Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
Tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk
dapat berfungsi dengan baik. Masyarakat awam belum begitu mengenal gangguan
tidur sehingga jarang mencari pertolongan. Pendapat yang menyatakan bahwa
tidak ada orang yang meninggal karena tidak tidur adalah tidak benar. Beberapa
gangguan tidur dapat mengancam jiwa baik secara langsung (misalnya insomnia
yang bersifat keturunan dan fatal dan apnea tidur obstruktif) atau secara tidak
langsung misalnya kecelakaan akibat gangguan tidur. Di Amerika Serikat, biaya
kecelakaan yang berhubungan dengan gangguan tidur per tahun sekitar seratus
juta dolar.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 20%-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan
tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi
gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67 %. Walaupun demikian,
hanya satu dari delapan kasus yang menyatakan bahwa gangguan tidurnya telah
didiagnosis oleh dokter.
Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru, diabetes,
artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya buruk dan
durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang sehat. Gangguan
tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara keseluruhan.
Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas yang signifikan. Ada
beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia misalnya mengantuk
berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori, mood depresi, sering
terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya, dan penurunan kualitas
hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan kanker lebih tinggi pada
seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari bila
dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari.
Berdasarkan dugaan 1etiologinya, gangguan tidur dibagi menjadi empat
kelompok yaitu, gangguan tidur primer, gangguan tidur akibat gangguan mental
lain, gangguan tidur akibat kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang

diinduksi oleh zat.


Gangguan tidur-bangun dapat disebabkan oleh perubahan fisiologis misalnya
pada proses penuaan normal. Riwayat tentang masalah tidur, higiene tidur saat ini,
riwayat

obat

yang

digunakan,

laporan

pasangan,

catatan

tidur,

serta

polisomnogram malam hari perlu dievaluasi pada lansia yang mengeluh gangguan
tidur. Keluhan gangguan tidur yang sering diutarakan oleh lansia yaitu insomnia,
gangguan ritme tidur,dan apnea tidur. Makalah ini akan membahas tentang
diagnosis gangguan tidur tersebut serta cara penatalaksanaannya.

BAB II
GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT
DEFINISI
Tidur adalah keadaan berkurangnya tanggapan dan interaksi
dengan lingkungan yang bersifat reversibel dan berlangsung
cepat.2 Tidur juga dapat didefinisikan sebagai kondisi organisme
yang sedang istirahat secara reguler, berulang dan reversibel
dalam keadaan mana ambang rangsang terhadap rangsangan
dari luar lebih tinggi jika dibandingkan dengan keadaan terjaga.3
Tidur
berperan

merupakan
sebagai

aktivitas
lonceng

susunan
biologi.

saraf

pusat

Segala

yang

makhluk

memperlihatkan irama kehidupan yang sesuai dengan masa


rotasi bumi. Irama yang seirama dengan rotasi bumi, dinamakan
irama

sirkadian.4

Tingkat

aktivitas

otak

keseluruhan

tidak

berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu,


penyerapan O2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat
terjaga normal.5
FISIOLOGI TIDUR NORMAL
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4
stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara
fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali
siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16-20 jam/hari, anakanak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada
umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang
dewasa.
Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:
1) Tidur stadium satu

Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur.
Fase ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang
dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini
hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan.
Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa,
beta dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang
rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan
kompleks K.
2) Tidur stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus
otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.
Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat
adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan
kompleks K.
3) Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran
EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%50% serta tampak gelombang sleep spindle.
4) Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan.
Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta sampai 50%
tampak gelombang sleep spindle.
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit
sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada
waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan
menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau
bangun.
Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang
cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan
hampir semua organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut

nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot
menunjukkan relaksasi yang dalam.
Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang
seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari
waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke
fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan
pola berubah sehingga persentase total tidur REM berkurang
sampai 40%. Hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak,
kemudian akan masuk ke periode awal tidur yang didahului oleh
fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan
distribusi fase tidur sebagai berikut:

NREM (75%) yaitu stadium 1: 5%; stadium 2 : 45%; stadium 3

: 12%; stadium 4 : 13%


REM; 25 %6

GANGGUAN TIDUR
Gangguan

tidur adalah

gangguan

yang

berhubungan

dengan tidur dikarenakan masalah medis, gaya hidup dan faktor


lingkungan

yang

biasanya

menyebabkan

tidur

terganggu,

mengakibatkan kurang atau kualitas tidur yang buruk.7


Gangguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling
sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktik.
Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan masyarakat
baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan rendah maupun
orang muda, serta yang paling sering ditemukan pada usia
lanjut.
Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan
akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur
biologiknya, menurun daya tahan tubuh serta menurunkan
prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi,
kelelahan,

yang

pada

akhirnya

dapat

mempengaruhi

keselamatan diri sendiri atau orang lain. Menurut beberapa


peneliti gangguan tidur yang berkepanjangan didapatkan 2,5 kali
lebih sering mengalami kecelakaan mobil dibandingkan pada
orang yang tidurnya cukup.
Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur
selama masa kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40%
orang dewasa mengalami kesukaran tidur dan 17% diantaranya
mengalami masalah serius.
Prevalensi

gangguan

tidur

setiap

tahun

cenderung

meningkat, hal ini juga sesuai dengan peningkatan usia dan


berbagai penyebabnya. Kaplan dan Sadock melaporkan kurang
lebih 40-50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan tidur.
Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan
psikiatri, ketergantungan obat dan alkohol.
Menurut data International of Sleep Disorder, prevalensi
penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut:
Penyakit asma (61-74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%),
kram

kaki

malam

hari

(16%),

psychophysiological

(15%),

sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%),


sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65%). Demensia
(5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2- 5%), gangguan
obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus
(<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%). 17 Menurut
Kusano et al, dari 2.426 pasien (644 pasien didiagnosis GERD)
yang di endoskopi, sebanyak 56,3% pasien yang menderita
GERD mengalami gangguan tidur dan 51,6% mengalami reflux
esophagitis.8
ETIOLOGI PADA GANGGUAN TIDUR
Sebelum mencari diagnosa penyebab suatu gangguan tidur,
sebaiknya

ditentukan

terlebih

dahulu

jenis

danlamanya

gangguan tidur (duration of sleep disorder), dengan mengetahui


jenis dan lamanya gangguan tidur, selain untuk membantu
mengidentifikasi

penyebabnya,

juga

dapat

memberikan

pengobatan yang adekuat.


Menurut American Sleep Disorders Association membuat
reklasifikasi untuk mencari kemungkinan penyebab gangguan
tidur menjadi 4 kelompok yaitu:
1) Dissomnia,

misalnya:

ganguan

intrisik,

gangguan

aurosal,

gangguan

bangun-tidur, berhubungan fase REM


3) Gangguan kesehatan/psikiatri, misalnya:

gangguan

ekstrisik, gangguan irama sirkadian


2) Parasomnia, misalnya: Gangguan

mental, gangguan neurologi, gangguan kesehatan


4) Gangguan yang tidak terklasifikasi8
GANGGUAN TIDUR PADA LANSIA
Perubahan tidur pada lansia normal
Pola tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya
umur. Pada masa neonatus sekitar 50% waktu tidur total adalah
tidur REM. Lama tidur sekitar 18 jam. Pada usia satu tahun lama
tidur sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur REM. Waktu tidur
menurun dengan tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan
waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. Kebutuhan
ini menetap sampai batas lansia.
Lansia menghabiskan waktunya lebih banyak di tempat
tidur, mudah jatuh tidur, tetapi juga mudah terbangun dari
tidurnya.

Perubahan

yang

sangat

menonjol

yaitu

terjadi

pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium 4,


gelombang

alfa

menurun,

dan

meningkatnya

frekuensi

terbangun di malam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur


karena

seringnya

terbangun.

Gangguan

juga

terjadi

pada

dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus

lingkungan.
Selama tidur malam, seorang dewasa muda normal akan
terbangun sekitar 2-4 kali. Tidak begitu halnya dengan lansia, ia
lebih sering terbangun. Walaupun demikian, rata-rata waktu tidur
total lansia hampir sama dengan dewasa muda.
Ritmik sirkadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu.
Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju.
Seringnya terbangun pada malam hari menyebabkan keletihan,
mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari. Dengan
perkataan lain, bertambahnya umur juga dikaitkan dengan
kecenderungan untuk tidur dan bangun lebih awal. Toleransi
terhadap fase atau jadwal tidur-bangun menurun, misalnya
sangat rentan dengan perpindahan jam kerja.
Adanya gangguan ritmik sirkadian tidur juga berpengaruh
terhadap kadar hormon yaitu terjadi penurunan sekresi hormon
pertumbuhan, prolaktin, tiroid, dan kortisol pada lansia. Hormonhormon ini dikeluarkan selama tidur dalam. Sekresi melatonin
juga berkurang. Melatonin berfungsi mengontrol sirkadian tidur.
Sekresinya terutama pada malam hari. Apabila terpajan dengan
cahaya terang, sekresi melatonin akan berkurang.1
Higiene tidur pada lansia
Gangguan tidur dapat berbentuk buruknya higiene tidur dan
gangguan tidur spesifik. Evaluasi keluhan tidur lansia hendaklah
selalu dilakukan. Keluhan tidur hendaknya jangan diabaikan
meskipun mereka sudah tua. Buruknya higiene tidur dapat
disebabkan oleh harapan yang berlebihan terhadap tidur atau
jadwal tidur. Akibatnya, lansia sering menghabiskan waktunya di
tempat tidur atau sebentar-sebantar tertidur di siang hari.1
Gangguan tidur pada lansia
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik

karena faktor usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang
sering ditemukan pada lansia.1 Menurut Association of Sleep
Disorder Centers pada tahun 1999 gangguan tidur yang berat
pada usia lanjut dibagi menjadi:
1) Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (disorders
of initiating and maintaining sleep = DIMS)
2) Gangguan mengantuk berlebihan (disorders of excessive
somnolence = DOES)
3) Gangguan siklus tidur jaga (disorders of the sleep wake
cycle)
4) Perilaku

tidur

abnormal

(abnormal

sleep

behaviour,

parasomnias)
Gangguan

memulai

dan

mempertahankan

tidur

atau

insomnia berkaitan dengan gangguan klinik sebagai berikut:


1) Apnea tidur, terutama apnea tidur sentral
2) Mioklonus yang berhubungan dengan
gerakan

mendadak

stereotipik,

pada

tingkat

atau

bilateral,

unilateral

tidur
yang

berjalan,
berulang,

keluhan

berupa

tungkai gelisah (restless leg), tungkai kaku waktu malam,


neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan
besi.
3) Berbagai konflik emosional dan stres merupakan penyebab
psikofisiologik dari insomnia.
4) Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali
menimbulkan

bangun

terlalu

pagi

dan

dapat

bermanifestasi sebagai insomnia dan hipersomnia. Depresi


endogen berkaitan dengan onset dini dari tidur REM dan
dapat

diperbaiki

secara

dramatis

dengan

obat

antidepresan.
5) Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena
arthritis, penyakit keganasan, nokturia, penyakit hati atau
ginjal dan sesak napas dapat mengakibatkan bangun
berulang pada tidur malam.

6) Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan


insomnia. Penyakit Parkinson terganggu tidurnya 2-3 jam.
Pasien Alzheimer sering terbangun tengah malam dan
dapat menimbulkan eksitasi paradoksikal.
7) Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan
beta-bloker dapat menginterupsi tidur. Pengobatan dengan
stimulansia dan gejala lepas zat hipnotik dan sedatif perlu
diperhatikan untuk gangguan tidur.
Gangguan

mengantuk

berlebihan

ditandai

dengan

mengantuk patologis yang diselingi dengan kegiatan selama


jaga. Beratnya mengantuk, onsetnya yang tidak sesuai dengan
waktu dan gangguan pada kegiatan merupakan penilaian klinik
yang penting. Apnea obstruktif dan mioklonus pada waktu
malam

dapat

menimbulkan

hipersomnolensia.

Efek

obat,

terutama efek sisa obat hipnotika merupakan penyebab yang


sering

untuk

mengakibatkan

hipersomnolensia.
tidur

berlebihan

Obat-obat
adalah

lain

anthistamin,

yang
obat

psikotropika, metildopa dan antidepresan jenis trisikliik. Demikian


pula kondisi-kondisi seperti post-infeksi, keletihan dan sindrom
otak kronik.
Gangguan siklus tidur jaga memendek dengan makin
bertambahnya usia. Bangun lebih pagi dan cepat mengantuk
pada malam hari merupakan hal yang wajar bagi usia lanjut.
Pasien depresi mengeluh tidurnya kurang pulas dan mudah sekali
terbangun oleh adanya perubahan suhu pada dini hari, sinar dan
suara-suara hewan di pagi hari. Tidur REM lebih cepat datangnya
sehingga

biasanya

mengalami

mimpi-mimpi

yang

tidak

menyenangkan. Berbeda dengan pasien depresi, pasien dengan


anxietas lebih lama masuk tidur, sukar bangun pagi dan mimpimimpi menakutkan.
Parasomnia

merupakan

perilaku

tidur

abnormal

yang

kadang-kadang terjadi pada usia lanjut yaitu kebingungan pada


malam hari (nocturnal confusion), jalan sambil tidur, gangguan
kejang, dekompensasi penyakit kardiovaskuler, mengompol dan
reflux gastroesophageal.3
Hubungan aktivitas fisik dan gangguan tidur dan lansia
Aktivitas fisik berpengaruh terhadap gangguan tidur pada
lansia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Susanti R et al 9 di
Ciparay, Bandung didapatkan bahwa lansia di sana banyak yang
mengeluh menderita gangguan tidur. Dari 29 lansia yang ada,
sebanyak

55,17%

mengalami

insomnia

ringan,

34,48%

mengalami insomnia berat dan 10,34% mengalami insomnia


sangat berat.
Kemudian

peneliti

mengadakan latihan relakasasi otot

progresif. Dari latihan 20-30 menit setiap hari selama seminggu,


hasil

yang

didapat

adalah sebanyak

65,52%

lansia

tidak

mengalami lagi keluhan insomnia dan sebanyak 34,48% masih


mengalami insomnia ringan.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mahardika J. et al 10 di
Lamongan, didapatkan juga bahwa senam lansia terbukti dapat
memperbaiki kualitas tidur lansia. Disebutkan bahwa 5% lansia
yang sangat teratur dan 35% lansia yang teratur mengikuti
senam lansia mengalami peningkatan kualitas tidur yang baik,
sedangkan 35% lansia yang kurang teratur mengikuti senam
lansia mengalami kualitas tidur yang kurang baik dan 10%
sisanya mengalami kualitas tidur yang yang buruk.
Hal ini menunjukkan bahwa aktvitas fisik seperti latihan relaksasi
otot progresif dan senam lansia dapat mempengaruhi lansia
yang mengalami gangguan tidur dan istirahat.

PENATALAKSANAAN GANGGUAN TIDUR


Langkah
terhadap

pertama
gangguan

untuk

mengatasi

medik

atau

insomnia

sekunder

psikiatrik

adalah

mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang mendasarinya.


Cara farmakologik dan nonfarmakologik diperlukan untuk terapi
gangguan tidur baik primer maupun sekunder.
Farmakologik
Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan
pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun
sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung
tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti ltriptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga
dapat digunakan.
Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak dianjurkan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau
untuk mengatasi insomnia jangka pendek.
Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat.
Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau tiga hari
dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka
panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi
penyakit yang mendasari. Penggunaan benzodiazepin harus hatihati pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, obesitas,
gangguan jantung dengan hipoventilasi.
Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur.
Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat
gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu,
penggunaan benzodiazepin pada lansia harus hati-hati dan
dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan
zolpidem) merupakan obat pilihan untuk membantu orang-orang

yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu paruhnya


panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk
penderita yang mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang
kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki anksietas di siang
hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di
hepar. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang menghambat
oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH, eritromisin,
dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang
hari.
Triazolam
pasien

tidak

COPD

menyebabkan

ringan-sedang

gangguan

yang

respirasi

mengalami

pada

insomnia.

Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder terhadap


delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti
lorazepam

digunakan

untuk

memperkuat

efek

neuroleptik

terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat
diberikan bersamaan dengan benzodiazepin pada awal malam.
Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk gangguan
gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine

merupakan

antidepresan

baru

golongan

noradrenergic and specific serotonin antidepressant (NaSSA). Ia


dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang, dan
meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur,
kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian
mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan
insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan
monoamin

oksidase

inhibitor

pada

lansia

karena

dapat

menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu kontinuitas

tidur akibat efek samping poliuria.


Khloralhidrat

dan

barbiturat

jarang

digunakan

karena

cenderung menekan pernafasan. Antihistamin dan difenhidramin


bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus
hati-hati karena dapat menginduksi delirium.
Melatonin
glandula

merupakan

pineal.

Ia

hormon

berperan

yang

mengatur

disekresikan

oleh

siklus

Efek

tidur.

hipnotiknya terlihat pada pasien gangguan tidur primer. Ia juga


memperbaiki tidur pada penderita depresi mayor. Melatonin juga
dapat memperbaiki tidur, tanpa efek samping, pada lansia
dengan insomnia. Melatonin dapat ditambahkan ke dalam
makanan.
Non farmakologik
Higene tidur
Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuk tidur
merupakan syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadual tidurbangun

dan

dipertahankan.

latihan
Kamar

fisik
tidur

sehari-hari
dijauhkan

yang

teratur

perlu

dari

suasana

tidak

nyaman. Penderita diminta menghindari latihan fisik berat


sebelum tidur. Tempat tidur jangan dijadikan tempat untuk
menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan
lingkungan ini efektif untuk memperbaiki tidur. Edukasi tentang
higene

tidur

merupakan

intervensi

efektif

yang

tidak

memerlukan biaya.
Terapi pengontrolan stimulus
Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang
sering dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.
Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan reaktif yang
sering ditemukan pada insomnia.

Ada beberapa instruksi yang harus diikuti oleh penderita


insomnia:
1. Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.
2. Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
3. Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di
tempat tidur.
4. Jangan

berbaring-baring

di

tempat

tidur

karena

bisa

bertambah frustrasi jika tidak bisa tidur.


5. Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun,
pergi ke ruang lain, kerjakan sesuatu yang tidak membuat
terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk datang kembali.
6. Bangun

pada

saat

yang

sama

setiap

hari

tanpa

menghiraukan waktu tidur, total tidur, atau hari (misalnya


hari Minggu).
7. Menghindari tidur di siang hari.
8. Jangan menggunakan stimulansia (kopi, rokok, dll) dalam 4-6
jam sebelum tidur.
Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama.
Bila kebiasaan ini terus dipraktikkan, gangguan tidur akan
berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.
Sleep Restriction Therapy
Membatasi

waktu

di

tempat

tidur

dapat

membantu

mengkonsolidasikan tidur . Terapi ini bermanfaat untuk pasien


yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa tertidur. Misalnya, bila
pasien mengatakan bahwa ia hanya tertidur lima jam dari
delapan jam waktu yang dihabiskannya di tempat tidur, waktu di
tempat tidurnya harus dikurangi. Tidur di siang hari harus
dihindari. Lansia dibolehkan tidur sejenak di siang hari yaitu
sekitar 30 menit. Bila efisiensi tidur pasien mencapai 85% (ratarata setelah lima hari), waktu di tempat tidurnya boleh ditambah

15 menit. Terapi pembatasan tidur, secara berangsur-angsur,


dapat mengurangi frekuensi dan durasi terbangun di malam hari.
Terapi relaksasi dan biofeedback
Terapi ini harus dilakukan dan dipelajari dengan baik.
Menghipnosis diri sendiri, relaksasi progresif, dan latihan nafas
dalam sehingga terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk
memperbaiki tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan
serius. Biofeedback yaitu memberikan umpan-balik perubahan
fisiologik yang terjadi setelah relaksasi. Umpan balik ini dapat
meningkatkan kesadaran diri pasien tentang perbaikan yang
didapat. Teknik ini dapat dikombinasi dengan higene tidur dan
terapi pengontrolon tidur.
Terapi apnea tidur obstruktif
Apnea tidur obstruktif dapat diatasi dengan menghindari tidur
telentang, menggunakan perangkat gigi (dental appliance),
menurunkan berat badan, menghindari obat-obat yang menekan
jalan

nafas,

menggunakan

stimulansia

pernafasan

seperti

acetazolamide (Diamox), nasal continuous positive airway


pressure (NCPAP), upper airway surgery (UAS). Nasal continuous
positive airway pressure ditoleransi baik oleh sebagian besar
pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur pasien di malam
hari, rasa mengantuk di siang hari, dan keletihan serta perbaikan
fungsi kognitif.
Uvulopalatopharyngeoplasty (UPP) merupakan salah satu
teknik pembedahan yang digunakan untuk terapi apnea tidur.
Efikasi metode ini kurang. Trakeostomi juga merupakan pilihan
terapi untuk apnea tidur berat. Penggunaan kedua bentuk terapi
bedah

ini

sangat

terbatas

karena

risiko

morbiditas

dan

mortalitas.
Keputusan untuk mengobati apnea tidur didasarkan atas

frekuensi dan beratnya gangguan tidur, beratnya derajat kantuk


di

siang

hari,

dan

akibat

(abnormalitas kardiorespirasi).1

medik

yang

ditimbulkannya

BAB III
KESIMPULAN
Tidur merupakan suatu proses di otak yang dibutuhkan
seseorang

untuk

dapat

berfungsi

dengan

baik.

Insomnia

merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan.


Sekitar 67% lansia mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur
yang paling sering ditemukan pada lansia yaitu insomnia,
gangguan ritmik tidur, dan apnea tidur.
Berdasarkan dugaan etiologinya, gangguan tidur dibagi
menjadi

empat

kelompok

yaitu,

gangguan

tidur

primer,

gangguan tidur akibat gangguan mental lain, gangguan tidur


akibat kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang diinduksi
oleh zat.
Beberapa
kardiovaskuler,

kondisi

medik

penyakit

paru,

umum

seperti

neurodegenerasi,

penyakit
penyakit

endokrin, kanker, dan penyakit saluran pencernaan, serta


penyakit muskuloskeletal sering menimbulkan gangguan tidur.
Gangguan mental seperti depresi, anksietas, demensia serta
delirium dapat pula menimbulkan gangguan tidur. Pola gangguan
tidur pada penderita depresi berbeda dengan yang tidak
menderita depresi; pada depresi terjadi gangguan pada setiap
stadium gangguan tidur. Langkah pertama mengobati gangguan
tidur adalah mengoptimalkan terapi terhadap penyakit yang
mendasarinya.

Terapi

farmakologik

seperti

benzodiazepin

merupakan pilihan utama untuk mengatasi gangguan tidur;


walaupun demikian, lama penggunaannya harus dibatasi karena
penggunaan jangka lama malah dapat menimbulkan masalah
tidur atau dapat menutupi gangguan yang mendasarinya. Efek
samping sedasi dapat menyebabkan kecelakaan seperti terjatuh.

Obat-obat

seperti

antidepresan,

neuroleptik

dapat

pula

digunakan untuk gangguan tidur.


Nasal continuous positive airway pressure ditoleransi baik
oleh sebagian besar pasien. Metode ini dapat memperbaiki tidur
pasien di malam hari, rasa mengantuk di siang hari, dan
keletihan serta perbaikan fungsi kognitif. Beberapa tindakan
bedah seperti UPP, UAS dan trakeostomi dapat pula dilakukan
untuk

memperbaiki

apnea

tidur

obstruktif.

Penggunaannya

sangat terbatas karena risiko morbiditas dan mortalitas yang


cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran. 2007;157:197.
2. Horne J. Images of lost sleep. Nature. 2000; 403:605-6
3. Prayitno A. Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut
dan penatalaksanaannya. Univ Med 2002; 21 (1): 23--30
4. Sidharta P, Mardjono M. Kesadaran dan fungsi luhur. In
Sidharta P, Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat; 2010; 187.
5. Sherwood L. Susunan saraf pusat. In: Santoso BI, editor.
Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC.
2001; 137.
6. Japardi, Iskandar. Gangguan tidur. Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library. 2002.
1-11.
7. Singhealth. Sleep Disorders {0} - Singapore Health Hospitals
and
Doctors.
Available
at:
https://www.singhealth.com.sg/PatientCare/OverseasReferral/bh/Conditions/Pages/Sleep-Disorders.aspx. accessed
March, 25 2016
8. Pinel JPJ. Tidur, mimpi, dan ritme sirkadian. berapa banyak
waktu tidur yang Anda butuhkan?. In: Pinel JPJ. Biopsikologi
edisi 7. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2009. 434-467
9. Susanti R. Perbedaan tingkat insomnia lansia sebelum dan
sesudah latihan relaksasi otot progresif Di BPSTW Ciparay
Bandung. Unpad. 2009.
10. Mahardika J, Haryanto J, Bakar A. Hubungan keteraturan
mengikuti senam lansia dan kebutuhan tidur lansia di UPT
PSLU Pasuruan di Babat Lamongan. J Community Health Nurs.
2012; 1 (1) Available at: journal.unair.ac.id/filerPDF/Jefry
%20M.doc. Accessed January, 5 2014.

Anda mungkin juga menyukai