Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan
penyakitnya berlangsung kronis, umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi
yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang
kemudian. Prevalensi skizofrenia antara pria dan wanita sama, namun berbeda dalam
timbulnya serangan pertama. Puncak serangan pada pria antara usia 10-25 tahun dan
wanita antara 25-35 tahun. Sekitar 90% pasien yang mendapat pengobatan skizofrenia
berusia antara 15-55 tahun. Jarang dilaporkan serangan dibawah usia 10 tahun atau
diatas 60 tahun. (1)
Kognitif merupakan kemampuan untuk mengenal atau mengetahui benda atau
keadaan atau situasi, yang dikaitkan dengan pengalaman pembelajaran dan kapasitas
intelegensi seseorang. Termasuk dalam fungsi kognitif adalah ; memori/daya ingat,
konsentrasi/perhatian, orientasi, kemampuan berbahasa, berhitung, visuospasial,
fungsi eksekutif, abstraksi dan taraf intelegensi. (2)
Pada pasien skizofrenik fungsi kognitif mengalami kemunduran, biasanya
muncul dengan ketidakmampuan melaksanakan aktivitas yang menjadi kunci
utamanya, maka penting adanya komitmen dari klinisi untuk lebih memfokuskan
terhadap pengobatan yang dapat membantu pasien ke fase premorbid pada tingkat
fungsi kognitifnya sehingga mereka dapat kembali ke fungsi mereka. (2)
B. ETIOLOGI
Etiologi dari skizofrenia dapat disebabkan oleh adanya(3) :
a. Faktor Biologis
1. Adanya gangguan pada neurotransmitter (penyampaian pesan secara
kimiawi) dimana terjadi ketidakseimbangan produksi neurotransmitter
dopamine, bila kadar dopamine berlebihan atau kurang, penderita dapat
mengalami gejala positif atau gejala negatif.

2. Pengaruh genetik. Kemungkinan bahwa skizofrenia merupakan kondisi


kompleks warisan, dengan beberapa gen mungkin berinteraksi untuk
menghasilkan resiko skizofrenia terpisah atau komponen yang dapat terjadi
mengarah diagnosa. Gen ini akan muncul untuk nonspesifik dimana mereka
dapat menimbulkan resiko gila lainnya. Seperti kekacauan gangguan
bipolar. Duplikasi dari urutan DNA dalam gen (dikenal sebagai menyalin
nomor varian) memungkinkan terjadi peningkatan resiko skizofrenia.
b. Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari faktor psikososial sangat dipengaruhi oleh faktor
keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki emosi ekspresi
(EE) yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien yang berasal dari
keluarga berekspresi yang rendah. EE didefinisikan sebagai perilaku yang intrusive,
terlihat berlebihan, kejam dan kritis. Disamping itu, stress psikologik dan lingkungan
paling mungkin mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol
c. Faktor Sosiokultural
Kebudayaan secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat
maupun yang tidak terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung
menimbulkan skizofrenia, biasanya terbatas menentukan warna gejala-gejala.
Disamping mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang
misalnya melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.
Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
1. Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara membesarkan anak yang kaku dan otoriter,hubungan orang tua
anak menjadi kaku dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa mungkin
bersifat sangat agresif atau pendiam dan tidak suka bergaul atau justru
menjadi penurut yang berlebihan.
2. Sistem Nilai
Perbedaan sistem nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan
yang lain, antara masa lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalahmasalah kejiwaan. Begitu pula perbedaan moral yang diajarkan dirumah /
sekolah dengan yang dipraktekkan di masyarakat sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENILAIAN SKALA KOGNITIF
3

Pada umumnya, pasien skizofrenia berkelakuan sama dengan pasien gangguan


mental dengan penyebab organik. Data konsisten dengan gagasan bahwa skizofrenia
adalah suatu penyakit otak yang mengganggu fungsi normal dari banyak kemampuan
kognitif. Pasien skizofrenia biasanya memberikan hasil buruk terhadap berbagai
macam tes psikologis. Tetapi, suatu penelitian terakhir membandingkan kinerja
neuropsikologi pada kembar skizofrenia dengan kembar monozigotiknya tidak
menderita skizofrenia. Penelitian tersebut menemukan bahwa kewaspadaan, daya
ingat, dan pembentukan konsep adalah yang paling sering terpengaruhi dan
menyatakan bahwa pola adalah paling konsisten dengan patologi di korteks
frontotemporalis. Selain itu, penelitian bahwa gangguan tersebut paling mungkin
berhubungan dengan proses penyakit itu sendiri dan tidak berperan sebagai penanda
sifat genetik atau faktor lingkungan. (4)
Evaluasi status mental merupakan penilaian fungsi kognitif dan emosi yang
sistematis. Berbeda dengan proses pemeriksaan fisik, pada pemeriksaan status mental
dibutuhkan pemeriksaan yang berurutan karena untuk memeriksa suatu keadaan
diperlukan pemeriksaan keadaan lainnya terlebih dahulu. Pada pemeriksaan mental
diperiksa hal berikut, yaitu (5) :
1. Tingkat kesadaran
2. Atensi
3. Orientasi
4. Berbahasa
5. Memori
6. Pengetahuan umum
7. Berhitung
8. Abstraksi
9. Gnosisa
10. Praksia
11. Respon emosional

Atensi (Pemusataan Perhatian) dan Konsentrasi


Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada masalah
yang dihadapi. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan fokus
tersebut. Atensi memungkinkan seseorang untuk memborbardir otak yang dianggap
perlu dan membutuhkan pemprosesan lebih lanjut, dari hal-hal yang perlu diabaikan. (5)
Pemeriksaan (5) :
4

Tes mengulang angka


Pasien diminta mengulangi sebaris angka yang dipilih secara acak; dimulai
dengan tiga angka, kemudian ditingkatkan sampai terdapat kesalahan, atau sampai
dapat mengulangi tujuh angka. Waktu untuk pasien adalah satu angka satu detik.
Contoh: 2-5-9; 1-4-6-7,, dst. Orang dewasa normal dapat mnegulangi sampai 6 atau 7
angka. Bila orang yang normal tidak mampu mengulangi lebih dari 5 angka,
perhatiannya mungkin kurang.

Tes mengetuk Jari


Pasien diminta mengetukan jarinya ke meja bila ia mendengar angka tertentu
misalnya 4. Kita sebutkan serangkaian angka misalnya 1-12-4-7-9-10-6-2-0-4. Angka
disebutkan satu angka per detik. Dapat pula digunakan huruf.
Orientasi
Orientasi yang perlu dinilai adalah terhadap individu, waktu, dan tempat. (5)
Memori
Memori menghubungkan masa lalu dan masa kini. Gangguan memori merupakan
keluhan yang sering dijumpai pada pasien dengan sindrom mental organik. Namun
tidak semua disebabkan gangguan organik, faktor psikiatrik, terutama depresi dan
ansietas dapat juga mempengaruhi fungsi memori dan kognitif. Rentang waktu yang
digunakan untuk memeriksan memori dapat singkat atau setelah bertahun-tahun
seperti mengingat kembali pengalaman semasa kanak-kanak. Proses memori terdiri
dari beberapa tahapan. Pertama-tama informasi diterima oleh modalitas sensorik
kuhsus (raba, auditif) atau visual dan kemudian diregistrasi. Sekali input memori telah
diterima dan diregistrasi, informasi ini disimpan sebentar di memori jangka pendek.
Langkah ke dua terdiri dari menyimpan dan mempertahankan informasi dalam bentuk
yang lebih permanen (memori jangka panjang). Proses penyimpanan ini dapat
ditingkatkan oleh pengulangan atau oleh penggabungan dengan informasi lain yang
sudah berada di dalam simpanan. Penyimpanan merupakan proses aktif yang
membutuhkan upaya melalui praktek dan latihan. Langkah terakhir ialah recall
informasi yang disimpan atau menjumpt informasi yang disimpan. Tiap-tiap tahapan
pada seluruh proses memori bertumpu pada integritas langkah-langkah sebelumnya.
Bia ada interupsi dalam urutannya, hal ini dapat menghalangi penyimpanan suatu
memori. Di klinik, memori dibagi atas tiga jenis berdasarkan kurun waktu antara

presentasi stimulus dan retrieval memori. Memori segera, memori baru jangka
pendek, memori rimot jangka panjang. (5)
Memori baru.
Memori baru mengacu pada kemampuan pasien mengingat kejadian yang abru
terjadi. Pememeriksaan memori baru mencakup memori verbal dan visual. Pemeriksaan
memori verbal dengan menilai memori baru tentang orientasi, menilai kemampuan
mempelajari hal baru dan tes memori 4 kata yang tidak berhubungan. Orientasi adalah
hal pertama yang harus di tes. (5)
Memori rimot (jangka panjang) Memori rimot digunakan bagi kemampuan
mengumpulkan fakta tau kejadian yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya, seperti
nama guru atau teman satu sekolah dulu. (5)
Amnesia umumnya melukiskan defek pada fungsi memori. Rentang waktu
amnesia dapat sesingkat bebrapa detik sampai beberapa tahun. (5)
Amnesia psikogenik. Manesia dapat juga berbentuk amnesia pasikogenik
dimana dalam hal ini pasien memblok suatu kurun waktu. Hilangnya memori yang
berdasarkan keadaan psikologis mengakibatkan lubang-lubang memori jangka panjang
dan pendek. (5)
Kemampuan mempelajari hal yang baru perlu dinilai. Untuk kinerja yang baik
dibutuhkan integritas seluruh sistem memori: pengenalan registrasi input sensorik
inisial, retensi, dan penyimpanan informasi dan pemanggilan kembali atau penjumputan
informasi yang disimpan. (5)
Tes dengan 4 kata yang tidak berhubungan. Sebelumnya sampaikan pada pasien
apa yang hendak dilakukan; untuk memastikan pasien memahami. Kemudian minta
beliau mengulangi kata-kata tersebut setelah kita sebutkan. Penderita manula
membutuhkan beberapa kali pengulangan namun bila dibutuhkan pengulangan sampai
4-5 kali, dicurigai ada gangguan memori. Setelah 5 menit berlalu minta pasien untuk
menyebutkan keempat kata tadi. Kemudian setelah 20 dna 30 menit minta hal yang
sama. Bila pasien tidak mampu dapat dilakukan bantuan dan memberinya petunjuk, bila
kemampuan pasien lebih baik dengan cara mengenal dari pada menyebutkan hal ini
menunjukan bahwa problem memori terletak apda permasalahan penjumputan
ketimbang akuisisi atau defisit penyimpanan. (5)
Memori visual Penialaian memori visual harus dilakukan pada semua pasien.
Tes ini berguna bagi pasien dengan kemampuan verbal yang kurang atau dengan
pendidikan yang kurang. Cara melakukan tes memori visual: Pasien menggunakan 5
6

objek kecil yang dengan mudah dapat disembunyikan di sekitar pasien, misalnya:
pinsil, sisir, kunci, mata-uang, pisau. Objek ini kemudian disimpan di sekitar
pasiensewaktu objek disembunyikan pasien harus melihatnya . Steelah onbjek
disembunyikan pasien diberi tugas lain untuk mengalihkan perhatiannya. Setelah 5
menit berlalu, pasien ditanya objek apa yang disembunyikan dan dimana. Skor memori
visual, orang normal dibawah 60 tahun dapat menyebutkan 4 atau 5 objel yang
disembunyikan setelah 5 menit berlalu tanpa kesulitan. Kinerja yang lebih rendah dari 3
objek memnandakan terdapat gangguan memori. (5)
Memori jangka panjang. Tes memori ini dapat mengenai informasi pribadi,
pengetahuan umum, dan sejarah. (5)
Implikasi Klinik
Beberapa aspek proses memori terjadi pada bangunan neuro anatomi tertentu
atau sistem neuronal. Penelitian patologik anatomik telah banyak mendokumentasikan
bahwa bagunan limbik terlibat dalam penyimpanan jangka panjang dan penjumputan
informasi baru. Namun demikian, struktur yang berperan untuk pemanggilan kembali
segera dan memori rimot belum dapat ditentukan. Walaupun jejak memori visual,
verbal, dan taktil mungkin sekali disimpan di neo korteks, banyak bangunan
subkortikan dibutuhkan untuk proses total dari memori. Kerusakan pada berbagai
sistem kortikal atau subkortikal akan mengakibatkan berbagai pola gangguan fungsi. (5)
Abstraksi (berfikir abstrak) merupakan fungsi intelektual tingkat tinggi, yang
membutuhkan pemahaman dan pertimbangan. Mengintepretasikan makna suatu
pepatah atau kiasan membutuhkan pengetahuan umum, kemampuan menggunakan
pengetahuan ini pada situasi tertentu dan kemampuan berfikir abstrak. Pasien yang
tidak mampu mengemukakan dengan kemungkinan abstrak dari suatu pepatah atau
kiasan akan menjawab dengan konkrit saja. Keadaan ini umum dijumpai pada
gangguan organik, demensia. Cara lain menilai berfikir abstrak adalah menanyakan
persamaan dan perbedaan. Selain itu cara berpikir abstrak dapat dinilai lewat penilaian
pertimbangan. (5)
Gnosis
Seseorang dapat mengenal suatu objek melalui salah satu inderanya. Agnosia dapat
didefinisikan sebagai gagal mengenal suatu objek kendati sensasi primernya berfungsi
baik. Beberapa jenis agnosia yang dikenal di klinik mencakup: agnosia visual, agnosia
7

jari, agnosia taktil. Dengan kata lain gangguan persepsi sensasi, walaupun
sensabilitasnya primernya normal, disebut agnosia. (5)

Agnosia Visual Agnosia visual ialah tidak mampu mengenal objek


secara visual pada hal penglihatannya adekuta. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh kelainan yang melibatkan area asosiasi visual otak. Ada
beberapa sub-jenis agnosia visual, termasuk gagal mengenali lingkungan
yang sudah biasa diketahui dan gagal beorientasi pada lingkungan yang

sebelumnya diketahui.
Agnosia jari ialah keadaan pasien yang tidak mampu mengidentifikasi
jarinya atau jari orang lain, misalnya ia tidak memapu melakukan
suruhan: tunjukan telunjukmu! Pasien dengan agnosia jari biasanya
memppunyai lesi di hemisfer yang dominan. Lesi di parietal-oksipital
mungkin dapat menyebabkan agnosia jari. Bila didapatkan pula kelainan

disfagia, tes ini sulit dilakukan atau sulit dinilai.


Agnosia taktil ialah keadaan di mana terdapat kegagalan mengenal suatu
objek melalui perabaan, sedang sensorik primernya baik. Keadaan ini
kadang disebut juga sebagai asterognosia. Agnosia taktil dapat dijumpai

pada lesi yag melibatkan lobus parietal yang non-dominan.


Anosognia ialah tidak mengakui adanya penyakit atau kelainan, dan
merupakan keadaan tidak mengakui atau tidak menyadari adanya
gangguan fungsi pada tubuh. Pasien tidak mengakui adanya kelumpuhan
padahal jelas terlihat hemiplegia. Kelainan yang terkait terletak di
frontal posterior dan lobus parietal dari otak dan lebih sering terlihat bila
lesi melibatkan hemisfer yang non dominan.

Praksis
Praksis dalam arti sempit berarti integrasi motorik yang digunakan untuk melakukan
gerakan kompleks yang bertujuan. Tugas konstruksional seperti menggambar garis dan
bangunan balok sangat berguna dalam mendeteksi penyakit otak organik dan harus
dimasukan pada tiap pemeriksaan status mental. Ketidakmampuan melaksanakan tugas
konstruksional disebut ketidakmampuan konstruksional. Fungsi kognitif nonverbal
tingkat tinggi ini, merupakan tugas motorik perseptual yang kompleks yang melibatkan
integrasi fungsi lobus oksipital, parietal dan frontal. Karena luasnya daerah kortikal
yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas konstruksional, jejas otak yang dini atau
ringan sering telah menggangu kinerjanya. Dapat digunakan beberapa tes dasar seperti
8

tes menggambar segi empat, membuat konstruksi dari balok 3 dimensi dan sebagainya.
(5)

Apraksia
Apraksia merupakan gangguan didapat pada gerakan mototrik yang dipelajari
dan berurutan, yang bukan disebabkan oleh gangguan elementer pada tenaga,
koordinasi, sensorik atau kurangnya pemahaman atau atensi. Hal ini merupakan
hendaya dalam menyeleksi dan mengorganisasi inervasi motorik yang dibutuhkan
untuk melaksanakan suatu aksi. (5)

Apraksia Ideomotor merupakan jenis apraksia yang paling sering


dijumpai. Penderita dengan jenis apraksia ini tidak mampu melakukan
gerak motorik yang sebelumnya pernah dipelajarinya secara akurat.
Pada keadaan ini terdapat ketidakmampuan lobus frontal untuk
menerjemahkan aksi menjadi gerakan motorik. Pasien misalnya tidak
mampu melakukan suruhan berikut: peragakan bagaimana minum
menggunakan sedotan. Kegagalan tersebut disebut apraksia bukofasial.
Bila terdapat kesulitan dalam gerakan lengan atau tungkai dapat didteksi
melalui suruhan seperti beri hormat dan sebagainya. Kegagalan ini
disebut apraksia anggota gerak. Pasien apraksia ideomotor mungkin
tidak dapat memejamkan mata atas suruhan, namun ia dapat

mengedipkan mata secara spontan.


Apraksia ideasional merupakan gangguan perencanaan motorik yang
kompleks, yang lebih tinggi dari ideomotor. Hal ini merupakan
kegagalan dalam melaksanankan tugas yang mempunyai berbagai
komponen yang berurutan. Contoh: Pasien diminta menuangkan air dari
teko ke dalam gelas; kemudian meminum air dari gelas. Pasien mungkin
gagal menuangkan air ke dalam gelas, dan mungkin mengangkat gelas
ke bibirnya atau langsung minum dari teko. Apraksia ideasional
merupakan disabilitas yang komples yang biasa dijumpai pada pasien
dnegan penyakit otak bilateral. Penyakit kortikal yang difus terutama
yang mengenai lobus parietal.

Respon Emosional
Pada penderita kelainan neurologik tidak jarang dijumpai perubahan suasana
hati. Penderita dengan lesi hemisfer yang bilateral dapat kehilangan kontrol terhadap
respon emosional. Dapat terjadi menangis atau tertawa oleh rangsangan yang ringan. (5)
9

Selain itu kita juga dapat menggunakan beberapa tes lainnya, seperti :
1. Tes MMSE, Mini-Mental State Examination (MMSE) atau tes Folstein adalah 30-

poin singkat kuesioner tes yang digunakan untuk layar untuk kerusakan kognitif. Hal
ini umumnya digunakan dalam obat untuk layar untuk demensia . Hal ini juga
digunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan kerusakan kognitif pada waktu
tertentu dan mengikuti jalannya perubahan kognitif pada individu dari waktu ke
waktu, sehingga menjadikannya sebagai cara yang efektif untuk mendokumentasikan
respons seseorang terhadap pengobatan. (6)
Dalam sekitar 10 menit itu sampel fungsi termasuk aritmatika , memori dan
orientasi . Saat itu diperkenalkan oleh Folstein et al. Pada tahun 1975. Tes ini bukan
pemeriksaan status mental. Bentuk MMSE standar yang saat ini diterbitkan oleh
Sumber Daya Penilaian Psikologis didasarkan pada konsep asli nya 1975, dengan
modifikasi kecil berikutnya oleh penulis. (6)
Tes MMSE meliputi pertanyaan sederhana dan masalah di sejumlah daerah:
waktu dan tempat tes, daftar mengulangi kata-kata, aritmatika seperti tujuh seri ,
penggunaan bahasa dan pemahaman, dan keterampilan motorik dasar. Misalnya, satu
pertanyaan meminta untuk menyalin gambar dari dua pentagons (ditampilkan di
sebelah kanan). (6)
Meskipun aplikasi yang konsisten dari pertanyaan identik meningkatkan
keandalan perbandingan dibuat dengan menggunakan skala, tes ini kadang-kadang
disesuaikan (misalnya, untuk digunakan pada pasien yang diintubasi , buta , atau
sebagian amobil. Juga, beberapa mempertanyakan penggunaan tes pada yang tuli .

[3]

Namun, jumlah poin yang diberikan per kategori biasanya konsisten : (6)

10

11

Interpretasi :
Setiap skor yang lebih besar dari atau sama dengan 25 poin (dari 30) secara
efektif normal (utuh). Di bawah ini, skor dapat menunjukkan berat ( 9 poin), sedang
(10-20 poin) atau ringan (21-24 poin) kerusakan kognitif. Skor mentah juga mungkin
perlu dikoreksi untuk tingkat pendidikan dan usia. Rendah ke skor sangat rendah
berkorelasi erat dengan kehadiran demensia , meskipun gangguan mental lainnya juga
dapat menyebabkan temuan abnormal pada pengujian MMSE. Kehadiran murni
masalah fisik juga dapat mengganggu interpretasi jika tidak dicatat, misalnya, pasien
mungkin secara fisik tidak dapat mendengar atau membaca petunjuk dengan benar,
atau mungkin memiliki defisit motor yang mempengaruhi kemampuan menulis dan
menggambar. (6)
2. CDT
Gambar Jam uji (CDT) adalah tugas kognitif singkat yang dapat digunakan oleh
dokter yang mencurigai disfungsi neurologis berdasarkan riwayat dan pemeriksaan
fisik. Hal ini relatif mudah untuk melatih non-profesional staf untuk mengelola WIT.
Oleh karena itu, ini adalah tes yang dengan mudah dapat diberikan dalam pengaturan
pendidikan dan geriatri dan dapat digunakan sebagai ukuran yg mendahului untuk
menunjukkan kemungkinan defisit lebih lanjut / masa depan. Juga, perbedaan generasi,
pendidikan dan kebudayaan tidak dianggap sebagai berdampak utilitas dari WIT. (7)
Prosedur dari CDT dimulai dengan instruksi ke peserta untuk menggambar jam
membaca waktu tertentu (biasanya 11:10). Setelah tugas selesai, pengawas tes menarik
sebuah jam dengan tangan ditetapkan pada waktu tertentu yang sama. Kemudian pasien
diminta untuk menyalin gambar. Kesalahan dalam menggambar jam diklasifikasikan
menurut kategori berikut:. kelalaian, perseverations, rotasi, misplacements, distorsi,
substitusi dan penambahan Memory, konsentrasi, inisiasi, energi, kejernihan mental
dan kebingungan adalah semua langkah yang dinilai selama kegiatan ini.

[31]

Mereka

yang memiliki defisit dalam fungsi eksekutif akan membuat kesalahan pada jam
pertama namun tidak yang kedua.

[28]

Dengan kata lain, mereka tidak akan bisa

menghasilkan sendiri contoh, tapi akan menampilkan kemahiran dalam tugas


penyalinan. (7)

12

B. TERAPI
Penelitian terhadap pasien skizofrenia dengan pengobatan risperidon efektif
untuk menurunkan total skor gejala positif dan negatif. Dosis awal risperidon
umumnya 1-2 mg/hari, titrasi perlahan-lahan dilakukan bila efek samping dapat
ditolerir pasien secara klinis. Sekitar 90% pasien dapat diobati secara optimal dengan
dosis di bawah 6 mg/hari. Dosis risperidon 10 mg/ hari atau lebih dapat menyebabkan
simtom ekstrapiramidal yang sebanding dengan haloperidol. Dosis inisial risperidon
diberikan 2 kali sehari, tetapi beberapa studi telah memperlihatkan efikasi yang sama
tanpa peningkatan efek samping yang bermakna dengan dosis sekali sehari. Hal ini
disebabkan oleh waktu paruh yang panjang dari metabolit aktifnya. Efektifitas penuh
umumnya dicapai dalam 4-6 minggu pengobatan. Lama terapi sama seperti
pengaturan pada penggunaan antipsikotik konvensional. (8)
Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah digunakan untuk menargetkan gejala
spesifik dan memperbaiki masalah terkait seperti harga diri, fungsi sosial, dan
wawasan. Meskipun hasil uji coba awal tidak meyakinkan sebagai terapi lanjutan dari
aplikasi awal pada pertengahan tahun 1990, ulasan yang lebih baru jelas menunjukkan
CBT adalah pengobatan yang efektif untuk gejala psikotik skizofrenia. (8)
Pendekatan lain adalah terapi kognitif remediasi, suatu teknik yang bertujuan
untuk remediating defisit neurokognitif kadang-kadang hadir dalam skizofrenia.
Berdasarkan teknik rehabilitasi neuropsikologi, bukti awal telah menunjukkan untuk
menjadi kognitif yang efektif, dengan beberapa perbaikan yang terkait dengan
perubahan terukur dalam aktivasi otak yang diukur dengan fMRI. Pendekatan yang
serupa yang dikenal sebagai terapi peningkatan kognitif, yang berfokus pada kognisi
sosial serta neurocognition, telah menunjukkan efikasi. (8)

13

BAB III
PENUTUP
Skizofrenia merupakan suatu diagnosis psikiatri yang menggambarkan
gangguan mental yang ditandai oleh kelainan dalam persepsi atau ungkapan realitas.
Distorsi persepsi dapat mempengaruhi semua lima indera, termasuk penglihatan,
pendengaran, rasa, bau dan sentuhan, tapi paling sering bermanifestasi sebagai
halusinasi pendengaran, delusi paranoid atau aneh, atau pidato teratur dan berpikir
dengan disfungsi sosial atau pekerjaan yang signifikan. Pada pasien skizofrenia fungsi
kognitif mengalami kemunduran, biasanya muncul dengan ketidakmampuan
melaksanakan aktivitas yang menjadi kunci utamanya, maka penting adanya
komitmen dari klinisi untuk lebih memfokuskan terhadap pengobatan yang dapat
membantu pasien ke fase premorbid pada tingkat fungsi kognitifnya sehingga mereka
dapat kembali ke fungsi mereka. (1)
Pada Skizofrenia, penilaian skala kognitif dapat menggunakan beberapa tes,
seperti : Tingkat kesadaran, atensi, orientasi, berbahsa, memori, pengetahuan umum,
berhitung, abstraksi, gnosia, praksia, respon emosional, MMSE dan CDT. (5)
14

Terapi yang dapat digunakan untuk membantu perbaikan kognitif pasien


skizofrenia dengan pengobatan risperidon efektif untuk menurunkan total skor gejala
positif dan negatif. Dosis awal risperidon umumnya 1-2 mg/hari, titrasi perlahan-lahan
dilakukan bila efek samping dapat ditolerir pasien secara klinis. Sekitar 90% pasien
dapat diobati secara optimal dengan dosis di bawah 6 mg/hari. Dosis risperidon 10
mg/ hari atau lebih dapat menyebabkan simtom ekstrapiramidal yang sebanding
dengan haloperidol. Dosis inisial risperidon diberikan 2 kali sehari, tetapi beberapa
studi telah memperlihatkan efikasi yang sama tanpa peningkatan efek samping yang
bermakna dengan dosis sekali sehari. Hal ini disebabkan oleh waktu paruh yang
panjang dari metabolit aktifnya. Efektifitas penuh umumnya dicapai dalam 4-6
minggu pengobatan. Lama terapi sama seperti pengaturan pada penggunaan
antipsikotik konvensional. (8)

DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim Rusdi. Diagnosis Gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta
: Bagian ilmu kedokteran jiwa ; 2001. p; 46
2. Elvira D. Sylvia., Hadisukanto Gitayanti. Buku ajar psikiatri. Jakarta : FKUI :
2003. p; 61-62
3. Shaz

Thomas.

http://blank-out.livejournal.com/2865.html

http://www.santosahospital.com/document
4. Sadock J., Kaplan I. Sinopsis psikiatri. Ilmu pengetahuan perilaku. Psikiatri
Klinis. P; 733-735
5. H Riska.
http://www.berbagimanfaat.com/2010/12/pemeriksaan-fungsi-kognitif.html
6. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|
id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Mini
%25E2%2580%2593mental_state_examination
7. http://translate.google.co.id/translate?
hl=id&sl=en&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Executive_dysfunction&prev=/searc
h%3Fq%3Dclock%2Bdrawing%2Btest%2Bwikipedia%26hl%3Did%26client
15

%3Dfirefox-a%26hs%3DuPZ%26rls%3Dorg.mozilla:id:official%26biw
%3D1024%26bih%3D507%26prmd
%3Dimvns&sa=X&ei=MrbuT7j2HoaaiQe_z8mODQ&ved=0CFAQ7gEwAA
8. http://www.news-medical.net/health/Schizophrenia-Interventions-%28Indonesian
%29.aspx

L
A
M
P
I
16

R
A
N

17

Anda mungkin juga menyukai