristik KIK-EBA ini maka bentuk SPV disini bukanlah
bentuk hukum perseroan terbatas tetapi merupakan kontrak yang secara umum
tunduk terhadap aturan kontrak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek).
Pada konsep ini juga terjadi pengalihan aset dari kreditur awal kepada SPV
(KIK-EBA) untuk menjamin penerbitan EBA, dan lalu kemudian aset ini dicatat
atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan pemegang EBA.174 Hal ini
menyebabkan aset tersebut tidak dapat dijadikan objek pailit oleh pengadilan,
karena aset yang disimpan atau dicatat Bank Kustodian bukan merupakan bagian
harta dari Kustodian tersebut.175
2.3.
sekuritas yang didukung oleh aset-aset keuangan seperti pinjaman atau obligasi
yang berkualitas lebih rendah.176 Dalam dunia pasar modal didefinisikan sebagai
suatu bentuk pembiayaan yang melibatkan sebuah proses dari pengumpulan asetaset seperti hipotik, piutang, atau pinjaman konsumen dan lalu merubah aset-aset
173
174
Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (b), Op. Cit., Angka 2 dan 3.
175
176
Universitas Indonesia
45
178
179
Universitas Indonesia
46
dasar
perusahaan
mengenai
larangan
bagi
originator
untuk
mempailitkan SPV.182
SPV menerbitkan surat utang yang penyimpanan dan pemeliharaannya
dilakukan oleh suatu trustee yang mewakili kepentingan seluruh investor.183
Dengan demikian berarti hanya memiliki satu orang kreditor saja, yang dalam hal
ini diwakili oleh trust, yang merupakan pemegang kuasa dari seluruh investor
pemegang surat berharga. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa proses
penerbitan surat berharga oleh SPV didahului dengan proses penjualan piutang
asal oleh originator. Dengan itu berarti terjadi pemindahan hak milik atas piutangpiutang tersebut kepada SPV, sehingga aset ini, dengan penjualan tersebut berada
di luar harta kepailitan originator, apabila originator dinyatakan pailit.
Selanjutnya untuk dapat menjadi pemilik piutang, SPV haruslah merupakan suatu
badan kesatuan (badan hukum) yang merupakan subjek hukum mandiri.184
Ada beberapa jenis sekuritisasi aset dengan struktur fungsi SPV yang
berbeda-beda, yaitu:
180
Anton Purba, Sekuritisasi Aset: Suatu Alternatif Sumber Pendanaan dalam Buletin
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 2, No. 3 (Jakarta: Direktorat Hukum Bank
Indonesia, 2004), hal. 37.
181
Ibid.
182
Ibid., hal. 38
183
184
Universitas Indonesia
47
Karena aset dialihkan kepada SPV maka sekuritisasi aset menawarkan keuntungan
dimana resiko kredit originator menurun. Kenneth N. Klee, menuliskan 3 fungsi
utama SPV dalam sekuritisasi aset, yaitu:
a.)
b.)
c.)
185
186
Universitas Indonesia