Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan
dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut
diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik indoor maupun outdoor.1 Prevalensi asma pada anak berkisar
antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia
sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya
telah dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan

antiinflamasi

sehingga

obat

antiinflamasi

dianjurkan

diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3


Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis
dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan
overtreatment serta overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga
diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta
mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran


nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit
T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini
hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang
luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma
untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau
batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus
diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan

pengobatan,

serta

adanya

riwayat

asma

atau

atopi

lain

pada

pasien/keluarganya.4
2.2 Anatomi dan Fisiologi Pernafasan5,6
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar
saluran pernafasan

dibagi

menjadi

dua

zona

yaitu

zona

konduksi

dan

respiratorius. Zona konduksi dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus,
bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona
respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada
sakus alveolus terminalis.
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut
disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi
utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia
dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh
sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring
oleh rambut rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel
2

yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau
ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang
disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan
pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,
bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapannya mencapai 100%.

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan pada manusia


Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan
antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring merupakan saluran udara dan
bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung
pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran
pernafasan bagian atas dan bawah.
Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan diantara
kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di
bagian sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel
bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan
3

benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari
jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat
dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina.
Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk
yang kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar
dan lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai
tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12
cincin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung
alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara mulai dari
hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau
zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang mengandung
lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus
yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri
dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis
yang merupakan struktur akhir dari paru.
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi menjadi 3
proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara
melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan
karbondioksida

dibuang.

Pergerakan

ini

terjadi

karena

adanya

perbedaan

tekanan.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di
negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi.
Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia
13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per
1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000
(jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3
4

kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir
sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade
terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan
NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan,
laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 017 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada
anak akibat asma jarang.6
2.4. Patogenesis7
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,
sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara
dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T
pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan

manifestasi

atopi

melalui

mekanisme

IgE-dependent. Pada populasi

diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan
dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE
melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate
asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator
seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2
dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus,
hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma
5

akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan
pengobatan.

Gambar 2. Patogenesis Asma


Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi

tersebut

akan

membuat

kepekaan

bronkus

berlebihan,

sehingga

bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan


terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan

jaringan

akan

menjadi

irreversibel

bila

paparan

berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat. Sejalan dengan proses


inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran
respiratorik

yang

menghasilkan

perubahan struktural dan fungsional yang

menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau
repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan
Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi,
epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses
remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana
basalis

mukosa

menebal

(pseudothickening),

hiperplasia kelenjar,

edema

submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak
memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan
yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.
6

lumen bronkus

Gambar 3. Proses inflamasi dan remodelling pada asma


Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan
epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat
antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses
remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga
atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil
dan

penebalan

lamina

retikularis.

Hal

ini

mencurigakan

bahwa

proses

remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.


Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi
tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.

2.5 Patofisiologi Asma8


Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi
pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas
bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas
saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi
respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk
7

sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
virus, dan

aktivitas

fisik/olahraga.

Hiperreaktivitas

saluran

napas

akan

menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang


dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama
yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot
polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran
napas

mengalami

volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas

terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara
selama

inspirasi.

Sejumlah

karakteristik anatomi

dan

fisiologi

memberi

kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran
napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang
lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia
kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar
alveolus.

Gambar 4. Patofisiologi Asma


2.6. Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada
pasien.2,7
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan bertambahnya
umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak
yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi
8

paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer.
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan
dingin,atau dengan salin hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna
untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:8
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak nafas
dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih
lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah
berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.8
2.6.2

Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada

serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik
di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan
sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan
peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda
atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.8
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik
saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding bronkus dan
konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan timbulnya
gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi. Pada saat
serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang lebih
menonjol.8
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis
gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD dapat
dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan
penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada

pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai
normal.8
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai pada
pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi dengan
histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara definitive
dapat ditegakkan.8
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak 7,8
Parameter klinis
Kebutuhan obat,
dan faal paru
1.Frekuensi serangan
2.Lama serangan

Asma episodik
jarang
(asma ringan)
3-4x /1tahun
<1 minggu

Asma episodik
sering
(asma sedang)
1x/bulan
1 minggu

3.Intensitas serangan
4.diantara serangan

Ringan
Tanpa gejala

Sedang
Sering ada gejala

5.Tidur dan aktivitas

Tidak terganggu
<3x/minggu
Normal, tidak
ditemukan kelainan
Tidak perlu

Sering terganggu
>3x/minggu
Mungkin terganggu
(ditemukan kelainan)
Perlu, non steroid/
steroid inhalasi dosis
100-200 g
PEF/FEV1 60-80%

6.Pemeriksaan fisis
diluar serangan
7.Obat pengendali

8.Uji faal paru


PEF/FEV1 >80%
(di luar serangan0
9.Variabilitas
faal 20%
paru
(bila ada serangan)

30%

Asma persisten
(asma berat)
1/bulan
Hampirsepanjang
tahun, tidak ada remisi
Berat
Gejala
siang
dan
malam
Sangat terganggu
Tidak pernah normal
Perlu, steroid inhalasi
Dosis 400 g/hari
PEF/FEV1 < 60%
Variabilitas 20-30%
50%

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma8


Parameter klinis,
Fungsi paru,
Laboratorium
Sesak (breathless)

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan
Bayi :
Menangis keras

Istirahat
Bayi :
Tidak mau
minum /
makan

Posisi

Bisa berbaring

Berbicara
Bayi :
Tangis pendek
& lemah
Kesulitan
menetek dan
makan
Lebih suka
Duduk

10

Duduk
bertopang
lengan

Bicara

Kalimat

Kesadaran

Mungkin
irritable
Tidak ada
Sedang, sering
hanya
pada
akhir
ekspirasi

Penggal
kalimat
Biasanya
irritable
Tidak ada
Nyaring,
Sepanjang
ekspirasi
inspirasi

Biasanya tidak

Biasanya ya

Sianosis
Wheezing

Penggunaan otot
Bantu respiratorik
Retraksi

Frekuensi napas

Frekuensi nadi

Pulsus paradoksus
PEFR atau FEV1
- Prabronkodilat
or
- Pascabronkodil
ator
SaO2 %
PaO2
PaCO2

Kata-kata
Biasanya
Irritable
Ada
Sangat
nyaring,
Terdengar
tanpa
stateskop
Ya

Dangkal,
Retraksi
Interkosta

Sedang,
Dalam,
ditambah
ditambah
Retraksi
Napas cuping
suprasternal
hidung
Takipnu
Takipnu
Takipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak
sadar:
Usia
frekuensi napas normal
<2 bulan
< 60 / menit
2-12 bulan
< 50 /menit
1-5 tahun
< 40 / menit
6-8 tahun
< 30 / menit
Normal
Takikardi
Takikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia
Frekuensi nadi normal
2-12 bulan
< 160 / menit
1-2 tahun
< 120 / menit
3-8 tahun
< 110 / menit
Tidak ada
<10 mmHg
(%
Nilai
dugaan/
>60%
>80%

Ada
10-20 mmHg
Nilai terbaik)
40-60%
60-80%

>95%
Normal
<45 mmHg

91-95%
>60 mmHg
<45 mmHg

Ada
>20 mmHg
<40%
<60%
Respon < 2
jam
90%
< 60 mmHg
>45 mmHg

2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka
panjang.8 Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya
tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus
tujuan yang ingin dicapai adalah:7
11

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan
2.
3.
4.
5.

berolah raga,
sedikit mungkin angka absensi sekolah,
gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu),
Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF,
Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak

ada serangan,
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak,
Tujuan tatalaksana saat serangan:2
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu tingkat
pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila tujuan telah
tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan pelan (step
down). Berikut ini adalah syarat step up dan step down:7,8
Syarat Step Up
Syarat Step down
pengendalian lingkungan dan hal-hal yang Pengendalian lingkungan harus tetap baik
memberatkan asma sudah dilakukan
pemberian obat sudah tepat susunan dan Asma sudah terkendali selama 3 bulan
caranya
berturut-turut
tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3
minggu

bulannya sampai dengan dosis terkecil yang

masih dapat mengendalikan asmanya.


efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya
tidak ada

dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat


diturunkan bersama dengan penambahan
LABA dan atau LTRA

2.7.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini
tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang
disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi
masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat
ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya
12

diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai
6 8 minggu.9
Obat obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi,
jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12). Dengan pemberian short acting
2 agonist, diharapkan terjadi relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan
berkurangnya pelepasan mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol,
fenoterol, terbutalin.9
Dosis salbutamol:
Oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit,
atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
Dosis fenoterol: 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin:
Oral: 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai
dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi)
memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat: MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada keadaan ini obat
inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi lebih
sering terjadi.9
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap

15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.


Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan

dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.


Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan
takikardi.
b. Methyl xanthine

13

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi karena efek
sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada serangan
asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan antikolinergik(12). Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus
dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan
dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV
inisial bergantung kepada usia : 16 bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 611 bulan: 1 mg/kgBB/Jam;
19 tahun: 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.9
2. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi 2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0,1 ml/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan
pada terapi asma jangka panjang pada anak.9
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial inhalasi 2
agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2) serangan asma tetap
terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid hirupan sebagai kontroler; (3)
serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya. Kortikosteroid
sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek
maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone,
prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari
selama 3 5 kali sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB
setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6 jam. Dosis
dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.9

14

Obat obat Pengontrol


Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik yaitu:
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, teofilin, kromolin, dan
long acting oral 2-agonist.1,10
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan penggunaan
inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan
mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan inhalasi
glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari
eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi
paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan
mulut.1,10
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane. Selain itu LTRA mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor dan dapat mencegah early asma reaction dan late asthma reaction. LTRA
dapat diberikan per oral, penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati. Preparat
LTRA yaitu montelukas dan zafirlukas. Preparat yang tersedia di Indonesia hanya zafirlukas.
Zafirlukas digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.1,10
3. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV 1 pagi dan
sore, penggunaan steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate
dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.1,10
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang bertujuan
untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi
teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Terapi dimulai pada
dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.1,10
15

2.7.2

Terapi Suportif
Bentuk terapi suportif yang dapat diberikan antara lain terapi oksigen dan terapi

cairan. Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui nasal kanul ataupun
masker. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse
oxymetry (nilai normal > 95%).9
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan
cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin. Pemberian
cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik
Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif
tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang
diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan maintenance.9
4.7.2. Cara Pemberian Obat7
UMUR
< 2 tahun
2-4 tahun

5-8 tahun

>8 tahun

ALAT INHALASI
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih baik.
Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk
ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and prevention
asthma in children. 2005

16

2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak. Majalah


Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI
3. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
4. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
5. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006
6. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR
7. Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FK
UNDIP
8. Nelson. Textbook of Pediatrics.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1023/Menkes/SK/XI2008
Tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma Menteri Kesehatan Republik
Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai