Banyak Penelitian Menunjukkan Bahwa Partisipasi Pasien Dalam Perawatan Mereka Dapat Mengurangi Risiko Kesalahan Dalam Pelayanan Kesehatan
Banyak Penelitian Menunjukkan Bahwa Partisipasi Pasien Dalam Perawatan Mereka Dapat Mengurangi Risiko Kesalahan Dalam Pelayanan Kesehatan
PERSAMAAN_PER
SEPSI_PENERAPAN_HUKUM_DEMI_TERCAPAINYA_PUTU.pdf
Kesalahan dalam pelayanan kesehatan/medical error didefinisikan sebagai suatu
KTD atau Kejadian Nyaris Cedera yang dapat dicegah dengan pengetahuan medis yang
ada saat ini (WHO, 2009). WHO memperkirakan bahwa puluhan juta pasien di seluruh
dunia menderita cedera atau kematian setiap tahun akibat praktek dan pelayanan medis
yang tak aman. Hampir satu dari sepuluh pasien yang dirugikan oleh penyebab yang
sebenarnya dapat dicegah ketika pasien tersebut menerima pelayanan kesehatan, baik
pada rumah sakit yang memiliki anggaran cukup atau yang berteknologi tinggi (WHO,
2013).
Age20,23,36,40-45
Sex20,23,36,40,41,44
level20,23,36,40,41,44,46 sosial ekonomi
origin20,42,47-50 etnis
Penggunaan medicine51-53 alternatif
Petugas kesehatan khusus profesional 54
Hal ini merupakan ciri-ciri dari model paternalistik yang tradisional (Larsson, et
al., 2011). Sangat kontras dengan peran pasien yang seharusnya dimana dewasa ini peran
pasien telah berkembang dari penerima perawatan yang tak berdaya berevolusi menjadi
konsumen kesehatan.
Perbedaan antara pasien tradisional dan konsumen diberdayakan adalah bahwa
konsumen memiliki kewenangan dan suara dalam memilih pelayanan kesehatan yang
mereka manfaatkan. Evolusi ini terjadi karena kemajuan teknologi informasi seperti
internet. Saat ini, internet berfungsi sebagai alat pendidikan kesehatan yang tertanam dan
menjadi andalan bagi masyarakat Barat. Selain itu, sebagai hasil meningkatnya akses
terhadap informasi adalah terdapatnya peningkatan permintaan pasien untuk memiliki
otoritas yang lebih dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan mereka (Chow, et al., 2009). Bukti berkembang bahwa pasien dengan
pengetahuan, keterampilan dan kepercayaan diri yang tinggi untuk mengelola kesehatan
mereka memiliki hasil kesehatan yang lebih baik, ini juga akan berlaku untuk intervensi
dan pemantauan yang aman (WHO, 2013).
WHO meyakini bahwa hak akan keselamatan merupakan salah satu bagian dari hak-hak
pasien untuk hidup sehat sehingga diluncurkannya Program Keselamatan Pasien WHO pada
tahun 2004
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini memiliki tujuan untuk menjamin
perlindungan hukum bagi pasien. Apabila terjadi hal yang dianggap merugikan pasien, maka
pasien dapat meminta pertanggungjawaban dari rumah sakit dengan mengajukan gugatan ke
pengadilan. Dasarnya bisa berupa kwanprestasi, yaitu pasal 1239 BW, bisa juga karena
perbuatan melawan hukum (pasal 1365 BW) sebagaimana halnya dalam pasal 46 UU No. 44
Tahun 2009 yang berbunyi Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah
Sakit (Ilyas & Widianingsih, 2010). Oleh karena itu Rumah sakit wajib menerapkan standar
keselamatan pasien sesuai amanat Pasal 43 UU No. 44 tahun 2009.
Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien, Standar
keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pelaporan
insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan
angka kejadian yang tidak diharapkan, Rumah Sakit melaporkan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang
ditetapkan oleh Menteri, Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi sistem dalam rangka
meningkatkan keselamatan pasien, Ketentuan lebih lanjut mengenai standar
keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan
Menteri, demikian amanat Pasal 43 UU No. 44 tahun 2009.
Human Rights (UDHR) yang dicanangkan oleh WHO di Paris pada tanggal 10 Desember
1948 dan menjadi dokumen dalam tonggak sejarah perjuangan Hak Asasi Manusia
(WHO, 1948).
Di Indonesia hak asasi warga negara dijamin oleh negara dalam UU Dasar Negara
Tahun 1945. Hak untuk hidup sehat tercermin pada Pasal 28H ayat (1) yang berbunyi:
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sebagai pertimbangan lahirnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dinyatakan
bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya masih ada
sejumlah UU yang dikeluarkan untuk melindungi hak asasi warga negara Indonesia atas
kesehatan, diantaranya: UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang
Undang Nomor
29
Tahun
2004
tentang Praktik
Kedokteran,
UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, serta UU Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, yang diikuti dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/ MENKES/
PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
terjadi peningkatan tuduhan malpraktek, yang belum tentu sesuai dengan pembuktian
akhir.
Dalam sistem pelayanan kesehatan modern, peran pasien telah berkembang dari
penerima pasif pelayanan kesehatan menjadi aktif, diberdayakan dan kesehatan. Gagasan
bahwa partisipasi pasien sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan
efektivitas pelayanan kesehatan selama dekade terakhir telah mencapai momentum
(Martin & Larsen, 2012). Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipasi pasien dalam
perawatan mereka dapat mengurangi risiko kesalahan dalam pelayanan kesehatan, dengan
memberikan klinisi informasi terkini tentang riwayat medis mereka, obat-batan yang
mereka pakai dan informasi tentang alergi obat. Sebagian besar pasien dapat mengenali
dan menginformasikan kepada dokter bila terjadi penyimpangan skedul perawatannya
yang dapat mencegah kejadian yang tak diharapkan/KTD (Weingart, et al., 2011).
Suatu fakta yang hingga hari ini diakui secara luas oleh negara-negara barat bahwa
KTD dan kesalahan dalam pelayanan kesehatan/ medical errors masih sering terjadi di
rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Guillod, 2013).
Gambar 3.1.
Kerangka Teori
MENINGKATNYA
INSIDEN KESELAMATAN PASIEN
Kejadian Tak Diharapkan/ Adverse
Event
Kejadian Nyaris Cedera/ Near Miss
Kematian
Cedera ringan-berat
Perpanjangan masa
perawatan
salah obat
Peningkatan beban
ekonomi
Kelalaian
Malpraktik
Kesalahan/
errors
Tindakan merugikan
orang lain
ASPEK HUKUM
RS sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan yang
berbadan hukum
Hak-hak konsumen
HAM memperoleh kesehatan
Hak-hak pasien untuk Keselamatan dalam Pelayanan
Kesehatan
SASARAN
KESELAMATAN
PASIEN
PENURUNAN
MUTU DAN
KESELAMATAN
PASIEN
Motivasi
Patient Empowerment/
Pemberdayaan Pasien
Health literacy
Ketepatan
identifikasipasien
Komunikasi Efektif
PARTISIPASI
PASIEN
Persepsi
KEMITRAAN
PASIEN-PETUGAS
Keamanan penggunaan
obat
Pengurangan risiko
infeksi terkait pelayanan
kesehatan
Karakteristik Pasien
Penguranngan risiko
pasien jatuh
PENINGKATAN
MUTU DAN
KESELAMATAN
PASIEN
Umur
Jenis kelamin
Sosial ekonomi
Etnis
Keterangan:
: diteliti
: tidak diteliti
pasal 5 ayat (2) berbunyi: Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sehingga UU Nomor 44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit pasal 29 ayat (1) mengisyaratkan agar: Setiap rumah sakit mempunyai
kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif
dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit,
serta di dalam UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 32 juga dimuat 18 butir
hak-hak pasien, dimana salah satu dari hak pasien tersebut adalah hak untuk memperoleh
keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit, dan pada pasal
43 dinyatakan bahwa Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Untuk
melaksanakan ketentuan pasal 43 ini ditetapkankanlah.