Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit Alzheimer adalah penyebab demensia terbanyak, yaitu sekitar 6070 % dari seluruh kasus demensia. Demensia tipe Alzheimer dan demensia
lainnya bersifat progresif, merupakan penyakit degeneratif yang menyerang otak.
Penyakit Alzheimer mempengaruhi kemampuan fungsi hidup seseorang yang
berdampak terhadap semua aspek kehidupan dan lingkungan orang sekitarnya
terutama bagi yang mendampingi orang dengan demensia (ODD) sehari-hari.
Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang
ahli Psikiatri dan Neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi
seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan
memori serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita
itu tidak mengalami gangguan anggota gerak,koordinasi dan reflek. Pada autopsi
tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara
nikroskopik tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan
degenerasi neurofibrillary.
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup
pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin
meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial
ekonomi dan kesehatan, sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi
dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai
kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota
keluarga. Hal ini menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak, tumor,
multiple stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi, yang merupakan
penyebab utama demensia.
Istilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindroma klinis dengan
gejala menurunnya daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi
demensia menurut Unit Neurobehavior pada Boston Veterans Administration
Medical Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek yang didapat dan

bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen


fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit Alzheimer (5060%) dan kedua oleh cerebrovaskuler (20%). Diperkirakan penderita demensia
terutama penderita Alzheimer pada abad terakhir ini semakin meningkat jumlah
kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemi seperti di Amerika dengan
insidensi demensia 187 populasi/100.000/tahun dan penderita Alzheimer
123/100.000/tahun serta menjadi penyebab kematian keempat atau kelima.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Alzheimer merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan
degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan
untuk merawat diri. Penyakit Alzheimer adalah suatu kondisi dimana sel-sel saraf
di otak mati, sehingga sinyal-sinyal otak sulit ditransmisikan dengan baik.

Alzheimer adalah jenis kepikunan yang berbahaya, karena dapat


melumpuhkan daya ingat, pikiran, dan kecerdasan seseorang. Penyakit ini timbul
akibat proses degenerasi sel-sel saraf otak yang makin lama makin memburuk
sehingga otak mengerut dan mengecil. Akibatnya terjadi gangguan fungsi sel-sel
otak. Makin lanjut usia seseorang, maka semakin berpotensi mengalami demensia.
Alzheimer bisa terjadi pada usia lebih muda, hanya kasusnya belum banyak.
Penyakit Alzheimer (PA) merupakan penyakit otak yang berlanjut secara
perlahan yang dikarakteristikkan oleh gangguan memori dan oleh gangguangangguan pada bahasa dan persepsi. Banyak ilmuwan percaya bahwa penyakit
Alzheimer berakibat dari peningkatan produksi atau akumulasi dari protein
spesifik (beta-amyloid protein) di otak yang menjurus pada kematian sel syaraf.
Alzheimer bukan penyakit menular, melainkan merupakan sejenis sindrom
dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak
tampak mengerut dan mengecil. Alzheimer juga dikatakan sebagai penyakit yang
sinonim dengan orang tua.

Kemungkinan

memperoleh

penyakit

Alzheimer

meningkat

secara

substansial setelah umur 70 tahun dan mungkin mempengaruhi sekitar 50% dari
orang-orang berumur diatas 85 tahun. Meskipun begitu, penyakit Alzheimer
bukan bagian yang normal dari penuaan dan bukan sesuatu yang tak bisa
dihindarkan yang terjadi di kehidupan kemudian. Contohnya, banyak orang-orang
yang hidup sampai lebih dari 100 tahun dan tidak pernah mengembangkan
penyakit Alzheimer.
Penyakit Alzheimer paling sering ditemukan pada orang tua berusia sekitar
65 tahun ke atas. Di negara maju seperti Amerika Serikat saat ini ditemukan lebih
dari 4 juta orang usia lanjut penderita penyakit Alzheimer. Angka ini diperkirakan
akan meningkat sampai hampir 4 kali pada tahun 2050. Hal tersebut berkaitan
dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di negara maju, sehingga
populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.
2.2 Prevalensi
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia
kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita
pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit Alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur :

4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun


95,8/100.000 pada usia > 80 tahun.
300/100.000 pada usia 60-69 tahun
3200/100.000 pada usia 70-79 tahun
10.800/100.000 pada usia 80 tahun
Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit

Alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5


juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit Alzheimer belum
diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak
tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup

wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada
perbedaan terhadap jenis kelamin.
2.3 Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang
telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus,
polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament,
presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari
degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan
gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam
kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi
yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calsium intraseluler, kegagalan
metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapatnya produksi
protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat,
dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
2.4 Patogenesa
Sejumlah patogenesa penyakit Alzheimer yaitu:
1. Faktor genetik
Beberapa

peneliti

mengungkapkan

50%

prevalensi

kasus

Alzheimer ini diturunkan melalui gen autosomal dominant. Individu


keturunan garis pertama pada keluarga penderita Alzheimer mempunyai
resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol normal
Pemeriksaan genetika DNA pada penderita Alzheimer dengan
familial early onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio
proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan kelainan
lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome
mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun

terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan


Marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan
histopatologi pada penderita Alzheimer.
Hasil penelitian penyakit Alzheimer terhadap anak kembar
menunjukkan 40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote.
Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik berperan dalam penyaki
Alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa
kemungkinan faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada
Alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga
penderita Alzheimer yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata
diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan
infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat, kronik dan remisi.
Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru,
diduga berhubungan dengan penyakit Alzheimer. Hipotesa tersebut
mempunyai beberapa persamaan antara lain:
Manifestasi klinik yang sama
Tidak adanya respon imun yang spesifik
Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
Timbulnya gejala mioklonus
Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat
berperan dalam patogenesa penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan antara
lain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan
neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut
diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum
adalah penyebab degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang
tumpang tindih. Pada penderita Alzheimer, juga ditemukan keadaan
ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa
yang belum jelas.

Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan


depolarisasi melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan
masuk ke intraseluler (Cairan-influks) dan menyebabkan kerusakan
metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian
neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita
Alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan
haptoglobuli.
Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan
meningkat dari penderita Alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid
Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan
pada wanita muda karena peranan faktor immunitas
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit
Alzheimer dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju
yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan
banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor Neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter

pada

jaringan

otak

penderita

Alzheimer mempunyai peranan yang sangat penting seperti:


a. Asetilkolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik
neurotransmiter dengan cara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan
otak pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas
kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport kolin serta
penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan
postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis,
temporallis

superior,

nukleus

basalis,

hipokampus.

Kelainan

neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu ada


dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit Alzheimer,
dimana pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan
cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian scopolamin

pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya


daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai
patogenesa penyakit Alzheimer.
b. Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun
pada jaringan otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian
dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama
noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal
noradrenergik.
Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak
penderita Alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada
presinaptik neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988),
melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan
ante-mortem penderita Alzheimer.
c. Dopamin
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas
neurotransmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita Alzheimer. Hasil ini
masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena potongan
histopatologi regio hipothalamus serta penelitian berbeda-beda.
d. Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5
hidroxi-indolacetil acid pada biopsi korteks serebri penderita
Alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari
meynert. Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat
bervariasi,

pengurangan

maksimal

pada

anterior

hipotalamus

sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang


sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan
dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada
nukleus rephe dorsalis.
e. MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono
amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A
untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin,

sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada


penderita Alzheimer, didapatkan peningkatan MAO A pada
hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah
temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert
2.5 Faktor Resiko
a. Faktor Usia
Penderita Alzheimer biasanya diderita oleh orang yang berusia lebih dari
65 tahun, tetapi juga dapat menyerang orang yang berusia dibawah 40
tahun. Sedikitnya 5% orang berusia diantara 65-74 memiliki Alzheimer.
Pada orang berusia 85 keatas jumlahnya meningkat menjadi 50 persen.
b. Keturunan
Resiko Alzheimer yang muncul sedikit lebih tinggi jika hubungan
keluarga tingkat pertama, orangtua dan saudara sekandung memiliki
Alzheimer.
c. Jenis kelamin
Wanita lebih mudah terkena Alzheimer daripada laki-laki, hal ini karena
umumnya wanita hidup lebih lama daripada laki-laki.

d. Penurunan Kognitif Ringan


Orang yang memiliki penurunan kognitif ringan memiliki masalah
ingatan yang memburuk daripada apa yang mungkin diekspektasikan
pada usianya dan belum cukup buruk untuk mengklasifikasikan sebagai
dementia. Banyak dari mereka yang berada pada kondisi ini berlanjut
memiliki penyakit Alzheimer.
e. Gaya hidup
Faktor yang membuat seseorang berada pada resiko yang sama dengan
penyakit jantung juga meningkatkan kemungkinan akan terkena penyakit
Alzheimer. Contohnya adalah:
Tekanan
Tekanan darah tinggi
Kolestrol tinggi

Kurang dalam mengontrol gula darah


f. Tingkat pendidikan
Studi menemukan hubungan antara rendahnya pendidikan dan risiko
Alzheimer. Tetapi alasan tepat yang mendasarinya tidak diketahui.
Beberapa ilmuwan berteori, makin sering kita menggunakan otak akan
lebih banyak sinapsis yang dibuat dimana akan tersedia banyak cadangan
dihari tua. Akan sulit untuk menemukan Alzheimer pada orang yang
melatih otaknya secara rutin, atau mereka yang memiliki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi.
2.6 Gejala Klinik
Awitan dari perubahan mental penderita Alzheimer sangat perlahan-lahan,
sehingga pasien dan keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini
mulai muncul. Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer
yaitu:
a. Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired
Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex

contructions
Language : poor woordlist generation, anomia
Personality : indifference,occasional irritability
Psychiatry feature : sadness, or delution in some o Motor system :

normal
EEG : normal
CT/MRI : normal
PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion
b. Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
Memory : recent and remote recall more severely impaired
Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions
Language : fluent aphasia
Calculation : acalculation
Personality : indifference, irritability
Psychiatry feature : delution in some
Motor system : restlessness, pacing
EEG : slow background rhythm
CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent
PET/SPECT
:bilateral
parietal
and
frontal
hypometabolism/hyperfusion

c. Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)


Intelectual function : severely deteriorated
Motor system : limb rigidity and flexion poeture
Sphincter control : urinary and fecal
EEG : diffusely slow
CT/MRI : ventricular and sulcal enlargement
PET/SPECT
:
bilateral
parietal

and

frontal

hypometabolism/hyperfusion
2.7 Kriteria Diagnosa
Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosa klinis penyakit Alzheimer yaitu:
1. Kriteria diagnosis penderita penyakit Alzheimer terdiri dari:
Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan
status mini mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta
dikonfirmasikan dengan test neuropsikologik.
Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2
Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun
Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya
2. Diagnosis penderita penyakit Alzheimer ditunjang oleh:
Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa,

ketrampilan motorik, dan persepsi


ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku
Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan

dengan neuropatologi
Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau
perubahan non spesifik seperti peningkatan aktivitas gelombang

lambat
Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri
3. Gambaran lain diagnosa penyakit alzheimer setelah dikeluarkan penyebab
demensia lainnya terdiri dari:
Gejala yang berhubungan

dengan

depresi,

insomnia,

inkontinentia, delusi, halusinasi, emosi, kelainan seksual, berat

badan menurun
Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit
pada stadium lanjut dan termasuk tanda-tanda motorik seperti
peningkatan tonus otot, mioklonus atau gangguan berjalan

Terdapat bangkitan pada stadium lanjut.


4. Gambaran diagnosa penderita penyakit Alzheimer yang tidak jelas terdiri
dari:

Awitan mendadak
Diketemukan gejala

neurologik

fokal

seperti

hemiparese,

hipestesia, defisit lapang pandang dan gangguan koordinasi


Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan
5. Diagnosa klinik kemungkinan penyakit alzheimer adalah:
Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologik lain, gejala

psikiatri atau kelainan sistemik yang menyebabkan demensia


Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang
menyebabkan demensia, defisit kognisi berat secara gradual

progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab lainnya


6. Kriteria diagnosa pasti penyakit alzheimer adalah gabungan dari kriteria
klinik

penderita

penyakit

alzheimer

dan

didapatkan

gambaran

histopatologi dari biopsi atau otopsi.


2.8 Penanganan Non Farmakologi
Terapi secara non farmakologi dilakukan untuk mengurangi gangguan sikap
(behavioral problems) dan ketidaksesuaian mood (mood disorders) pada penderita
Alzheimer. Sebelum diberikan pengobatan untuk mengatasi gangguan sikap,
sebaiknya diberikan terlebih dahulu tindakan non-farmakologi. Saat penanganan
gangguan sikap ini telah dilakukan dengan obat-obatan (secara farmakologi),
tindakan non-farmakologi dapat mengurangi dosis, durasi, atau kerumitan dari
farmakoterapi yang dibutuhkan. Beberapa terapi non-farmakologi yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut :
(1) Mengoptimalkan dan mengasah kemampuan otak yang masih ada
a. Daya Ingat
Terapi non farmakologi dapat kita lakukan dengan mengoptimalkan daya
ingat pasien, seperti membuat catatan kecil agar dia dapat mengingat
sedikit demi sedikit, selain itu ajak pasien ke tempat yang familiar disiang
hari, seperti kerumahnya atau ketempat yang sering dia kunjungi.

b. Inkontinesia
Inkontinesia

merupakan

salah

satu terapi

non

farmakologi dengan

menggunakan kemampuan kebiasaan yang sering dilakukan pasien, seperti


kebiasaan buang air besar, buang air kecil, mandi dan masih banyak lagi.
Lakukan serangkaian kegiatan tersebut dengan rutin kepada penderita atau
pasien seperti membuat jadwal terlebih dahulu agar pasien mampu
mengingat hal-hal yang sering dilakukanya setiap hari.
c.

Komunikasi
Terkadang penderita penyakit Alzheimer mengalami kesusahan dalam
berkomunikasi mungkin bisa tuli atau kurang perhatian, untuk terapi non
farmakologi melalui komunikasi, pasang alat bantu komunikasi dan
berusaha untuk membuat pasien memusatkan perhatian dengan cara
menepuk bahu atau menyentuh tangan.

(2) Berupaya mengatasi masalah perilaku


Prinsip penatalaksanaan terapi non farmakologi melalui masalah tingkah laku
adalah dengan menemukan perubahan tingkah laku sedini mungkin. Langkah
awal yang dapat ditempuh untuk mengatasi perubahan tingkah laku adalah
sebagai berikut:
a. Periksa kemungkinan adanya infeksi ataupun dehidrasi;
b. Evalusai terhadap perubahan fisik seperti penyakit yang diderita pasien;
c. Cegah stimulan lingkungan yang terlalu bising atau ramai seperti banyak
orang, lingkungan baru dan rutinitas yang tidak pernah dijalani
sebelumnya;
d. Idetifikasi gangguan yang dialami oleh pasien atau penderita;
e. Lakukan pendekatan dengan tepat seperti mengalihkan perhatian pasien,
memberi rasa aman, menangani dengan lembut dan mengajarkan perilaku
yang sebenarnya kepada pasien.

2.9 Penanganan Farmakologi


2.10 Interaksi Obat
2.11 Terminologi Medik

2.12 Study Kasus

http://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-penyakit-Alzheimer.html

Anda mungkin juga menyukai