Anda di halaman 1dari 16

memaparkan lima alasan utama mengapa

judicial review tersebut harus dilakukan.

Pertama, lanjutnya Perpres tersebut


mempromosikan
hanya
percepatan
PLTSa teknologi termal yang justru tidak
ramah lingkungan.

Dia menjelaskan terkait hal tersebut ada


Undang-Undang (UU) Pengelolaan
Sampah khususnya Pasal 29 Ayat 1 huruf
g melarang membakar sampah yang tidak
sesuai dengan persyaratan teknis.
JawaPos.com - Sejumlah organisasi
masyarakat sipil yang aktif bergerak
dalam isu mengenai lingkungan hidup
menyatakan
akan
melayangkan
permohonan judicial review terhadap
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18
Tahun
2016
tentang
Percepatan
Pembangunan
Pembangkit
Listrik
Berbasis Sampah atau PLTSa di
Mahkamah Agung (MA) dalam waktu
dekat.

Penyebabnya, penerapan PLTSa di tujuh


kota yakni Jakarta, Tangerang, Bandung,
Semarang, Surakarta, Surabaya, dan
Makassar
dinilai
malah
merusak
lingkungan hidup di sekitarnya.

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran


Indonesian Center for Environmental
Law
(ICEL)
Margaretha
Quina

Alasan kedua, yakni adanya lepasan


berupa pencemar berbahaya dan beracun
dari PLTSa, termasuk pencemar yang
bersifat persisten dan sulit dipulihkan
kembali.

Tidak hanya meninjau, tim BLH juga


mengambil sebagian sampel limbah
untuk dicek di laboratorium. Di lokasi
terdampak,
tim
BLH
melakukan
pengujian lapangan. Di antaranya,
mengecek PH maupun suhu limbah cair
tersebut.

SURABAYA Genangan air berwarna


hitam pekat membanjiri rumah warga di
kawasan Waru Gunung, Karangpilang.
Sejak seminggu lalu atau 14 Juni,
genangan hitam itu masuk ke rumah
keluarga Hendra. Mereka pun terganggu
dengan genangan yang membuat ikan di
kolam mati tersebut. Berdasar kasatmata,
cairan hitam yang menggenangi lahan
warga itu identik dengan limbah cair di
salah satu lahan pabrik yang mengelilingi
rumah tersebut.

Temuan itu terungkap dari hasil sidak


gabungan tim patroli air Balai
Lingkungan Hidup (BLH) Jatim Senin
(23/6). Tim tersebut terjun ke lapangan
setelah mendapat pengaduan dari warga.

Kasubidwasdal Pencemaran Lingkungan


Air dan Laut BLH Jatim Ainul Huri
langsung memimpin peninjauan beberapa
lokasi terkait dengan dugaan pencemaran
tersebut. Pengecekan dimulai dengan
mendatangi
lokasi
terdampak.
Selanjutnya, tim bergerak ke pabrik. Di
dalam pabrik, lokasi yang ditinjau, antara
lain, instalasi pembuangan air limbah
(IPAL).

Setelah sidak, Ainul menyebut belum


bisa menyimpulkan hasil pemeriksaan.
Dia mengatakan tidak ingin mengirangira hasil uji. Dari parameter lapangan
berupa suhu dan keasaman, jelas dia,
memang tidak ditemukan penyimpangan.
Namun, parameter lain masih menunggu
uji laboratorium, jelasnya.
Dari sejumlah sampel yang diambil, nanti
petugas melihat kecocokan cairan di
pabrik dengan di lahan warga. Jika
sesuai, akan diambil tindakan lebih
lanjut. Hasil uji laboratorium, lanjut dia,
baru bisa diketahui 10 hari mendatang.

Menurut Ainul, jika hasil uji laboratorium


menunjukkan bahwa genangan itu limbah
dari pabrik, pihaknya akan memberikan
sanksi dan peringatan administratif.

Dia juga merasa janggal dengan kejadian


tersebut. Sebab, pihak pabrik sebelumnya
mengantongi izin buang limbah cair.

Tri Harsono, kakak Hendra, warga


terdampak, menyatakan bahwa kejadian
tersebut bukan kali pertama. Menurut
warga yang rumahnya kini terimpit
pabrik itu, pada 2009 hal serupa pernah
terjadi. Namun, kami selesaikan dengan

pihak pabrik
ujarnya.

secara

kekeluargaan,

dan rumah warga tersebut telah dipepet


pabrik, ucapnya.

Parmin, salah seorang warga yang juga


terdampak,
menyebut,
pada
hari
sebelumnya dirinya melihat slang
menjulur dari balik dinding pabrik. Dari
slang itulah, diduga cairan tersebut
dialirkan. Namun, kini slang itu tidak lagi
ditemukan.

Sementara itu, pihak pabrik tidak bisa


dimintai
keterangan.
Beberapa
keterangan yang ditanyakan tim patroli
air BLH juga lebih banyak dijawab tidak
tahu. (yoc/c7/end)

Dampak luberan air yang juga memenuhi


kolam ikan tersebut, sejumlah ikan mati.
Di antaranya, ikan air tawar, belut, dan
kepiting. Beberapa pohon pisang juga
mengering. Hujan deras selama dua hari
memperparah genangan air tersebut
hingga masuk ke rumah warga.

Tri menambahkan, pihaknya sudah


menghubungi pihak pabrik. Namun,
belum ada kesepakatan tentang ganti
rugi. Dia menyebut tuntutan yang
dipenuhi adalah memompa keluar cairan
luberan itu dari lahannya. Untuk ganti
rugi, hingga saat ini belum ada titik temu.
Dia mengatakan tidak mematok besaran
nilai pengganti itu karena menganggap
pabrik paham nilai besaran yang harus
dikeluarkan. Tidak etis bila kami sebut
nilainya, ucapnya.

LSM Konsorsium Lingkungan Hidup


Afrizal menilai pencemaran lahan warga
tersebut merupakan bagian dari cara
pabrik untuk memperluas lahannya. Dia
menduga pabrik sengaja membuat warga
tidak nyaman. Terlebih, kanan kiri lahan

GARUT - Bau limbah dari kawasan


industri kulit Sukaregang, Garut, Jawa
Barat kembali dikeluhkan warga.
Ratusan warga dari tiga kelurahan di

wilayah Kecamatan Garut Kota, terpaksa


meninggalkan rumah mereka untuk
menghindari bau busuk limbah yang
mengalir di Sungai Ciwalen, aliran
sungai di sekitar pemukiman.

"Kira-kira pagi pukul 09.00 WIB, bau


busuk yang sangat menyengat itu
terhirup warga di sekitar Sungai
Ciwalen. Baunya pekat sekali sehingga
orang-orang yang ada di dalam rumah
terpaksa mengungsi ke luar agar bisa
bernapas." tutur Dedi Kurniawan, warga
Kampung Bentar Girang RT04 RW03,
Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan
Garut
Kota,
Rabu
(6/5/2015).
Menurut Dedi, bau limbah industri kulit
Sukaregang yang masuk aliran Sungai
Ciwalen sudah biasa terhirup warga di
setiap harinya. Biasanya, radius bau ini
bisa terhirup dalam 50 meter dari sungai.
"Namun kali ini berbeda. Radiusnya bisa
mencapai 100 meter lebih. Bahkan
baunya sangat menyengat hingga
membuat sesak napas. Baru pertama kali
selama kami tinggal merasa bau seperti
ini. Beberapa anak saja sampai dibuat
muntah saat menghirupnya," katanya.
Mantan anggota DPRD Kabupaten Garut
ini menyebut warga dari kelurahan lain,
yakni Kelurahan Ciwalen dan Regol,
juga mengalami hal serupa. Mereka juga
berkumpul di masing-masing kantor
kelurahan untuk menghindari bau limbah
kulit tersebut.

"Beberapa anak dan orang dewasa


diperiksa oleh petugas medis dari
Puskesmas Garut Kota. Sementara bayibayi dikumpulkan untuk diperiksa
kesehatan mereka di kantor kelurahan.

Saya belum tahu apakah ada dampak


negatif kepada kesehatan mereka setelah
menghirup bau tidak sedap ini,"
pungkasnya.
Setelah mendapat laporan dari warga,
pihak Kelurahan Kota Wetan beserta
aparat kepolisian meninjau lokasi Sungai
Ciwalen. Dedi menambahkan, bau
menyengat itu hanya terhirup dalam
kurun
waktu
dua
jam
saja.
"Sekitar pukul 11.00 WIB siang baunya
sudah hilang. Namun warga tetap
khawatir bau menyengat yang teramat
pekat itu kembali terhirup di kemudian
hari. Kami meminta agar pemerintah
segera melakukan sesuatu untuk
menindaklanjuti masalah bau limbah
ini,"
imbuhnya.
Sebelumnya, masalah limbah kulit dari
Industri Kulit Sukaregang sempat
mencuat saat Menteri Perindustrian
(Menperin) Saleh Husin, melakukan
kunjungan kerja ke Garut awal pekan
lalu.
Kepada menteri, para pengusaha
penyamak kulit mengeluhkan sulitnya
mengelola limbah hasil produksi mereka.
"Kami menghadapi persoalan dalam
mengelola limbah. Teknologi kami
masih kurang. Semoga masalah ini bisa
diselesaikan melalui lintas kementrian,
yakni Kementrian Perindustrian dan
Kementrian Lingkungan Hidup," kata
Sekretaris Asosiasi Penyamak Kulit
Indonesia (APKI) Kabupaten Garut
Yusuf saat berbicara kepada Menperin
Saleh Husin.

Ngepet sebenarnya sudah berkali-kali


menyampaikan nota keberatan mereka
kepada instansi terkait baik ke pihak
Kelurahan,
Kecamatan,
Badan
Lingkungan Hidup dan juga Sat Pol PP
Bantul, namun sampai saat ini belum ada
tindak lanjutnya.

BANTUL - Peternakan babi di Dusun


Ngepet, Desa Srigading, Kecamatan
Sanden,
Bantul
diprotes
warga.
Mereka memprotes karena sangat
mengganggu
lingkungan.
Selain
menimbulkan bau, dua peternakan babi
berskala besar ini ternyata juga
menimbulkan
penyakit
gatal-gatal
karena ulat dan cacing pita kotoran babi
sudah
menyebar.
Salah seorang warga Dusun Tegalrejo,
Desa Srigading, Kecamatan Sanden yang
enggan
disebutkan
namanya
mengatakan, peternakan babi yang
berada di dekat sawah mereka
sebenarnya sudah berdiri sejak dua tahun
yang lalu.

Peternakan pertama dengan luas area


sebesar 1.500 meter persegi berdiri sejak
dua tahun lalu, sementara peternakan
kedua dengan luas sekitar 1.000 meter
persegi sudah setahun lalu.

Baunya minta ampun. Terus kalau


hujan belatung dan cacingnya ke manamana, tuturnya, Selasa (4/8/2015).
Empat warga Dusun masing-masing dari
Gadingharjo, Tegalsari, Tegalrejo dan

Warga
empat
dusun
tersebut
menginginkan agar peternakan babi
tersebut ditutup. Sebab, setiap pagi hari
bau tak sedap dari peternakan ini tercium
hingga ke tepi Pantai Samas yang
berjarak sekitar 1 km.

Jika malam hari, bau tidak sedap tersebut


masuk ke perkampungan di empat dusun
tersebut sebab terbawa angin laut.
Baunya tidak hanya kotoran, tetapi bau
busuk makanan yang digunakan sangat
mengganggu. Makanan babi itu berasal
dari sisa-sisa restoran yang sudah
membusuk, tambahnya.
Warga Tegalsari juga mengatakan
demikian. Warga yang tidak bersedia
disebutkan namanya ini mengatakan,
kini banyak petani yang enggan
mengelola sawah yang berada di
seputaran kandang babi tersebut.

Sebab, baunya sudah tak mampu


dibendung lagi bahkan sempat membuat
petani yang mencoba bertahan pingsan.
Dia mengeluhkan ketidaktegasan dari
pemerintah setempat yang tak segera
menutup dua usaha peternakan babi yang
jumlahnya bisa mencapai ratusan ekor
tersebut.
Para petani sebenarnya sudah tidak tahan

dan berniat akan melakukan aksi


demonstrasi. Namun rencana tersebut
gagal karena camat mereka melarang
aksi demonstrasi tersebut.

Pak camat melarang kami. Tetapi kalau


terus dibiarkan, kami akan tutup paksa.
Pol PP harus tegas, tuturnya.

Terpisah, Lurah Desa Srigading, Widodo


membantah jika mereka membiarkan
persoalan
tersebut
begitu
saja.

Sebab, pihaknya sudah beberapa kali


memfasilitasi pertemuan antara warga,
tokoh masyarakat, pengusaha ternak babi
hingga Sat Pol PP Bantul.

Dalam pertemuan terakhir, Widodo


mengklaim sudah ada kesepakatan
antara kedua belah pihak.

Pemilik
kandang
babi
harus
mengurangi dampak bau dan tidak boleh
menambah luas area peternakan yang
sudah
ada,
tandasnya.
Namun karena urusan perut, pihaknya
tidak bisa serta merta melakukan
penutupan kepada usaha ternak babi
tersebut.
Sebab,
pemilik
kandang
pernah
mengatakan modal yang mereka
keluarkan belum sepenuhnya kembali.
Kendati demikian, pihaknya nantinya
akan menutup usaha ternak babi tersebut
dengan alasan lokasi tersebut adalah
destinasi wisata.

TEMPO.CO, Cilacap Insiden


tumpahnya minyak mentah yang terjadi
sejak Rabu malam, 20 Mei 2015, di
fasilitas bongkar-muat lepas pantai
atau single point mooring, sebelah
selatan Pulau Nusakambangan, Cilacap,
Jawa Tengah, belum terselesaikan.
Minyak yang mentah malah mulai
mencapai daratan. Bahkan kondisi
permukaan Area 70 di Pantai Teluk
Penyu
menghitam
pekat.
Akibat tumpahan minyak mentah,
nelayan terpaksa tidak melaut karena
ikan-ikan mati. Menurut pelaksana tugas
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Cilacap, Indon
Cahyono,
organisasinya
mendapat
laporan dari Pantai Adipala bahwa para
nelayan mendapati ikan mati berlumuran
minyak di jaring mereka saat mencari
ikan di area pantai. Nelayan di Cilacap
menemukan ikan yang tercemar minyak
mentah, kata Indon, Rabu, 27 Mei
2015.
Indon mengatakan nelayan berencana

meminta ganti rugi kepada PT


Pertamina. Hingga saat ini belum ada
kepastian ihwal kompensasi yang akan
diberikan kepada nelayan yang tidak
melaut. Ganti rugi yang akan diajukan
para nelayan sebesar Rp 100 ribu per
hari, selama dua pekan, katanya.

Adapun ihwal tuntutan kompensasi


nelayan, Eko mengatakan Pertamina
masih
berdiskusi
dengan
HNSI.
Pertamina akan memberikan kompensasi
kepada warga yang ikut membersihkan
minyak di pantai.

Adapun nelayan yang harus diberi ganti


rugi berjumlah 17 ribu. HNSI juga
meminta Pertamina segera melakukan
pembersihan minyak mentah di perairan
Cilacap.
Sementara
itu,
Kepala
Badan
Lingkungan Hidup Kabupaten Cilacap
Adjar Mugiono mendesak Pertamina
segera membersihkan minyak yang
mencemari perairan selatan Cilacap.
Menurut dia, bila Pertamina tak segera
melakukan pembersihan, lingkungan
akan terkena dampak buruk. Jika waktu
pembersihan lama, akan mematikan
biota laut. Karena itu, memang harus
secepatnya dibersihkan, katanya.

General Affair PT Pertamina Refinery


Unit IV Cilacap Eko Hernanto
mengatakan Pertamina terus melakukan
berbagai upaya untuk mengatasi masalah
ceceran minyak yang tumpah. Menurut
dia, sejak terjadi kebocoran pada
terminal apung yang digunakan untuk
menerima kapal tangker besar dari Timur
Tengah, pihaknya telah melakukan
penyisiran hingga ke arah perairan
selatan
Pantai
Widarapayung.

Kebocoran disebabkan oleh gelombang


tinggi pada saat proses bongkar-muat
minyak dari kapal ke pipa bawah laut,
ujar Eko Hernanto. Total minyak mentah
yang terbuang ke laut kurang-lebih 14
ribu liter.

TEMPO.CO, Jakarta Keberadaan


pabrik karet (crumb rubber) milik PT
Djambi Waras dan PT Remco yang
berada di tengah pemukiman warga
Kelurahan Tanjung Johor, Kecamatan
Pelayangan, Jambi Seberang, Kota
Jambi, sangat meresahkan warga.
"Kami setiap saat harus menghirup udara
tak sedap yang berasal dari dua
perusahaan pabrik karet ini. Namun yang
paling menyiksa pada saat matahari
sedang terik bau busuk menyengat
hingga mencapai dua atau tiga kilometer
dari lokasi pabrik," kata Abdul Muis, 65
tahun, salah seorang warga RT V
Kelurahan Tanjung Johor, kepada Tempo,
Kamis,
21
Mei
2015.

Menurut Muis, warga dibeberapa


kelurahan Tanjung Johor, Desa Niaso
Kecamatan Muarosebo, Kabupaten
Muarojambi dan sekitarnya, merasakan
penderitaan ini sejak puluhan tahun lalu.
"Kami warga di sini sejak dulu
menyampaikan keluhan ini, baik kepada
pihak perusahaan maupunke pemerintah
daerah disini, tapi tidak mendapat
tanggapan serius. Buktinya kondisi
seperti ini tetap saja tidak ada
perubahan,"
ujarnya.
Direktur Operasional PT Djambi Waras,
Supanto Tamba, mengakui udara tak
sedap itu berasal dari pabrik karet
miliknya dan pabrik karet lain yang ada
di kawasan Kelurahan Tanjung Johor.

Karet milik PT Djambi Waras baru


meresmikan kolam pembuangan limbah
yang meghabiskan dana sekitr Rp 8,5
miliar. Bekas limbah cair pabrik dialiri
ke Sungai Batanghari sudahbtidak lagi
berbahaya.
PT Djambi Waras, menurut Supanto,
sudah mendapat predikat standar bitu,
artinya sudah melebihi ketentuan aturan
penerintah terkait pengelolaan limbah.

Kepala Badan Lingkungan Hidup


Provinsi Jambi, Rosmeli, mengakui
kalau dia
menghadiri peresmian
penggunaan kolam pengelolaan limbah
PT Djambi Warass dua hari lalu. Dan itu
sudah memenuhi standar," ujarnya.

"Kami tak menampik kalau bau busuk


dikeluarkan dari pabrik, tapi bau itu
tidak mengganggu kesehatan warga.
Kami pun telah memberi obat berupa
semprotan Diorap untuk mengurangi bau
tak sedap tersebut," kata Supanto.

Menurut Supanto, bau busuk itu berasal


dari getah karet yang kualitasnya kurang
bagus, dibeli dari petani karet yang ada
di Provinsi Jambi. "Kami juga telah
melakukan pembinaan terhadap para
petani karet di derah ini dengan tujuan
dapat
meningkatkan
mutu
dan
menghilangkan bau busuk," ujarnya.
Pabrik karet milik PT Jambi Wras ini
berkafaitas 5.000 ton per bulan,
dibangun sejak tahun 1967. Lokasi
kedua pabrik ini, baik PT Djambi Waras
maupun PT Remco tepat di pinggir
Sungai
Batanghari.
Berdasarkan

pantauan Tempo,

pabrik

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -Pakar geologi ITS Surabaya Dr Amien


Widodo menegaskan bahwa penelitian
terakhir menemukan air tanah di
kawasan semburan lumpur pada eks
lokasi eksplorasi PT Lapindo Brantas di
Porong, Sidoarjo, sudah tercemar,
sehingga merugikan masyarakat.

"Hanya penelitian kami masih berlanjut

untuk
menentukan
luas
radius
pencemarannya, tapi kami prediksi
sudah satu kilometer dari tanggul di sisi
timur," katanya kepada Antara di
Surabaya, Rabu, menyikapi evaluasi
delapan tahun semburan lumpur Lapindo
pada
29
Mei
2014.
Menurut Ketua Pusat Studi Kebumian,
Bencana,
dan
Perubahan
Iklim
(PSKBPI) ITS Surabaya itu, air tanah
yang tercemar dengan rasa asin itu
menyebabkan tanaman sulit hidup dan
airnya tidak bisa diminum lagi, karena
sumur milik warga juga terdampak
pencemaran
itu.
"Yang jelas, kalau penanganan semburan
lumpur
itu
berlarut-larut,
maka
pencemarannya juga akan semakin
meluas, karena itu kami sudah
memikirkan untuk mencari tanaman
yang kebal dengan air asin guna
menangkal meluasnya pencemaran air
tanah
itu,"
ucapnya.
Oleh karena itu, ia mengharapkan
pemerintah mendesak pimpinan PT
Lapindo Brantas untuk bertindak guna
mengatasi dampak dari pencemaran air
tanah itu. "Jadi, semua pihak jangan
hanya melihat lumpur sebagai bencana
alam, tapi harus memikirkan dampak
lingkungannya," tukasnya.

Selain itu, semua pihak juga harus


banyak belajar dari lumpur itu, karena
dampaknya bisa meluas pada masalah
lingkungan dan ekonomi. "Bisa saja kita
membela satu perusahaan, tapi kita
sendiri
akan
dirugikan,
karena
perusahaan lain tidak akan mau
berinvestasi," ujarnya.
Ia menilai keputusan semburan Lumpur
Lapindo
disebabkan
oleh
alam

menimbulkan permasalahan baru terkait


dengan aktivitas eksplorasi minyak dan
gas di Jawa Timur yang berdampak pada
perekonomian masyarakat dan provinsi
ini.
"Upaya 'pem-bencana alam-an' ini
dampaknya sangat luas bagi masyarakat
karena menimbulkan ketakutan terhadap
eksplorasi minyak dan gas (migas) di
daratan Jawa Timur, apalagi secara
geologis kawasan Jawa Timur termasuk
kawasan
tektonik
aktif
yang
menghasilkan cekungan minyak dan gas
bumi serta lapisan lumpur bertekanan
tinggi yang potensial," tuturnya.
Hasil survei di beberapa kabupaten di
Jawa Timur menunjukkan hampir
sebagian besar menolak aktivitas
eksplorasi migas walau baru survei
seismik.
Mereka takut karena apa yang mereka
lihat pada semburan lumpur di Sidoarjo
yang telah menimbulkan ancamanancaman baru yang membahayakan
lingkungan di sekitarnya ditambah
dengan penanganan yang berlarut-larut.

"Masyarakat takut karena kita tidak


punya ahli dan teknologi menutup
semburan. Penolakan itu sudah dimulai
sebagai contoh Tahun 2011 survei
seismik Exxon di Jombang dihentikan
masyarakat dan Exxon menghentikan
kegiatan surveinya di Jawa Timur,"
tandasnya.
Tahun 2012, warga Desa Tanjung,
Sumenep, Madura, juga menghentikan
kegiatan eksplorasi migas yang masih
berlangsung milik PT Energi Mineral
Langgeng (EML).

"Untuk itu, saya menyarankan kepada


pemerintah agar melakukan empat
langkah terkait eksplorasi, yakni
meninjau kembali sistem pengawasan
atas kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas,
dengan
mempertimbangkan
risiko-risiko yang timbul," katanya.
Langkah kedua, memperketat perizinan
eksplorasi dan ekploitasi migas di
daratan, di antaranya menambahkan
Dokumen Analisa Risiko yang berisi
upaya pengelolaan, evaluasi dan
pemantaun terhadap ancaman semburan
lumpur dan risiko yang timbul lainnya.

Dalam pembuatan dokumen analisa


risiko ini harus melibatkan otoritas lokal
(pemerintah setempat) dan masyarakat
yang bermukim di sekitar lokasi.
Langkah ketiga, melakukan sosialisasi
peningkatan kapasitas masyarakat terkait
pentingnya kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi mingas bagi pembangunan
nasional, dan langkah keempat adalah
khusus di sekitar Patahan Aktif
Watukosek
diperlukan
peninjauan
kembaliaktivitas
pembangunan
di
wilayah
ini
dan
diberlakukan
Moratorium kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas.

RUNGKUT Pesisir pantai Surabaya


belum bersih dari pencemaran limbah.
Menurut laporan Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Surabaya, limbah yang
paling banyak mencemari pesisir pantai
adalah detergen dari rumah tangga.
Dibutuhkan instalasi pengelolaan air
limbah (IPAL) terpusat untuk mengatasi
persoalan tersebut.

Kepala BLH Surabaya Musdiq Ali


Suhudi mengatakan, pihaknya aktif
menguji air di pesisir pantai untuk
mengetahui kandungan air. Pengujian itu
dilakukan untuk memantau kualitas air,
apakah air tersebut bersih atau tercemar
limbah. Pemantauan perlu dilakukan
agar kami tahu dan bisa mengambil
langkah jika ada masalah serius,
jelasnya.

Dalam setahun, kata dia, pengujian


kualitas air tidak hanya dilakukan sekali.

Dalam setahun, pihaknya melakukan


sampai empat kali. Tahun ini pengujian
sudah dilakukan pada Februari, April, dan
Juli. Rencananya akhir bulan ini
pengujian juga dilaksanakan lagi.
Pihaknya menyiapkan anggaran Rp 354
juta untuk menguji air.

Pengujian air tidak hanya dilakukan di


satu lokasi, tapi di delapan titik. Baik di
pesisir pantai di Surabaya Barat seperti
wilayah
Romokalisari,
Tambak
Osowilangun, dan Greges. Wilayah utara
dan timur juga tidak lepas dari
pengawasan dan pengujian untuk
mengetahui kadar limbah yang ada di
dalam air. Yaitu, di Pabean Cantian,
Kenjeran, Wonorejo, dan Gunung Anyar.

banyaknya mereka, pihaknya sulit


memantau usaha rumahan itu. Makin
banyak masyarakat yang membuka jasa
cuci pakaian, limbah yang dihasilkan
semakin banyak.

Limbah itu mencemari pesisir karena


limbah detergen dialirkan ke sungai. Dari
sungai, limbah itu kemudian dibawa ke
laut. Akhirnya limbah-limbah menumpuk
di laut. Jadi, pesisir tercemar. Memang,
kata dia, sebagian warga di beberapa
wilayah mengolah limbah dengan IPAL
komunal. Tapi, itu jumlahnya sedikit,
terang dia.

Menurut Musdiq, pesisir pantai belum


lepas dari limbah. Setelah dilakukan
pengujian air, ternyata yang paling
banyak mencemari pesisir adalah limbah
detergen, baik limbah domestik maupun
industri. Namun, yang paling banyak
limbah domestik yang berasal dari rumah
tangga. Sebanyak 75 persen berasal dari
limbah domestik, kata dia.

Mantan Kabid Dinas Cipta Karya dan


Tata Ruang (DCKTR) Surabaya itu
menyatakan, dibutuhkan IPAL terpusat
yang bisa digunakan untuk mengelola
limbah rumah tangga tersebut. Menurut
dia, di beberapa negara sudah banyak
yang menggunakan IPAL terpusat.
Misalnya, Singapura, Malaysia, dan
Hongkong. Pemerintah setempatlah yang
mengelola IPAL tersebut.

Sisanya berasal dari limbah industri.


Secara kasatmata, limbah detergen itu
bisa dilihat dari banyaknya busa atau
buih yang ada di pinggir pantai. Kalau
kita
di
pantai,
biasanya kan ada
busa. Lha, itu berasal dari detergen.
Dampaknya bisa sampai ke pesisir, kata
dia.

Saat ini, lanjut Musdiq, pemkot sedang


merancang
IPAL
terpusat
untuk
mengelola limbah dari rumah tangga.
Jika instalasi itu sudah dibangun, limbah
detergen tidak akan mencemari pesisir
lagi. (lum/c10/tia)

Detergen itu tidak hanya berasal dari


aktivitas warga mencuci pakaian pribadi
mereka. Buih detergen muncul karena
saat ini banyak masyarakat yang
membuka
jasa laundry.
Saking

Dari hasil olah lapangan, dan wawancara


warga di sekitar lokasi, kapal tersebut
terguling saat ingin bersandar di
pelabuhan Haliburton, yang ada di
Kelurahan Pendingin. Dugaan awal,
kapal terguling karena kelebihan
muatan.
"Ada sekira 200 kepala keluarga di tiga
RT yang memanfaatkan air sungai untuk
kehidupan sehari-hari. Warga mengakui,
pemerintah lamban menangani kasus
ini,"
bebernya.
Dijelaskan, pertemuan antara warga,
Badan Lingkungan Hidup Daerah
(BLHD), dan pihak perusahaan, baru
dilangsungkan pada 13 Oktober 2014.
Hasilnya, warga sekitar bantaran sungai
dapat kompensasi air bersih satu galon
untuk
setiap
kepala
keluarga.
SAMARINDA - Sungai
Mahakam,
tercemar limbah kapal pengangkut
limbah berbahaya hasil pengeboran
minyak. Akibat pencemaran itu, warga di
Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara, kesulitan
mendapatkan pasokan air bersih.

"Kami mendesak Penyidik Pegawai


Negeri Sipil (PPNS) yang dimiliki KLH
dan BLH yang memiliki wewenang
Penyidikan Pidana Lingkungan Hidup
untuk melakukan investigasi secara
mendalam," tegasnya.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)


Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat,
kapal pengangkut limbah berbahaya
hasil pengeboran minyak itu diangkut
oleh oleh perusahaan kontraktor migas
Haliburton, dan tenggelam, pada 25
September 2014.

Penyidikan itu, termasuk dugaan Pidana


Lingkungan Hidup sesuai dengan
Undang-undang No 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (PPLH).

"Kapal mengangkut limbah Bahan


Berbahaya dan Beracun (B3). Tenggelam
didekat dermaga yang berada di sekitar
pemukiman penduduk," kata Juru Bicara
Jatam Kaltim Merah Johansyah, kepada
wartawan,
Selasa
(28/10/2014).

Dalam UU ini terdapat sembilan bentuk


tindak Pidana Lingkungan Hidup. Salah
satu di antaranya adalah kegiatan atau
usaha yang menghasilkan limbah B3
yang
kemudian
tidak
dilakukan
pengelolaan atas limbah B3 tersebut,"
jelasnya.

Ditambahkan dia, sesuai Pasal 103,


usaha yang tidak melakukan pengelolaan
atas limbah B3 dengan baik, maka
diancam penjara maksimal tiga tahun,
dan denda maksimal Rp3 miliar.

Jatam juga mendesak Pemerintah


Kabupaten Kutai Kartanegara dan Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kutai
Kartanegara untuk menginvestigasi
kasus ini. Jika terbukti mencemar dan
melanggar SOP, maka menerapkan pasal
pidana lingkungan hidup.

Jatam Kaltim mendesak agar kasus


seperti ini tidak boleh ditutup-tutupi
pemberitannya dari publik, karena ini
merupakan kasus pidana lingkungan
hidup atas sungai yang berhubungan
dengan hajat hidup orang banyak,
pungkas Merah.

Informasi yang diperoleh Jatam kaltim,


kapal yang tenggelam ini adalah milik
Baroid Surface Solution (BSS). BSS
merupakan bagian dari divisi di
Haliburton. Limbah diangkut dari salah
satu perusahaan migas kawasan Delta
Mahakam.

Sindonews.com - Instalasi pipa minyak


recidu Marine Fuel Oil (MFO) milik
Pembangkit Listrik Tenaga Diessel
(PLTD)
Tallo
Makassar,
bocor.
Akibatnya, ribuan liter bahan bakar
minyak (BBM) MFO tumpah mencemari
Sungai Pampang.

Pipa bocor berdiameter sekitar 20


centimeter tepat berada di bawah
Jembatan Sungai Pampang, Jalan Urip
Sumoharjo, samping Universitas Muslim
Indonesia
(UMI).
Pipa
ini
menghubungkan Depo PT Pertamina di
sekitar pelabuhan Makassar dengan
PLTD Tallo, Jalan Urip Sumoharjo
samping tugu Adipura.

Informasi yang berhasil dihimpun


menyebutkan, kebocoran pipa terjadi
sejak Senin 21 Oktober 2013 malam.
Baru tadi malam, namun karena
bocornya besar, minyak oli (MFO)
dengan
cepat
memenuhi
Sungai
Pampang dari jembatan. Mungkin
minyaknya sudah mengalir sampai ke
laut sekarang, kata salah seorang warga
Pampang
Saifullah,
Selasa
(22/10/2013).

Banyaknya MFO yang tumpah, dengan


cepat mencemari Sungai Pampang.
Warna air sungai seketika berubah
menjadi hitam pekat dan memantulkan
cahaya. Tembok pinggir sungai maupun
beberapa dasar sungai yang kelihatan
akibat air laut surut juga menghitam dan
sisa-sisa MFO yang melengket.

Sementara, sekitar 10 orang pegawai


dari PLTD Tallo sudah berada di bawah
jembatan
Pampang
menyambung
kembali pipa yang bocor. Tiga drum
yang mereka siapkan menampung MFO
penuh. Salah seorang diantara pegawai
PLTD menyemprotkan bubuk kedalam
sungai untuk mensterilkan air sungai
yang sudah tercampur dengan MFO.
Humas PLN Sulselrabar Abdul Wahab
yang dikonfirmasi mengemukakan,
kebocoran disebabkan pipa MFO
mengalami keretakan di bawah jembatan
Sungai Pampang. Ada keretakan kecil
selebar mata gergaji di bawah jembatan
yang saat ini telah dilakukan perbaikan
dengan mengelas kebocoran tersebut,
terangnya.
Menurut dia, kebocoran tersebut belum
berdampak pada pencemaran. PLN
Rayon PLTD Tallo, telah memasang oil
dam, untuk menahan tumpahan MFO
tidak meluber kemana-mana termasuk ke
muara. Kebocoram kecil, juga tidak
berdampak pada suplai listrik ke PLN.
Kebocoran tersebut sampai saat ini
belum berdampak pada pencemaran.
Kami sudah melakukan penelusuran ke
muara untuk menghindari dampak yang
terjadi. Petugas juga sudah memasang
oil dam agar minyak tidak merembes
kemana-mana, jelasnya.

Wahab menduga, keretakan pipa


disebabkan sabotase oleh orang yang
tidak
bertanggungjawab
dengan
menggergaji pipa. Apalagi tempat pipa
tersembunyi berada di bawah jembatan.
Kemungkinan lain, pipa retak karena
jembatan goyang akibat kendaraan berat
melintas.
Sementara itu, Kasubid Limbah B3
Badan Lingkungan Hidup Daerah
(BLHD) Makassar Hamdani meminta
kepada warga untuk tidak beraktivitas di
Sungai Pampang, khususnya bagi anakanak yang hendak mandi. Demikian juga
dengan kapal-kapal nelayan diminta
tidak melintas sebelum air sungai steril.
Ini adalah hal yang tidak disengaja.
Pihak PLN sendiri yang rugi, karena
ribuan liter bahan bakarnya terbuang.
Kita harapkan PLN maupun Pertamina
melakukan tindakan agar air sungai
kembali steril, terangnya.

Untuk memulihkan sungai dari MFO,


Hamdani mengemukakan, bisa dilakukan
dengan mengisap kembali MFO yang
terbuang. Mungkin Pertamina punya
alatnya, ucapnya.

komprehensif, dan tidak hanya berfokus


pada timbunan sampah di hilir.
Keempat, Perpres yang mengizinkan
konstruksi dimulai sebelum pengembang
mendapatkan Izin Lingkungan dan Izin
Mendirikan Bangunan bertentangan
dengan
UU
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kelima, berkaitan dengan skema
penunjukan
langsung
terhadap
pengembang PLTSa, pembebanan biaya
pembangunan
proyek
dan
biaya
pembelian listrik, yang sesungguhnya
tidak layak secara ekonomi di dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Terdapat potensi
pelanggaran UU Jasa Konstruksi dan UU
Ketenagalistrikan, jelas Quina.
Hal senada juga disampaikan oleh Senior
Advisor BaliFokus Yuyun Ismawati yang
juga peraih Goldman Environmental
Prize 2009 atas kiprahnya dalam
pengelolaan sampah dan pembangunan
berkelanjutan.
Lebih teknis dia menjelaskan bahwa
karakteristik sampah di Indonesia
merupakan sampah basah yang sulit
untuk dibakar menjadi bahan bakar untuk
PLTSa yang digagas oleh pemerintah.

Sehingga bertentangan dengan UU


Pengelolaan Sampah, UU Kesehatan dan
UU Ratifikasi Konvensi Stockholm,
kata Quina saat dihubungi Jawa Pos,
kemarin (4/6).
Dia melanjutkan, alasan ketiga adalah
percepatan PLTSa bertentangan dengan
asas dan tujuan UU Pengelolaan Sampah
yang secara eksplisit menghendaki
perubahan
paradigma
pengelolaan
sampah
ke
arah
pengurangan,

Pada akhirnya, karena sampah Indonesia


pada umumnya basah, tidak mungkin
pembakaran dapat dilakukan sesuai
persyaratan teknis tanpa menambahkan
bahan bakar fosil dan proses pengeringan
yang memakan biaya yang cukup
signifikan dan memboroskan energi,
ujar Yuyun.
Yuyun juga mengatakan bahwa Perpres
itu
justru
berseberangan
dengan
komitmen pemerintah untuk mengurangi

polusi lingkungan yang diakibatkan dari


zat-zat beracun. Pemerintah justru
mempromosikan teknologi yang akan
mengeluarkan pencemar persisten, logam
berat, dan abu sisa bakaran yang bersifat
B3, tukasnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif ICEL
Henri
Subagiyo
mengingatkan
pemerintah agar berhatihati dalam
proyekproyek percepatan.

Jangan sampai menggunakan alur yang


bertentangan dengan logika dan tujuan
AMDAL dan Izin Lingkungan, serta
berpotensi menempatkan pertimbangan
lingkungan hanya sebagai formalitas,
tuturnya. (dod/JPG)

Anda mungkin juga menyukai