Anda di halaman 1dari 8

https://www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/15i.

PERSAMAAN_PER
SEPSI_PENERAPAN_HUKUM_DEMI_TERCAPAINYA_PUTU.pdf
Kesalahan dalam pelayanan kesehatan/medical error didefinisikan sebagai suatu
KTD atau Kejadian Nyaris Cedera yang dapat dicegah dengan pengetahuan medis yang
ada saat ini (WHO, 2009). WHO memperkirakan bahwa puluhan juta pasien di seluruh
dunia menderita cedera atau kematian setiap tahun akibat praktek dan pelayanan medis
yang tak aman. Hampir satu dari sepuluh pasien yang dirugikan oleh penyebab yang
sebenarnya dapat dicegah ketika pasien tersebut menerima pelayanan kesehatan, baik
pada rumah sakit yang memiliki anggaran cukup atau yang berteknologi tinggi (WHO,
2013).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipasi pasien dalam perawatan


mereka dapat mengurangi risiko kesalahan dalam pelayanan kesehatan, dengan
memberikan klinisi informasi terkini tentang riwayat medis mereka, obat-batan yang
mereka pakai dan informasi tentang alergi obat. Sebagian besar pasien dapat mengenali
dan menginformasikan kepada dokter bila terjadi penyimpangan skedul perawatannya
yang dapat mencegah KTD. Partisipasi pasien ini juga bisa mendorong kolaborasi dan
pemberdayaan, dan pada gilirannya akan meningkatkan persepsi pasien terhadap kualitas
pelayanan (Weingart, et al., 2011).
Oleh karena itu partisipasi pasien perlu diberdayakan dan dikenali bentuk-bentuknya agar
tercipta suatu program pemberdayaan yang efektif dan efisien (WHO, 2013).
Penerimaan role19-21 pasien baru
Tingkat melek kesehatan dan tingkat
knowledge4,23,25-32
Keyakinan dalam capacities33,34 sendiri
Jenis pengambilan keputusan required23,35
Stakes dari outcome24 diusulkan
Jenis penyakit dan komorbiditas 20,24,36-40

Age20,23,36,40-45
Sex20,23,36,40,41,44
level20,23,36,40,41,44,46 sosial ekonomi
origin20,42,47-50 etnis
Penggunaan medicine51-53 alternatif
Petugas kesehatan khusus profesional 54

Hal ini merupakan ciri-ciri dari model paternalistik yang tradisional (Larsson, et
al., 2011). Sangat kontras dengan peran pasien yang seharusnya dimana dewasa ini peran
pasien telah berkembang dari penerima perawatan yang tak berdaya berevolusi menjadi
konsumen kesehatan.
Perbedaan antara pasien tradisional dan konsumen diberdayakan adalah bahwa
konsumen memiliki kewenangan dan suara dalam memilih pelayanan kesehatan yang
mereka manfaatkan. Evolusi ini terjadi karena kemajuan teknologi informasi seperti
internet. Saat ini, internet berfungsi sebagai alat pendidikan kesehatan yang tertanam dan
menjadi andalan bagi masyarakat Barat. Selain itu, sebagai hasil meningkatnya akses
terhadap informasi adalah terdapatnya peningkatan permintaan pasien untuk memiliki
otoritas yang lebih dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan mereka (Chow, et al., 2009). Bukti berkembang bahwa pasien dengan
pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengelola kesehatan
mereka memiliki hasil kesehatan yang lebih baik, ini juga akan berlaku untuk intervensi
dan pemantauan yang aman (WHO, 2013).
WHO meyakini bahwa hak akan keselamatan merupakan salah satu bagian dari hak-hak
pasien untuk hidup sehat sehingga diluncurkannya Program Keselamatan Pasien WHO pada
tahun 2004

Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini memiliki tujuan untuk menjamin
perlindungan hukum bagi pasien. Apabila terjadi hal yang dianggap merugikan pasien, maka
pasien dapat meminta pertanggungjawaban dari rumah sakit dengan mengajukan gugatan ke

pengadilan. Dasarnya bisa berupa kwanprestasi, yaitu pasal 1239 BW, bisa juga karena
perbuatan melawan hukum (pasal 1365 BW) sebagaimana halnya dalam pasal 46 UU No. 44
Tahun 2009 yang berbunyi Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah
Sakit (Ilyas & Widianingsih, 2010). Oleh karena itu Rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien sesuai amanat Pasal 43 UU No. 44 tahun 2009.
Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien, Standar
keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan
insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan, Rumah Sakit melaporkan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang
ditetapkan oleh Menteri, Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien, Ketentuan lebih lanjut mengenai standar
keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan
Menteri, demikian amanat Pasal 43 UU No. 44 tahun 2009.

Keselamatan pasien telah menjadi masalah kesehatan masyarakat global dan


regional yang mempengaruhi semua jenis sistem pelayanan kesehatan baik di negaranegara maju atau berkembang (WHO, 2012). WHO memperkirakan bahwa puluhan juta
pasien di seluruh dunia menderita cedera atau kematian setiap tahun akibat praktek dan
pelayanan kesehatan yang tidak aman. Hampir satu dari sepuluh pasien dirugikan oleh
penyebab yang sebenarnya dapat dicegah ketika pasien tersebut menerima pelayanan
pada rumah sakit sekalipun telah memiliki anggaran cukup atau berteknologi tinggi
(WHO, 2013).

Keselamatan Pasien didefinisikan sebagai bebas dari cedera yang berhubungan


dengan kecelakaan akibat kesalahan dalam pelayanan kesehatan atau medical error (IOM,
1999 dalam Agency for Healthcare Research and Quality/ AHRQ, 2011). Sedangkan
medical error didefinisikan sebagai suatu Kejadian Tak Diharapkan (KTD) atau Kejadian
Nyaris Cedera (KNC) yang dapat dicegah dengan pengetahuan medis yang ada saat ini
(WHO, 2009). Suatu fakta yang diakui hingga hari ini oleh negara-negara barat bahwa
KTD dan kesalahan dalam pelayanan kesehatan/ medical errors ini sering terjadi di
rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Guillod, 2013). Pada pelayanan yang telah
berkualitas pun masih terjadi KTD yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum.
Oleh sebab itu perlu program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena KTD
sebagian dapat merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat
dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan melibatkan pasien
berdasarkan haknya (Depkes , 2008).
Masalah hukum seputar keselamatan pasien tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan
dari tujuan kebijakan kesehatan secara umum (WHO, 2013). Hak untuk keselamatan
adalah titik kunci dalam pelaksanaan hak atas kesehatan.
Upaya promosi keselamatan pasien berhubungan erat dengan pengembangan
pemberdayaan konsumen dan keterlibatan dalam proses promosi dan perawatan
kesehatan, termasuk partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini diharapkan
dapat mendukung kemitraan aktif yang dibutuhkan dalam proses peningkatan
keselamatan, kualitas dan efisiensi pelayanan kesehatan (WHO, 2013). Mewujudkan hak
atas kesehatan sangat berkaitan erat dengan hak asasi manusia yang lainnya, termasuk
hak atas pangan, perumahan, pekerjaan, pendidikan, non diskriminasi, akses informasi,
dan partisipasi (WHO, 2009). Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan
keamanan pribadi merupakan salah satu artikel dalam The Universal Declaration of

Human Rights (UDHR) yang dicanangkan oleh WHO di Paris pada tanggal 10 Desember
1948 dan menjadi dokumen dalam tonggak sejarah perjuangan Hak Asasi Manusia
(WHO, 1948).
Di Indonesia hak asasi warga negara dijamin oleh negara dalam UU Dasar Negara
Tahun 1945. Hak untuk hidup sehat tercermin pada Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sebagai pertimbangan lahirnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan
bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya masih ada
sejumlah UU yang dikeluarkan untuk melindungi hak asasi warga negara Indonesia atas
kesehatan, diantaranya: UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang

Undang Nomor

29

Tahun

2004

tentang Praktik

Kedokteran,

UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, serta UU Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, yang diikuti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/ MENKES/
PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia diawali dengan


terbentuknya Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/KKPRS oleh organisisasi PERSI
(Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) pada Juni 2005, diikuti dengan
pencanangan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit oleh Menteri Kesehatan Dr. Siti
Fadillah Supari pada 21 Agustus 2005 dalam Seminar Nasional PERSI di Jakarta.
menurut Depkes (2008) di Indonesia data tentang Kejadian Tak Diharapkan/ KTD
apalagi Kejadian Nyaris Cedera/ KNC (Near miss) masih langka, namun di lain pihak

terjadi peningkatan tuduhan malpraktek, yang belum tentu sesuai dengan pembuktian
akhir.

Dalam sistem pelayanan kesehatan modern, peran pasien telah berkembang dari
penerima pasif pelayanan kesehatan menjadi aktif, diberdayakan dan kesehatan. Gagasan
bahwa partisipasi pasien sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan
efektivitas pelayanan kesehatan selama dekade terakhir telah mencapai momentum
(Martin & Larsen, 2012). Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipasi pasien dalam
perawatan mereka dapat mengurangi risiko kesalahan dalam pelayanan kesehatan, dengan
memberikan klinisi informasi terkini tentang riwayat medis mereka, obat-batan yang
mereka pakai dan informasi tentang alergi obat. Sebagian besar pasien dapat mengenali
dan menginformasikan kepada dokter bila terjadi penyimpangan skedul perawatannya
yang dapat mencegah kejadian yang tak diharapkan/KTD (Weingart, et al., 2011).
Suatu fakta yang hingga hari ini diakui secara luas oleh negara-negara barat bahwa
KTD dan kesalahan dalam pelayanan kesehatan/ medical errors masih sering terjadi di
rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Guillod, 2013).

Gambar 3.1.
Kerangka Teori
MENINGKATNYA
INSIDEN KESELAMATAN PASIEN
Kejadian Tak Diharapkan/ Adverse
Event
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss

Infeksi nosokomial/Health careassociated infections (HAIs)


Misdiagnosis

Kematian

Kejadian Tidak Cedera

Keterlambatan dalam penanganan

Cedera ringan-berat

Kondisi Potensial Cedera

Cedera akibat tidak cakap dalam


penggunaan peralatan medis

Perpanjangan masa
perawatan

salah obat
Peningkatan beban
ekonomi

Kejadian Sentinel/ Sentinel event

Kelalaian

Malpraktik

Kesalahan/
errors

Perbuatan melawan hukum

Tindakan merugikan
orang lain

ASPEK HUKUM
RS sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan yang
berbadan hukum

Hak-hak konsumen
HAM memperoleh kesehatan
Hak-hak pasien untuk Keselamatan dalam Pelayanan
Kesehatan

Hukum Perikatan Transaksi Terapeutik

SASARAN
KESELAMATAN
PASIEN

Penerimaan terhadap peran baru


Tingkat pengetahuan

PENURUNAN
MUTU DAN
KESELAMATAN
PASIEN

Motivasi

Patient Empowerment/
Pemberdayaan Pasien

Health literacy

Ketepatan
identifikasipasien
Komunikasi Efektif

PARTISIPASI
PASIEN

Persepsi

KEMITRAAN
PASIEN-PETUGAS

Keamanan penggunaan
obat

Tingkat keparahan penyakit

Tepat lokasi, prosedur,


dan pasien operasi

Penggunaan obat alternatif

Pengurangan risiko
infeksi terkait pelayanan
kesehatan

Karakteristik Pasien

Penguranngan risiko
pasien jatuh

PENINGKATAN
MUTU DAN
KESELAMATAN
PASIEN

Umur
Jenis kelamin
Sosial ekonomi
Etnis

Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti

pasal 5 ayat (2) berbunyi: Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sehingga UU Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit pasal 29 ayat (1) mengisyaratkan agar: Setiap rumah sakit mempunyai
kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif

dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit,
serta di dalam UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 32 juga dimuat 18 butir
hak-hak pasien, dimana salah satu dari hak pasien tersebut adalah hak untuk memperoleh
keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit, dan pada pasal
43 dinyatakan bahwa Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Untuk
melaksanakan ketentuan pasal 43 ini ditetapkankanlah.

Anda mungkin juga menyukai