Anda di halaman 1dari 4

Winarno Surakhmat, Pendidikan, dan Upaya Menjadi

Indonesia
Kamis (18 Agustus 2015), dalam rangka memperingati 40 hari wafatnya pakar
pendidikan Winarno Surakhmat, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Sekolah
Tanpa Batas (STB) dan Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika Universitas Negeri
Jakarta (UNJ) mengadakan diskusi mengenai pemikiran rektor Insitut Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta periode 1976 1980 tersebut di secretariat ICW,
Jakarta.
Diskusi bertema Keindonesiaan dan Pendidikan Kita itu menghadirkan beberapa
narasumber yang mumpuni untuk membahas gagasan-gagasan Winarno
Surakhmat. Diantaranya Guru Besar UNJ Soedijarto, pernah menjadi mahasiswa
yang diajar langsung di jenjang Sarjana Muda oleh mendiang Pak Win. Selanjutnya
Jimmy Paat, alumni Jurusan Bahasa Prancis IKIP Jakarta angkatan 1975 yang
merasakan langsung kepemimpinan Winarno sebagai rektor.
Narasumber lainnya adalah Latifah, Sekretaris Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa
Didaktika UNJ. Meski tidak pernah bersinggungan langsung dengan mendiang Pak
Win, Latifah mengatakan, pembahasan mengenai pemikiran tokoh legendaris
tersebut menjadi agenda rutin di perkumpulan jurnalistik tempatnya bernaung,
sehingga pegiat pers kampus itu mengaku relatif akrab dengan nama dan ide-ide
tokoh tersebut.
Diskusi bersama ketiga narasumber tersebut dipandu oleh mantan wartawan Harian
Kompas Bambang Wisudo. Jurnalis yang bertahun-tahun bertugas menulis isu
pendidikan ini mengatakan, Pak Win merupakan salah satu narasumber kunci
selama ia menulis. Komentar-komentarnya memberi banyak pencerahan dan
membantunya untuk memahami kondisi pendidikan nasional secara komprehensif.
Selama masa hidupnya, Winarno Surakhmat berperan aktif dalam mengembangkan
pendidikan nasional. Selain dari kiprahnya yang pernah menduduki beberapa
jabatan penting seperti Rektor IKIP Jakarta, Ketua Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI), ia juga aktif menulis beragam buku dan esai mengenai pendidikan
nasional secara umum juga perihal ilmu pendidikan secara khusus.
Menurut Soedijarto, pemikiran Winarno Surakhmat memperlihatkan benang merah
yang menyoroti perihal pentingnya unsur Keindonesiaan dalam pendidikan nasional.
Ia mengatakan, hal tersebut merupakan kesinambungan dari cita-cita kemerdekaan
yang menghendaki adanya proses pencerdasan kehidupan bangsa. Dengan
demikian, sektor pendidikan merupakan unsur paling vital dalam pembangunan
bangsa. Dalam tataran praktis, gagasan tersebut dapat berlangsung dalam
kerangka persekolahan.
Proses menjadi Indonesia itu hanya bisa dilakukan melalui sekolah, karena
founding fathers pun bisa mendapatkan ide-ide kemerdekaan itu dari sekolah bukan
dari keluarganya, ujar Soedijarto. Menurutnya, sekolah merupakan lembaga yang
bertugas menanamkan kesadaran baru bagi masyarakat, melepaskan mereka dari

identitas asalnya guna menjadi insan-insan baru, yang sesuai dengan konfigurasi
Indonesia merdeka.
Guna melancarkan gagasan tersebut, Soedijarto mengatakan, pemerintah perlu
membentuk sebuah sistem pendidikan nasional yang dapat diimplementasikan di
seluruh penjuru negeri. Dengan begitu, masyarakat Indonesia yang multietnis ini
mampu meninggalkan budaya asalnya menjadi masyarakat baru yaitu masyarakat
Indonesia.
Sewaktu pemerintahan Presiden SBY, saya pernah menulis memorandum kepada
beliau untuk mendirikan sekolah asrama di Papua. Melalui sekolah tersebut, anakanak di Papua tidak akan lagi menjadi Papua tapi menjadi anak Indonesia, kata
Soedijarto.
Melanjutkan pembahasan, Jimmy Paat tidak sependapat dengan Soedijarto.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, karakter Keindonesiaan dalam dirinya tidak
terbentuk dari sekolah. Jimmy lebih merasa bahwa konstruksi Indonesia dalam
dirinya dibangun oleh pengalaman berinteraksi dan pengetahuan yang diberikan
oleh orang tua.
Setiap 17 Agustus sore hari saya selalu diajak ayah saya untuk mendengarkan
pidato Soekarno. Itu dilakukan secara rutin dan tidak pernah saya dapatkan dari
sekolah. Jadi saya justru merasa keluarga lah yang telah membentuk pribadi
Keindonesiaan dalam diri saya, tutur Jimmy.
Terlepas dari hal tersebut, Jimmy menyetujui konsep bahwa sekolah semestinya
mampu menanamkan nilai Keindonesiaan terhadap masyarakat. Namun konstruksi
Keindonesiaan yang diberikan di sekolah sejatinya merupakan imajinasi ideal
perihal sebuah bangsa, sementara kenyataan yang dihadapi masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari kerap tidak sesuai dengan gambaran tersebut. Oleh
karenanya, diperlukan sebuah jembatan yang bisa menghubungkan imajinasi
dengan kondisi riil atau sebisa mungkin mengurangi ketimpangan antara bayangan
ideal dan kenyataan yang dihidupi oleh masyarakat.
Hal lain yang Jimmy perhatikan dari Winarno Surakhmat adalah konsistensinya
memerhatikan sektor produksi guru yaitu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK). Tulisan-tulisannya memperlihatkan argumen bahwa institusi penghasil guru
semestinya bisa jadi tonggak utama pembangunan pendidikan nasional sayangnya
hal tersebut belum terjadi akibat satu dan lain hal.
Salah satunya disebabkan oleh hilangnya filosofi dalam pendidikan. Pendidikan di
LPTK berfokus pada pembinaan guru yang mampu menjelaskan beragam materi
ajar, sehingga murid-murid pun dilatih untuk terampil menjawab berbagai
pertanyaan. Bagi Winarno, hal terpenting dalam proses pendidikan bukan menjawab
pertanyaan melainkan mengajukan pertanyaan, atau meminjam istilah Pak Win
yaitu berfilsafat. Pendidikan yang paripurna sejatinya mampu mengantarkan guru
dan murid pada pertanyaan-pertanyaan yang otentik, dengan demikian pendidikan
mampu mengajak seluruh orang yang terlibat di dalamnya mengalami proses
berpikir bersama.

Menurut Jimmy, selain dalam tulisan, gagasan ini juga mewujud dalam sikap hidup
Winarno Surakhmat. Ia masih ingat, selagi menjabat sebagai rektor, Pak Win
merupakan sosok yang akrab dengan mahasiswa. Tidak sulit mendapatinya sedang
berdiskusi dengan mahasiswa bahkan di pinggir jalan di lingkungan kampus.
Dalam diskusi-diskusi itu Pak Win jarang sekali memberikan penjelasan yang
sifatnya menjawab pertanyaan mahasiswa. Beliau justru sering mengembalikan
pertanyaan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan namun konteksnya
lebih luas dan lebih rumit, sehingga kami harus berpikir lebih keras dalam
memandang sebuah persoalan, kata Jimmy.
Selain menghasilkan guru, tugas utama LPTK menurut Winarno adalah menjaga
ilmu pendidikan. Dengan demikian, wajar jika di masa kepemimpinannya, Pak Win
membuat terobosan-terobosan yang tidak hanya menjaga hidupnya ilmu
pendidikan tapi juga mampu berekspansi. Saya ingat sekali Pak Win pernah
mengatakan bahwa semua orang yang ingin belajar pendidikan, harus datang ke
Jakarta (belajar langsung di IKIP Jakarta-Red), ucap Jimmy.
Keinginan berekspansi tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan Program
Pascasarjana di IKIP Jakarta yang merupakan pendidikan pascasarjarna pertama di
Indonesia dalam bidang pendidikan. Selain itu, Winarno juga mengubah sistem
fakultas yang tertutup secara akademis di jenjang sarjana menjadi sistem
Departemen yang terbuka. Keterbukaan ini memungkinkan mahasiswa untuk
mengambil mata kuliah di program studi-program studi lain yang memiliki mata
kuliah terkait guna menambah pemahamannya. Dengan demikian, mahasiswa IKIP
Jakarta diproyeksikan memiliki kemampuan keilmuan yang paripurna disamping
keahlian dalam ilmu pendidikan yang baik.
Terobosan Departementalisasi IKIP Jakarta hanya berlangsung selama beberapa
bulan. Pemerintah Orde Baru menganggap belum saatnya perguruan tinggi di
Indonesia berpikir semaju itu, terlebih pengubahan sistem tersebut dilakukan
Winarno tanpa restu pemerintah pusat. Melalui Peraturan Menteri No. .
Diputuskan bahwa sistem perguruan tinggi di Indonesia hanya dapat dibuat secara
top down, inisiatif kampus dalam hal demikian tidak dibenarkan.
Meski sudah dilontarkan lebih dari satu dekade yang lalu, pemikiran-pemikiran
Winarno Surakhmat nampak masih relevan dan mampu menjawab persoalanpersoalan yang hadir saat ini. Latifah memaparkan, mantan rektor IKIP Jakarta yang
akrab disapa Pak Win dalam tulisan-tulisannya menolak kecendrungan
penyeragaman dalam pendidikan. Alih-alih memelihara keberagaman di negara
yang multietnis ini, pemerintah cenderung membuat kebijakan seragam atas nama
persatuan.
Winarno mengatakan, lembaga pendidikan tak ubahnya sebuah lembaga
penyeragaman. Melakukan pemberangusan terhadap keberagaman karena
dianggap dapat membahayakan persatuan, ujar Latifah.
Latifah melanjutkan, kecendrungan penyeragaman baru-baru ini kembali hadir
melalui wacana yang dilontarkan Mendikbud Muhadjir Effendy mengenai Full Day

School. Wacana tersebut mengasumsikan bahwa seluruh anak sekolah di Indonesia


memiliki latar belakang yang sama serta mempunyai pola hidup yang sama,
sehingga layak untuk diberikan perlakuan serupa yaitu menghabiskan waktu
sepanjang hari di sekolah.
Menurut Latifah, Winarno sudah menolak kecendrungan penyeragaman semacam
itu sejak jauh-jauh hari. Oleh karenanya, ide Winarno untuk menginternalisasi
Keindonesiaan melalui pemeliharaan keberagaman masyarakat bagi Latifah masih
amat relevan sebagai referensi pembanding dengan wacana Menteri Muhadjir yang
belum sampai satu bulan dilantik presiden sebagai pejabat Negara.
Sudah jauh-jauh hari pula Winarno membaca kecendrungan politik pendidikan
nasional yang tidak pernah berjalan secara berkesinambungan. Baginya, sejarah
Indonesia khususnya dalam hal bagaimana Negara ini dijalankan adalah sejarah
pertentangan. Maka, tidak heran jika setiap kali formasi pemerintah diubah,
berganti pula kebijakan-kebijakan yang dibuat. Pendidikan, sebagai salah satu pihak
terdampak dari perilaku demikian akibatnya hanya menjadi alat bagi kekuasaan
yang sedang eksis dan belum pernah menunjukkan sebuah praktik yang benarbenar ditujukan untuk memenuhi cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kurnia Yunita Rahayu

Anda mungkin juga menyukai