Anda di halaman 1dari 15

JAWA

1. Tarian Adat
1.1 Reog
a Asal Usul

Pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada


masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa
pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat
dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Tiongkok,
selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan
yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan
Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan
mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri
kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu
kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini
akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit
kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan
pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu
disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan
"sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran
Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan
masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk
kepala singa yang dikenal sebagai "Singa barong", raja hutan,
yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan diatasnya
ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas
raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan
Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.
Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang
menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan

Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras


dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut
merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian
dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih
dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran
Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi
mengambil
tindakan
dan
menyerang
perguruannya,
pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan
perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok.
Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya
secara diam-diam. Nilai-Nilai yang Terkandung
b Nilai-Nilai yang Terkandung
Dadak Reyog
Dadak reyog diambil dari bahasa arab Riyoqun yang
bermakna Khusnul Khotimah. Hal ini bisa diartikan seluruh
perjalanan hidup manusia dilumuri dengan berbagai dosa
dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya
bertaqwa kepada Tuhan maka jaminannya adalah sebagai
manusia yang sempurna dan menjadi muslim sejati. Dalam
Reyog terdapat topeng Harimau (Barongan / Cekathakan )
yang angker dan angkuh dihiasi oleh bulu burung merak
yang hijau kebiru biruan dan mengkilat. Topeng harimau
melambangkan kejahatan dan bulu merak melambangkan
kebajikan. Ini mengingatkan kepada kita bahwa setiap
kejahatan akan terkalahkan oleh kebajikan.
Kendang
Kendang diambil dari Bahasa Arab Qodaa yang
bermakna rem. Artinya sebagai manusi yang hidup dimuka
bumi kita harus sadar bahwa kita tak akan hidup
selamanya. Maka dari itu dibutuhkan rem untuk
mengendalikan kehidupan kita agar tak terjerumus dalam
keangkara murkaan.
Kendang menentukan irama cepat atau lambat dan
berbunyi dang, dang, dang. Ndang artinya segeralah,
berarti segeralah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kenong
Kenong diambil dari Bahasa Arab Qonaa yang
bermakna menerima takdir. Sebagai makhluk ciptaan
Tuhan kita dilarang untuk mengeluh dengan apa yang
terjadi pada diri kita. Kita diwajibkan untuk selalu berusaha
dan berdoa untuk merubah hidup kita.
Kenong memiliki suara nang, ning, nong, nung. Nang
berarti ana, ning berate bening, nong berarti plong
(mengerti), nung berarti dumunung (sadar). Maksutnya
setelah manusia ada lalu berfikir dengan hati hyang bening

maka
dapat
mengerti
sehingga
sadar
bahwa
keberadaannya tentu ada yang menciptakannya yaitu Allah
SWT.
Ketipung
Ketipung diambil dari Bahasa ArabKatifun yang berarti
balasan. Setiap perbuatan yang kita lakukan dimuka bumi
ini akan mendapatkan balasan dari tuhan kelak di hari
akhir. Untuk itu kita dianjurkan untuk selalu berbuat
kebajikan setiap waktu. Ketipung adalah kendang dengan
ukuran kecil.
c Alasan
karena kental akan budaya jawa yang melambangkan salah
satu adat serta daerah yang berada di Indonesia serta akan
nilai nilai yang melanbangkan indonesia sepeti, gotong royong
dan ramah tamah.
1.2 Bedoyo Ketawang
a Asal Usul

Ada beberapa legenda yang mengungkapkan


pembentukan
tarian
ini.Suatu
ketika,
Sultan
Agung
Hanyakrakusuma yang memerintah Kesultanan Mataram dari
tahun 1613-1645, sedang melakukan laku ritual semedi.
Konon, dalam keheningan sang raja mendengar suara
tetembangan (senandung) dari arah tawang atau langit. Sultan
Agung merasa terkesima dengan senandung tersebut. Begitu
selesai bertapa, Sultan Agung memanggil empat orang
pengiringnya yaitu Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas,
Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap. Sultan
Agung mengutarakan kesaksian batinnya pada mereka. Karena
terilhami oleh pengalaman gaib yang ia alami, Sultan Agung
sendiri menciptakan sebuah tarian yang kemudian diberi nama

Bedhaya Ketawang. Menurut versi yang lain, dikisahkan pula


bahwa dalam pertapaanya, Panembahan Senapati bertemu
dan bercinta dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga
dengan sebutan Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi
cikal bakal tarian ini.
Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pakubuwana
III bersama Hamengkubuwana I melakukan pembagian harta
warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi milik
Kasunanan Surakarta dan sebagian lainnya menjadi milik
Kesultanan Yogyakarta. Pada akhirnya Tari Bedhaya Ketawang
menjadi milik istana Surakarta, dan dalam perkembangannya
sampai sekarang ini Tari Bedhaya Ketawang masih tetap
dipertunjukkan saat penobatan dan upacara peringatan
kenaikan tahta Sunan Surakarta.
b Nilai-Nilai yang Terkandung
Bedhaya Ketawang merupakan suatu tarian yang berfungsi
bukan hanya sebagai hiburan, karena tarian ini hanya ditarikan
untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat
resmi. Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan
asmara Kangjeng Ratu Kidul dengan raja-raja Mataram.
Semuanya diwujudkan dalam gerak-gerik tangan serta seluruh
bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya.
Semua kata-kata yang tercantum dalam tembang (lagu) yang
mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara
Kangjeng Ratu Kidul kepada sang raja.
c Alasan
Karena tari tersebut merupakan tari asli keratin yang hanya
pada hari-hari tertentu ditampikan. Tari tersebut merupakan
sesembahan untuk Ratu Kidul dan layak untuk menjadi
identitas bangsa Indonesia
2. Upacara Adat
2.1 Upacara Kasada
a. Asal Usul

Kisah Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger


(Putra Brahmana) "asal mula suku Tengger di ambil dari nama
belakang keduanya", pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger
membangun pemukiman dan kemudian memerintah di
kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing
Tengger, yang mempunyai arti Penguasa Tengger yang
Budiman. Mereka tidak di karunia anak sehingga mereka
melakukan semedi atau bertapa kepada Sang Hyang Widhi,
tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi
mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah
mendapatkan
keturunan,
anak
yang
bungsu
harus
dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah
dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian
terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah
Gunung Bromo menyemburkan api.
Kesuma, anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat
api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma
terdengarlah suara gaib, "Saudara-saudaraku yang kucintai,
aku telah dikorbankan oleh orangtua kita dan Sang Hyang
Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan
tenteram, sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar
kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji
kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo".
b. Nilai-Nilai yang Terkandung
Nilai budaya yang dapat dipetik untuk diteladani yang
diwariskan oleh nenek moyang melalui upacara tradisional
Kasada antara lain adalah sebagai berikut :
Sebagai Penghormatan terhadap Leluhur
Upacara tradisional Kasada merupakan sarana ucapan
rasa syukur dari masyarakat kawasan gunung Bromo
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan

perlindungannya karena keberhasilannya, tidak hanya


menjadikan masyarakat meningkatkan sektor pertanian,
juga perdagangan, kerajinan dan kesejahteraan hidup
mereka. Pada perkembangan selanjutnya upacara ini
dikaitkan dengan cikal bakal atau sesepuh desa sebagai
pepunden-nya dalam memimpin seluruh kegiatan terkait
dengan
pelaksanaan
upacara
tradisional,
serta
penghormatan terhadap perjuangan nenek moyang (cikal
bakal) masyarakat Tengger yang telah membangun dan
memberikan perlindungan terhadap hidup mereka.
Sebagai Kepatuhan
Dalam upacara radisional Kasada, faktor kepatuhan
nampak pada masyarakat pendukungnya secara patuh
melaksanakan upacara tersebut yang pada hakekatnya
merupakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mereka tidak mau melanggar pelaksanaan upacara ini
seperti misalnya mengganti hari pelaksanaan atau bahkan
meniadakan upacara itu sendiri. Faktor kepatuhan juga
nampak pada persiapan pembuatan sesaji upacara. Mereka
secara teliti mempersiapkan macam-macam sesaji dengan
lengkap, karena kalau salah satu sesaji ada yang kurang
lengkap, maka mereka mempunyai kepercayaan akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan adanya faktor kepatuhan seperti tersebut di
atas secara tidak langsung masyarakat pendukung upacara
ini telah mempunyai kesadaran akan arti dari kepatuhan
terhadap lingkungannya. Hal ini apabila direfleksikan apa
yang telah diperbuat oleh masyarakat pendukung upacara
tersebut, bisa dikatakan sebagai suatu pelajaran bagi
masyarakat untuk belajar mematuhi segala aturan yang
ada di lingkungannya.
Sebagai Unsur Kebersamaan dan Kerukunan
Sejak persiapan upacara sampai dengan akhir upacara
banyak
melibatkan
masyarakat
di
lingkungannya.
Keterlibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan upacara,
menunjukkan bahwa di antara mereka terjalin hubungan
saling membutuhkan
untuk bisa bersama-sama
melaksanakan upacara. Hal ini nampak pada saat
pengumpulan bahan-bahan sesaji, pembuatan kerangka
bambu untuk pembuatan
ongkek, serta pembersihan
tempat di rumah Carik. Hal ini menunjukkan adanya
kebersamaan dan kerukunan di antara masyarakat, karena
di samping mereka membuat sesaji secara perorangan
juga membuat sesaji desa yang berfungsi sebagai unsur
utama.

Sebagai Aset Wisata


Upacara tradisional Kasada banyak mendapat perhatian
dari masyarakat luas, Hal ini terbukti dengan banyaknya
pengunjung yang datang ingin menyaksikan upacara
tersebut, tidak hanya seluruh masyarakat setempat
melainkan mereka yang bukan pemeluk agama Hindu pun
hadir. Pengunjung selain mengikuti upacara mereka datang
untuk menyaksikan keindahan alam pada saat malam
purnama maupun pagi hari saat matahari terbit di ufuk
timur. Banyaknya pengunjung yang datang untuk
menghadiri atau menyaksikan upacara tradisional tersebut
secara tidak langsung merupakan wisatawan domestik
maupun
mancanegara.
Kondisi
demikian
akan
menambahan penghasilan bagi masyarakat setempat
karena di antara mereka terjadi transaksi jual beli barangbarang
dagangannya.
Dengan
demikian
upacara
tradisional Kasada yang dilaksanakan di kawasan gunung
Bromo secara tidak langsung merupakan salah satu aset
wisata budaya bagi pemerintah maupun masyarakat di
kawasan Tengger

c. Alasan
Karena upacara yang memiliki arti filosofis yang tinggi, yaitu
pengorbanan seorang anak kepada rakyat. Upacara yang
memiliki unsure mistis yang sangat tinggi.

3. Produk
3.1
Batik
a Asal Usul

Seni pewarnaan kain dengan teknik perintang


pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk
seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik
ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan
diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi
malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik
juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku
Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal.
[2]. Di Indonesia, batik dipercaya sudah ada semenjak
zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad
XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan ialah
semuanya batik tulis sampai awal abad XX dan batik cap
baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun
1920-an.
b Nilai-Nilai yang Terkandung
Setiap motif yang tergambar pada kain batik memiliki
suasana tersendiri, ada yang suasana perang, suasana
gembira dan ada pula setiap motif hanya boleh digunakan
oleh gender tertentu.
c Alasan
Batik memiliki banyak jenisnya. Setiap jenis batik memiliki
makna dan filosofi yang melambangkan dari jenis
masyarakat dan kebudayaan daerah tertentu.

4. KesenianTradisional
4.1 Angklung
a. Asal Usul

Masyarakat Jawa Barat sujak zaman dahulu terkenal


dengan iklim wilayahnya yang agraris. Sebagian besar
warganya pun menggantungkan hidup dari hasil pertanian.
Dari sini muncul kepercayaan mengenai Dewi yang melindungi
hasil panen warga serta menjauhkan dari bala bencana. Dewi
yang dimaksud adalah Dewi Sri Pohaci atau yang juga disebut
Nyai Sri Pohaci. Dewi Sri Pohaci digambarkan sebagai sosok
yang melindungi panen warga Jawa Barat (dalam hal ini padi
sebagai sumber kehidupan) agar bebas dari hama dan wabah
penyakit. Untuk menghormati Dewi, maka masyarakat pun
menyanyikan syair-syair yang dipersembahkan sebagai tolak
bala agar sang Dewi melindungi tanaman mereka hingga
musim panen tiba.
Untuk menguatkan syair-syair yang ditembangkan
sebagai persembahan kepada Dewi Sri Pohaci, maka
diciptakanlah struktur alat musik yang terbuat dari bambu.
Tidak ada sumber yang cukup jelas yang mengetahui apakah
bentuk alat musik angklung ini sama seperti sekarang ketika
pertama kali diciptakan. Diperkirakan masyarakat Jawa Barat
telah membuat alat musik tradisional ini sejak abad ke-12.
Angklung dibuat dari bahan bambu yang banyak ditemui di
daerah Jawa Barat seperti awi temen dan awi wulung. Sebagai

alat musik yang mengiringi syair persembahan untuk Dewi Sri


Pohaci, alat musik bambu ini digunakan ketika menjalankan
ritual yang berhubungan dengan hasil bercocok tanam warga
seperti upacara tolak bala, pada saat menanam benih padi,
hingga ketika musim panen tiba. Seiring waktu, kepopuleran
alat musik Angklung semakin luas hingga menyebar ke
seluruh lapisan masyarakat. Karena perkembangannya serta
makin banyaknya orang mengenal Angklung terutama pada
saat arak-arakan ketika merayakan hasil panen, Angklung
tidak lagi sekedar menjadi pengiring untuk musik pada saat
ritual bercocok tanam, tetapi telah mengalami perluasan
menjadi sebuah kesenian yang dapat dimainkan oleh siapa
saja.
b. Nilai-Nilai yang Terkandung
Dalam permainan angklung terkandung nilai-nilai sebagai
berikut :
Gotongroyong,
Kekompakan
Disiplin,
Kreativitas,
Ketangkasan,
Konsentrasi
Tanggungjawab.
c. Alasan
Tentu saja layak ,karena angklung merupakan alat music
tradisional yang diciptakan di Indonesia dan menjadi cirri khas,
budaya, dan warisan jawa barat. Jawa Barat sebagai bagian
dari Indonesia menyumbangkan warisan luhur yang luar biasa,
seperti yang kita ketahui tentang pengakuan Angklung
sebagai Warisan dunia.Pengukuhan angklung sebagai warisan
budaya dunia dilakukan oleh UNESCO hari ini, Kamis, 18
Nopember 2010 di Nairobi, Kenya.Angklung ditetapkan
sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage
of Humanity
4.2 Wayang Kulit
a. Asal Usul

Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang


pertunjukan wayang berasal dari Prasasti Balitung pada Abad
ke 4 yang berbunyi si Galigi mawayang. Ketika agama Hindu
masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang
sudah ada, seni pertunjukan ini menjadi media efektif
menyebarkan
agama
Hindu.
Pertunjukan
wayang
menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata.
Para Wali Sembilan di Jawa, sudah membagi wayang
menjadi tiga. Wayang Kulit di timur, wayang wong di jawa
tengah dan wayang golek di Jawa barat. Adalah Raden Patah
dan Sunan Kali Jaga yang berjasa besar. Carilah wayang di
Jawa Barat, golek ono dalam bahasa jawi, sampai ketemu
wong nya isi nya yang di tengah, jangan hanya ketemu kulit
nya saja di Timur di wetan wiwitan. Mencari jati diri itu di Barat
atau Kulon atau kula yang ada di dalam dada hati manusia.
Maksud para Wali terlalu luhur dan tinggi filosofi nya. Wayang
itu tulen dari Jawa asli, pakeliran itu artinya pasangan antara
bayang bayang dan barang asli nya. Seperti dua kalimah
syahadat. Adapun Tuhan masyrik wal maghrib itu harus di
terjemahkan ke dalam bahasa jawa dulu yang artinya wetan
kawitan dan kulon atau kula atau saya yang ada di dalam.
Carilah tuhan yang kawitan pertama dan yang ada di dalam
hati manusia
b. Nilai-Nilai yang Terkandung
Nilai-nilai Pendidikan
Lewat pertunjukkan wayang melalui tokoh serta
ceritanya mempunyai peran dalam pembinaan dan pendidikan
untuk membangun karakter bangsa.Karena wayang menjadi
salah satu kekayaan tradisi bangsa Indonesia,sudah
seharusnya
dilestarikan
dan
dimanfaatkan
dalam
pembentukan budaya bangsa yang akan jadi potret orang
Indonesia sampai kapanpun.

Nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam pewayangan


selalu mengajak masyarakat untuk berbuat baik dan
menhindari kejahatan,serta menanamkan kepada masyarakat
semangat amar maruf nahi mungkar atau istilah dalam
pewayangan memayu hayuning bebrayan agung,sesuai
dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing.
c. Alasan
Karena wayang memiliki unsur budaya jawa, yang mana jawa
dikenal sebagai pulau yang terlektak di Indonesia.

4.3 Gamelan
a. Asal Usul

Kemunculan gamelan didahului dengan budaya HinduBudha yang mendominasi Indonesia pada awal masa
pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia.
Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti
sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam
perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak keIndia-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara
menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan
oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai
seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di
Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru
pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para
dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan
dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.
b. Nilai-Nilai yang Terkandung
Nilai Estetika
Gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira 72
alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan
disertai 10 15 pesinden dan atau gerong. Susunannya
terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang
terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang,
rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon
dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai
kawat yang dipetik bernama siter atau celepung. Dari
semua perangkat gamelan merupakan karya seni agung
yang indah dari budaya Indnesia. Keindahan music
memberikan nuansa keindahan yang unik yaitu
campuran antara nuansa spiritual, etnik buadaya,
keluwesan serta mendidik.
Nilai Histori

Menurut
sejarahnya,
gamelan
Jawa
juga
mempunyai sejarah yang panjang. Seperti halnya
kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa
dalam perkembangannya juga mengalami perubahanperubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatannya,
sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya.
Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas
untuk kalangan istana. Kini siapapun yang berminat
dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan
Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka.
Nilai Budaya
Gamelan Jawa merupakan salah satu seni budaya
yang diwariskan oleh para pendahulu dan sampai
sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara
hipotetis, Brandes (1889) mengemukakan bahwa
masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah
mengenal sepuluh keahlian, di antaranya adalah wayang
dan gamelan.
Nilai Spiritual/Religius
Nilai spiritual merupakan nilai tertinggi dan
bersifat mutlak karena bersumber pada Tuhan Yang
Maha Esa. Segala hal yang berhubungan dengan mistis
yang ada pada gamelan misalnya: perlunya membuat
sesaji sebelum pementasan, larangan melangkahi
perangkat gamelan, ataupun perlunya memandikan
gamelan dalam waktu-waktu tertentu tidak hanya
membutuhkan rasionalisasi, namun juga normalisasi
persepsi.
Dipergunakannya
gamelan
sebagai
sarana
pengiring upacara karena esensinya adalah untuk
membimbing pikiran umat ketika sedang mengikuti
prosesi agar terkonsentrasi pada kesucian sehingga
pada saat persembahyangan pikiran fokus kepada
keberadaan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi). Jadi jelas
bahwa dalam konteks tersebut gamelan memiliki nilai
religius di mana keberadaan gamelan sebagai pengiring
upacara keagamaan di suatu wilayah suci hal tersebut
dapat
menambah
religiusitas
sebuah
prosesi
keagamaan.
Dalam masa perkembangan Islam di Jawa,
gamelan merupakan sarana akulturasi antara nilai yang
terkandung dalam pesan budaya dengan nilai Islam.
Seni di manfaatkan sebagai media transformasi nilai
agama dan pemahaman yang empirik, misalnya pada
syair-syairnya.

Nilai Demokrasi
Dilihat dari kacamata pancasila, nilai gamelan
yang lain akan berhubungan dengan sila keempat,
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dalam
Permusyawaratan dan Perwakilan. Dari sini permainan
gamelan akan mencerminkan nilai demokratis. Dalam
permainan gamelan terdapat perangkat-perangkat
terciptanya demokratisasi. Kendhang sebagai pemimpin
dan pengendali disini terdapat peran pengaturan yang
dianalogikan sebagai eksekutif. Sementara gong sebagai
tanda pemberhentian atau pengawasan terhadap
jalannya permainan. Gong juga berperan menutup
sebuah irama musik yang panjang dan memberi
keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh
irama
gending,
dianalogikan
sebagai
yudikatif.
Sedangkan kenong adalah legislatif yang mewakili
perangkat lainnya selain kedua alat tadi.
Nilai Social
Permainan music gamelan memberikan nuansa
social yang merekatkan antar para pemain gamelan.
Kerjasama
dan
toleransi
turut
mengisi
dalam
kebersamaan dalam suara dalam gamelan. Pada zaman
wali songopun gamelan sebagai sarana untuk
mempererat hubungan toleransi antar umat beragama.
Nilai Filosofis
Nilai-nilai filosofi dalam gamelan adalah nilai-nilai
keharmonisan hubungan manusia baik secara horizontal
maupun vertical dengan sang maha penciptanya.
Nilai Psykologi
Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia
karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa
halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa
seseorang menjadi halus seperti gendhing gendhing.
c. Alasan
Karena kental akan budaya jawa yang melambangkan
salah satu adat serta daerah yang berada di Indonesia serta
akan nilai nilai yang melanbangkan indonesia sepeti dan
masyaraktnya seperti: ramah taman terhadap orang lain dan
mudah bergaul serta meninggalkan-meninggalkan hal-hal
yang tidak layak untuk dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai