PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sumber daya alam potensial, terutama
pada sektor pertambangan, pariwisata dan pertanian. Bahkan pada beberapa sektor pertanian sendiri
Indonesia banyak menjadi eksportir besar dunia, seperti kelapa sawit yang bahkan hampir mencapai
60% dari total perdagangan minyak kelapa sawit dunia. Selain komoditas minyak kelapa sawit, ada
beberapa komoditas lainnya seperti kopi, teh, dan coklat.
Melihat beragamnya komoditi ekspor Indonesia, maka peningkatan kualitas dan jaminan mutu
dirasa perlu untuk menghindari kerugian konsumen didalam dan diluar negeri. Dimana kemudian
kesetiaan konsumen untuk mengkonsumsi komoditi Indonesia dapat terwujud sebagai bentuk respon
kepuasan konsumen tersebut. Jaminan mutu tersebut dapat diinformasikan melalui label atau sertifikat
yang menunjukan bahwa satu komoditi tersebut telah lulus Standar Negara Indonesia (SNI).
Penetapan standar negara Indonesia itu sendiri perlu mengacu pada standar yang diterapkan di
pasar internasional, bahkan penetapan standar produk ekspor Indonesia harus pula sesuai dengan
standar yang diterapkan di negara tujuan. Hal ini penting dilakukan oleh Indonesia untuk
meminimalisir kerugian dari kedua belah pihak, dimana dari sisi konsumen, mereka tidak terpuaskan
dengan kualitas dari produk indonesia. Dan dari sisi produsen, eksportir dirugikan apabila produk
yang hendak diekspor ditolak negara tujuan karna tidak sesuai stantard negara tujuan tersebut.
Khusus untuk produk kopi sendiri, yang menjadi salah satu produk unggulan Indonesia, pada
tahun 2012 pernah mengelami penolakan ekspor ke Jepang, salah satu negara tujuan ekspor besar kopi
Indonesia, dimana karantina Jepang menolak 10 peti kemas berisi 130 ton kopi dari Indonesia karena
melebihi batas residu. Kopi Indonesia dianggap mengandung unsur aktif pestisida isocarabon
carbaryl melebihi batas yang ditentukan oleh negara Jepang. Penolakan ini didasarkan pada standar
Jepang yang menetapkan batas maksimal kandungan karbaril sebesar 0,01 milligram per kilogram.
sedangkan pada kopi Indonesia, Jepang menemukan kandungan karbaril sekitar 0,01 milligram per
kilogram bahkan lebih.
1.2.
Rumusan Masalah
Melihat dari masalah tersebut maka terdapat beberapa masalah yang penulis anggap perlu
b. Apakah standar mutu yang ditetapan oleh Indonesia untuk komoditas kopi tidak sesuai dengan
standar kopi dunia sehingga mengalami penolakan oleh Jepang?
c. Apakah ada factor-faktor lain yang menyebabkan penolakan produk ekspor biji kopi oleh
negara Jepang?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian tentang penentuan standar Indonesia terhadap komoditas kopi adaah
sebagai berikut.
a. Untuk memperoleh informasi mengenai regulasi pemerintah Indonesia dalam menentukan
standar mutu komoditas biji kopi.
b. Untuk mengetahui apakah standar mutu yang ditetapkan oleh Indonesia untuk komoditas
kopi tidak sesuai dengan standar kopi dunia.
c. Untuk mengetahui factor-faktor lain yang menyebabkan penolakan produk ekspor biji
kopi oleh negara Jepang.
BAB II
KERANGKA TEORI
No.
Kriteria
Satuan
Persyaratan
1.
Serangga Hidup
Tidak ada
2.
Tidak ada
3.
Kadar air
% fraksi massa
Maks 12,5
4.
Kadar kotoran
% fraksi massa
Maks 0,5
Tabel 2. Syarat Penggolongan Mutu Kopi Robusta dan Arabika berdasarkan SNI
Mutu
Persyaratan
Mutu 1
Mutu 2
Mutu 3
Mutu 4a
Mutu 4b
Mutu 5
Mutu 6
CATATAN : Untuk kopi arabika, mutu 4 tidak dibagi menjadi sub mutu 4a dan 4b
Penentuan besarnya nilai cacat dari setiap biji cacat dicantumkan dalam table 7.
* untuk kopi peaberry dan polyembrio
Sumber : SNI 01-2907-2008
Pada awal tahun 2002, Dewan ICO (International Coffee Organization) mengadakan sidang
yang menghasilkan Resolusi No. 407 yang berisi Program Perbaikan Mutu Kopi yang mulai efektif
diberlakukan per 1 Oktober 2002. Berikut ini tabel tentang syarat umum biji kopi ICO 407.
Tabel 3. Syarat Mutu Umum Biji Kopi berdasarkan ICO No. 407
No.
Jenis Kopi
Standar Minimum
Sampel
1.
Kopi Arabika
2.
Kopi Robusta
3.
Tabel 4. Syarat Penggolongan Mutu Kopi Robusta dan Arabika berdasarkan ICO No. 407
Mutu (Grade)
Persyaratan
Mutu 1
Mutu 2
Mutu 3
Mutu 4a
Mutu 4b
Mutu 5
Mutu 6
Perdagangan internasional merupakan perdagangan antar negara yang dapat dilakukan antar
pemerintah maupun individu yang berada di negara yang berbeda. Perdagangan internasional memiliki
manfaat untuk menciptakan efisiensi suatu negara dalam memenuhi kebutuhannya karena adanya
keterbatasan sumber daya di masing-masing negara. Adanya Perdagangan internasional pun turut
mendorong Industrialisasi,
dan
kehadiran perusahaan
multinasional.
mutlak.
tidak
memproduksi mobil.
Sebaliknya, Jerman memproduksi mobil dan tidak memproduksi beras. Dengan demikian,perdagangan
internasional akan terjadi di antara keduanya bila Indonesia dan Jerman bersedia bertukar mobil dan
beras. Teori keunggulan absolut beranggapan bahwa yang menentukan berhasil atau tidaknya
perdagangan internasional suatu negara yaitu oleh produktivitas tenaga kerjanya, karena berasumsi
tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi pada suatu Negara. Teori ini juga didasari atas
beberapa asumsi pokok lain sebagai berikut: kualitas produksi yang diproduksi kedua negara sama,
pertukaran dilakukan secara barter atau tanpa uang, biaya yang dikeluarkan pada transportasi
diabaikan.
anggap ada dua negara yaitu Amerika dan Indonesia sama-sama dapat memproduksi pakaian dan
computer. Negara Amerika dapat memproduksi 10 juta pakaian dengan sumber daya yang sama
dengan memproduksi 100 ribu computer, sedangkan Indonesia dapa memproduksi 10 juta pakaian
dengan sumber daya yang sama denga memproduksi 30 ribu computer. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, dapat diketahui bahwa pekerja Indonesia kurang produktif dibanding dengan pekerja
Amerika dalam memproduksi computer dan Indonesia dan Amerika memiliki produktivitas yang sama
dalam memproduksi pakaian. Oleh karena itu, Indonesia memiliki biaya peluang yang lebih rendah
dalam memproduksi pakaian karena akan lebih efektif jika sumber daya yang digunakan untuk
memproduksi pakaian dibandingkan memproduksi computer, sedangkan Amerika memiliki
keunggulan komparatif pada produk computer karena sumber daya yang digunakan dalam
memproduki computer lebih efisien dibanding memproduksi pakaian dan juga biaya peluang dalam
memproduksi computer Amerika lebih rendah dari Indonesia. Perbandingan keunggulan komparatif
tersebut dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.
Millions of Cloths
-10
Indonesia
Total
Thousands of Computers
+100
+10
-30
+70
Sumber :
Oleh karena itu, dapat disimpulkan Negara Amerika akan lebih memilih memproduksi
computer karena akan lebih menguntungkan dibanding memproduksi pakaian karena Amerika
memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi computer, sedangkan Indonesia akan lebih
memilih memproduksi pakaian dan akan mengimpor computer dari Amerika.
diantaranya BP 42x, BP 234, BP 288, BP 308, BP 358, BP 409, BP 436, BP 534, BP 936, SA 203, SA
234, dan SA 237. Produksi kopi jenis Robusta secara umum dapat mencapai 800 2.000kg/ha/tahun
(Ditjenbun,2002).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif,
dimana penelitian ini berusaha untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi pada kajian mutu
komoditas kopi Indonesia berdasarkan data yang telah dikaji ulang oleh penulis sehingga terjamin ke
validatisannya.
BAB IV
PEMBAHASAN
tahun 1714 hasil penelitian tersebut diperkenalkan dan ditanam di Jardin des Plantes oleh Raja Louis
XIV. VOC kemudian berhasil memonopoli bursa perdagangan kopi dunia di tahun 1725 sampai 1780.
Pulau jawa sendiri adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan
Ethiopia. Tercatat bahwa di tahun 1725 tersebut Nusantara merupakan kawasan pengekspor kopi
terbesar di dunia yang sebagian besar produksinya berasal dari pulau jawa.
Keberhasilan VOC memonopoli perdagangan kopi dunia tidak lepas dari perjanjian
Koffiestelsel (sistem kopi), yaitu sebuah perjanjian yang dibuat oleh VOC dengan penguasa setempat,
dimana para pribumi diwajibkan menanam kopi dan semua hasil panennya diserahkan ke VOC,
sehingga Biji kopi berkualitas tinggi dari tanah Jawa Barat membanjiri Eropa.
Sistem perdagangan kopi terus berlanjut meskipun kemudian VOC dibubarkan dan Hindia
Belanda diperintah Belanda, hingga pada saat Herman Willem Daendles memerintah (1780 - 1818),
dibangunlah jalan dari ujung barat Jawa yakni Anyer sampai ujung Timur Jawa yakni Penarukan.
Tujuannya adalah untuk memudahkan transportasi prajurit Belanda dan kegiatan surat - menyurat di
tanah Jawa, memepercepat mobilitas biji kopi dari timur Jawa ke pelabuhan Batavia merupakan
maksud lain dari pembuatan jalan tersebut yang selanjutnya dikapalkan ke Belanda untuk dijual ke
wilayah Eropa.
Penderitaan rakyat pribumi ternyata tidak berhenti pada perjanjian tanam paksa kopi
(koffiestelsel).namun berlanjut dengan cultuurstelsel, yaitu sistem tanam paksa yang diciptakan oleh
Johanes van den Bosch (1780-1844), dimana rakyat idwajibkan menanam komoditi ekspor milik
pemerintah, termasuk kopi pada seperlima luas tanah yang digarap, atau bekerja selama 66 hari dalam
setahun di perkebunan-perkebunan milik pemerintah. Akibatnya, terjadi kelaparan ditanah Jawa dan
Sumatera pada tahun 1840-an. Namun, berkat cultuurstelsel tersebut, pulau Jawa menjadi pemasok
biji kopi terbesar di Eropa.
Perdagangan kopi tentu membawa keuntungan yang sangat besar bagi pemerintah kolonial
Belanda, tetapi tidak bagi rakyat pribumi. Secara teori, memproduksi komoditas ekspor menghasilkan
uang bagi para petani pribumi untuk membayar pajak mereka. Cultuurstelsel untuk kopi diterapkan di
daerah praenger Jawa Barat, pada praktiknya harga untuk komditas utama pertanian tersebut di-setting
sangat rendah, sehingga menyebabkan situasi yang berat bagi para petani.
Masa keemasan kopi nusantara mulai jatuh ketika terjadi serangan penyakit karat daun
melanda pada tahun 1878. Setiap perkebunan di seluruh Nusantara terkena penyakit kopi yang
disebabkan oleh Hemileia vasatrix tersebut. Jawa Barat menjadi daerah terparah yang mengalami
kerusakan akibat serangan hama penyakit karat daun tersebut. Serangan karat daun membunuh semua
tanaman kopi arabika yang tumbuh di dataran rendah. kopi arabika yang tersisa hanyalah yang tumbuh
di dataran tinggi (1.000m dari permukaan laut), yaitu sekitar 10% dari total tanaman, yang terdapat di
Aceh Tengah, Malang, Jember, Bali, Sumatra Utara dan Sumatra Selatan.
Setelah terjadinya tragedi karat daun tersebut, kemudian didatangkan jenis kopi baru yaitu
Liberika dari wilayah Monrevia dan Liberia pada tahun 1875. Maksud didatangkan jenis kopi baru ini
untuk menggantikan kopi Arabika yang mati diserang wabah karat daun tersebut. Tetapi ternyata jenis
kopi Liberika tidak dapat dikembangakan, kopi Liberika ternyata kurang disukai karena rasanya
terlalu asam dan lebih pahit dibandingkan Arabika.
Setelah percobaan pada kopi jenis Liberika mengalami kegagalan, pemerintah kemudian
mencoba mendatangan kopi jenis lainnya. yaitu kopi jenis Robusta (Coffea canephora) yang ternyata
tahan terhadap penyakit karat daun dan memerlukan syarat tumbuh serta pemeliharaan yang ringan,
selain itu itu produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kopi Arabika. Sehingga kopi Robusta
mulai ditanam secara luas didataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1.000m dari permukaan
laut dan sampai sekarang menjadi jenis kopi yang mendominasi perkebunan kopi di Nusantara
Indoensia. produktifitas kopi Indonesia.
45,342,000
27,500,000
12,500,000
9,350,000
6,625,000
Brasil
Vietnam
Kolombia
Indonesia
India
Sumber : International Coffea Organization
36,420,000
25,298,000
10,954,000
5,977,000
5,131,000
Saat ini, luas total perkebunan kopi di indonesia sekitar 1,24 hektar, 933 hektar perkebunan
kopi jenis robusta dan 307 hektar perkebunan kopi jenis arabika. Sektiar 90% dari total perkebunan
dibudidayakan oleh para petani skala kecil, mirip dengan produsen kopi regional terbesar Vietnam.
Sebagian besar hasil produksi biji kopi Indonesia adalah kopi jenis robusta yang kualitasnya lebih
rendah dibandingan kopi jenis Arabika. Oleh karena itu, sebagian besar ekspor kopi Indonesia (sekitar
80%) adalah biji kopi jenis robusta. Sedangkan, ekspor kopi olahan hanya sebagian kecil dari total
Ekspor kopi Indonesia.
Berikut Provinsi-provinsi yang berkontribusi paling besar untuk produksi kopi Indonesia.
Tabel 8. Daerah-daerah penghasil biji kopi terbesar di Indonesia.
Robusta
Arabika
Bengkulu (Sumatra)
Aceh (Sumatra)
Sulawesi Selatan
Sumatra Utara
Lampung
Sumber: Asosiasi eksportir Industri Kopi Indonesia (AEKI)
Dimulai dari tahun 1960an, Indonesia menunjukan peningkatan yang kecil namun stabil dalam
produksi kopi dunia. kendati begitu, menurut data dari badan pusat statistik (BPS) Indonesia, luas
perkebunana-perkebunana kopi di Indonesia menurun, hal ini dikarenakan para petani telah mengubah
fokus produksi mereka kepada komoditas yang dianggap lebih menguntungkan dibanding kopi,
seperti: kelapa sawit, karet dan kakao.
Pada tahun 2012, kira-kira 70% dari total produksi tahunan biji kopi Indonesia diekspor,
terutama kepada para pelanggan di jepang, Afrika Selatan, Eropa Barat, dan Amerika Serikat. Kendati
begitu, karena jumlah konsumsi domestik kopi Indonesia telah tumbuh jaumlah ekspor telah menurun.
Berikut data produksi dan ekspor kopi Indonesia tahun 2008-2016.
Tabel 9. Produksi dan ekspor kopi Indonesia tahun 2008-2016.
Produksi(ton)
2008
698,0
2009
682,69
2010
686,92
2011
633,99
2012
748,10
2013
740,00
2014
711,51
2015
550,00
2016
650,00
Ekspor(ton)
16
491,3
0
518,12
1
440,24
1
353,69
9
520,27
0
460,00
3
382,77
0
350,00
0
400,00
Ekspor(miliy
35
1.08
2
0.89
1
0.86
8
1.09
5
1.53
0
n.a
4
1.03
0
1.19
0
1.36
ar dollar AS)
menunjukan prognosis
Sumber: Asosiasi eksportir Industri Kopi Indonesia (AEKI)
Tabel 10. Konsumsi Domestik Kopi di Indonesia.
konsumsi
Nasional(dalam
Bungkus
kiligram)
Sumber: International Coffea Organization
2011
2012
60 3,333,000 3,584,00
0
2013
4,042,00
2014
4,167,000
Apabila di kaji dengan teori perdangan internasional, maka Indonesia seharusnya memiliki
keunggulan perdagangan di komoditas pertanian (agriculture), dimana menurut Heksher-Ohlin bahwa
sebuah negara akan cenderung mengekspor produk yang menggunakan sebagian besar faktor-faktor
produksi yang melimpah dari negara tersebut dan mengimpor produk yang menggunakan sebagain
besar faktor produksi yang langka atau tidak dimiliki oleh negara tersebut(Endowment Factor Theory).
Kenyataannya pada komoditas kopi, Indonesia memiliki keunggulan untuk memproduksi kopi
dibandingkan dengan beberapa negara lain di dunia. Dimana kopi merupakan produk yang
menggunakan tanah sebagai salah satu faktor produksi secara intensif. Kenyataan bahwa Indonesia
merupakan negara sub tropis, sehingga kultur tanah di Indonesia sangat cocok untuk tanaman yang
satu ini.
Melihat tingkat produktifitas kopi Indonesia yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa
Indonesia mempunyai keunggulan absolut untuk komoditas kopi terhadap beberapa negara di dunia,
bilang saja jepang. Adam Smith mengatakan bahwa sebuah negara akan memiliki keunggulan mutlak
apabila tenaga kerja sebuah negara tersebut lebih produktif pada satu peroduk tersebut dibandingkan
dengan negara lainnya, dan karena petani Indonesia telah lama mengenal tanaman kopi dan telah
menekuni budidaya kopi lebih dari satu abad. Maka petani Indonesia tentu lebih terampil dalam
budidaya kopi dibandingkan dengan petani jepang. Keunggulan Indonesia untuk komoditas kopi
terhadap jepang juga sesuai dengan teori keungguan komparatif, dimana Indonesia dengan segala
faktor pendukungnya Indonesia memiliki keunggulan pada produk kopi, dan Jepang punya
keunggulan pada produk elektronik. Hal ini terbukti dengan jumlah ekspor kopi Indonesia dek
berbagai dunia termasuk Jepang.
Meskipun tingkat produksi semakin meningkat, kualiatas kopi Indonesia sudah berkurang
kenyataannya mulai banyak negara yang tertarik dengan komoditas kopi, menjadi tantangan tersendiri
bagi Indonesia untuk memepertahankan pasarnya. Selain peningkatan kuantitas produksi, Indonesia
perlu meningkatakan kualitas sebagai jaminan mutu kepada para pelanggan. Pada tahun 2012 kopi
Indonesia yang berasal dari sentra biji Provinsi Lampung pernah mengalami penolakan ekspor ke
Jepang, sekitar 10 peti kemasan berisi 130 ton ditolak masuk Jepang. Jepang beralasan bahwa kopi
Indonesia melebihi batas residu, dimana kopi Indonesia dianggap mengandung unsur aktif pestisida
isocarabon carbaryl melebihi batas yang ditentukan Jepang, yakni sekitar 0,01 miligram per kilogram,
hal ini tidak sesuai dengan standar Jepang yang memberikan batas residu 0,01 miligram per kilogram.
Hal ini tentunya akan sangat merugikan eksportir dan juga petani dalam negeri, karena dalam
beberapa tahun terakhir produk ekspor kopi sering ditolak oleh negara tujuan ekspor. Beberapa poin
masalah yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah penolakan ini, diataranya yaitu kesalahan
dari petani kopi yang menggunakan bahan kimia pestisida yang berlebihan dalam proses pemeliharaan
tanaman kopi, kemudian eksportir kopi yang tidak melakukan pengujian kandungan bahan kimia
terlebih dahulu sebelum diekspor ke negara tujuan, dan juga kurangnya pengawasan dari lembaga
pemerintah maupun regulasi yang belum berfungsi dengan efektif untuk menghindari praktek yang
bermasalah dalam kegiatan produksi biji kopi di Indonesia. Namun di sisi lain, penolakan ini
sebaiknya segera direspon dengan cepat dan tepat serta dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh
stakeholder yang berkaitan dengan kegiatan ekspor biji kopi ini. Sebelum meneliti factor-faktor di
atas, terlebih dahulu akan diteliti apakah di dalam SNI biji kopi, dicantumkan persyaratan mengenai
kandungan bahan kimia maksimum pada biji kopi ekspor. Adapun berikut ini standar-standar yang
ditetapkan di dalam SNI, yaitu sebagai berikut.
1. Ruang Lingkup, SNI menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu, cara penggunaan,
penandaan, dan pengemasan biji kopi jenis Robusta dan Arabika.
2. Acuan Normatif dan berbagai istilah dan definisi berkaitan dengan mutu biji kopi.
3. Penggolongan yang meliputi jenis kopi (Robusta dan Arabika), cara pengolahan (pengolahan
kering dan pengolahan basah), nilai cacatnya (digolongkan menjadi 6 tingkat mutu, untuk kopi
Robusta mutu 4 terbagi dalam sub tingkat mutu 4a dan 4b), ukuran biji kopi (ukuran kopi
Robusta dan Arabika), jumlah keeping biji (Peaberry dan Polyembrioni).
4. Syarat Mutu, yang terbagi menjadi syarat mutu umum (mencakup kriteria, satuan, dan
persyaratan umum biji kopi) dan syarat mutu khusus (syarat mutu khusus kopi Robusta
pegolahan kering dan pengolahan basah, syarat mutu khusus kopi Arabika), kemudian syarat
berdasarkan jumlah keeping biji (syarat mutu khusus kopi Peaberry dan kopi Polyembrio),
syarat berdasarkan system nilai cacat (syarat penggolongan mutu kopi Robusta dan Arabika,
penentuan besarnya nilai cacat biji kopi)
5. Cara uji, syarat uji lulus, syarat penandaan dan pengemasan.
Berikut ini syarat umum dan khusus SNI yang diklasifikasikan dalam bentuk tabel.
Kriteria
Satuan
Persyaratan
1.
Serangga Hidup
Tidak ada
2.
Tidak ada
3.
Kadar air
% fraksi massa
Maks 12,5
4.
Kadar kotoran
% fraksi massa
Maks 0,5
Tabel 12. Syarat Penggolongan Mutu Kopi Robusta dan Arabika berdasarkan SNI
Mutu
Persyaratan
Mutu 1
Mutu 2
Mutu 3
Mutu 4a
Mutu 4b
Mutu 5
Mutu 6
CATATAN : Untuk kopi arabika, mutu 4 tidak dibagi menjadi sub mutu 4a dan 4b
Penentuan besarnya nilai cacat dari setiap biji cacat dicantumkan dalam table 7.
* untuk kopi peaberry dan polyembrio
Sumber : SNI 01-2907-2008
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa SNI hanya menetapkan syarat mutu
berdasarkan nilai cacat, jumlah keping, cara pengolahan, dan lainnya, namun tidak menetapkan syarat
kandungan maksimum bahan kimia dalam produk biji kopi ekspor. Hal ini dapat menjadi salah satu
factor yang mendorong terjadinya proses produksi yang tidak sesuai dengan standar beberapa negara
yang justru menitikberatkan pentingnya syarat penentuan kandungan maksimum bahan kimia pada
produk biji kopi yang diimpor. Kemudian, dalam kaitannya dengan ketetapan/ standar biji kopi dunia
seperti standar biji kopi oleh International Coffeea Organization No. 407, SNI sendiri menegaskan
bahwa standar yang ditetapkan dalam SNI disusun dan direvisi berdasarkan perkembangan pasar
global, salah satunya sebagai acuan SNI pada resolusi ICO 407 dan mempertimbangkan persyaratan
internasional lain. Dapat disimpulkan meskipun SNI telah mengikuti sesuai dengan standar pasar
internasional sebagai acuannya namun tetap saja standar kandungan maksimum bahan kimia tidak
termasuk di dalamnya. Kemungkinan lainnya yang dapat disimpulkan bahwa dengan begitu Jepang
telah menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk produk biji kopi yang diimpornya.
Mengenai beberapa factor sebelumnya yang dapat menjadi penyebab terjadinya penolakan
produk ekspor biji kopi Indonesia oleh jepang, yaitu sebagai berikut :
1. kesalahan dari petani kopi yang menggunakan bahan kimia pestisida yang berlebihan dalam
proses pemeliharaan tanaman kopi,
2. eksportir kopi yang tidak melakukan pengujian kandungan bahan kimia terlebih dahulu
sebelum diekspor ke negara tujuan, dan
3. kurangnya pengawasan dari lembaga pemerintah maupun regulasi yang belum berfungsi
dengan efektif untuk menghindari praktek yang bermasalah dalam kegiatan produksi biji kopi
di Indonesia
Pada poin permasalahan ke-1, 2, dan 3 merupakan hal yang saling berkaitan, dimana persoalan
poin pertama dapat disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai standar mutu dan tingkat
pendidikan petani yang sebagian besar masih rendah dapat menjadi penyebab terjadinya kesalahan di
tingkat pra panen, panen, dan pasca panen biji kopi Indonesia. Kurangnya peran aktif dari pemerintah
melalui badan pengawas standar mutu yang belum berfungsi hingga ke tingkat petani menjadi bagian
yang hilang dalam rantai proses produksi dan juga pada tingkat pemasaran kurangnya kesadaran dan
praktek yang salah dari para pemasar dan eksportir biji kopi yang tidak memperhatikan mutu dari biji
kopi sehingga berimbas pada penolakan produk oleh konsumen luar negeri. Padahal peran mutu pada
kondisi persaingan global saat sangat penting untuk menjaga kepercayaan konsumen luar negeri
terhadap produk ekspor Indonesia. Maka dari itu, kesadaran dari semua pihak yang terlibat sangat
dibutuhkan dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing produk biji kopi Indonesia. Sistem dan
regulasi yang jelas dan transparan juga penting agar penigkatan mutu dapat terus berlanjut dan akan
semakin baik di kemudian hari
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan dan hasil penelitian yang diperoleh,
dapat diambil beberapa poin kesimpulan sebagai berikut
A. Pemerintah telah menetapkan standar mutu biji kopi melalui penerbitan SNI. Adapun berikut ini
standar-standar yang ditetapkan di dalam SNI, yaitu sebagai berikut.
a. Ruang Lingkup, SNI menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu, cara penggunaan,
penandaan, dan pengemasan biji kopi jenis Robusta dan Arabika.
b. Acuan Normatif dan berbagai istilah dan definisi berkaitan dengan mutu biji kopi.
c. Penggolongan yang meliputi jenis kopi (Robusta dan Arabika), cara pengolahan (pengolahan
kering dan pengolahan basah), nilai cacatnya (digolongkan menjadi 6 tingkat mutu, untuk kopi
Robusta mutu 4 terbagi dalam sub tingkat mutu 4a dan 4b), ukuran biji kopi (ukuran kopi
Robusta dan Arabika), jumlah keeping biji (Peaberry dan Polyembrioni).
d. Syarat Mutu, yang terbagi menjadi syarat mutu umum (mencakup kriteria, satuan, dan
persyaratan umum biji kopi) dan syarat mutu khusus (syarat mutu khusus kopi Robusta
pegolahan kering dan pengolahan basah, syarat mutu khusus kopi Arabika), kemudian syarat
berdasarkan jumlah keeping biji (syarat mutu khusus kopi Peaberry dan kopi Polyembrio),
syarat berdasarkan system nilai cacat (syarat penggolongan mutu kopi Robusta dan Arabika,
penentuan besarnya nilai cacat biji kopi)
e. Cara uji, syarat uji lulus, syarat penandaan dan pengemasan.
B. Standar mutu yang ditetapkan oleh pemerintah melalui penerbitan SNI sudah sesuai dengan
standar kopi internasional, namun penetapan standar mutu biji kopi Indonesia masih di bawah
negara Jepang mengenai kandungan maksimal bahan kimia yang berimbas pada penolakan produk
biji kopi Indonesia oleh Jepang.
C. Beberapa factor yang dapat menjadi penyebab terjadinya penolakan produk ekspor biji kopi
Indonesia oleh Jepang, yaitu sebagai berikut.
a. kesalahan dari petani kopi yang menggunakan bahan kimia pestisida yang berlebihan
dalam proses pemeliharaan tanaman kopi,
b. eksportir kopi yang tidak melakukan pengujian kandungan bahan kimia terlebih dahulu
sebelum diekspor ke negara tujuan, dan
c. kurangnya pengawasan dari lembaga pemerintah maupun regulasi yang belum berfungsi
dengan efektif untuk menghindari praktek yang bermasalah dalam kegiatan produksi biji
kopi di Indonesia
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat, saran yang dapat peneliti berikan sebagai berikut
A. Bagi Masyarakat
Sebaiknya masyarakat Indoesia mendukung produk dalam negeri seperti produk kopi dalam
negeri sehingga memberikan ruang bagi produsen dalam negeri untuk berdaya saing di domestic dan
di internasional
C. Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah untuk lebih berperan aktif dalam mendorong dan mengawasi produsen biji
kopi dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas biji kopi.
DAFTAR PUSTAKA
Disusun oleh:
Ach Nadhiful Fuad (1400210012)
Christopher William Wirasetya (1400220020)
Immanuel Christian Wahyu Putra (
Abstrak
Di era perdagangan bebas International saat ini, persaingan yang ketat unutuk masigmasing negara tentu tidak bisa dihindarkan, dimana jaminan mutu dan standar kualitas
terbaiklah yang akan menjadi pemenang di hati konsumen. Hal ini tentu juga berlaku untuk
porduk komoditi pertanian, khususnya kopi.bagi Indonesia kopi merupakan salah satu produk
penyubang devisa terbesar, dimana sebagain besar dari total produksinya diekspor ke luar
negri. Pada sejarahnya, Indonesia pernah menjadi eksportir terbesardi dunia, selain itu kopi
Indonesia pernah menjadi primadona dunia. Sayangnya masa-masa itu tidak berlanjutnya,
jatuhnya produk kopi Indonesia dimulai dari terjadinya serangan wabah karat daun yang
membunuh 90% tanaman kopi arabika di Indonesia, dan setelah itu varietas kopi yang
ditanam di Indonesia berubah menjadi varietas kopi kelas dua, yakni robusta. Meski
produktivitasnya lebih cepat tumbuh, tetapi kualitasnya tentu lebih rendah dibandingkan
dengan varietas kopi arabika. Selain itu semakin banyaknya negara yang tertarik dengan
komodotas kopi, menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk memepertahankan
pasarnya dan menjaga kualitasnya untuk menciptakan kepuasan tersendiri bagi konsumennya.
Pada perjalanannya, Badan Standarisasi Nasional telah memberikan panduan untuk kriteria
biji kopi yang layak ekspor. Kendati begitu, kopi Indonesia pernah mengalami penolakan
Ekspor ke Jepang karena pihak karantina Jepang beranggapan bahwa kopi Indonesia tidak
memenuhi standar jepang. Dimana, kopi indonesia mengandung unsur aktif melebihi batas
residu yang ditentukan. Belajar dari kasus ini, maka pada penelitian ini membahas berkenana
sistem standarisasi Indonesia, apakah Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk Kopi
yang telah ditentukan oleh BSN tidak mengacu pada standarisasi kopi Internasional. Dan
bagaimana cara pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan tingkat prosukdtifitas kopi
Indonesia agar tetap bersaing di pasar Internasional.